RAMBU KEDUA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN TOKOH
Pemandangan sehari-hari yang kita saksikan sekarang ini adalah ketergantungan umat Islam dalam masalah jihad kepada orang atau tokoh tertentu.
Barangkali mereka tidak menga-takannya secara langsung, mungkin hanya terlihat dari sikapnya. Sebagai bukti, tak sedikit kaum muslimin akan mengatakan kepada Anda: “Agama Islam ini adalah agama Alloh, jika orang yang berkhidmad kepada agama-Nya meninggal Alloh akan ciptakan makhluk lain yang menjadi pelayan agama Islam yang akan membelanya.”
Sayangnya, ketika tiba giliran untuk merealisasikan kata-katanya ini dalam praktek nyata, kita tidak akan jumpai langkah kongkret dan berarti dari manhaj ini dalam kehidupan.
Siapa yang mau memperhatikan kondisi umat Islam hari ini dari sisi temperamen dan gaya berbicara pemeluknya, akan menjumpai sebuah kenyataan yang tidak bisa dianggap sebelah mata; ada orang-orang yang menggantungkan setiap hal kepada tokoh tertentu, bukan hanya dalam masalah jihad, bahkan dalam masalah dakwah, usaha memperbaiki masya-rakat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya.
Yang menjadi fokus kami dalam pembahasan ini adalah menegaskan bahwa jihad tidak bergantung dengan pimpinan atau tokoh-tokoh tertentu. Menggantungkan jihad dengan tokoh, baik itu komandan (qiyadah) ataupun mujahidin merupakan bahaya besar yang mengancam kekokohan akidah tentang syiar jihad dalam hati kaum muslimin di sepanjang zaman. Ini akan melemahkan keyakinan diri bahwa jihad akan tetap berlangsung dan relevan di setiap zaman. Bahkan, ini akan menjadi penghalang utama secara psikologis dan manhaj ketika seseorang hendak menapaki jalan jihad serta ingin mengkonsentrasikan diri terhadap syiar agama yang agung ini.
Alloh Ta‘ala telah mendidik shahabat Muhammad SAW untuk hanya bergantung kepada-Nya jua dan kepada agama-Nya. Alloh menerang-kan kepada mereka bahwa menggan-tungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar, akan berdampak kepada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut sehingga bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya seorang tokoh.
Alloh Ta‘ala melarang para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu, belum pernah Alloh melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka, Alloh melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Alloh ciptakan, dialah Muhammad bin Abdulloh SAW. Alloh melarang mereka bergantung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, Alloh berfirman:
{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِينْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ}
“Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia mening-gal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan mem-beri balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Ayat ini turun untuk mendidik shahabat –Ridhwanulloh ‘Alaihim—, melarang mereka untuk menggunakan methode (manhaj) yang rusak, yang bisa merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu.
Menggantungkan amal di sini bukan selalunya mempersekutukan Alloh dengan tokoh tersebut, bukan, karena ini bisa menjadi syirik kecil, bahkan bisa juga menjadi syirik besar; maksud kami menggantungkan amal dengan tokoh adalah ketika seorang muslim beranggapan bahwa ibadah yang ia lakukan, khususnya jihad, tidak akan menuai sukses, tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan mendapatkan hasil apapun kalau bukan karena Alloh menjadikan tokoh ini atau tokoh itu berada di barisan depan para pejuang yang lain. Inilah gambaran minimal yang Alloh larang untuk menjadikannya sebagai manhaj. Alloh telah melarang shahabat Rosululloh SAW memakai manhaj ini.
Perkataan para mufassirun (ahli tafsir) berikut ini akan semakin memperjelas apa yang kami maksud, akan menerangkan betapa bahayanya manhaj tersebut yang pasti akan berujung kepada ditinggalkannya agama, atau paling tidak usaha memperjuangkannya menjadi lemah.
Baiklah, Ibnu Katsir berkata menafsirkan ayat yang kami sebutkan di atas (Tafsir Ibnu Katsir: I/ 410), “Ketika perang Uhud, di kala sebagian kaum muslimin mundur dan sebagian lagi terbunuh, syetan berteriak: “Muhammad terbunuh!” Ketika itu seorang bernama Ibnu Qomi‘ah kembali ke barisan kaum musyrikin seraya mengatakan, “Aku berhasil membunuh Muhammad,” Padahal sebenarnya Rosululloh SAW hanya terkena pukulan pada bagian kepala sehingga beliau terluka. Hal ini mengguncangkan hati kebanyakan kaum muslimin kala itu dan mereka menganggap Rosululloh SAW sudah terbunuh. Mereka terlalu berlebihan membayangkan Nabi SAW, seperti kisah kebanyakan nabi yang diceritakan Alloh. Akhirnya, terjadilah kelemahan semangat, perasaan takut mati dan malas berperang. Saat itulah turun firman Alloh: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul...” maksudnya, Beliau pun sama dengan para rosul yang lain dalam mengemban risalah dan beliau juga bisa dibunuh. Ibnu Abi Najih menuturkan dari ayahnya bahwasanya ada seorang lelaki dari Muhajirin yang melewati seorang lelaki Anshor yang sedang berlumuran darah, ia berkata: “Hai fulan, tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.” Orang Anshor itu menjawab, “Jika Muhammad terbu-nuh, ia telah menyampaikan risalah, maka berperanglah membela agama beliau yang sekarang kalian yakini.” Maka turunlah ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” (Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitab Dala'ilun Nubuwwah). Kemudian Alloh berfir-man mengingkari kelemahan yang terjadi ketika itu: “Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang?” artinya, kalian mundur ke belakang, “...siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” mereka adalah orang-orang yang berbuat taat kepada Alloh, berperang membela agama-Nya, mereka mengikuti rosul-rosul-Nya, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian juga terdapat riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan keshahihannya di dalam Kitab-kitab hadits shohih, musnad dan Sunan serta buku Islam lain dari banyak jalur yang menunjukkan hal ini secara absolut, saya telah menyebutkan sebelumnya dalam dua Musnad Abu Bakar dan Umar –radhiyallohu ‘anhuma—, di sana disebutkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq ra membaca ayat di atas ketika Rosululloh SAW wafat. Bukhori berkata bahwa Aisyah ra mencerita-kan, “Abu Bakar ra datang menaiki kuda dari kediamannya di daerah Sanh, kemudian ia turun dari kudanya dan masuk ke masjid, ia tidak mengatakan apapun kepada manusia sampai masuk ke rumahku (Aisyah), ia mengusap Rosululloh SAW dalam keadaan jasad beliau tertutup kain yang berhias tinta, kemudian ia membuka wajah beliau, kemudian ia peluk dan kecup wajah beliau seraya menangis kemudian berkata: “Demi ayah dan ibuku; Demi Alloh, Alloh tidak akan mengumpulkan dua kematian pada dirimu, adapun kematian yang telah ditetapkan untuk-mu, engkau telah menjemputnya.”
Az-Zuhri berkata, Abu Salamah bercerita kepadaku dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Abu Bakar keluar, saat itu Umar berkhutbah di hadapan manusia, Abu Bakar berkata, “Duduklah wahai Umar.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Amma ba‘du, barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal dunia, dan siapa yang beribadah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak pernah mati. Alloh berfirman: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul. Apakah ketika ia meninggal, kalian berbalik ke belakang? siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Alloh sedikitpun, dan Alloh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Demi Alloh, saat itu orang-orang merasa ayat ini seolah baru diturunkan, yaitu ketika Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang membaca ayat tersebut, tidak ada satu orangpun tidak kude-ngar membacanya, Sa‘id bin Musay-yib menceritakan kepadaku bahwasa-nya ‘Umar berkata: “Demi Alloh aku baru tersadar setelah Abu Bakar membacakannya, akupun bercucuran keringat sampai-sampai kedua kakiku tak sanggup menyangga tubuhku dan akupun jatuh tersungkur.”
Abul Qosim At-Thobaroni berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya ‘Ali mengata-kan ketika Rosululloh SAW masih hidup, “Apakah jika Muhammad meninggal atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang...” Demi Alloh kami tidak akan mundur ke belakang setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh seandainya beliau wafat atau terbunuh aku benar-benar akan berperang membelanya sampai aku mati, demi Alloh aku adalah saudaranya, aku adalah walinya, aku adalah sepupunya, aku adalah ahli warisnya, siapakah yang lebih berhak membelanya selain aku?”
Sedangkan firman Alloh pada ayat selanjutnya:
{وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتَاباً مُؤَجَّلاً}
“Tidaklah satu jiwa meninggal kecuali atas izin Alloh, sebagai ketetapan yang sudah pasti.” artinya, tidak ada seorangpun yang mati kecuali atas takdir Alloh sampai ia habiskan batas waktu yang Alloh tentukan untuknya, oleh karena itu Alloh berfirman: “…sebagai ketetapan yang sudah pasti.”
Sama seperti firman Alloh:
{وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلاَ يُنْقَصُ منِ ْعمُرُهِ ِإلاَّ فِي ِكِتَابٍ}
“Tidaklah orang yang berumur ditambah dan dikurangi umurnya kecuali sudah tercantum dalam Kitab (Lauhul Mahfudz).”
Seperti juga firman Alloh:
{هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ طِيْنٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ}
“Dialah yang telah menciptakan kamu dari tanah kemudian menentukan ajal, ajal pasti itu ada di sisi-Nya...”
Ayat ini menjadi penyemangat bagi orang-orang yang ciut nyalinya sekaligus pendorong bagi mereka untuk berperang, karena maju ataupun mundur sama sekali tidak akan mengurangi atau menambah umurnya, sebagaimana diceritakan Ibnu Abi Hatim, Al-‘Abbas bin Yazid Al-‘Abdi berkata kepadaku, Aku mendengar Abu Mu‘awiyah bercerita dari Al-A`masy dari Hubaib bin Shohban ia berkata: Ada seorang dari kaum muslimin –yaitu Hujr bin ‘Adi— mengatakan: “Apa yang menjadikan kalian tidak bisa menyeberang ke tempat musuh melewati sungai Dajlah ini? “Tidaklah satu jiwa mati kecuali atas izin Alloh dengan ketetapan yang sudah pasti.” Kemudian ia nekat menyeberang sungai itu dengan kudanya, ketika melihat ia maju maka orangpun semuanya maju, ketika musuh melihat hal itu mereka mengatakan: “Orang gila...orang gila...” dan merekapun lari.” Sampai di sini perkataan Ibnu Katsir Rahimahulloh.
Penulis kitab Zadul Masir berkata ketika menafsirkan ayat ini:
“Alloh Ta‘ala berfirman, “Muhammad tak lain adalah seorang rosul ...”, Ibnu ‘Abbas berkata: Ketika perang Uhud syetan berteriak: Muhammad terbu-nuh! Maka sebagian kaum muslimin mengatakan, “Jika Muhammad terbunuh kita akan menyerah, mereka (kaum musyrikin) itu adalah keluarga dan saudara kita, seandainya Muhammad hidup tentu kita tidak akan kalah,” kemudian orang-orang itu memilih untuk lari dari perang maka turunlah ayat ini.
Adh-Dhohak berkata: Orang-orang munafik berkata, Muhammad telah terbunuh, kembalilah kalian kepada agama pertama kalian; maka turunlah ayat ini.
Qotadah berkata: Sebagian orang mengatakan, Seandainya ia nabi tentu ia tidak terbunuh.”
Penulis Fathul Qodir berkata (I/ 385) menafsirkan ayat ini:
“Muhammad tak lain adalah seorang rosul yang telah lewat para rosul sebelumnya...”
“Sebab turun ayat ini adalah sebagai berikut: Ketika Nabi SAW terluka di perang Uhud, syetan berteriak: Muhammad telah terbunuh! Mende-ngar itu sebagian kaum muslimin me-rasa putus harapan sampai ada yang mengatakan: Muhammad terbunuh, menyerah saja kita, merekapun saudara kita juga.
Sebagian lagi mengatakan: Kalau Muhammad itu rosul, ia tidak akan terbunuh.
Maka Alloh mematahkan persangkaan mereka ini dan mengkhabarkan bahwa beliau hanyalah seorang rosul yang sebelumnya telah lewat rosul-rosul, beliaupun akan berlalu sebagaimana mereka juga berlalu, jadi kalimat dalam firman Alloh: “...telah lewat para rosul sebelum beliau,” adalah kata sifat bagi Rosululloh, sedangkan kontek pembatasan kalimat dalam ayat tersebut adalah pembatasan yang bersifat khusus, karena seolah aneh bagi mereka kalau beliau bisa meninggal dunia, mereka menetapkan bagi beliau dua sifat yaitu sebagai pengemban risalah dan sifat bahwa beliau tidak bisa meninggal, maka Allohpun mementahkan anggapan mereka tersebut dengan menetapkan bahwa beliau adalah seorang rosul yang tidak sampai menyandang sifat tidak bisa meninggal dunia.
Ada juga yang berpendapat pembata-san dalam ayat ini bersifat pembata-san kebalikan, karena Ibnu Abbas membaca ayat di atas begini: "Qod Kholat min qoblu rusulun..." (“Para rosul sebelumnya telah berlalu...”). Setelah itu, Alloh mengingkari sikap mereka dengan berfirman: “Apakah kalau ia meninggal atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang.” maksudnya, bagaimana kalian meno-lak kembali dan meninggalkan agama yang ia bawa ketika ia meninggal atau terbunuh padahal kalian tahu bahwa para rosul sebelumnya telah berlalu sementara para pengikut mereka tetap konsisten dengan agamanya meskipun mereka kehilangan pimpi-nannya karena wafat atau terbunuh? Firman Alloh: “...barangsiapa berbalik ke belakang...” yakni mundur dari perang serta murtad dari Islam, maka ia tidak akan membahayakan Alloh sedikitpun, tapi ia membahayakan dirinya sendiri, “…dan Alloh pasti akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” yakni orang-orang yang bersabar, yang terus berperang dan mencari kesyahidan, karena dengan itu berarti mereka telah men-syukuri nikmat Alloh yang Dia berikan kepadanya yaitu nikmat agama Islam, dan siapa yang melaksanakan perintah-Nya berarti ia telah mensyu-kuri nikmat yang Alloh berikan kepa-danya.” Sampai di sini perkataan penulis Rahimahulloh.
Penulis kitab Shohibul ‘Ujab fi Bayaani `l-Asbaab berkata,
“Firman Alloh Ta‘ala: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul yang telah lewat sebelumnya para rosul…” Thobari meriwayatkan melalui jalur Sa‘id bin Abi ‘Urubah dan jalur Ar-Robi‘ bin Anas keduanya menceri-takan, “Ketika kaum muslimin kehila-ngan Nabi SAW pada peristiwa Uhud, sebagian mengatakan: Kalau ia nabi tentu tidak akan terbunuh;
Sebagian lagi mengatakan: Terus berperanglah kalian seperti nabi kalian berperang sampai Alloh menangkan kalian atau kalian susul nabi kalian. Maka turunlah ayat ini. Robi` menambahkan: Ada seorang lelaki Muhajirin melewati seorang lelaki Anshor yang bersimbah darah, orang Muhajirin ini mengatakan: ‘Tidak tahukah kamu, Muhammad sudah terbunuh.’ Orang Anshor itu menjawab: ‘Kalaulah Muhammad ter-bunuh, beliau telah menyampaikan ri-salah; berperanglah kalian di atas agama yang beliau sampaikan.’Maka turunlah ayat ini.
Kemudian dari jalur Asbath dari As-Suddi: Diriwayatkan bahwa ketika pecah perang Uhud....dst (selanjutnya ia menyebutkan kisah seperti di atas), di antara isi kisahnya disebutkan bahwa saat itu tersebar berita Muhammad telah terbunuh, maka ada yang mengatakan: “Seandainya saja dari kita ada utusan kepada Abdulloh bin Ubay supaya ia meminta jaminan keamanan untuk kita dari Abu Sufyan, wahai manusia, kembalilah kepada kaum kalian sebelum kalian terbunuh.” Ketika itu, Anas bin Nadhr berkata, “Hai manusia, jika Muham-mad telah terbunuh, sesungguhnya robb Muhammad tidak bisa terbunuh, maka berperanglah kalian di atas agama yang telah kalian peluk.” Sementara itu, Rosululloh SAW pergi ke sebuah batu, sedikit demi sedikit kaum muslimin berkumpul ke tempat beliau, maka turunlah ayat tentang orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh tadi: “Muhammad tak lain adalah seorang rosul dst...”
Sedangkan dari jalur Ibnu Ishaq ia berkata, Al-Qosim bin Abdur Rohman bin Rofi‘ Al-Anshori –ia seorang lelaki dari Bani ‘Adi bin Najjar—menceri-takan kepadaku bahwasanya Anas bin Nadhr menghampiri beberapa orang Muhajirin dan Anshor yang angkat ta-ngan (pertanda menyerah), ia berka-ta: “Apa yang menjadikan kalian duduk-duduk saja?” Mereka mengata-kan: “Rosululloh SAW telah terbunuh.” “Kalau begitu, apalagi yang akan lakukan dalam hidup jika beliau sudah meninggal? Marilah kita mati seperti beliau mati,” kata Anas, lalu ia maju ke arah musuh dan terus berperang hingga terbunuh.” Sampai di sini perkataan penulis –Rahimahulloh—
Perkataan ahli tafsir mengenai sebab turun (asbabun nuzul) dan tafsir dari ayat ini terlalu panjang untuk disebutkan seluruhnya di sini, tetapi dari perkataan mereka yang sudah kami sebutkan di atas kita bisa simpulkan bahwa orang-orang yang menyertai Rosululloh SAW di Uhud dan mendengar berita terbunuhnya beliau saat itu terbagi ke dalam dua jalan (manhaj). Pertama, para pengikut manhaj yang tercela dan kedua pengikut manhaj yang terpuji. Pengikut manhaj tercela adalah mereka yang diingatkan Alloh dalam ayat tadi dan diingatkan akan bahaya manhaj yang mereka tempuh, yaitu menggantungkan amal dengan tokoh walaupun tokoh itu adalah Rosululloh SAW, para pengikut manhaj tercela inipun terbagi menjadi dua, satu kelompok patah semangat dalam berjuang, mereka ditimpa kelemahan dan keciutan nyali disebabkan peristi-wa dahsyat yang mereka alami sampai mereka berfikir untuk mencari selamat agar tidak terbunuh serta meminta jaminan keamanan dari orang-orang kafir; satu kelompok lagi adalah orang-orang yang kesesatannya lebih parah, mereka ini sampai meyakini keyakinan kufur dan menyatakannya terus terang, merekalah yang mengatakan bahwa kalau beliau nabi tentu tidak terbunuh, atau yang mengatakan kembali saja kalian kepada agama pertama kalian sebelum kalian nanti terbunuh.
Perkataan dua kelompok tercela seperti inilah yang hari banyak sekali digaungkan oleh banyak dari kaum muslimin, mereka menggembar-gemborkannya dalam artikel-artikel, majalah dan jaringan-jaringan in-formasi; “Kalau jihad yang dilakukan Taliban dan mujahidin arab itu benar, tentu mereka tidak menarik diri dari kota dan tidak akan kalah…” kata mereka. Sebagian lagi mengatakan, “Sebaiknya mujahidin Afghan itu meletakkan senjata saja, menyerah kepada pemerintahan mereka supaya kesusahan mereka berakhir.”
Lihat, ibarat petang dengan malam, tidak ada bedanya, sama saja antara mereka dengan kelompok yang kami kisahkan di atas. Kalau pada kasus perang Uhud, untuk mengang-gap agama Muhammad batil mereka menjadikan kekalahan perang sebagai tolok ukur, mereka mengingkari risalah beliau ketika mendengar berita terbunuhnya beliau, padahal mereka turut berperang bersama beliau saat itu.
Hari ini, manhaj batil itu kembali terulang dengan lebih jelas dari orang-orang sesat itu, mereka mengatakan kekalahan Taliban dan mujahidin menunjukkan manhaj mereka adalah batil. Lihatlah, sejarah kembali teru-lang, orang yang sesat dari jalan yang luruspun memiliki contoh terdahulu yang memberikan teladan pada setiap kejahatan.
Namun, orang-orang yang berada di atas petunjuk dan agama Islam yang benar adalah kelompok kedua, kelompok manhaj yang terpuji, manhaj itu dinukil hingga sampai kepada kita oleh pakar-pakar tafsir, langsung dari kancah peperangan Uhud; merekalah yang menyambut berita terbunuhnya Nabi SAW dengan kata-kata Anas bin Nadhr ra ketika ia melewati orang-orang Muhajirin dan Anshor yang meletakkan tangan, ketika itu ia berkata: “Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk saja?” mereka menjawab, “Rosululloh SAW sudah terbunuh.” “Kalau begitu, apa yang kalian perbuat dalam hidup setelah beliau terbunuh? Mari kita mati seperti beliau mati.” Lalu ia maju menyerang musuh dan terus berperang sampai terbunuh.
Manhaj ini juga tercermin pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq ra yang mengatakan ketika Rosululloh SAW wafat: “Barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal; barangsiapa beriba-dah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Mahahidup dan tidak akan pernah ma-ti.”
Juga tercermin dalam diri ‘Ali bin Abi Tholib setelah ia membaca ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rosul…dst” ia mengatakan: “Demi Alloh, kami tidak akan pernah mundur setelah Alloh memberi kami hidayah, demi Alloh kalaulah beliau meninggal atau terbunuh, aku akan tetap berperang membela beliau sampai aku mati.”
Inilah manhaj shahabat –radhiyallohu ‘anhum— seluruhnya, merekalah orang-orang yang ber-ibadah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, setelah Rosululloh SAW wafat merekalah yang menyambung jalan dan tidak patah arang dalam berjihad, dakwah dan ibadah, mereka tetap berjalan di atas manhaj yang diajarkan Rosululloh SAW kepada mereka. Ketika menderita kekalahan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
{وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ}
“Janganlah kalian merasa hina dan rendah, kalian adalah tinggi jika kalian beriman.”
Dan firman Alloh Ta‘ala:
{أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Apakah ketika kalian ditimpa musibah yang sebelumnya telah menimpa kali-an, kalian mengatakan: Bagaimana ini bisa terjadi? Katakan (hai Muham-mad): Itu berasal dari diri kalian sen-diri, sesungguhnya Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Ketika memperoleh kemenangan, mereka praktekkan firman Alloh Ta‘ala:
{وَاذْكُرُوْا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فيِ اْلأَرْضِ تَخَافُوْنَ أَنْْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ}
“Ingatlah ketika dulu kalian sedikit dan tertindas di bumi, kalian takut manusia menerkam kalian kemudian Alloh memberikan tempat kepada kalian dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya serta memberi kalian rezeki berupa kebaikan-kebaikan agar kalian bersyukur.”
Inilah manhaj kebenaran yang Alloh ridhoi untuk kita; yaitu amal (perjuangan) digantungkan berdasar-kan dalil-dalil syar‘i, menghukumi sesuatu benar atau salah tidak dengan hasil-hasil yang dicapai, tetapi berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan sunnah, dalam kejadian apapun.
Kalau ada orang yang menilai peperangan-peperangan berdasarkan hasil akhirnya dengan tolok ukur ini, mau tidak mau ia akan mengatakan –wal ‘iyadzu billah, kita berlindung kepada Alloh—bahwa perang Uhud adalah peperangan batil, Rosululloh SAW tidak tepat menentukan langkah dengan melakukan perang tersebut, karena beliau kalah, sedangkan kekalahan adalah indikasi batilnya sebuah manhaj. Inilah menurut orang-orang yang jahil dan suka membuat kekacauan dalam tubuh kaum muslimin.
Sudahlah, pokoknya pengikut manhaj bathil di mana mereka mengingkari kenabian Nabi Muham-mad SAW dan kebenaran agama Islam adalah mereka yang mengkaitkan agama dengan orang dan menggan-tungkan jihad dengan tokoh. Manhaj yang mereka pegang ini berdampak kepada kerusakan besar, mereka akan mengingkari khithah awal dengan alasan ketidak tepatan atau beralasan dengan kegagalan hasil yang dicapai. Ketika seseorang sampai kepada manhaj seperti ini, bisa dipastikan ia akan terperosok ke dalam jurang kekufuran, keputus asaan dan sikap apatis. Inilah manhaj kebanyakan kaum ruwaibidhoh hari ini, yang tidak lagi memiliki rasa malu kepada Alloh dan hamba-hamba-Nya, setiap kejadian ia berpendapat lain dari sebelumnya, jika melihat kemenangan mereka bertambah semangat, mengu-lang-ulang pujian dan rasa salut. Sebaliknya, ketika menyaksikan kekalahan dan ujian dari Alloh terha-dap para hamba-Nya, mereka akan menganggap sesat, membid‘ah-bid‘ahkan, mengkritik, mencaci dan mencela.
Barangkali di antara hikmah Alloh SWT mengapa mujahidin tertimpa kekalahan adalah untuk menyaring orang-orang yang berada dalam barisan mereka, itu pertama; selanjutnya menyaring orang-orang yang tadinya simpati dan menganggap dirinya bagian dari mujahidin. Alloh telah kuak trik-trik dan sifat-sifat mereka secara mendetail, Alloh berfirman:
{وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَّعَهُمْ شَهِيْداً، وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ اللهِ لَيَقُوْلَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَالَيْتَنِيْ كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْماً}
“Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang-orang yang sangat berlam-bat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata:"Sesungguhnya Alloh telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka” Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Alloh , tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia:"Wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).”
Dan berfirman:
{اَلَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللهِ قَالُوْا أَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ وَإِنْ كـــَانَ لِلْكَافِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاللهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً}
“(yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Alloh mereka berkata:"Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:"Bukankah kami (turut berpe-rang) bersama kamu" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bu-kankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min.” Maka Alloh akan memberi keputusan di antara kamu di hari dan Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Memang, Jihad ini tidak akan mampu dilaksanakan kecuali oleh orang yang pantas memikulnya, karena untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan di muka bumi ibarat unta menempuh luasnya padang pasir. Demikian juga hari ini, tidak ada yang mampu membela panji jihad ini selain orang yang sudah menyiapkan dirinya untuk menanggung bala dan ujian. Adapun orang yang bermanhaj tak jelas dan mengambang, tidak menger-ti apakah sebenarnya dirinya berposisi sebagai pembela jihad ataukah yang menentang, maka cukuplah dengan ayat-ayat di atas Alloh menyingkap teknik-teknik berkelit mereka, dan dalam surat At-Taubah diungkapkan bagaimana mereka tampak dihinakan lantaran teknik-teknik berkelit gaya syetan yang mereka gunakan seka-ligus mengungkap kedok dari manhaj mereka yang batil.
Sesungguhnya menggantungkan jihad atau pertempuran dengan orang-orang tertentu hanya akan membuah-kan kekalahan yang jelas. Kalaulah kekalahan itu bukan di medan pertem-puran, secara moril kekalahan itu sudah terjadi berupa rasa futur (patah arang) dari berjihad ketika suatu saat nanti para komandan itu hilang yang mana tadinya mereka sangka keme-nangan hanya bisa diraih dengan keberadaan mereka.
Maka dari itu, keliru kalau kaum muslimin menggantungkan urusan kepada orang atau tokoh tertentu. Sebab itu, jihad ini harus dibebaskan dari ikatan berupa tokoh-tokoh. Benar kita memang memerlukan ke-qiyadah-an untuk mempersatukan para muja-hidin, kita juga memerlukan qiyadah untuk menyusun langkah dan strategi; tetapi hilangnya qiyadah bukan berarti ikatan antar kaum muslimin dengan jihad harus lepas. Karena sebagaimana dulu jihadlah yang mela-hirkan para komandan sekelas mere-ka, dengan terus berlangsungnya jihad kelak akan lahir juga komandan-komandan baru yang profesional. Sejarah menjadi bukti; tidak ada satu zamanpun berlalu setelah wafatnya Nabi SAW kecuali di sana ada singa-singa yang membela agama ini, sampai-sampai tidak mungkin orang bisa mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada singa-singa pembela agama. Para wanita muslimat tak pernah mandul untuk melahirkan orang-orang sekelas Umar bin Khotob, Ali bin Abi Tholib, Kholid bin Al-Walid, Miqdad, ‘Ikrimah, Sholahuddin dan Komandan Quthz (atau Qatazh). Umat ini ibarat hujan, tidak bisa ditebak di mana berkah kebaikannya berada; apakah saat pertama kali turun atau ketika hujan mau berhenti.
Walaupun kaum muslimin kehi-langan komandannya, mereka yang sudah tergembleng untuk tidak meng-gantungkan jihad dengan simbol tokoh akan semakin mantab berjalan di atas manhaj dan jalan yang ia yakini. Sebab mereka beribadah kepada robb yang mewajibkan jihad, bukan kepada komandan jihad. Komandan itu akan muncul di bumi pertempuran ketika ia sendiri menantang maut sebagaimana prajuritnya menantang maut, bahkan komandanlah yang senantiasa mencari kesyahidan, yang menunggu-nunggu hari di mana ia bertunangan dengan huurun ‘Iin (bidadari nan bermata jeli), menunggu saat-saat mulia untuk bisa melihat Alloh robb semesta alam; para komandan itu sangat-sangat merindukan hari itu, ia berusaha meraih dan selalu mencita-citakannya.
Jika para komandan itu berhasil meraih apa yang ia cita-citakan, misalnya Mulla Muhammad ‘Umar terbunuh, Syaikh Usamah terbunuh, Komandan Syamil Basayev terbunuh, Komandan Khothob terbunuh, atau komandan jihad di bumi manapun terbunuh –semoga Alloh tetap melindungi mereka semua—, maka tercapainya apa yang mereka cita-citakan berarti sebuah kemenangan besar bagi mereka. Adapun jihad tidak akan pernah terbengkalai, sebab Alloh telah jamin keberlangsungannya hingga hari kiamat dan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya jika mereka memenuhi syarat-syarat terperolehnya kemenangan, baik para komandan itu bersama mereka atau terbunuh di jalan Alloh Ta‘ala.
Maka sudah tidak selayaknya kita menggantungkan jihad dengan orang atau mengikat suatu peperangan dengan tokoh, sebagaimana dikatakan Syaikh Sulaiman Abu Ghoits belum lama ini: “Kalau Usamah terbunuh, seribu Usamah akan lahir memikul panji jihad sepeninggalnya.”
Syaikh Usamah sendiri mengata-kan dalam salah satu tayangan wawancara ketika beliau ditanya tentang kemungkinan hancurnya jaringan yang menghubungkan antara tanzim Al-Qaeda dengan mujahidin Afghan dan Arab jika beliau terbunuh: “Terbunuhnya saya, saya rasa itu adalah kesyahidan di jalan Alloh Ta‘ala, inilah yang justru saya cita-citakan, saya memohon kepada Alloh agar berkenan menganugerahi saya kesyahidan, Usamah tidak lain hanyalah satu dari bagian umat Islam, dalam tubuh umat masih banyak perwira-perwira yang siap menjadi tumbal agama ini dengan mengga-daikan nyawa dan apa saja yang ia miliki, jadi Usamah bukan satu tokoh yang mewakili umat, ia hanyalah pemikul manhaj yang oleh anggota umat Islam lainnya juga diyakini.”
Sebagai penutup pembahasan ini, sekali lagi kami ingatkan kaum musli-min seluruhnya agar jangan menggan-tungkan jihad dengan simbol tokoh atau menggantungkan peperangan dengan orang. Ini adalah manhaj batil dan sangat tidak baik yang bisa merusak agama dan dunia.
Jihad ini adalah salah satu dari syiar Alloh Ta‘ala; di antara prinsip baku yang tidak akan berubah adalah ia terus berlangsung hingga hari kiamat.
Dulu, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, manhaj jihad para shahabat –Radhiyallohu ‘anhum—tidak pernah berubah, bahkan penaklukan-penaklukan terus berlangsung. Ketika Abu Bakar ra meninggal, negara Islam semakin meluas dan syiar jihad tidak terpengaruh dengan kematian beliau.
Ketika ‘Umar bin Khothob terbu-nuh, kaum muslimin justeru semakin tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikianlah keadaan kaum muslimin dari generasi ke generasi.
Di antara prinsip baku kita adalah: Jihad ini sebuah keyakinan dan syiar agung, ia tidak bisa berubah atau terganggu dengan hilangnya tokoh atau komandan tertentu.
Kita memohon kepada Alloh agar menunjuki kita jalan yang lurus, mengangkat keadaan umat kita dan mengangkat harga dirinya di atas bangsa-bangsa kafir di seluruh penju-ru bumi, sesungguhnya Allohlah yang berhak dan Mahakuasa untuk itu.
RAMBU KE – TIGA:
JIHAD TIDAK BERGANTUNG DENGAN NEGERI
Setelah kami sebutkan dalil-dalil pada dua pembahasan di atas yang menegaskan bahwa jihad tetap sesuai untuk semua zaman dan bahwa tidak ada satu zamanpun sejak Alloh syariatkan jihad kepada Nabi-Nya Muhammad SAW hingga menjelang hari kiamat kecuali pasti ada panji jihad fi sabilillah yang ditegakkan, akan semakin lengkap jika di sini kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa jihad tidak bergantung dengan satu negeri saja, asal sebab syar‘inya ada dan penghalang (mani‘)-nya tidak ada maka jihad bisa dilakukan.
Di antara kekeliruan memahami jihad sehingga pemahanam itu menyimpang adalah menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, ketika di bumi tersebut jihad telah runtuh atau mengalami kehancuran maka secara otomatis akan mengakibatkan ibadah jihad ditinggalkan, ini akibat menggunakan cara memahami jihad yang keliru seperti ini, selanjutnya pemahaman itu akan mengkaburkan arti jihad, atau orang yang memiliki pemahaman tersebut akan menga-takan jihad belum waktunya dilaku-kan.
Sebelum kita lebih dalam menyelami apa itu ibadah jihad, ada satu pemahaman agung yang mesti kita tancapkan dengan kokoh dalam rangka menggembleng diri dengan ibadah yang satu ini, yaitu bahwa jihad ini bersifat ‘alami (global, mendunia), tidak dibatasi oleh garis negara dan sekat-sekat tertentu.
Harus dipahami juga bahwa orang Islamlah yang memerlukan ibadah jihad ini jika ia konsisten dalam menyampaikan agama Alloh Ta‘ala dan menyeru manusia untuk kembali kepada robbnya. Seperti yang dilakukan para shahabat –Radhiyallohu ‘Anhum— ketika mereka merambah berbagai pelosok dunia sejak dari ujung barat hingga ujung timur. Mereka membawa risalah yang isinya seperti yang diungkapkan seorang sahabat bernama Rib‘i bin ‘Amir ketika ia ditanya panglima Rustum dari Romawi:
“Apa yang mendorong kalian datang ke mari?”
Rib‘i menjawab:
“Allohlah yang mengirimkan kami, Allohlah yang menakdirkan kami datang dalam rangka membebaskan orang-orang yang Dia kehendaki dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Alloh saja, membebaskan mereka dari sempitnya dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam, kami dikirim Alloh dengan mengemban agama-Nya untuk kami ajak manusia memeluknya, jika ia menerima maka kamipun terima dia, siapa yang tak mau terima kami perangi dia sampai kapanpun hingga kami menjumpai janji Alloh.”
“Apa itu janji Alloh?” tanya Rustum, “Surga bagi yang mati ketika meme-rangi orang-orang yang membang-kang masuk Islam, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” Jawab Rib‘i.
Jadi, para shahabat datang dengan membawa pedang sekaligus Al-Qur’an untuk menaklukkan negeri-negeri di dunia. Karena seorang muslim harus selalu sadar kalau dirinya mengemban risalah Nabi Mu-hammad, maka ia juga harus paham bahwa jihad ini cocok untuk segala zaman dan tempat.
Maksud kami cocok untuk segala tempat, bukan berarti seorang muslim itu melulu berfikir untuk menyulut api peperangan di mana mana, bukan seperti itu maksudnya. Maksud kami cocok untuk segala tempat adalah tempat yang memenuhi syarat dan tidak ada penghalang untuk ditegakkan jihad di sana. Sementara itu, syarat dan penghalang (atau dalam istilah syar‘inya adalah mani‘, penerj.) ini memiliki kaidah-kaidah syar‘i yang tidak akan kita bahas di sini, barangkali akan kita sendirikan pembahasannya nanti.
Intinya, yakin bahwa jihad ini akan terus berlangsung hingga menjelang hari kiamat dan bahwa jihad cocok untuk segala zaman –yang sudah kita bicarakan pada bagian pertama—akan membuat kita yakin bahwa jihad pada hari ini ada di kebanyakan negara di dunia. Maknanya, jihad tidak tergantung dengan negeri di mana ia ada, tetapi tergantung dengan syarat-syaratnya, baik syarat itu berupa sebab dari disyariatkannya jihad atau syarat berupa teknis-teknis yang bisa mendukung operasi jihad. Jihad juga tergantung dengan mani‘-nya ada atau tidak. Maka kapan saja sebab ada dan mani‘-nya tidak ada, maka jihad itu pasti akan membuahkan hasil positif. Dan, tidak mungkin di dunia ini –di negeri manapun—tidak ada sama sekali sebab yang menjadikan jihad disyariatkan dan tidak mungkin di dunia ini penopang-penopang teknis terlaksananya jihad tidak ada sama sekali.
Memahami jihad dari titik tolak ini akan menjadikan seorang muslim bebas dalam menerapkan ibadah jihad, ia tidak akan terpancang dengan negara tertentu, ia tidak akan menggantungkan jihad dengan sebuah negara, ia hanya menggantungkan jihad dengan terpenuhinya syarat dan tidak adanya mani‘, kapan syaratnya ada dan mani‘ nya tidak ada berarti tempat itu cocok untuk menggulirkan jihad.
Hal ini akan semakin jelas kalau kita buka kembali lembaran sejarah.
Dulu, di awal-awal Islam kaum muslimin harus rugi dengan kehi-langan tempat tinggal, kehilangan negeri dan hartanya –yaitu Mekkah—. Meskipun demikian, kaum muslimin tidak kemudian merasa bahwa Islam hanya akan berkembang dari negeri suci tersebut lantaran di sanalah pusat pendukung kemenangan Islam, di antaranya karena Kiblat bangsa arab kala itu adalah Mekkah, Mekkahlah negeri yang disegani bangsa Arab, Mekkahlah negeri terpandang dan penduduknya terkenal. Akan tetapi, Nabi SAW atas perintah Alloh harus keluar dari negeri tersebut untuk me-nyebarkan Islam bukan dari negeri tersebut. Tak pernah Nabi SAW berfikir untuk berhijrah, saat itu beliau berencana untuk pergi ke Yamamah atau Hijir, beliau berdakwah menawarkan dirinya kepada penduduk Thaif (yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Mekkah, penerj.) agar dakwah Islam bisa tersebar dari sana, tapi ternyata Alloh mewahyukan kepada beliau untuk hijrah ke Tayibah (nama lain Madinah, penerj.), maka berhij-rahlah beliau ke sana dan membangun pondasi, membangun penopang jihad dan pertahanan di sana. Mulailah beliau berjuang di negeri hijrah yang beliau tempati, seolah-olah itulah negeri kelahiran beliau. Akhirnya, Islampun menyebar dari selain jengkal tanah yang paling dicintai Alloh dan Nabi-Nya SAW. Inilah kata-kata Rosululloh SAW ketika beliau keluar dari Mekkah dengan berjalan kaki menuju gua Tsur seraya memandang ke arah Mekkah –seperti diriwayatkan Qurthubi dalam buku Tafsir-nya dari Ibnu ‘Abbas ra—: “Ya Alloh…, wahai Mekkah, sungguh engkau adalah tanah yang paling dicintai Alloh, kalau bukan karena orang-orang musyrik yang mendudukimu itu mengusirku, aku tidak akan pernah keluar darimu.” Setelah itu turunlah ayat:
{وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً{
“Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu(Muhammad),”
(Disebutkan oleh Ats-Tsa‘labi dan ini adalah hadits shohih.)
Tirmizi juga meriwayatkan, demikian juga Al-Hakim dan Ibnu Hibban serta yang lain, bahwa Nabi SAW berujar kepada negeri Mekkah: “Sungguh, engkau adalah negeri terbaik, engkau negeri yang paling kucintai, kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” Dalam riwayat lain: “Demi Alloh, aku tahu bahwa engkau adalah bumi Alloh terbaik dan paling disukai Alloh, kalau bukan karena pendudukmu mengusir-ku darimu, aku tidak akan keluar.”
Demikianlah, beliau tidak mengi-kat dirinya dengan negeri, beliau me-ngikat dirinya dengan syiar-syiar Islam, beliau siapkan tempat dan kondisi di manapun asal bisa me-nerapkan syiar tersebut. Seperti inilah karakter Nabi SAW baik dalam dakwah maupun jihad serta syiar Islam lain-nya.
Sepeninggal beliau, para shaha-bat mengemban panji yang beliau wariskan, mereka mengerjakan seper-ti yang dikerjakan oleh pimpinan mereka. Maka para shahabat merambah ke berbagai penjuru dunia, mereka keluar dari Madinah bukan untuk menyelamatkan agamanya seperti tatkala mereka keluar dari Mekkah, mereka keluar dari negeri paling suci setelah Mekkah itu dalam rangka menyebarkan agama Islam dan menegakkan syiar jihad di belahan bumi timur dan barat.
Ini dijelaskan oleh sebuah hadits riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatho’¬-nya, beliau menuturkan bahwa Abu `d-Darda’ ra menulis surat kepada Salman Al-Farisi ra untuk bergabung dengan beliau di Madinah sebagai tanah suci, maka Salman membalas dengan kata-kata: “Tanah (negeri) bukan yang menjadikan seorang menjadi suci, yang menja-dikan seseorang suci adalah amalan-nya.”
Jadi, para shahabat tidak meng-gantungkan jihad dengan Mekkah atau Madinah, tidak juga dengan Baitul Maqdis (Palestina), tapi mereka menganggap jihad sebagai ibadah yang mereka beribadah kepada Alloh dengannya di manapun mereka bera-da asal sebab-sebab untuk melaksa-nakan ibadah itu ada.
Seandainya kaum muslimin menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, tentu jihad ini sudah berhenti sejak lama. Karena, kaum muslimin dalam pentas sejarah sudah sekian kali kehilangan kontrol kekuasaan di tempat-tempat yang mereka kuasai sebelumnya.
Menggantungkan jihad demi Masjidil Aqsha saja misalnya, akan menjadikan jihad ini berhenti ketika kaum muslimin tidak mampu membebaskannya dari cengkeraman yahudi atau setelah mereka sudah berhasil membebaskannya. Kedua-duanya menihilkan manath (sebab) jihad satu-satunya sehingga jihadpun tak terlaksana. Ini menampakkan dengan jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa perseteruan antara kita dan yahudi disebabkan memperebutkan tanah. Sungguh tidak benar orang yang mengatakan ini. Pada hakikatnya, permusuhan kita dengan yahudi adalah permusuhan akidah, artinya seandainya kaum muslimin sudah berhasil membe-baskan seluruh negeri Islam dari cengkeraman yahudi, tentu kewajiban selanjutnya adalah memburu dan memerangi mereka hingga ke tengah negerinya sebagaimana dilakukan Nabi SAW dan para shahabat sepeninggal beliau.
Memahami bahwa jihad terkait dengan negeri tertentu adalah pemahaman yang keliru, dampaknya jihad akan berhenti manakala di negeri itu tidak ada jihad lagi. Pemahaman model seperti ini juga akan menihilkan syiar Islam lainnya ketika ia digantungkan kepada sebab-sebab yang tidak diizinkan Alloh.
Inilah yang mesti dimengerti oleh semua, khususnya kita sudah tahu bahwa jihad tidak akan mungkin berhenti di zaman kapanpun. Maka siapa yang menggantungkan jihad dengan negeri tertentu, mau tidak mau ia akan mengatakan tidak ada lagi jihad ketika di negeri itu jihad sudah berhenti.
Minggu, 16 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...