DALIL-DALIL YANG MEMBENARKAN PENDAPAT KAMI:
Kami akan memulai menjawab pertanyaan yang diajukan oleh syaikh Al Albani --dengan tau-fiq Allah-- yang beliau katakan kami tak akan me-nemukan jawabannya, yaitu pertanyaan beliau, "Apa dalil kalian atas takwilan seperti ini?"
Kami jawab, "Sekalipun kami tidak setuju de-ngan bentuk soal beliau -karena telah kami jelas-kan bahwa pendapat kami ini sama sekali bukan takwil-, kami tetap menjawab pertanyaan beliau sebagai berikut :
Sesungguhnya yang membawa kami untuk membedakan antara seorang penguasa yang me-netapkan undang-undang selain syari’at Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mere-ka berhukum dengannya, dengan seorang pen-guasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih di antara rakyatnya dengan selain hukum Allah. Kami nyatakan penguasa pertama telah kafir keluar dari milah sementara penguasa kedua be-rada di antara dua kemungkinan ; kafir asghar atau kafir akbar. Kami membawa perkataan Ibnu Abbas kepada penguasa yang kedua. Kami katakan ada banyak alasan yang membawa kami untuk melakukan hal ini, di antaranya:
PERTAMA :
Dalil-dalil yang menegaskan bahwa tasyri’ selain dari Allah adalah kafir akbar.
Sesungguhnya nash-nash syari’at telah me-nunjukkan bahwa siapa yang menetapkan un-dang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum de-ngannya, ia telah melakukan kafir akbar yang mengeluarkannya dari milah, berdasar beberapa dalil berikut ini :
1. Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيـــــلاً
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di an-tara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan-lah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demi-kian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
[QS. An Nisa' :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan me-reka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya --sebagaimana dika-takan oleh Ibnu Qayyim--, "Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…" [A'lamul Muwaqi'in I/84].
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya kembalikanlah perseli-sihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan " Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir". Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir." [Tafsir Al Qur'an Al 'Adzim I/519].
Syaikh Muhammad bi Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan, "Perhatikanlah a-yat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata naki-rah yaitu "suatu perkara" dalam konteks syarat yaitu firman Allah "Jika kalian berselisih" yang menunjukkan keumuman…lalu perhatikanlah ba-gaimana Allah menjadikan hal ,ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir." [Risalatu Tahkimi Al Qawanin hal. 6-7].
Saya bertanya, "Apa yang dilakukan oleh para penetap undang-undang positif? Bukankah mere-ka mengembalikan seluruh perselisihan dan per-bedaan pendapat di antara mereka kepada selain kitabullah dan sunah Rasulullah?"
2. Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menye-satkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
[QS. An Nisa' :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhu-kum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim dalam A'lamul Muwaqi'in I/85 berkata, "Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa sia-pa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum ke-padanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka men-taatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah."
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini menga-takan dalam tafsirnya I/520, "Ini merupakan pe-ngingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisi-han ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Ya-hudi berkata, "Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad." Si shahabat Anshar berkata, " Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka'ab bin Al Asyraf." Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang mu-nafiq yang menampakkan keislaman mereka na-mun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur'an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini."
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi dalam Taisirul 'Azizil Hamid hal 554 mengatakan, "Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemu-dian berpaling kepada berhukum kepada selain Rasul shallallahu 'alaihi wa salam dalam persoa-lan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya."
3. Di antaranya juga adalah firman Allah;
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekat-nya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putu-san yang kamu berikan, dan mereka meneri-ma dengan sepenuhnya."
[QS. An Nisa': 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ib-rahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasu-lullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, de-ngan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521, "Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai ha-kim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
" Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehing-ga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pe-mutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasu-lullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, na-mun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan." [A'lamul Muwaqi'in I/86].
4. Firman Allah Ta'ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?"
[QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahi-liyah yaitu perundang-undangan dan system jahili-yah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan system Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur'an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perun-dang-undangan yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hu-kum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para pene-tap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan le-bih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi da-lam ucapan mereka, sementara para penetap und-ang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau men-cari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
"Mereka itulah orang-orang kafir yang sebe-narnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan." [Risalatu tahkimil- Qawanin hal. 11-12].
Dalam tafsirnya II/68, Ibnu Katsir menjelas-kan ayat ini:
"Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemu-dian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan isti-lah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Se-bagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bang-sa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu se-kumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sum-ber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsu-nya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahu-lukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak berhu-kum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau-pun sedikit."
Saya mengajak syaikh Al Albani --beliau menuduh kami menyelisihi para salaf terdahulu dan pengikut sesudah mereka dari kalangan ulama tafsir, hadits dan fiqih--, saya mengajak beliau untuk memperhatikan apa yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir tentang hukum Tartar dan bagaimana beliau mensifati Alyasiq yang men-jadi undang-undang mereka. Bila syaikh sudah melakukan hal ini, syaikh Albani akan bisa me-ngatakan kepada kami perbedaan apa yang beliau temukan antara kaum Tartar yang dika-firkan oleh Ibnu Katsir ini dan beliau nyatakan wajib dipe-rangi, dengan para penguasa kita hari ini? Bu-kankah para penguaa kita hari ini menetapkan undang-undang dengan mengambil dari berbagai perundang-undangan Barat yang kafir? Mereka mewajibkan rakyat untuk taat dan tunduk kepada undang-undang mereka, tanpa terkecuali kecuali apa yang mereka namakan hukum ahwal syakh-siyah (nikah, cerai, rujuk-pent), itupun tak lepas dari kejahatan mereka, mereka memasukkan di dalamnya hukum-hukum mereka yang bertenta-ngan dengan Al Qur'an dan As Sunah.
Kami katakan tidak ada perbedaan antara Tar-tar dengan para penguasa kita hari ini, justru pa-ra penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'alamah syaikh Ahmad Syakir atas per-kataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Sebelum melanjutkan penjelasan lebih lanjut, saya ingin mengingatkan di sini bahwa ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasul-Nya, para ulama meng-kafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau ma-yoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan me-naburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mah-mud…"
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, "Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka me-nampakkan keislaman dan tidak termasuk pembe-rontak. Mereka bukanlah orang-orang yang me-nyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum mus-limin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzali-man, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya."
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masya=rakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku." [Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu' Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst].
Maksud dari disebutkannya peringatan ini ada-lah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menam-pakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat sya-hadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk me-nyatakan kekafiran mereka dan wajibnya me-merangi mereka, disebabkan karena mereka ber-hukum dengan Alyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan un-dang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Alyasiq kontemporer, sebagai-mana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].
5. Saya kembali ke pembahasan dalil-dalil ka-firnya menetapkan undang-undang positif. Di antara dalil yang menyatakan hal ini adalah firman Allah :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءٌ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menatpkan undang-undang) untuk mere-ka agama yang tidak diizinkan Allah?"
[QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat diri-nya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berka-ta dalam tafsirnya IV/112 ketika menafsirkan ayat ini, "Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa penghara-man bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak."
6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :
اِتَّـــخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمــــَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمـــَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mere-ka dalam penghalalan yang haram dan penghara-man yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan, "Mereka tidaklah menyembah mere-ka, namun jika para pendeta menghalalkan sesua-tu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya." Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A'yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits."
Hadits ini dihasankan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa VII/67, semen-tara sebagian ulama lain melemahkannya. Apa-pun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid (hal. 79) mengatakan tentang ayat ini, "Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah me-ngangkat orang tersebut sebagai rabb, sesemba-han dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…"
7. Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُـــمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu menta-ati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik."
[QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musy-rikin berkata kepada kaum muslimin,"Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah me-nurunkan ayat ini. [lihat Tafsir Ibnu Katsir II /172].
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, "Karena kalian berpaling dari perin-tah Allah dan syari’atnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan un-dang-undang selain-Nya atas syari’at-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah," Me-reka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..."
Tidak diragukan lagi mengikuti undang-un-dang positif yang menihilkan syari’at Allah meru-pakan sikap berpaling dari syari’at dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsir Adhwaul Bayan IV/91 saat menafsirkan firman Allah:
وَلاَ يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهِ أَحَدًا
"Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan."
[QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata, "Dipahami dari ayat ini "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan" bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pem-buat undang-undang selain apa yang disyari’at-kan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemaha-man ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,:
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Dan janganlah kalian memakan hewan-he-wan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk ke-fasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-ka-wannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu terma-suk orang-orang musyrik."
[QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menye-lisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-pera-turan) yang menyelisihi syari’at Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat, "Bukankah Aku telah memerintahkan kepa-da kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesung-guhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61]."
8. Telah menjadi ijma' ulama bahwa mene-tapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang ter-sebut merupakan kafir akbar yang menge-luarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah XIII/128 setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Alyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
"Barang siapa meninggalkan syari’at yang te-lah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah man-sukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas sya-riat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperboleh-kan mengikuti selain dineul Islam atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Se-sungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}. [Majmu' Fatawa XXVIII/524].
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa XXVIII/267, "Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati keha-lalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepa-katan ulama."
Saya bertanya, "Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharam-kan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan menger-ti betul akan hal ini, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan III /400 dalam menafsirkan firman Allah, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia ber-sumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musy-rik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin."
Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujta-hidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasa-nya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membo-lehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari pengua-sa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin." [Al Islam wa Audha'una Al Qanuniyah hal. 60].
Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang telah disebutkan menjelas-kan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetap-kan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuh-kan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.
Senin, 31 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...