Abu Isra' Al Asyuthi
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, me-minta pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan perbuatan kami. Barang sia-pa diberi petunjuk oleh Allah, maka tak seorang pun mampu menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tak seorang pun mampu memberinya petunjuk. Saya bersaksi se-sungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad ٍShalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepa-da beliau dan para shahabat.
Amma ba’du…….
Sesungguhnya Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani adalah salah seorang ulama kontempo-rer. Tak seorangpun mengingkari keutamaan be-liau selain orang yang mendustakan atau arogan. Syaikh hafidzahullah telah mengabdikan dirinya untuk hadits Rasulullah dan bekerja keras untuk menyebarkan sunah, memberantas bid'ah serta menyebarkan ilmu salaf di tengah umat. Kami berdoa semoga Allah Ta’ala membalas semua jasa beliau dengan sebaik-baik balasan.
Namun Allah enggan untuk menjadikan seo-rang manusia selain para rasul-Nya sebagai seo-rang yang maksum. Syaikh adalah manusia juga, beliau kadang benar dan kadang salah. Orang yang mengikuti tulisan-tulisan dan kaset-kaset syaikh tentu akan menemukan ada juga kesala-han atau ketergelinciran di dalamnya.
Kami, Alhamdulillah, bukanlah orang-orang yang mencari-cari ketergelinciran orang, membe-sar-besarkannya dan banyak menyebut-nyebut-nya. Karena itu, bukan termasuk kebiasaan kami mencari ketergelinciran-ketergelinciran tersebut. Tetapi bila kami mendapati ketergelinciran dalam pelajaran atau pembahasan kami, kami berpaling dari kesalahan yang kami dapatkan dan kami beramal dengan yang benar. Barangkali kami mengingatkan kesalahan tersebut dalam sebagian majlis kami dengan bahasa yang baik dan metode yang santun, bukan meributkan dan menyebar luaskannya.
Dalam beberapa masa belakangan ini, saya mendengar sebuah kaset syaikh Hafidzahullah. Saya melihat menjadi kewajiban dari ilmu kami untuk segera mendiskusikan sebagian isi kaset beliau dengan diskusi yang tenang, di mana Allah mengetahui bahwa saya tidak mempunyai mak-sud selain menerangkan dan mencari kebenaran.
Kaset yang dimaksud berjudul "Min Manhajil Khawarij" (Manhaj Khawarij). Kaset ini telah direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri "Silsilatu Al Huda wa An Nuur" sebagaimana disebutkan dalam kata pengantarnya.
Dalam kaset ini, syaikh membahas peristiwa yang terjadi di Mesir dan Al Jazair dan menolak sikap keluar dari ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin hari ini, dan beliau memberi fatwa dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan hal ini.
Saudara pembaca yang budiman, tulisan yang ada di hadapan anda ini memuat dua persoalan, barangkali keduanya adalah persoalan terpenting yang disebutkan syaikh dalam kasetnya.
Persoalan pertama adalah masalah keluar (melawan) penguasa kafir. Syaikh berpendapat tidak boleh melawan penguasa hari ini sekalipun mereka jelas-jelas telah kafir.
Persoalan kedua adalah persoalan yang ber-kaitan dengan mengkafirkan penguasa yang me-netapkan undang-undang positif untuk rakyat tanpa berlandaskan kepada (hukum) Allah dan penguasa yang mewajibkan rakyat untuk berhu-kum kepada undang-undang positif. Syaikh ber-pendapat penguasa seperti ini tepat untuk dikenai apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, "Kufrun duna kufrin " (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam).
Dalam tulisan ini pembaca akan menemukan diskusi ilmiah terhadap dua persoalan ini dan penjelasan tentang pendapat yang benar dalam kedua masalah ini. Kemudian saya lampirkan juga beberapa halaman lain seputar tema-tema lain yang terpisah-pisah namun masih ada kaitannya dengan dua permasalahan di atas.
Sebenarnya hal yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini adalah bahwa saya mendapati perbincangan seputar permasalahan-permasala-han ini menjadi ciri umum dari pembicaraan dan majlis syaikh. Sekiranya persoalannya sekedar sekali majlis saja di mana syaikh mengutarakan pendapatnya, tentulah persoalannya remeh. Na-mun kami mendapati syaikh selama bertahun-tahun telah berbicara seputar dua permasalahan di atas dengan menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan beliau sebagai orang-orang bodoh dan tergesa-gesa, dengan memakai ungka-pan-ungkapan pedas dan kasar. Sebaliknya kami tidak mendapati ungkapan yang pedas dan kasar ini beliau tujukan kepada pihak yang lain, yaitu para penguasa sekuler yang merupakan faktor terbesar terjadinya bencana dalam diri umat ini dengan kejahatan mereka menjauhkan umat ini dari kitab Rabbnya dan sunah Nabinya Shallalahu 'alaihi Wa Salam, dan kejahatan mereka memak-sa umat ini untuk berjalan sesuai keinginan Barat yang kafir dan ridha dengan program-program Yahudi dan Nasrani.
Telah kami lihat di antara pengaruh dari metode syaikh ini, banyak pemuda-pemuda yang mengikuti syaikh dan metode beliau, melihat para penguasa sekuler yang merubah syari’at Allah sebagai ulil amri (penguasa) yang wajib kita dengar dan kita taati dan bahwa keluar dari ketaatan kepada mereka layaknya keluar dari penguasa-penguasa umat Islam masa awal dahulu. Sebaliknya, kami melihat mereka melihat saudara-saudara mereka yang memusuhi pengua-sa tadi layaknya Khawarij ahli bid'ah, tidak layak disikapi selain dengan celaan dan cercaan, bah-kan barangkali sebagian berpendapat lebih jauh lagi dengan meminta penguasa memusuhi mere-ka dan lain sebagainya.
Berangkat dari sini, saya memberanikan diri untuk menulis lembaran-lembaran ini meskipun harus melewati kesulitan yang berat, karena saya tak pernah sekalipun menginginkan mengambil sikap membantah atau menentang syaikh Nashi-rudin, namun kebenaran yang diajarkan oleh dien kami menyatakan kebenaran lebih kami cintai melebihi para ulama dan masayikh kami serta seluruh umat manusia.
Dalam kesempatan ini saya ingin menerang-kan bahwa ketika kami berbeda pendapat dengan syaikh dalam sebagian persoalan ilmiah, kami berlepas diri kepada Allah Ta'ala dari orang-orang yang memusuhi syaikh dan membenci beliau disebabkan beliau berpegang teguh dengan As Sunah dan membela aqidah yang benar. Kami memohon kepada Allah semoga perbedaan kami dengan beliau tetap berada dalam koridor ahlu sunah wal jama'ah, ahlul haq wal 'adl, mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan Rasulullah dan para shahabatnya. Semoga Allah tidak menjadikan dalam hati kami kebencian ke-pada orang-orang mukmin. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Dan sebagai penutup dari pem-bicaraan kami," Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam."
Abu Isra' Al Asyuthi
Sabtu Sore, 11 Sya'ban 1417 H/21 Desember 1996 M.
PASAL I
MASALAH KELUAR DARI PENGUASA KAFIR
Ini adalah masalah pertama yang ingin kami bicarakan. Dalam awal kaset yang tersebut di atas, syaikh ditanya tentang peristiwa yang terjadi di Aljazair dan pandangan syari’at dalam masalah tersebut. Beliau menjawab pertanyaan ini dengan pertama kali menyebutkan perkataan ulama," Maa buniya 'ala Fasidin fahuwa faasidun " (apa yang dibangun di atas landasan yang rusak maka hasilnya tetap rusak)." Beliau membuat contoh; sholat tanpa thaharah, maka ini bukan sholat (yang sah).
Kemudian beliau berkata, "Kami selalu dan se-lamanya menyebutkan bahwa keluar terhadap para penguasa walaupun mereka telah pasti ke-kufurannya, keluar dari mereka hukumnya sama sekali (mutlak) tidak disyari’atkan. Dikarenakan kalaupun keluar ini merupakan suatu keharusan, ia harus berlandaskan syari’at sebagaimana sholat yang kami sebutkan tadi ; harus berlandaskan thaharah, yaitu wudhu'. Kami berdalil dalam masalah seperti ini dengan firman Allah seperti :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
" Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah." [QS. Al Ahzab ;21].
Sesungguhnya periode yang dilalui kaum muslimin hari ini dengan berkuasanya para penguasa, taruhlah kekafiran mereka itu telah nyata sebagaimana kekafiran orang-orang musy-rik secara sempurna. Taruhlah kita menerima hal ini, kami katakan, "Sesungguhnya kondisi dimana kaum muslimin saat ini hidup dibawah kekuasaan para penguasa --taruhlah kita katakan "para penguasa kafir" meminjam istilah jama'ah takfir secara lafal, bukan secara maknanya, karena dalam masalah ini ada pembahasan rinci yang su-dah terkenal-- maka kami katakan, "Sesungguh-nya kehidupan kaum muslimin hari ini di bawah kekuasaan para penguasa tadi tidak jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Rasulullah dan para shahabat yang disebut oleh para ulama dengan periode Makkah. Beliau telah hidup di bawah kekuasaan para thaghut kafir musyrik yang te-rang-terangan menolak untuk menerima dakwah dan mengatakan kalimatul haq Laa Ilaaha Illa Allah, bahkan paman beliau sendiri Abu Thalib di akhir hayatnya mengatakan," Kalaulah tidak kare-na takut kaumku akan mencercaku, tentulah aku akan mengucapkannya sehingga engkau tenang."
Mereka telah jelas-jelas kafir dan menentang dakwah Rasul, namun beliau hidup di bawah kekuasaan dan pemerintahan mereka, beliau ti-dak berbicara kepada mereka kecuali mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya. Lalu datanglah periode Madinah, lalu turunlah hukum-hukum syar’i seca-ra terus menerus. Dimulailah perang antara umat Islam dengan kaum musyrikin sebagaimana dise-butkan dalam buku-buku sirah nabawiyah.
Adapun pada periode pertama, periode Makkah, sama sekali tidak ada keluar (dari pe-nguasa kafir) sebagaimana banyak dilakukan umat Islam hari ini di negara yang bukan negara Islam. Keluar seperti ini tidak berada diatas petunjuk Rasul yang kita diperintahkan untuk mengambil suri tauladan dari beliau, khususnya lagi dalam ayat di atas:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah." [QS. Al Ahzab ;21].
Selesai perkataan syaikh Nashirudin Al Albani tentang tidak disyari’atkannya keluar dari para penguasa sekalipun mereka telah jelas-jelas kafir.
Sebagai catatan atas pendapat beliau, dengan prihatin kami katakan,"Perkataan syaikh ini ber-tentangan dengan nash-nash syariah baik Al- Qur'an, Sunah Rasulullah maupun ijma' salaf umat ini. Penjelasannya sebagai berikut :
1. Perkataan beliau menyelisihi nash-nash syariah :
a. Karena Allah telah memerintahkan dalam banyak ayat dalam Al Qur'an untuk memerangi orang-orang kafir :
Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ
"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kesyirikan dan kekafiran) dan supaya dien semata-mata menjadi milik Allah..."
[QS. Al Anfal :39].
Dan firman-Nya :
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ
"Maka perangilah orang-orang musyrik di ma-napun kalian menemukan mereka." [QS. At Taubah :5].
Dan firman-Nya :
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَأَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
"Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafi-ran karena sesungguhnya mereka tidak ada perjanjian lagi (dengan kalian) supaya mereka mau berhenti."[Qs. At Taubah :12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya memerin-tahkan untuk memerangi orang-orang kafir, se-dangkan para penguasa adalah kafir, maka bagai-mana keluar dari mereka dan memerangi mereka hukumnya sama sekali tidak disyari’atkan seba-gaimana syaikh ungkapkan?
b. Lalu di mana posisi syaikh terhadap hadits-hadits yang menashkan untuk memerangi para penguasa jika mereka telah kafir :
• Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Sha-mit,"Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara baiat yang beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar dan ta'at baik dalam kea-daan sukarela maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas penguasa yang men-dahulukan kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah kalian merebut urusan (kepe-mimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika kalian melihat kufur yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari sisi Allah." [HR. Bukhari 7055,7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].
• Hadits Ummu Salamah secara marfu',"Akan ada para umara' yang kalian ketahui lalu ka-lian ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa me-ngingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah) orang yang ridha dan mengikuti." Mereka bertanya," Apakah tidak kami perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab,"Tidak, selama mereka masih sho-lat." [Muslim 1853, abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad VI/302,305,321].
• Hadits Auf bin Malik,"Ditanyakan,"Ya Rasu-lullah, bolehkah kami melawan mereka dengan pedang?" Beliau menjawab," Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian." [Muslim 1855. Ahmad VI/24, Darimi II/324].
Bukankah hadits-hadits ini merupakan nash-nash qah'i disyari’atkannya keluar dengan pedang dari para penguasa jika mereka kafir dan keluar dari hukum syar’i yang hanif? Bukankah kondisi yang disyari’atkan oleh Rasulullah kepada kita untuk keluar dari para penguasa adalah kondisi yang dikatakan oleh syaikh sebagai keluar dari para penguasa sama sekali tidak disyari’atkan?
Kemudian kami bertanya kepada syaikh," Bukankah kafirnya seorang penguasa merupa-kan sebuah kemungkaran?" Kami tak ragu lagi bahwa jawaban beliau pasti ya, sebuah kemung-karan. Bahkan merupakan kemungkaran terbesar. Kalau memang demikian, maka kami katakan Rasul kita telah memerintahkan kita untuk meng-hapus kemungkaran. Beliau bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran ; jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, kalau tidak sanggup hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, kalau masih tetap tidak sanggup maka hendaklah ia merubahnya dengan ha-tinya dan itulah iman yang paling lemah."
[Muslim 49, Abu Daud 1140,4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah 1275, 4013, Nasai VIII/111-112, Ahmad III/54 dari hadits Abu Sa'id al Khudriy].
Kalau demikian halnya, maka kami menuntut berdasar syari’at agar kemungkaran penguasa ini yaitu kekufurannya, dihilangkan. Jika kekafiran-nya tidak bisa ditahan kecuali dengan memerangi dan keluar darinya dengan pedang, maka hal itu-lah yang wajib dikerjakan. Imam Al Qarafi dalam Al Dzakhirah III/387 ketika membahas sebab-sebab jihad, mengatakan :
"Sebab pertama : dan ini dijadikan patokan dasar wajibnya jihad, yaitu untuk mengilangkan kemungkaran kekafiran. Karena kekafiran merupa-kan kemungkaran yang paling besar. Barang siapa mengetahui kemungkaran dan mampu untuk menghilangkannya, wajib baginya untuk menghilangkannya."
2. Perkataan syaikh bertentangan dengan ijma' ulama dari kalangan salafush sholih dan ulama sesudah mereka. Di bawah ini saya nukilkan sebagian perkataan mereka yang menunjukkan hal ini :
a. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, "Para ulama telah ijma' (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid'ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau kha-lifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak?." Ibnu Hajar berkata," Pernyataan beliau tentang adanya ijma' ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid'ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid'ah yang jelas-jelas membawa kepada keka-firan yang nyata."
b. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/132 juga menyatakan,"Kesimpulannya seorang khalifah di-pecat berdasar ijma' kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut."
c. Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan," Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya."
d. Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Sha-hih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh,"Jika terjadi kekafiran atau merubah syari’at atau bid'ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan men-jatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang ma-ka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi' (berbuat bid'ah) tidak wajib menjatuh-kannya kecuali jika mereka memperkirakan mam-pu melakukan hal itu…"
e. Imam Ibnu Katsir setelah menyebutkan Alyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata,"Undang-undang ini bagi anak keturunan-nya akhirnya menjadi sebuah perundang-unda-ngan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah dan Sunah Rasu-lullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masalah yang sedikit maupun banyak." [Tafsir Al Qur'anil 'Adzim II/68].
f. Imam Asy Syaukani setelah berbicara ten-tang orang yang berhukum kepada selain syari’at Allah, beliau berkata," Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah keharu-san sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti." [Ad Dawa-ul 'Ajil Fi Daf'il 'Aduwwi al Shoil hal. 25].
g. Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al Kafi (I/463) mengatakan,"Al Umari al 'abid --yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab] bertanya kepada imam Malik bin Anas,"Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?" Imam Malik menjawab, "Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit." Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,"Jawaban Imam Malik ini sekalipun ber-kenaan dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang musyrik dan mencakup amar makruf nahi mung-kar. Seakan-akan beliau berkata siapa mengeta-hui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak menimpakan kehi-naan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…".
Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama yang menyatakan adanya ijma' keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah kafir ini menjelaskan kesalahan pendapat syaikh Al Albani yang menyatakan tidak disyari’atkannya keluar dari penguasa yang kafir.
Sebagaimana orang yang memperhatikan soal yang diajukan kepada Imam Malik mendapati bahwa si penanya tidak menanyakan bolehnya memerangi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi bertanya tentang boleh-nya tidak terlibat dalam memerangi mereka. Jika kita telah mengetahui bahwa penanya adalah Abdullah bin Abdul Azizi Al Umari, seorang ulama yang zuhud, tsiqah, seorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana dise-butkan dalam Tahdzibu Tahdzib III/196-197. Saya katakan kalau kita telah mengetahui hal ini, kita akan memahami jawaban karena memang bentuk soalnya seperti ini. Al Umari al 'abid telah memahami betul bahwa memerangi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah di-syari’atkan bahkan wajib. Tapi ia menanyakan apakah ada rukhshah (keringanan) yang membo-lehkan tidak memerangi mereka? Ternya-ta jawaban Imam Malik jeli juga, beliau mengem-balikan masalah ini kepada banyak dan sedikitnya jumlah, artinya kepada kemampuan. Maksudnya, siapa mempunyai kemampuan maka ia harus me-merangi mereka, sedang yang tidak mempunyai kemampuan tidak mengapa jika ia tidak meme-rangi mereka.
Dalam penjelasan imam Ibnu Abdil Barr terhadap perkataan imam Malik, imam darul hijrah, juga terkandung sebuah kupasan yang sangat baik yaitu perkataan beliau,"…maka ia boleh meninggalkan…" Beliau tidak mengatakan ,"…Wajib baginya meninggalkan…" ini menunjuk-kan bahwa kemampuan bukanlah syarat sahnya perang, melainkan sekedar syarat wajibnya pe-rang. Siapa tidak mempunyai kemampuan maka tidak ada dosa atasnya jika ia memaksakan dirinya berjihad, bahkan sekalipun ia mengetahui ia tidak mampu meraih kemenangan atas musuh, selama hal itu masih mengandung maslahat syar’iyah seperti menanamkan ketakutan di hati musuh dan membangkitkan keberanian dalam diri kaum muslimin atau maslahat lain.
3. Adapun alasan yang diajukan oleh syaikh bahwa kondisi umat Islam saat ini di bawah para penguasa tadi adalah seperti kondisi Nabi pada fase Makkah, sedang Rasulullah tidak memerangi orang-orang kafir selama di Makkah ! Setiap orang tentu akan sangat heran, bagaimana seorang ulama yang giat dalam masalah ilmu dan tahqiq seperti syaikh bisa beralasan dengan alasan yang ganjil ini.
Tak diragukan lagi bahwa syaikh tentu menge-tahui bahwa dien ini telah sempurna, nikmat Allah telah sempurna dan bahwasanya hukum-hu-kum pada fase Makkah telah dihapus pada fase Madinah. Di antaranya ; jihad dilarang pada fase Makkah lalu diwajibkan pada fase Madinah. Kita diminta untuk melaksanakan urusan Rasulullah yang paling akhir. Ajaran yang ada pada saat Rasulullah wafat, itulah dien sampai hari kiamat nanti. Tak boleh bagi seorangpun untuk meniada-kan hukum yang telah jelas dari Rasululah de-ngan alasan kita berada dalam suatu kondisi yang mirip dengan fase Makkah.
Kalau alasan ini benar, tentulah amat benar pula orang yang mengatakan,"Kita tidak akan mengeluarkan zakat dan mengerjakan shaum karena kita berada dalam kondisi yang mirip dengan fase Makkah, karena zakat dan shaum baru diwajibkan saat fase Madinah.”
Yang lebih mengherankan lagi, syaikh Al-Albani telah mengatakan hal yang kami katakan ini, dalam sebuah kaset beliau yang berjudul "Hamas dan Ahlu Sunah di Khan Yunus", ka-set ini telah direkam dengan tanggal 8 Muharram 1414 H dengan nomor 747/1 dari serial Silsilatu Al huda wa Al nuur, sebagaimana disebutkan di awal kaset tersebut. Dalam kaset tersebut beliau syaikh ditanya tentang seseorang yang datang dari Khan Yunus," Saudara-saudara kami di sana mengatakan, "Kami meyakini apa yang dinama-kan dengan masyarakat Makkah ; sabar dan dakwah…" Tapi penanya berkata, "Khan Yunus, seluruh penduduknya beragama Islam. Kadang-kadang mereka terpaksa harus menghilangkan kemungkaran dengan tangan. Apakah boleh bagi kami merubah kemungkaran dengan tangan …?"
Syaikh menjawab, "Pertama. Dari pertanyaan anda tadi keluar sebuah kata yang saya kira tidak anda sengaja. Dengan kata lain, lisan anda men-dahului keinginan mereka. Saya tidak mengira mereka bermaksud dengan kandungan kata tadi. Anda katakan --seingat saya-- mereka mengang-gap diri mereka berada pada fase Makkah. Kami mendengar dari sebagian orang bahwa mereka mengganggap diri mereka dalam fase Makkah akibat kondisi dan intimidasi yang mereka terima. Ini sungguh suatu kesesatan yang nyata. Karena bila seorang muslim menganggap dirinya berada dalam fase Makkah, maknanya ia bebas dari hu-kum-hukum yang telah jelas-jelas wajib dikerja-kan atau ditinggalkan menurut para ulama kaum muslimin. Hal ini selamanya tak akan dikatakan oleh seorang muslim. Menurut persangkaan saya, hal yang membuat mereka mengatakan demikian apalagi meyakini maknanya adalah perasaan me-reka bahwa mereka tidak mampu untuk melaksa-nakan banyak atau sedikit dari hukum-hukum syar’i. Realita sesungguhnya yang menyebabkan mereka melakukan hal ini adalah ketidak menger-tian mereka terhadap Islam dan kaedah-kaedah ilmiah Islam yang memungkinkan seorang muslim untuk mensikapi kondisi kehidupan masanya tan-pa harus merasa berada dalam fase Makkah atau seperti dalam fase Makkah."
Lalu syaikh kembali menjawab pertanyaan ta-di, yang intinya bolehnya merubah kemungkaran dengan tangan tak memerlukan izin lagi setelah adanya sabda Rasulullah :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكـــَرًا فَلـْيُغَـيِّرْهُ بِيَدِهِ
"Siapa di antara kalian melihat suatu kemung-karan, maka jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya."
Namun wajib hukumnya mempehatikan timba-ngan mashalih dan mafasid (untung dan rugi), sehingga tidak boleh merubah kemungkaran de-ngan tangan dan lisan jika akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang dirubah.
Perkataan beliau ini sangat kuat, yang seperti ini adalah pendapat beliau yang lain yang ditulis oleh pengarang buku "Hayatul Al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanaul 'Ulama' 'Alaihi" (Kehi-dupan syaikh Al-Albani, pengaruhnya dan pujian ulama kepada beliau). Dalam buku tersebut I/396, sebagai jawaban syaikh atas sebuah perta-nyaan tentang bertahap dalam menyampaikan syariah, beliau syaikh menjawab," Islam telah sampai kepada kita secara sempurna dan paripurna, maka tidak boleh menerapkan seba-giannya dengan meninggalkan sebagian lainnya atau memilih-milih yang sesuai dengan kondisi dan melalaikan yang tidak sesuai dengan kondisi jika masih mungkin untuk diterapkan. Sesung-guhnya Islam yang hari ini ada di hadapan kita berbeda dengan Islam sebelum turunnya firman Allah;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لـــَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لـــَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينـــًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan dien kalian untuk kalian, dan Aku sempurnakan untuk kalian nikmat-Ku dan Aku telah ridha Islam sebagai dien kalian." [QS. Al Maidah :3].
Islam yang hari ini ada di hadapan kita telah sempurna tak ada kekurangan di dalamya baik secara perealisasian maupun hukumnya. Setiap ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal dan tidak mustahil untuk direalisasikan, akan tetapi sesuai dan sebagai perelaisasian dari kaedah yang diringkas oleh ayat :
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertaqwalah kepada Allah sesuai ke-mampuan kalian."
Jadi, hukum dasarnya adalah beramal dan merealisasikan syariah secara sempurna sesuai kemampuan. Itulah yang ditegaskan oleh hadits Rasulullah :
مَا أَمَرْتُكُمْ مِنْ شَيْئٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ
"Apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah."
Maksud dari penjelasan syaikh Albani --dan kami Alhamdulillah, tidak mengatakan kecuali seperti apa yang beliau katakan -- bahwasanya Islam telah sempurna, nikmat telah sempurna. Di antara yang secara yakin kita ketahui bahwa syari’at telah sampai pada perintah terakhir wajibnya jihad, dan di antara jihad adalah keluar dari para penguasa jika telah nampak dari diri mereka kekafiran yang jelas terang-terang ada dalilnya dari sisi Allah. Wallahu A'lam.
4. Bahkan kami tambahkan dari uraian di atas bahwa taruhlah masih ada syubhat atas telah kafirnya para penguasa yang menetapkan perundang-undangan positif untuk manusia tanpa izin dari Allah, maka syubhat ini tetap tak bisa menjadi penghalang dari memerangi mereka.
Hal ini dikarenakan mereka menentang penega-kan hukum-hukum Allah. Telah terjadi ijma' ula-ma’ bahwa setiap kelompok yang mempunyai ke-kuatan, yang menentang dari sebuah syariah saja dari syariah-syariah yang dhahir dan mutawatir, maka wajib hukumnya memerangi kelompok ter-sebut meskipun mereka tetap mengakui syariah tersebut dan tidak mengingkarinya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam banyak tem-pat dalam Majmu' Fatawa beliau.
Di antaranya adalah perkataan beliau ketika ditanya tentang memerangi bangsa Tartar," Se-tiap kelompok yang menolak untuk komitmen dengan sebuah syariah dari syariah Islam yang dhahir mutawatir seperti kaum tersebut (Tartar) dan selainnya, maka wajib hukumnya memerangi mereka sampai mereka kembali komitmen de-ngan syari’at-syari’at Islam, sekalipun mereka ma-sih mengucapkan syahadat dan komitmen dengan sebagian syari’at Islam.
Sebagaimana Abu Bakar dan para shahabat memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama setelah mereka setelah terjadinya dialog antara Abu Bakar dengan Umar. Maka para shahabat telah bersepakat untuk berperang demi menjaga hak-hak Islam, sebagai pengamalan Al Qur'an dan As Sunah. Demikian juga telah tetap dari Rasulullah sepuluh sanad: hadits tentang Khawarij. Beliau memberitahukan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruk makhluk, sekalipun beliau menyebutkan," Sholat kalian akan remeh bila dibandingkan sholat mereka, dan shaum kalian akan remeh bila diban-dingkan shaum mereka."
Dengan ini diketahui bahwa sekedar berpe-gang teguh dengan Islam tanpa disertai komit-men kepada syari’at-syari’atnya tidak menggu-gurkan dari sikap memerangi mereka. Perang wajib ditegakkan sampai seluruh dien menjadi hak Allah, dan sampai fitnah tidak ada lagi. Kapan saja dien itu untuk selain Allah maka perang hukumnya wajib. Maka kelompok mana saja me-nolak mengerjakan sebagian shalat yang wajib, atau shaum atau haji atau untuk komitmen de-ngan pengharaman darah, harta, khamar dan judi atau menikahi perempuan mahramnya atau me-nolak untuk komitmen dengan jihad melawan orang-orang kafir atau mengambil jizayah dari ahlu kitab dan kewajiban serta larangan dien lainnya --di mana tak ada udzur pada seorangpun untuk mengingkarinya dan meninggalkannya, bahkan orang yang mengingkarinya telah kafir-- maka kelompok yang menolak ini diperangi seka-lipun masih mengakui syari’at ini. Ini adalah se-suatu perkara yang aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama." [Majmu' Fatawa XXVIII/502-503].
Beliau juga menyatakan," Dien adalah keta-atan. Bila sebagian dien untuk Allah dan sebagian lainnya untuk selain Allah, maka wajiblah perang sampai seluruh dien menjadi hak Allah." [Majmu' Fatawa XXVIII/544].
Apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam ini juga menjadi pendapat para ulama selain beliau :
(a). Imam Nawawi telah menyebutkan dalam syarh atas hadits Abu Hurairah tentang diskusi Abu Bakar dengan Umar, beliau berkata," Dalam hadits ini disebutkan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat atau me-ngerjakan sholat atau kewajiban-kewajiban Islam lainnya baik sedikit ataupun banyak, berdasar perkataan beliau Radhiyallahu 'anhu, "Kalau me-reka tidak membayarkan kepadaku tali ikat unta …" [Syarhu Shahih Muslim II/212].
(b) Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Al Araby dalam Ahkamul Qur'an II/596 ketika berbicara tentang ayat perang dalam suat Al Maidah, beliau menga-takan," Jika ditanyakan bagaimana ayat ini juga mengenai kaum muslimin padahal Allah telah menyatakan ;"Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya", padahal itu adalah sifat orang kafir?" Kami kata-kan memerangi itu bisa berwujud I'tiqad (keya-kinan) yang rusak, kadang juga berwujud mak-siat. Allah akan membalas sesuai jenisnya, seba-gaimana firman Allah ," Maka jika mereka tidak mau bertaubat maka umumkanlah bahwa Allah dan rasul-Nya memerangi mereka." Jika dikata-kan ayat ini tentang orang yang menghalalka riba,. kami jawab," Ya, memang, dan bagi setiap orang yang melakukannya, Sesunguhnya umat ini telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan maksiat maka ia diperangi sebagaimana kalau penduduk sebuah negeri bersepakat untuk mela-kukan riba atau meninggalkan sholat Jum'at dan jama'ah."
(c) Ibnu Qudamah dalam Al Kafi I/127 menga-takan," Adzan itu disyari’atkan untuk sholat lima waktu, bukan untuk sholat lainnya. Ia termasuk fardhu kifayah, karena termasuk bagian dari syiar-syiar Islam yang nampak seperti jihad. Jika penduduk suatu negeri sepakat untuk meninggal-kannya maka mereka diperangi."
(d) Ibnu Khuwaiz Mandad berkata," Jika pen-duduk suatu negeri berkecimpung dengan riba sebagai bentuk penghalalan, maka mereka men-jadi murtad dan hukum atas mereka seperti hu-kum orang yang murtad. Jika mereka tidak meng-halalkan riba, imam boleh memerangi mereka. Bukankah Allah telah mengizinkan hal itu, seba-gaimana firman-Nya," Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya." [Al Jami' li Ahkamil Qur'an lil Qurthubi III/364].
(e) Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jamiul Ulum wal Hikam hal. 73 berkata," Jika telah masuk Islam, lalu melaksanakan sholat dan zakat serta menjalankan syari’at-syari’at Islam, maka ia mem-punyai hak yang sama dengan hak seorang muslim lainnya dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban muslim lainnya. Jika me-ninggalkan salah satu dari rukun-rukun, jika mere-ka sebuah kelompok maka mereka dipe-rangi…"
Saya katakan," Jika kelompok yang mempu-nyai kekuatan diperangi hanya karena ia menolak satu saja dari syari’at Islam, maka para penguasa hari ini mereka telah menolak kebanyakan sya-ri’at Islam. Kalau tidak, hendaklah syaikh menga-takan kepada kami apakah para penguasa kita hari ini melaksanakan dengan konskuen jihad me-lawan orang-orang kafir? Apakah mereka melaksa-nakan dengan konskuen jizyah dari orang-orang ahlul kitab? Apakah mereka kon-skuen dengan pengharaman zina? Apakah mereka konskuen dengan hukum-hukum qishash, hudud dan diyat? Apakah, apakah, apakah…?
Orang yang meneliti kondisi para penguasa pada saat sekarang ini mendapati mereka telah menolak sebagian besar syari’at Islam. Sikap me-reka yang paling baik sekedar mengatakan kami mengakui syari’at-syari’at ini dan tidak mengigka-rinya. Namun pengakuan mereka ini tidak meng-halangi untuk memerangi mereka sebagaimana telah diterangkan oleh syaikhul Islam. Maka bagaimana jika para penguasa tadi sejak awal tidak mengakui kebanyakan syari’at Islam yang dhahir dan mutawatir? Sebagai contoh, kita me-ngetahui secara yakin para penguasa tidak me-ngakui hukum-hukum tentang ahlu dzimah yang disebutkan oleh kitabullah dan sunah Rasululah dan mereka mengatakan tidak ada perbedaan antara seorang muslim dan nasrani, semuanya di hadapan hukum negara sama. Mereka mengata-kan jizyah itu telah kadaluwarsa, faham kewarga negaraan telah menggusur pemahaman tentang ahlu dzimah, sebagaimana sebagian penguasa hari ini mensifati hukum hudud dengan tuduhan tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan kema-juan zaman. Dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Oleh Karena itu kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyari’at-kannya keluar dari para penguasa pendosa ter-sebut, yang tidak saja membuang syari’at Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum dengan hukum-hukum berhala. Tetapi mereka juga me-merangi para da'i dengan membunuh, menyiksa, menyeret mereka ke tempat-tempat penjagalan keji yang mereka namakan pengadilan militer. Mereka tidak mempunyai tujuan selain membera-ngus para da'iI yang akan menegakkan syari’at Allah dan berhukum dengan kitabullah di muka bumi ini.
Kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyari’atkannya memerangi pa-ra penguasa tersebut dengan catatan menjaga rambu-rambu syari’at seperti menimbang masla-hat dan mafsadat serta konskuen dengan hukum-hukum syari’at dalam masalah jihad. Wallahu A'lam.
PASAL II
PERSOALAN KUFUR TASYRI'
Syaikh dalam kaset yang disebutkan di atas telah ditanya mengenai pendapat Ibnu Abbas da-lam menafsirkan firman Allah :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."
[QS. Al Maidah :44].
Si penanya, semoga Allah memberinya petun-juk, mengatakan, "Mereka mentakwil (yang dia maksudkan adalah mujahidin yang ia sebut seba-gai Khawarij Gaya Baru) tafsir dari pendapat Ibnu Abbas dalam firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir ",
Secara sopan bahwasanya Ibnu Abbas tidak memaksudkan dengan pendapatnya ini orang-orang yang (demikian dalam kaset) menandingi hukum-hukum Allah dan syari’atnya dengan mem-buat hukum-hukum sendiri, menetapkan perun-dang-undangan yang menandingi syari’at Allah. Akan tetapi maksud dari Ibnu Abbas adalah penguasa yang mengganti system pemerintahan seperti dari syura dan khilafah menjadi kerajaan dan seterusnya…"
Syaikh menjawab, "Takwil yang lucu ini sama sekali tidak memberi mereka faedah, karena tak-wil mereka ini tak lebih dari sekedar takwil-takwil mereka yang lainnya. Kami katakan kepada mere-ka," Apa dalil kalian dalam menakwilkan dengan takwilan ini? Mereka pasti tak bisa menjawab. Ini masalah pertama.
Kedua. Ayat yang ditafsiri oleh Abdullah Ibnu Abbas dengan pendapatnya yang terkenal ini "Dan barang siapa tidak memutuskan perkara de-ngan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir," dengan apa para ulama tafsir menafsirkannya, perdebatan ini akan kembali ke masalah pertama. Para ulama tafsir telah bersepakat bahwa kufur itu ada dua ; kufur I'tiqad (keya-kinan) dan kufur amal.
Tentang ayat ini mereka mengatakan barang siapa tidak mengamalkan hukum yang diturunkan Allah maka ia berada dalam salah satu dari dua kondisi ; boleh jadi ia tidak mengamalkan hukum Allah karena mengkafirinya, maka ia termasuk penduduk neraka yang kekal di dalamnya. Atau boleh jadi ia mengikuti hawa nafsunya, bukan ka-rena keyakinannya (kufur dengan hukum Allah), namun sekedar mempraktekan hukum manusia seperti orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Islam, maka dalam hal ini tidak termasuk kufur I'tiqadi.
Sebagaimana juga orang-orang muslim yang di dalamnya ada orang yang berinteraksi dengan riba, orang yang berzina, penjudi dan seterusnya. Mereka itu tidak bisa dikatakan kafir dalam artian murtad, jika mereka masih mengimani penghara-man hal-hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, para ulama tafsir dalam ayat ini telah menjelas-kan dengan penjelasan yang berlawanan dengan takwil mereka (mujahidin yang disebut khawarij gaya baru). Mereka mengatakan hukum Allah, jika tidak dipraktekkan dengan dasar aqidahnya, maka ia telah kafir dan jika tidak dipraktekkan, namun ia masih mengimaninya hanya saja mere-mehkan pelaksanaanya maka ini kufur 'amali.
Dengan demikian, mereka ini menyelisihi kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi para pengikut mereka dari kalangan ulama tafsir, fiqih dan hadits. Dengan demikian, mereka telah me-nyelisihi firqah najiyah."
Selesai pembicaraan syaikh Albani dengan teks lengkap. Dalam penjelasannya ini, syaikh te-lah menghukumi --sebagaimana anda lihat-- o-rang yang tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini dengan vonis mereka menyelisihi firqah najiyah, artinya menyelisihi ahlu sunah wal jama'ah.
Saya katakan sesungguhnya kebenaran yang kami yakini, bahwasanya pendapat Ibnu Abbas dalam persoalan ini tidak mungkin dimaksudkan terhadap para penguasa hari ini yang menying-kirkan syari’at Islam untuk menjadi hukum yang berlaku atas hamba-hamba Allah dan mereka menggantinya dengan hukum-hukum buatan ma-nusia, mereka mewajibkan rakyat untuk tunduk dan berhukum dengannya. Sesungguhnya mak-sud dari perkataan beliau "kufrun duna kufrin" adalah seorang qadhi dan amir yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk mene-tapkan hukum di antara manusia dalam satu atau lebih kasus dengan selain hukum Allah, namun dalam hatinya ia masih mengakui bahwa dengan hal itu ia telah berbuat maksiat.
Ketika kami mengatakan hal ini, kami sama sekali tidak mendatangkan pendapat yang baru. Kami meyakini bahwa pendapat ini adalah panda-pat yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i yang lurus dan merupakan pendapat para ulama salaf dan ulama sesudah mereka. Hanya saja sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan syaikh Albani yang kata beliau kita tak akan bisa menja-wabnya, yaitu,"Apa dalil kalian dalam mentakwil seperti ini?" Saya katakan sebelum menjawab pertanyaan beliau ini, saya melihat sebaiknya saya beri tiga pengantar :
Pengantar Pertama :
Dalam pembicaraannya, Syaikh telah berpedo-man dengan riwayat Ibnu Abbas dalam menafsir-kan firman Allah :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." [QS. Al Maidah :44].
Ibnu Abbas mengatakan, "Kufrun duna kufrin' atau," Bukan kufur yang kalian maksudkan."
Saya katakan ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum de-ngan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Kare-na itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada pen-jelasan rinci yang sudah terkenal.
1. Imam Waki' meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41," menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi' al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma'mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata," Ibnu Abbas telah ditanya menge-nai firman Allah," "Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Beliau menjawab, "Cukuplah hal itu menjadikannya kafir."
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki', yaitu Hasan bin Abi Rabi' al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja'd al 'Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya, "Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq." Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibu Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya, "Sha-duq."
Dengan sanad imam Waki' pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun de-ngan lafal, "Dengan hal itu ia telah kafir." Ibnu Thawus berkata, "Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya." Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa me-rincinya, sementara tambahan "Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya " bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.
2. Memang benar, ada tambahan yang dinis-bahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Tha-bari (12053) menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki' ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma'mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,"
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan per-kara dengan hukum Allah maka mereka itu-lah orang-orang yang kafir."
Ibnu Abbas berkata," Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, ki-tab-kitab dan rasul-rasul-Nya."
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki'. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya ke-cuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu waki' adalh Sufyan bin waki' bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312," Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil ha-dits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dima-suki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.'
Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan ke-pada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinis-bahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukan-lah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, ter-lebih Waki' dalam Akhbarul Qudhat telah meriwa-yatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demi-kian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A'lam.
3. Al Hakim [II/313] telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata," Ibnu Abbas berkata, "Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksud-kan. Ia bukanlah kekufuran yang me-ngeluarkan dari millah.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Maksudnya adalah Kufur duna kufrin."
Al Hakim mengatakan, "Ini adalah hadits yang sanadnya shahih." Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan da-lam tafsir Ibn Katsir [II/62] dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah," "Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir."
Beliau berkata, "Bukan kekufuran yang mere-ka maksudkan."
Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ah-mad bin Hanbal dan Yahya bin Ma'in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu 'Ady menyebut-kannya dalam Al Kamil fi Dhu'afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al 'Uqaily dalam Al Dhu'afa al Kabir [IV/238].
Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al 'Ijli dan Ibnu Sa'ad. Imam Bukhari dan muslim meri-wayatkan darinya secara mutaba'ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan per-kataannya, "Saya akan mendatangi 90 istriku pa-da malam hari ini…" Beliau telah meriwayatkan-nya dengan nomor (5224) dengan mutaba'ah Ib-nu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara muta-ba'ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tem-pat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas," Mu'awiyah berkata kepadaku, "Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…" Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba'ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata, "Haditsnya ditulis." [Tahdzibu Thadzib VI/25]. Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba'ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba'ah sehingga ditolak?
Saya katakan, hadits ini di antara hadits-ha-dits yang setahu kami tidak ada mutaba'ahya. Da-lam diri saya ada keraguan tentang keshahihan-nya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahih-kan hadits, semoga Allah merahmati beliau.
4. Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia ber-kata, "jika ia juhud (ingkar) terha-dap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa menga-kuinya na-mun tidak berhukum dengan-nya maka ia adalah dholim dan fasiq."
Sanad ini munqathi' (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun seba-gian besar ulama melemahkannya.
Saya katakan, dengan demikian apa yang di-nisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hu-kum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan "dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya", meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, pendapat yang diriwayat-kan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan, dite-rima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seo-rang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.
Pengantar kedua:
Atsar Ibnu Abbas bukanlah satu-satunya pen-dapat dalam masalah ini
Syaikh Al Albani telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pen-dapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.
• Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya'qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang uang suap, maka beliau menja-wab,"Harta haram." Keduanya bertanya," Ba-gaimana jika oleh penguasa?" Beliau menja-wab, "Itulah kekafiran." Kemudian beliau membaca ayat ini:
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas-'ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.[Tahdzibu Tahdzib VI/240, VI/41-42,III/497-498,II/380].
• Abu Ya'la dalam musnadnya (5266) meriwa-yatkan dari Masruq, "Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas'ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya, "Apakah harta haram itu?" Be-liau menjawab,"Uang suap." Laki-laki tersebut bertanya lagi, "Bagaimana kalau dalam masa-lah hukum." Beliau menjawab,"Itu adalah ke-kufuran." kemudian beliau membaca ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."
• Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki' dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al 'Aliyah II/250, beliau menisbah-kannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A'dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al 'Aliyah, "Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya'la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…"
Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsa-mi dalam Majmauz Zawaid IV/199. Beliau berka-ta," Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, sementara guru Abu Ya'la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui." Syaikh Habibur Rahman Al A'dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al 'Aliyah II/250 berkata sebagai jawaban atas per-nyataan imam Al Haitsami, "Jika ia tidak menge-tahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbaha-ya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba'ah dari Syu'bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Bai-haqi, sementara Muhammad bin Utsman mempu-nyai mutaba'ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…"
Saya katakan, "Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya'la dari perkataan Abu Ya'la," Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar," kalau tidak maka syaikh Al A'dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bah-wa riwayat yang bersambung adalah telah men-ceritakan kepadaku Muhammad telah menceri-takan kepadaku Utsman bin Umar." Muhaqiq Musnad Abu Ya'la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata, "Utsman bin Umar adalah Al Abdi." [lihat Musnad Abu Ya'la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad IX/173-174]. Saya katakan, "Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah." [Tahdzibu Tahdzib IV/92-93].
Ath Thabrani dalam Al Mu'jamu Al Kabir [IX/229 no. 9100] meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas'ud ia berkata, "Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia." Al Haitsami dalam Majma' [IV/199] berkata, "Para perawinya perawi kitab ash shahih."
Waki' dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayat-kannya dengan lafal, "Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang ha-ram di antara kalian."
Saya katakan, "Atsar dari Ibnu Mas'ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang per-tama sekedar uang haram, sementara yang ke-dua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :
Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan seca-ra mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur'an II/433 berkata, "Ibnu Mas'ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran."
Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madariju As Salikin I/336-337, di mana beliau mengatakan, "Ibnu Abbas berkata," Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepa-da Allah dan hari akhir." Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhu-kum dengan hukum Allah karena juhud (menging-kari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupa-kan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan mak-na meninggalkan berhukum dengan seluruh kan-dungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertenta-ngan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluar-kan dari milah."
Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan patokan oleh pendapat syaikh Al Albani bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpenda-pat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu menga-takan hal itu. Wallahu A'lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sen-diri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata "kafir" tersebut mengan-dung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum de-ngan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui per-buatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.
Namun kami tetap mengatakan atsar ini ada-lah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syari’at Islam menjadi satu-satunya syari’at yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas. Ini akan kita bicarakan sebentar lagi secara rinci, dengan izin Allah.
Pengantar Ketiga :
Yang kami katakan bukanlah ta'wil
Kami katakan, "Ketika kami membedakan an-tara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang se-lain Allah, dan kami membawa pendapat Ibnu Abbas untuk makna al qadha' (memutuskan per-kara), bukan untuk masalah tasyri' (menetapkan undang-undang), pendapat yang kami pegangi ini bukanlah takwil sebagaimana dituduhkan oleh syaikh --semoga Allah mengampuni kita dan beliau-- namun justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memu-tuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha', sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus IV/98. Secara istilah Al Qur'an, terkadang bermakna al qadha' sebagaimana firman Allah:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ الهُل
"Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah."
[QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحــُكَّامِ
"Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim."
[QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur'an bermakna qadar (taqdir), itulah yang disebut para ulama dengan istilah hukum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّى يَأْذَنَ لِيْ أَبِيْ أَوْ يَحْكـــــُمَ اللهُ لِيْ وَهُوَ خَيْرَ الْحـــَاكِمِيْنَ
"Sebab itu aku tidak akan meninggalkan nege-ri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepa-daku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya.."
[QS. Yusuf :80].
Terkadang bermakna tasyri', itulah yang dise-but oleh para ulama dengan istilah hukum syar’i, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
إِنَّ الهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
"Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki."
[QS. Al Maidah:1].
[Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul 'Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah II/658].
Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan fir-man Allah:
"Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." [QS. Al Maidah: 44].
Ketika kami mengatakan bahwa "al hukmu" yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas adalah al qadha' dan bukan makna tasyri', maka kami sama sekali tidak menakwil. Karena takwil yang dimak-sud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah kami memalingkan lafal ini dari dhahirnya? Ataukah kami kembalikan kepa-da makna asalnya yaitu al qadha?
Bahkan saya mendapati perkataan Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa mak-na al hukmu kepada makna al qadha' secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat ath Thabrani dalam Al Mu'jamu Al Kabir X/226 no. 10621, dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata, "Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menja-wab, "Anda mencela saya padahal saya mempu-nyai tiga sifat ; Saya membaca satu ayat Al- Qur'an lalu saya ingin agar manusia bisa mema-hami maknanya sebagaimana saya memahami-nya, saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut."
Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IX/284 berkata, "Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih." Saya katakan, "Bukti (kebenaran yang saya sampaikan ini) adalah perkataan beliau "seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslin-min" serta perkataan beliau "padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasala-hanku kepadanya". Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha' secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai bebera-pa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil. Walla-hu A'lam.
Minggu, 30 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...