Imam Ibnu Hazm berkata :
" Allah menyebut menjadikan nabi sebagai hakim sebagai iman dan memberitahukan bahwa tidak ada iman tanpa hal itu dengan disertai tidak adanya kesempitan dalam hati dengan keputusan beliau. Dengan demikian benarlah secara yakin bahwasanya iman itu amal, aqidah (keyakinan hati) dan perkataan karena menjadikan Rasul sebagai hakim itu adalah amal (perbuatan), dan hal itu tak mungkin kecuali disertai ucapan dan tanpa adanya perasaan sempit di hati yang merupakan sebuah keyakinan."
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
" Setiap orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, Allah telah bersumpah dengan jiwa-Nya yang Suci bahwasanya orang itu tidak beriman sampai ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati mereka rasa sempit atas hukum (keputusan) beliau."
Imam Asy Syaukani berkata :
“ Maka demi Rabmu.. ” ayat. Dalam ancamaan yang keras ini ada hal yang membuat kulit bergetar dan hati merinding, karena sesungguhnya : Satu. Hal ini merupakan sumaph Allah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan harfu nafyi bahwa mereka tidak beriman. Allah meniadakan iman dari mereka yang mana iman itu merupakan harta modal yang baik bagi hamba-hamba Allah, sampai mereka mengerjakan “ghayah” yaitu menjadikan rasul sebagai hakim (tahkim rasul) lalu Allah tidak mencukupkan dengan itu saja namun Allah lalu berfirman,” Lalu mereka tidak menemaukan ksempitan dalam diri mereka atas keputusanmu ” Allah menggabungkan perkara lain dari tahkim , yaiu tidak adanya kesempaitan (rasa berat), artinya kesempitan dalam dada.
Jadi tahkim dan tunduk saja tidak cukup sampai dari lubuk hatinya muncu sikap ridha, tentram dan hati yang sejuk dan senang. Allah belum mencukupkan dengan ini semua, namun masih menambah lagi dengan hal lain, yaitu firman-Nya : “ menerima / menyerahkan diri " maksudnya tunduk dan mentaati secara lahir dan batin. Allah belum mecukupkan dengan hal ini saja, namun masih menambah dengan menyebut masdar “tsaliman”. Maka tidak ada iman bagi seoranga hamba sampai ia mau bertahkim kepada Rasulullah lalu ia tidak mendapati rasa berat ((kesempiatan) dalam hati atas keputusan nabi dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariat-Nya sepenuh penyerahan, tanpa dicampauri oleh penolakan dan menyelisihi.”
Tahkim syariat Allah dan mengembalikan seluruh perselisihan kepada nash-nash dua wahyu adalah syarat iman, sebagaimana firman Allah,” Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Alah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” [An Nisa’ :59].
Karena itu Ibnu Qayyim berkata:
“ Firman Allah,” Jika kalian berselisih dalam satu masalah” menggunakan nakirah dalam kontek sebagai syarat, ia umum mengenai segala persoalan yang diperselisihkan oleh kaum muslimin baik dalam masalah agama, masalah yang detailnya maupun masalah yang global, yang tersembunyi maupun yang nampak. Kalaulah dalam al Qur’an dan as sunah tidak ada keterangan tentang penyelesaian apa yang mereka perselisihkan atau ada penyelesaian namun tidak cukup untuk menyelesaikan (secara tuntas), tentulah Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada Al Qur’an dan As Sunah. Karena mustahil Allah memerintahkan untuk kembali ketika ada perselisihan kepada apa yang tidak mempunyai solusi atas perselisihan tersebut. Dalam ayat ini Allah juga menjadikan mengembalikan (perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunah} sebagai tuntutan iman. Jika sikap mengembalikan [perselisihan kepada Al Qur’an da As Sunah ini hilang maka iman juga ikut hilang, sebagai wujud dari hilangnya malzum (akibat) dengan hilangnya lazim (sebab). Apalagi ada hubungan erat antara dua hal ini karena berasal dari dua belah pihak. Masing-masing hilang dengan hilangya salah satu yang lain. Lalu Allah mengkhabarkan bahwa mengembalikan persoalan kepada Al Qur’an dan AS Sunah ini lebih benar bagi mereka dan akibatnya adalah sebaik-baik akibat.”
Imam Ibnu Katsir berkata :
" Apa yang diputuskan oleh kitabullah dan sunah Rasululah dan diketahui haditsnya shahih, maka itulah kebenaran dan tidak ada di luar kebenaran selain kesesatan. Karena itu Allah berfirman," Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir " maksudnya kembalikanl;ah perselisihan dan hal-hal yang belum kalian ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya, berhukumlah kepada keduanya dalam hal-hal yang diperselisihkan. Ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak berhukum kepada al kitab dan as sunah dalam perselisihan dan tidak kembali kepada keduanya, orang itu bukan orang mukmin kepada Allah dan hari akhir.”
Jika berhukum kepada syariat Allah merupakan syarat iman, maka sebaliknya tahakum kepada UU buatan manusia yaitu hukum thaghut dan jahiliyah meniadakan iman dan termasuk tanda-tanda orang munafiq. Telah kami sebutkan di muka perkataan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha saat menerangkan firman Allah,” Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [An Nisa’ :60], di mana beliau mengatakan :
" Ayat ini menyatakan bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan diingatkan akan wajibnya hal itu, ia telah munafiq dan pengakuan keimanan serta keislaman tidak dianggap lagi."
Syaikh Nashir Abdurahman As Sa'di juga berkata :
" Mengembalikan penyelesaian persoalan kepada al Qur'an dan as Sunah adalah syarat iman…ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada keduanya tidak beriman dengan sebenar-benar iman, bahkan sebaliknya ia telah beriman kepada thaghut sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat," Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang…An Nisa' :60]. Karena iman menuntut ketundukan kepada syariat Allah dan menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh urusan. Siapa mengakui dirinya mukmin namun ia lebih memilih hukum thaghut di atas hukum Allah maka ia dusta."
Sayid Qutub menguatkan bahwa sikap tidak melakukan tahkimu syariah Islamiyah tidak akan bisa berkumpul dengan iman. Beliau berkata saat menafsirkan [QS. Al Maidah : 43],” Dan bagaimana mereka mengangkat kamu sebagai hakim mereka sementara di tangan mereka ada tauarat yang memuat hukum Allah kemudian mereka setelah itu berpaling dari keputusanmu ? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang beriman ?”
“ Merupakan dosa besar dan kemungkaran yang dingkari ketika mereka bertahkim kepada Rasulullah sehingga rasul memutuskan dengan syariah Allah sementara di sisi lain mereka memeiliki Taurat yang juga memuat hukum Allah lalu mereka menyesuai-suaikan antara hukum Rasul dengan hukum Taurat di tangan mereka yang mana Al Qur’an datang untuk membenarkannya, tapi kemudian mereka berpaling, baik mereka berpaling dengan tidak melaksanakan hukum itu ataupun menerima namun tidak ridha.
Konteks ayat ini tidak cukup dengan mengingkari saja, namun juga menetapkan hukum Islam dalam kondisi seperti ini " Dan tidaklah mereka itu beriman". Iman Tidak mungkin akan berkumpul dengan sikap tidak mau menjadikan syariah Allah sebagai hakim atau sikap tidak ridha dengan hukum syariah ini. Orang-orang yang mengira mereka atau orang selain mereka beriman lalu mereka tidak bertahkim dengan syariat Allah dalam segala aspek kehidupan mereka atau tidak ridha dengan hukum syariah jika diterapkan atas mereka… pengakuan mereka itu sebenarnya bohong belaka, menabrak (bertentangan dengan) nash yang qath'I ini " Dan tidaklah mereka itu beriman."
Di antara yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam masalah ini adalah:
" Sesungguhnya firman Allah " mereka mengira " mendustakan pengakuan iman mereka, karena iman tidak akan berkumpul dengan sikap berhukum dengan selain hukum Allah yang dibawa Rasul dalam hati seorang hamba. Sebaliknya, satu sama lain saling meniadakan. Thaghut merupakan pecahan kata dari kata at Tughyan yang berarti melampaui batas. Setiap orang yang memutuskan persoalan dengan selain hukum Allah yang dibawa oleh Rasul, berarti memutruskan persoalan dengan hukum thaghut dan berhukum dengannya."
Syaikh Asy Syanqithi menegaskan bahwa orang-orang yang mengikuti orang-orang yang membuat undang-undang selain syariah Alalh sebagai orang-orang yang musyrik kepada Allah, beliau menyebutkan dalil-dalil hal ini, di antaranya beliau berkata :
" Termasuk dalil yang paling gamblang dalam masalah ini adalah bahwasnya Allah dalam surat an Nisa' menerangkan orang-orang yang ingin berhukum, dengan selain syariat-Nya Allah tidak merasa heran dengan pengakuan iman mereka. Hal ini tidak lain karena pengakuan mereka beriman dengan disertai sikap berhukum kepada thaghut sudah benar-benar dusta sehingga layak untuk diherani. Hal ini disebutkan dalam firman Allah," Apakah kamu tdak melihat…"
Lebih dari ini semua, iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman mencakup sikap membenarkan dan tunduk mematuhi. Sebagaimana wajib hukumnya bagi makhluk untuk membenarkan apa yang dikhabarkan oleh para rasul maka wajib pula atas mereka untuk mentaati perintah rasul, sebagaimana firman Allah :
“ Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun kecuali untuk ditaati dengan izin (perintah) Allah.” [An Nisa’ :64].
Karena itu Imam Muhammad bin Nashr al Maruzi mengatakan tentang defnisi iman,”Iman kepada Allah artinya mentauhidkan-Nya, membenarkan-Nya lewata hati dan lisan dan tunduk kepada Allah dan kepada perintah-Nya dengan memberikan tekad kauat untuk melaksanakan perintah-Nya, menjauhi sikap sombong dan melawan perintah-Nya. Jika kamu telah mengikuti apa yang datang dari Allah, maka kamu akan mengerjakan hal yang wajib dan menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, tidak melanggar yang syubhat dan segera berbuat kebajikan.”
Tidak diragukan lagi bahwa tahkimu syariah merupakan sikap tunduk dan melaksanakan dienullah. Jiaka demikian halnya, maka tidak melaksanakan tahkimu syariah berarti kufur iba’, kufur radd dan akufur istikbar {kafir karena sombong, menolak dan menentang) sekalipun ia masih membenrakan apa yang datang dari Allah. Kufur tidaklah hanya sekedar mendustakan (takdzib) sepertii yang dikatakan oleh Murjiah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...