Wajib mengembalikan ayat yang mutasyabih kepada ayat yang muhkam.
Alloh berfirman :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilny… (QS. Ali’ Imroon : 7)
Dalam menafsirkannya Ibnu Katsiir berkata: ”Alloh memberitahukan bahwa dalam Al Qur’an itu terdapat ayat-ayat yang muhkam, itulah ummul kitab, maksudnya adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya tidak ada kerancuan sama sekali bagi siapapun. Dan ada ayat-ayat lain yang ada kesamaran maksudnya bagi banyak orang atau bagi sebagian orang. Maka barangsiapa yang mengembalikan ayat-ayat yang samar kepada ayat-ayat yang jelas kemudian menjadikan yang muhkam itu sebagai penjelas bagi yang mutasyabih baginya maka ia telah mendapat petunjuk, dan jika sebaliknya maka hasilnyapun sebaliknya” (Tafsiir Ibnu Katsiir, I / 344) Ayat yang muhkam, yaitu yang jelas maksudnya dalam masalah hukum orang yang berwalaa’ kepada orang-orang kafir, adalah ayat :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
…Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (QS. Al Maa-idah : 51)
Ayat ini adalah nash yang jelas atas kekafirannya. Maka dalam masalah ini, hal-hal yang mutasyabih harus dikembalikan kepada nash yang muhkam. Adapun ayat yang Mutasyabih yaitu yang maksudnya tersembunyi dalam permasalahan ini adalah nash-nash yang menunjukkan peniadaan iman orang yang berwalaa’ kepada orang-orang kafir. Sesungguhnya peniadaan iman mengandung kemungkinan orang yang melakukannya kafir dan mengandung kemungkinan peniadaan kesempurnaan kewajiban iman sehingga pelakunya adalah fasiq. Sebelumnya telah saya nukil masalah ini dari Ibnu Taimiyyah, lihat Majmuu’ Fataawaa, VII / 14-15, 37-42 dan 337. Untuk menentukan maksud dari peniadaan iman tersebut dengan melihat qoriinah-qoriinahnya dan diantaranya dengan mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam pada permasalahannya. Atas dasar ini maka setiap nash yang menyebutkan peniadaan iman bagi orang yang berwalaa’ kepada orang-orang kafir maksudnya adalah peniadaan pokok iman, berarti ia telah kafir berdasarkan penjelasan nash yang muhkam dalam masalah yang sama.
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
… maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…
Dan diantara nash yang menyebutkan peniadaan iman pada masalah muwaalaah adalah firman Alloh :
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا – إلى قوله - وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir --- sampai --- Sekiranya mereka beriman kepada Alloh, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi wali… (QS. Al Maa-idah : 80-81)
Dan juga firman Alloh :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya… (QS. Al Mujaadalah : 22)
Dan ayat-ayat lain yang semacam ini.
C. Ayat ayat dalam surat Al maidah ini merupakan dalil bahwasanya hukum kafir ini berlaku secara umum dan berlaku bagi setiap orang muslim yang berwalaa’ kepada orang kafir. Hal itu karena ayat yang menyebutkan hukum ini menggunakan kalimat umum. Karena kalimatnya dimulai dengan “مَنْ” (siapa) syarthiyyah. Alloh berfirman :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“…Barangsiapa di antara kamu berwalaa’ kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka ”
Ibnu Taimiyyah berkata :”Kata ‘siapa’ merupakan bentuk kalimat yang paling umum.Lebih-lebih jika kata itu sebagai syarat atau kata tanya.” (Majmuu’ Fataawaa, XV / 82 dansemacam itu juga beliau sebutkan dalam XXIV / 346)
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum ini berlaku bagi para pendukung penguasa murtad. Yaitu orang-orang yang membantunya dengan perkataan dan perbuatan, perbuatan ini tidak diragukan lagi merupakan bentuk muwaalaah kepada orang-orang kafir. Sesungguhnya mereka masuk dalam keumuman nash ini, mereka adalah orang-orang kafir dengan tidak diragukan lagi.
Syubhat: Kenapa Nabi tidak memberlakukan hukum murtad kepada orang-orang yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yang mereka itu telah dinyatakan kafir.
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“…Barangsiapa di antara kamu berwalaa’ kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka ”
Kenapa ?, Jawab : sebabnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jariir Ath Thobariy; tidak ada riwayat yang shohih tentang sebab turunnya ayat ini. Maka tidak benar kalau ayat ini turun tentang orang-orang tertentu. Namun demikian para mufassir telah sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang munafiq, berdasarkan firman Alloh;
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang hati mereka ada penyakit…”
Dan telah berlalu dalam penjelasan Kaidah Takfiir --- ketika membahas penetapan murtad --- bahwasannya orang-orang munafiq pada masa nabi SAW, mereka merahasiakan kekafiran mereka dan tidak menampakkannya kecuali kepada orang-orang intern mereka. Atau orang yang menyampaikan kekafiran mereka secara dzohir hanya berlandaskan kesaksian satu orang atau anak-anak sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan syar’iy, disisi lain mereka bersumpah bahwa mereka tidak melakukannya. Disana saya nukil perkataan Ibnu Taimiyyah dan Al Qoodliy ‘Iyaadl, bahwa nabi tidak menyuruh mereka bertaubat secara perorangan, karena dzohir kekafiran mereka tidak terbukti dengan bukti yang syar’iy. Dan inilah keadaan orang-orang munafiq yang menjadi pembahasan ayat-ayat muwaalaah dalam surat Al Maa-idah. Mereka tidak menampakkan muwaalaah kepada orang-orang kafir dengan cara membantu dan menolong mereka serta berperang bersama mereka, namun mereka sembunyikan dalam hati mereka keinginan untuk melakukannya. Hal ini ditunjukkan firman Alloh :
فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“…Mudah-mudahan Alloh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rosul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (QS. Al Maidah : 52)
Sungguh mereka menyembunyikan muwaalaah mereka, seandainya mereka menampakkannya pasti mereka divonis murtad secara dzohir. Namun jika mereka tidak menampakkannya Alloh memvonis mereka murtad secara hakikat (meskipun secara dzohir mereka tidak dikafirkan) sebagaimaa orang-orang munafiq yang lain.
Maka apabila orang-orang munafiq saja Alloh vonis kafir, padahal mereka menyembunyikan muwaalaah mereka terhadap orang-orang kafir, dan mereka berjihad bersama nabi SAW, maka bagaimana dengan para pendukung thoghut yang menampakkan walaa’ mereka kepada para penguasa murtad dan mereka bersama para penguasa tersebut dan berada di barisan mereka dalam menghadapi Islam dan kaum muslimin?
5. Dalil yang kelima : dari As Sunah, yaitu Nabi SAW, memberlakukan hukum kafir --- yaitu menarik tebusan tawanan --- terhadap pamannya Al ‘Abbaas bin ‘Abdul Muthollib, ketika ia keluar bersama orang-orang kafir pada perang Badar.
Hadits ini asalnya terdapat dalam shohih Al Bukhooriy. Dalam hadits tersebut disebutkan riwayat Anas ra, bahwasannya orang-orang Anshor meminta ijin kepada Nabi SAW, mereka mengatakan :
ائذن لنا فلنترك لابن اختنا عباس فداءه
“Ijinkanlah kami membiarkan tebusan anak saudara perempuan kami yaitu Al ‘Abbaas”
Maka beliau mengatakan :
والله لا تذرون منه درهما
“Demi Alloh jangan kalian biarkan tebusannya meskipun satu dirham”
Hadits 4018 dalam kitab Al Maghooziy.
Orang-orang Anshor mengatakan “anak saudara perempuan kami” karena neneknya yaitu Ibunya ‘Abdul Muthollib adalah orang Yatsrib.
Ibnu Hajar mengatakan dalam syarahnya; “Perkataan yang berbunyi ‘sesungguhnya orang-orang Anshor’ maksudnya adalah yang ikut perang Badar. Karena Al ‘Abbaas tertawan pada waktu perang Badar, sebagaimana yang akan disebutkan nanti. Orang-orang musyrik memaksanya keluar mengikuti perang Badar. Ibnu Ishaaq meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya Nabi SAW, bersabda kepada para sahabatnta pada perang Badar :
قد عرفت أن رجالا من بنى هاشم قد أخرحوا كرها فمن لقي أحدا منهم فلا يقتله
“Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim yang dipaksa keluar. Maka barangsiapa yang menjumpai mereka jangan membunuhnya”
--- sampai Ibnu Hajar mengatakan --- Dan Ibnu Ishaaq meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwasannya Nabi SAW, bersabda :
يا عباس إقد نفسك و ابن أخويك عقيل بن أبي طالب و نوفل بن الحارث و حليفك عتبة بن عمرو فإنك ذومال
“Wahai ‘Abbaas, tebuslah dirimu dan anak kedua saudaramu yaitu Uqoil bin Abi Tholib dan Naufal bin Al Harits dan sekutumu yaitu Utbah bin Amr karena kamu adalah orang kaya”. ‘Abbaas Mengatakan :
إني كنت مسلما ولكن القوم استكر هوني
“Aku ini telah masuk Islam akan tetapi mereka memaksaku”
Rosul SAW barsabda :
الله أعلم بما تقول إن كنت ماتقول حقا إن الله يجزيك ولكن ظاهر أمرك أنك كنت علينا
“Alloh lebih tahu dengan perkataanmu. Jika kamu mengatakannya denga jujur Alloh akan memberimu balasan. Akan tetapi secara dzohir kamu memerangi kami”
(Fat-hul Baariy, VII / 322)
Sedangkan hadits pertama yang disebutkan oleh Ibnu Hajar asalnya adalah dalam musnad Ahmad dari hadits Aliy bin Abiy Thoolib (Al Musnad. I / 89) Dan hadits yang lain diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Ishaaq I / 353 cet. Al Maktab Al Islami 1398 H.
Hadits ini menunjukkan bahwasannya Nabi SAW, telah memberlakukan penarikan tebusan yang berlaku bagi para tawanan berlaku juga terhadap Al ‘Abbaas dan beliau menganggapnya sebagai orang kafir dalam hukumnya secara dzohir ketika dia berada dalam barisan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Dan beliau tidak menganggap pengakuan dia karena terpaksa sebagai penghalang untuk memberlakukan hukum yang berlaku bagi orang-orang kafir.
Hadits ini dan keterangan yang berada didalamnya merupakan nash yang memutuskan perselisihan. Dan juga merupakan landasan pendapat kami bahwa para pendukung pemerintah murtad itu kafir secara ta’yiin dalam hukumnya secara dzohir. Dan telah kami nukil ijmaa’ sahabat tentang hukum ini pada dalil pertama.
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas ini atas kafirnya semua orang yang pergi berperang bersama orang-orang kafir meskipun sebenarnya dia orang beriman yang mukroh (dipaksa). Beliau mengatakan: “Kadang mereka berperang sedangkan diantara mereka ada orang beriman yang menyembunyikan imannya. Ia ikut berperang bersama mereka karena ia tidak memungkinkan untuk hijroh, sedangkan dia mukroh (dipaksa) untuk berperang. Dia dibangkitkan pada hari qiamat sesuai dengan niatnya. Sebagaimana dalam hadits shohih dari Nabi SAW, bahwasannya beliau bersabda :
يغزو جيش هذا البيت فبينما هم ببيداء من الأرض إذ خسف بهم فقيل : يارسول الله وفيهم المكره قال : يبعثون على نياتهم
“Ada sebuah pasukan yang menyerang ka’bah ini. Ketika mereka berada dipadang sahara mereka ditenggelamkan kedalam bumi” Lalu ada yang bertanya :”Wahai Rosululloh, diantara mereka ada orang yang mukroh (dipaksa)?” Beliau menjawab; “Mereka dibangkitkan sesuai dengan niat mereka”
Ini adalah pada dzohir permasalahan, meskipun dia dibunuh dan diberlakukan hukum yang berlaku pada orang-orang kafir, Alloh akan membangkitkannya sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang munafik diantara kita, secara dzohir dihukumi sebagai orang Islam dan mereka kelak dibangkitkan sesuai dengan niatnya. Sedangkan balasan pada hari kiamat adalah sesuai dengan apa yang berada dalam hati bukan sesuai yang nampak pada dzohirnya. Oleh karena itu diriwayatkan bahwasannya Al ‘Abbaas berkata: Wahai Rosululloh, aku ini mukroh (dipaksa), maka beliau menjawab : Secara dzohir kamu memerangi kami dan adapun hatimu diserahkan kepada Alloh”. (Majmuu’ Fataawaa, XIX / 224-225, dan perkataan beliau yang semacam itu juga terdapat dalam Minhaajus Sunnah V / 121 – 122, tahqiq Dr Rosyad Salim)
Sebagai catatan atas perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi “dan dia mukroh ( dipaksa ) untuk berperang” harus diperhatikan ikrooh itu --- meskipun mungkin terjadi --- namun tidak bisa dibenarkan untuk dijadikan alasan untuk membunuh kaum muslimin atau memerangi mereka. Ibnu Taimiyyah mengatakan --- tentang orang yang dipaksa untuk berperang di barisan musuh --- : “Tidak diragukan lagi bawasanya jika ia dipaksa untuk ikut berperang ia wajib untuk tidak berperang meskipun dia dibunuh oleh orang-orang Islam. Begitu pula jika orang-orang kafir memaksanya untuk ikut berangkat dalam barisan mereka memerangi kaum muslimin. Atau seandainya seseorang memaksa orang lain untuk membunuh seorang muslim yang ma’shumud dam ( darahnya tidak boleh ditumpahkan ), sesungguhnya dia tidak boleh membunuhnya berdasarkan kesepakatan para ulama meskipun ia diancam dibunuh. Karena sesungguhnya mempertahankan nyawanya dengan membunuh orang lain tidak lebih utama dari pada terbunuhnya dirinya dengan menyelamatkan orang lain.” ( Majmuu’ Fataawaa XXVIII / 539 ) dan Al Qurthubiy berkata : “para ulama’ telah berijmaa’ bahwa orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain ia tidak boleh melaksanakanya atau untuk merampas kehormatan orang lain untuk menghindarkan diri dari ancaman cambukan atau yang lainnya padahal dia mampu bersabar untuk menanggung siksaan yang akan ditimpakan padanya. Dan dia tidak boleh menebus nyawanya dengan nyawa orang lain. Dan hendaknya dia memohon kekuatan pada Alloh di dunia dan di akherat. ‘( Tafsir Al Qurthubiy X / 183 ).
Ringkasnya: Semua orang yang berperang dalam barisan orang-orang kafir atau membantu mereka dengan perkataan dan perbuatan --- karena bantuan semacam ini secara hukum adalah sama dengan ikut berperang --- maka ia divonis kafir secara ta’yiin. Dan inilah hukum para pendukung penguasa murtad dalam hukum Islam.
Ibnu Hazm mengatakan : “Seandainya ada orang yang nyata-nyata kafir berkuasa atas sebuah negeri Islam, dan dia membiarkan kaum muslimin namun dia satu-satunya penguasa yang ada padanya, sedangkan ia menampakkan agama selain Islam maka kafirlah setiap orang yang membantunya dan tinggal di negeri tersebut meskipun dia mengaku seorang muslim.” ( Al-Muhallaa XI / 200 ).
6- Dalil yang keenam; yaitu kaidah fikih yang menyataka bahwa seseorang yang berada dalam kelompok yang mumtani’ah ‘anil qudroh ( yang berada diluar kekuasaan Islam ) ia dihukumi sama dengan pemimpin-pemimpin tersebut.
Dan telah berlalu penjelasanya dalam penjelasan kaidah takfir bahwa imtinaa’ itu dalam syari’at mempunyai dua arti :
Pertama ; tidak melaksanakan bagian dari syari’at Islam, seperti meninggalkan sholat, zakat, dan lainya. Imtinaa’ semacam ini yang berulangkali disebutkan dalam perkataan Ibnu Taimiyyah, dalam perkataanya:
أيما طائفة امتعت عن شريعة من شر ائع الإسلام ...
“kelompok manapun yang tidak mau melaksanakan bagian dari syari’at Islam…”
orang yang tidak melaksanakan syariat Islam kadang kadang kafir dan kadang fasiq sesuai dengan syariat yang dia tinggalkan.
Kedua; Al imtinaa’ ‘Anil Qudroh, Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan arti al qudroh ‘alaihim adalah memungkinkan untuk melaksanakan hukum hadd kepada mereka jika hukuman ditetapkan berdasarkan bukti atau pengakuan dan mereka dalam kekuasaan kaum muslimin. “( Ash-Shorimul Maslul, hal 508 ) dan beliau juga mengatakan: ini semua jika mereka dalam kekuasaan Islam, namun jika pemerintah atau wakilnya memerintahkan untuk melaksanakan hukum hadd tanpa permusuhan, lalu mereka mempertahankan diri, maka wajib bagi kaum muslimin untuk memerangi mereka berdasarkan kesepakatan ulama’ sampai mereka dapat dikuasai.” ( Majmu Fatawa XXVIII / 317 ) dan beliau juga mengatakan : “ Hukuman yang dibawa oleh syari’at bagi orang yang bermaksiyat kepada Alloh dan Rosulnya ada dua, hukuman bagi orang yang berada dibawah kekuasaan baik itu perorangan maupun sejumlah orang ( kelompok ) sebagai mana pembahasan yang lalu. Yang kedua hukuman bagi kelompok yang mempertahankan diri dari kekuasaan, seperti orang yang tidak dapat dikuasai kecuali dengan peperangan.” ( Majmuu’ Fataawaa XXVIII / 349 ) mempertahankan diri dari kekuasaan ini ada dua bentuk ; bergabung dengan darul harbi ( negeri musuh ) sehingga lepas dari kekuasaan kaum muslimin atau dengan cara mempertahankan diri dengan kekuatan yaitu dengan pendukung dan senjata. Ibnu Taimiyyah menjelaskan bentuk-bentuk mempertahankan diri ini dalam perkataanya: “ Dan karena orang murtad itu lika mempertahankan diri --- dengan cara bergabung dengan darul harbi atau orang-orang murtad itu mempunyai kekuatan yang digunakan untuk mempertahankan diri dari kaum Islam --- sesungguhnya orang semacam ini dibunuh tanpa disuruh taubat sebelumnya dengan tanpa ragu-ragu.“ (Ash Shoorimul Masluul, hal. 322 ).
Dan disini saya ingatkan kepada beberapa permasalahan :
- Orang yang mumtani’ ‘anisy syarii’ah itu kadang perorangan seperti orang yang meninggalkan sholat, atau kelompok seperti orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.
- Dan orang mumtani’ ‘anil qudroh itu kadang perorangan seperti ‘Abdulloh bin Sa’ad bin Abi As Saroh yang murtad pada masa nabi saw, dan pempertahankan diri dengan cara bergabung ke mekah sebelum mekah ditaklukan dan ketika itu mekah darul harbi, dan kadang mumtani’ ‘anil qudroh ini sebuah kelompok seperti al-muharibin yang merampok dijalanan dan seperti orang-orang murtad yang mempertahankan diri.
- Bawasanya antara imtinaa’ ‘anisy syar’iy dan imtinaa’ ‘anil qudroh ini tidak ada saling keterkaitan. Sehingga tidak semua orang mumtani’ ‘anisy syar’iy itu mumtani’ ‘anil qudroh, seperti seorang maqduur ‘alaih yang meninggalkan sholat dan seperti sekelompok orang maqduur ‘alaih semacam Bani Haniifah yang disuruh bertaubat oleh ‘Abduloh bin Mas’uud dari kemurtadan mereka yang berada di kufah. Dan saya telah sebutkan kisah mereka dalam peringatan penting yang terdapat dalam catatanku terhadap Al ‘Aqidah Ath Thohaawiyyah. Asal kisah tersebut terdapat dalam Shohiih Al Bukhooriy dalam awal kitab Al-Wakalah. Dan orang-orang yang disuruh taubat oleh Ibnu Mas’ud ini berjumlah 170 orang, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Syaibah. Fat-hul Bari IV/ 470 ).
-Adapun orang mumtani’ ‘anil qudroh ia pasti mumtani’ ‘anisy syar’iy. Karena dia tidak dikatakan telah melakukan imtinaa’ ‘anil quqroh kecuali ia mempunyai tangguhan hak Alloh atau hak manusia lalu disuruh menunaikanya tapi dia malah mempertahankan diri dari kekuasaan. Atau dia mempertahankan diri dari kekuasaan sebelum diperintahkan untuk menunaikanya namun setelah mempunyai tangguhan, hal itu dia lakukan supaya dia lolos dari hukuman.
Setelah menerangkan macam-macam imtinaa’ dalam syari’at, kami katakan bahwa seseorang yang berada dalam sebuah kelompok yang mumtani’ ‘anil qudroh dan mereka sudah tentu mumtani’ ‘anisy syarii’ah juga, hukumnya sama dengan kelompok tersebut. Dan sebuah kelompok itu status hukumnya sama dengan status hukum pemimpin-pemimpinnya. Atas sekedar ini, jika pemimpin kelompok ini murtad seperti Musailamah dan dan Thulailah, maka kelompoknya dinamakan kelompok murtad dan setiap anggotanya dihukumi murtad. Jika kelompok itu seorang baaghiy ( berbuat aniaya / memberontak ) maka kelompok tersebut dinamakan kelompok bughot. Sebagai mana firman Alloh :
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى
“…Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain…” (QS. Al Hujuroot : 9)
Dan Rosululloh SAW bersabda :
تقتل عمارا الفئة الباغية
“Ammar akan dibunuh oleh kelompok bughot”.
Dan semua anggota kelompok tersebut, disebut sebagai orang baaghiy (aniaya/ pemberontak) Hadits ‘Ammaar tersebut Muttafaq ‘alaih, sedangkan lafadz diatas menggunakan lafadz Muslim. Al Bukhooriy meriwayatkannya dengan lafadz yang mirip (hadits 447) Dan begitu pula mumtani’-mumtani’ yang lainnya seperti khowaarij dan al muhaaribiin yang merampok ditengah jalan semua anggotanya disebut sebagai seorang khoorijiy atau muhaarrib, dan begitu seterusnya.
Hukum yang kami sebutkan ini, yaitu hukum personal itu sama dengan hukum kelompoknya ketika mereka itu mumtani’iin ‘anil qudroh (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam), hukum semacam ini berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan ijmaa’.
A. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Alloh :
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“…Sesungguhnya Fir`aun dan Haamaan beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (QS. Al Qoshos ; 8)
Dan juga firman Alloh :
وَنُرِيَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ
“…dan akan Kami perlihatkan kepada Fir`aun dan Haamaan beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu”. (QS. Al Qoshosh : 6)
Dan firman Alloh :
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ
“Maka Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qoshosh : 40)
Dan juga firman Alloh :
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al Qoshosh : 41)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut (sebagaimana dalam firman Alloh yang berbunyi: وَجُنُودَهُمَا yang artinya: “beserta tentaranya”) mereka hukumnya sama dengan yang mereka ikuti (sebagaimana firman Alloh: فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ yang artinya “Fir’aun dan Haamaan”). Alloh menyamakan mereka semua dalam menerima dosa (yaitu dalam firman Alloh: خَاطِئِينَ yang artinya: “mereka bersalah”), begitu pula dalam ancaman (sebagaimana firman Alloh: مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ yang artinya: “apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu”), juga dalam hukuman didunia (sebagaimana firman Alloh yang berbunyi: فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ artinya: “lalu Kami lemparkan mereka kedalam laut”). Dan juga hukuman di akhirat (sebagaimana firman Alloh yang berbunyi: وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ artinya: “dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”). Dan Alloh menyebut mereka semua, bahwa mereka itu (pemimpin-pemimpin yang menyeru keneraka) dan Alloh tidak membedakan antara yang mengikuti dan yang diikuti. Alloh tidak menyebut para pengikut itu kecuali dengan sebutan bahwa mereka itu bala tentara yang diikuti, mereka itu berhak mendapatkan hukum orang yang diikutinya karena mereka ikut serta dalam kejahatan dan pengrusakannya. Karena orang yang diikuti itu tidak akan bisa melaksanakan kejahatannya kecuali dengan bala tentaranya yang mentaati dan melaksanakan keinginannya. Dan beginilah keadaan semua thoghut disetiap waktu dan tempat.
Jika ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengkafirkan tentara-tentara penguasa yang murtad --- ketika diantara mereka ada yang menampakkan keislaman --- karena tentara fir’aun dulu adalah orang-orang kafir asli. Jawabnya adalah: Bahwasannya nash yang menunjukkan kafirnya tentara-tentara penguasa murtad itu diambil dari dalil-dalil sebelumnya dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijmaa’. Hukum ini tidak terpengaruh oleh keislaman yang ditampakkan oleh sebagian mereka. Karena --- sebagaimana yang telah berlalu dalam pembahasan hukum orang yang masturul haal --- seseorang tidak dianggap sebagai orang Islam berdasarkan tanda-tanda Islam pada dzohirnya kecuali jika tidak dibarengi dengan menampakkan suatu pembatal dari pembatal-pembatal Islam. Dan dalam hal ini sebagian mereka yang menampakkan tanda-tanda Islam itu juga menampakkan pembatal Islam yaitu membantu orang-orang kafir dalam melaksanakan kekafirannya dan dalam masalah memusuhi kaum muslimin. Adapun ayat-ayat yang disebutkan disini, sisi pengambilan dalil atas kafirnya tentara-tentara pemerintah murtad adalah ayat ini menunjukkan kesamaan antara pengikut dan yang diikuti dari berbagai sisi. Dan Alloh tidak menjadikan penyebab samanya itu adalah samanya keyakinan yang diikuti dan keyakinan yang mengikuti, bahkan ayat tersebut tidak menunjukkan isyarat sedikitpun kepada keyakinan para pengikut. Akan tetapi Alloh menjadikan penyebab kesamaan itu adalah keikut sertaan dalam perbuatan bukan kesamaan keyakinan. Dan Alloh dalam semua ayat tersebut tidak menyebutkan ciri mereka kecuali mereka itu adalah tentara-tentara fir’aun. Sedangkan membatasi kekafiran hanya pada kafirnya keyakinan adalah madzhab murji-ah sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam pembahasan tentang kesalahan-kesalahan dalam mengkafirkan. Dan yang benar adalah kekafiran itu bisa terjadi karena perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Sedangkan tentara-tentara para penguasa murtad yang membela mereka dengan perkataan dan perbuatan itu, mereka melakukan kekafiran dengan perkataan dan perbuatan dengan tanpa melihat kepada keyakinan mereka.
Ketika para sahabat ra menyebut para pengikut pemimpin-pemimpin murtad sebagai orang-orang yang murtad dan memvonis mereka dengan vonis kafir, sebabnya hanyalah karena mereka mengikuti pemimpin-pemimpin murtad dan membantu mereka dengan perkataan dan perbuatan serta berperang bersama mereka bukan karena para sahabat itu telah mengetes keyakinan mereka. Sesungguhnya semacam ini tidak pernah terjadi dan tidak ada riwayatnya. Dan telah saya sebutkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa pengikut Musailamah Al Kadzaab itu berjumlah sekitar seratus ribu atau lebih (Minhaajus Sunnah, VII / 217). Bagaimana mungkin tabayyun bisa dilakukan terhadap keyakinan orang sebanyak itu sedangkan mereka itu mumtani’ ‘anil qudroh? Lebih-lebih orang-orang selain mereka, seperti pengikut-pengikut Thulaihah, Sajjaah, Al ‘Unsiy dan yang lainnya. Jika vonis hukum itu dilakukan setelah melakukan tabayyun terhadap keyakinan mereka, hal ini akan mengakibatkan batalnya jihad. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa kafirnya para pendukung orang-orang murtad itu di sebabkan oleh perkataan dan perbuatan, dan bukan disebabkan oleh keyakinan. Bahkan Ibnu Jariir Ath Thobariy menyebutkan perkataan yang menjelaskan bahwa sebagian pengikut-pengikut Musailamah menyatakan pengingkarannya. Dia mengatakan: “As Sariy menulis surat kepadaku, ia mengatakan dalam surat tersebut; Syu’aib bercerita kepada kami, dia dari Saif, Saif dari Khulaid bin Dzafroh An Namriy, dia dari ‘Umar bin Tholhah An Namriy, dia dari bapaknya, bahwasannya dia datang ke Yamamah dan mengatakan: ”Mana Musailamah?” Orang-orang mengatakan: ”Wah, Rosululloh?”. Ia menjawab: ”Bukan, hingga aku melihatnya.” Ketika ia menemuinya ia mengatkan: ”Kamu Musailamah?” Musailamah menjawab: ”Ya.” Dia bertanya: ”Siapa yang datang kepadamu?” Musailamah menjawab: ”Rohmaan (Alloh – pent).” Dia bertanya: ”Dalam cahaya atau dalam kegelapan.” Musailamah menjawab: ”Dalam kegelapan.” Maka dia mengatakan: ”Saya bersaksi bahwa kamu adalah pendusta dan bahwa Muhammad adalah benar, akan tetapi pendusta dari Bani Robii’ah lebih kami sukai dari pada orang jujur dari Bani Mudhor.” Lalu dia terbunuh bersamanya pada perang ‘Aqrobaa’”. Dan dalam riwayat lain disebutkan: ”Dia berkata; pendusta dari Bani Robii’ah lebih saya senangi dari pada pendusta dari Bani Mudlor.” (Tarikh Ath Thobariy, II / 277, cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1408).
Kesimpulannya: sesungguhnya para sahabat tidak melakukan tabayyun terhadap keyakinan para pendukung pemimpin kemurtadan tersebut, dan hal inipun juga tidak mungkin dilakukan karena mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri. Akan tetapi mereka divonis murtad karena mereka menolong dan membantu, dan inilah yang menyebabkan mereka dihukumi sama dengan para pemimpin mereka dalam hukum sebagaimana Alloh menyamakannya fir’aun dan bala tentaranya dalam hukum.
B. Adapun dalil dari sunnah, yang menunjukkan bahwa personal itu hukumnya sama dengan hukum kelompoknya jika mereka itu mumtani’iin, adalah diberlakukannya oleh nabi hukum kafir kepada pamannya ‘Abbaas, ketika ia keluar bersama tentara orang-orang musyrik untuk berperang pada perang Badar. Meskipun dia mengaku Islam dan mengaku dipaksa. Hal itu mengakibatkan ia harus dihukumi hanya lantaran perbuatannya itu tanpa melihat kepada keyakinannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa personal itu hukumnya sama dengan kelompoknya. Kami telah sebutkan hadits yang menceritakan hal ini dan juga kami sebutkan kesimpulan Ibnu Taimiyyah dari hadits tersebut.
C. Adapun dalil dari ijmaa’ adalah ijmaa’ sahabat --- yang tercantum pada dalil yang pertama --- yang mengkafirkan para pendukung pemimpin-pemimpin kemurtadan pada masa Abu Bakar ra, dan mereka tidak membedakan antara pengikut dan yang diikuti (pemimpin).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada sebuah kelompok mumtani’iin, seorang anggota kelompok hukumnya sama dengan pemimpin-pemimpin mereka. Sebagaimana Alloh berfirman :
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya…” (QS. Al Isroo’ : 71)
Maka para pendukung penguasa murtad yang memerintah dengan selain syari’at Islam pada zaman kita ini adalah murtad, hukum mereka sama denan hukum pemimpin mereka. Dan hukum ini berlaku bagi para pendukungnya secara ta’yiin (perseorangannya), artinya mereka semua adalah kafir. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka itu kafir secara ta’yiin adalah Nabi SAW yang meghukumi pamannya yaitu Al ‘Abbaas secara ta’yiin, dan juga ijmaa’ sahabat yang mengkafirkan para pendukung orang-orang murtad dalam perkataannya ;
وقتلاكم في النار
“Mayat kalian di neraka”
Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang terbunuh itu adalah orang-orang tertentu (mu’ayyan).
Berikut ini beberapa perkataan ulama yang menetapkan kaidah ini :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: ”Sebuah kelompok jika saling tolong-menolong sehingga mereka menjadi kelompok yang mumtani’iin, maka mereka sama-sama mendapatkan pahala dan dosa --- sampai beliau mengatakan --- maka para pembantu dan pendukung sebuah kelompok yang berkekutan, mereka mendapatkan hak dan tanggungan yang sama --- sampai beliau mengatakan --- karena sesungguhnya sebuah kelompok satu dengan yang lainnya itu ibarat satu orang.” (Majmuu’ Fataawaa, XXVIII/ 311-312).
Syaikhul Islam juga mengatakan --- tentang Tartar --- : ”Kadang ketika berperang diantara mereka ada yang beriman dan menyembunyikan keimanannya, ia berperang bersama mereka karena mereka tidak memungkinkan untuk hijroh. Ia dipaksa untuk berperang…” --- dan dia pada hari kiamat dibangkitkan sesuai dengan niatnya --- dan beliau menyebutkan tentara yang ditenggelamkan kebumi, kemudian beliau berkata: “…ini dilihat dari dzohirnya meskipun dia dibunuh dan dihukumi sebagaimana orang kafir, akan tetapi Alloh membangkitkannya sesuai dengan niatnya.” (Majmuu’ Fataawaa, XIX / 224 – 225) Perkataan beliau ini telah kunukil secara lengkap sebelumnya, setelah menyebutkan hadits Al ‘Abbaas ra.
Dan dari fatwa ulama mu’aashiriin (kontemporer) yang menerangkan bahwa personal itu mendapatkan hukum sebagaimana kelompoknya adalah yang terdapat dalam fatwa no. 9247 dari fatwa panitia tetap untuk kajian ilmiyyah di Saudi. Pertanyaannya adalah: ”Apakah hukum orang-orang awam dari Rafidhoh Imamiyah Itsna ‘Asyariyah? Dan apakah ada perbedaan antara ulama sebuah kelompok yang keluar dari Islam dan antara pengikutnya dalam memvonis kafir dan fasiq?” Lalu dijawab:”Segala puji bagi Alloh, sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Rosul, kepada keluarga dan para sahabatnya…wa ba’du ; Orang-orang awam yang bergabung dengan seorang pemimpin dari pemimpin-pemimpin kekafiran dan kesesatan, dan membela pemimpin dan pembesar mereka berdasarkan permusuhan dan kedzoliman, ia dihukumi kafir dan fasiq sama dengan pemimpinnya. Alloh berfirman :
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ – إلى أن قال - وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا(67)رَبَّنَا ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari qiamat --- sampai --- Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".(QS. Al Ahzab : 63-68)
Dan baca juga surat Al Baqoroh ayat 165, 166 dan 167, surat Al A’raf ayat 37, 38, dan 39 surat Ibrahim ayat 21 dan 22, Al Furqan ayat 28 dan 29, Al Qashas ayat 62, 63 dan 64, Saba’ ayat 31,32 dan 33 Ash Shofat ayat 20-36, Ghofir ayat 47-50 dan banyak lagi lainnya dalam al qur’an dan as Sunnah. Hal ini juga berdasarkan nabi memerangi para pemimpin musyrik beserta pengikut-pengikutnya dan begitu pula yang dilakukan oleh para sahabatnya, mereka tidak membedakan antara pemimpin dan pengikut.
Hanya kepada Alloh kita memohon petunjuk, dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan sahabatnya.” Yang menandatangani adalah ‘Abdulloh bin Qu’uud, ‘Abdulloh bin Ghodyaan, ‘Abdur Rozzaaq ‘Afiifiy dan ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz. (Diambil dari Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah Wal Ifta’, II / 267-268 yang dikumpulkan oleh Ahmad bin ‘Abdur Rozzaaq Ad Duwaisy, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadl 1411 H).
Inilah perkataan beberapa ulama yang menetapkan kaidah berdasarkan al qur’an dan as sunnah serta ijmaa’, yaitu bahwa hukum personal itu sama dengan hukum tho’ifah (kelompok)nya.
Wa ba’du :
Telah saya sebutkan diatas enam dalil atas kafirnya para pendukung pemerintah yang murtad, dan saya paparkan sesuai dengan tata cara berijtihad sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Haamid Al Ghozaaliy. Maka saya mulai dari pemaparan ijmaa’ sahabat mengenai permasalahan yang kita bahas, lalu saya sebutkan 3 dalil dari kitabulloh, kemudian saya sebutkan 1 dalil dari sunnah, kemudian kaidah fiqh mengenai permasalahan ini, sehingga tidak meninggalkan sedikitpun keraguan bagi setiap muslim tentang status para pendukung thoghut di dalam hukum Islam, yang mana mereka itulah yang menjadi faktor utama eksisnya kekafiran. Ijmaa’ sahabat dan sunnah telah menunjukkan bahwa mereka itu kafir secara ta’yiin (perorangan), dan ini adalah hukum secara dzohir.
Dari dalil-dalil diatas terdapat beberapa sebab kafirnya para pendukung thoghut. Setiap satu sebabnya adalah sebuah kekafiran yang tersendiri, yaitu :
1. Mereka berwalaa’ kepada pemerintah yang kafir, yaitu dengan membantu mereka dalam memerangi Islam dan muslimin. Ini adalah penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“…Barangsiapa di antara kamu berwalaa’ kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (QS. Al Maidah : 51)
Dan berdasarkan hukum yang diberlakukan oleh nabi SAW, terhadap Al ‘Abbaas. Dan juga berdasarkan ijmaa’ sahabat yang memvonis kafir para pendukung pemimpin kemurtadan. Juga berdasarkan kaidah fiqh tentang hukum orang-orang mumtani’ (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam).
2. Mereka berperang dijalan thoghut. Yaitu thoghut dalam menjalankan hukum dan berhukum kepada selain Alloh. Dalam hal ini adalah undang-undang ciptaan manusia dan para penguasa kafir. Ini juga penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
“…dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut…” (QS. An Nisaa’ : 76)
3. Mereka memusuhi Alloh, Rosul, dan agamaNya. Karena mereka memerangi Islam dan Muslimin dan mereka mematikan syari’at Islam serta menjunjung tinggi syari’at kafir dan undang-undangnya. Ini juga penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh :
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
“Barangsiapa yang menjadi musuh Alloh, malaikat-malaikat-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Jibriil dan Mikail, maka sesungguhnya Alloh adalah musuh orang-orang kafir”. (QS. Al Baqoroh : 98)
Jika mereka selamat dari satu penyebab kekafiran, mereka terjerumus pada penyebab kedua. Dan jika mereka selamat dari penyebab kedua, mereka terjerumus kedalam penyebab ketiga. Namun bagaimana halnya sedangkan mereka terjerumus dalam tiga-tiganya. Maka merekalah orang-orang yang melakukan kejahatan dan diliputi denga dosa-dosa mereka.
Bagian ini (Status Para Pendukung Thoghut Dalam Hukum Islam) akan saya tutup dengan beberapa perkataan ulama’ tentang masalah ini:
1. Ibnu Hazm rh berkata: “Dan seandainya orang yang jelas-jelas kafir menguasai suatu wilayah dari wilayah Islam dan membiarkan kaum muslimin yang tinggal di wilayah tersebut. Namun dialah satu-satunya yang berkuasa untuk mengatur dan dia menyatakan dengan terang-terangan bahwa dia tidak menganut agama Islam, niscaya orang-orang yang tinggal bersamanya dan membantunya kafir, meskipun dia mengaku sebagai seorang muslim” (Al Muhalla XI/200).
2. Ibnu Hazm juga berkata --- ketika membahas masalah wajibnya hijroh dari Daarul Kufri --- : “Dan begitu pula orang Islam yang tinggal di India, Sind (negeri yang berbatasan dengan India), Cina, Turki, Sudan dan Romawi, jika dia tidak mampu untuk pindah dari sana karena banyaknya tangguangan; atau kekurangan harta, atau lemah fisik, atau karena dilarang pergi maka dia ma’dzuur (diterima alasannya). Tapi jika dia di sana memerangi kaum muslimin dan membantu orang-orang kafir dengan pelayanan atau tulisan maka dia kafir.” (Al Muhallaa XI/200). Yang disebutkan di sini, pada zaman Ibnu Hazm merupakan negara asli kafir. Inti dari dua macam sikap yang disebutkan oleh Ibnu Hazm adalah barang siapa membantu orang-orang kafir dalam memusuhi kaum muslimin maka dia kafir. Dan Ibnu Hazm mengkafirkan hanya karena dia membantu, bukan karena hatinya setuju, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis buku Ar Risaalah Al Liimaaniyyah. Dan bantahan atas perkataannya itu akan kami jabarkan pada Bagian Ketiga insya Alloh.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa yang berwalaa’ kepada mereka…”
Ia setuju dengan mereka dan membantu mereka,
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Maka dia termasuk golongan mereka”
(Majmuu’ Fataawaa XXV/326).
4. Ibnu Taimiyyah juga berkata ketika membahas orang-orang kafir: “Dan kadang mereka berperang padahal diantara mereka ada orang yang beriman yang menyembunyikan imannya, ia ikut berperang bersama mereka karena tidak memungkinkan untuk hijroh sehingga dia dipaksa (mukroh) untuk ikut berperang, maka pada Hari Qiyamat ia dibangkitkan sesuai dengan niatnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shohih bahwa Nabi SAW bersabda:
يغزو هذا البيت جيش من الناس, فبينما هم ببيداء إذ خسف بهم. فقيل: يا رسول الله إن فيهم المكرَه فقال: يبعثون على نياتهم.
“Ada sebuah pasukan yang akan menyerang Ka’bah ini tapi ketika mereka sampai di sebuah padang sahara mereka ditenggelamkan ke bumi. Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana kalau diantara mereka ada orang yang dipaksa untuk ikut (mukroh)? Beliau menjawab: “Mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing-masing”.
Ini adalah pada dhohir permasalahan, meskipun dia dibunuh dan diberlakukan kepadanya hukum-hukum yang diberlakukan kepada orang kafir, namun Alloh akan membangkitkannya sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang munafik diantara kita, secara dhohir dia dihukumi sebagai orang Islam dan mereka kelak dibangkitkan sesuai dengan niatnya. Padahal balasanya pada Hari Qiyamat adalah sesuai dengan apa yang berada dalam hati, bukan sesuai yang nampak pada dzohirnya. Oleh karena itu diriwayatkan bahwasanya Al Abbaas berkata: “Wahai Rosululloh, aku ini mukroh (dipaksa).” Maka beliau menjawab: “Secara dzohir kamu memerangi kami dan adapun hatimu diserahkan kepada Alloh.” (Majmuu’ Fataawaa XIX/224-225), dan perkataan beliau yang semacam itu juga terdapat dalam Minhaajus sunnah V/121/122.
5. Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang yang membunuh seorang muslim lantaran dia menjalankan ajaran Islam padahal orang yang membunuh tersebut mengaku Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa murtad bersama para pendukung dan tentara-tentaranya, yang membunuh orang-orang Islam dan mereka menghalalkan pembunuhan mereka berdasarkan undang-undang kafir yang tidak ada keterangannya dari Alloh. Maka beliau menjawab: “Adapun apabila dia membunuh orang tersebut atas dasar dia menganut Islam, sebagaimana peperangan yang dilancarkan orang-orang Nasrani terhadap kaum muslimin, maka orang tersebut kafir dan lebih buruk dari pada orang kafir mu’aahid ( yang menjalin perjanjian damai dengan Islam). Karena orang tersebut kedudukannya serupa dengan orang-orang kafir yang memerangi Nabi SAW dan para sahabatnya. Dan mereka ini kekal di Neraka Jahannam sebagaimana kekalnya orang-orang kafir yang lain.” (Majmuu’ Fataawaa XXXIV/136-137). Saya katakan dalam masalah ini yang menjadi sebab kafirnya para penguasa murtad dengan bala tentara mereka adalah al istihlaal (menghalalkan yang haram). Yaitu mereka wujudkan dengan menganggap pembunuhan terhadap orang-orang Islam yang komitmen menjalankan Islam dan berjihad itu merupakan hal yang dibenarkan bahkan diwajibkan kepada mereka berdasarkan undang-undang mereka yang mengharuskan untuk menghukum mati orang yang ingin menumbangkan pemerintah meskipun usaha untuk menumbangkan ini sebenarnya adalah jihad fii sabiilillah. Padahal barangsiapa yang menghalalkan darah (nyawa) seorang muslim dengan alasan yang tidak benar, dan berdasarkan undang-undang kafir maka dia telah kafir karena tindakan dia ini merupakan pendustaan terhadap nash-nash mutawatir yang menetapkan haramnya darah (nyawa) orang-orang Islam. Dan Ibnu Taimiyyah berkata: “Seseorang apabila ia menghalalkan sesuatu yang telah disepakati (mujma’) keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya atau mengganti sebuah syariat yang telah disepakati maka dia kafir lagi murtad berdasarkan kesepakatan para fuqohaa’ (ahli fiqih).” (Majmuu’ Fataawaa III/267).
6. Ketika menjelaskan sebuah hadits marfuu’ dari Ibnu ‘Umar yang berbunyi:
إذا أنزل الله بقوم عذابا أصاب العذاب من كان فيهم ثم بعثوا على أعمالهم
“Apabila Alloh menurunkan adzab kepada suatu kaum, adzab tersebut mengenai semua orang yang bersama mereka, lalu mereka akan dibangkitkan sesuai dengan amal mereka masing-masing” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy no. 7108).
Ibnu Hajar berkata: “Dapat diambil pelajaran dari hadits ini atas disyariatkannya lari dari orang-orang kafir dan orang-orang dholim, karena tinggal bersama mereka itu berarti menceburkan diri ke dalam kebinasaan. Hal ini apabila orang yang tinggal bersama mereka ini tidak membantu mereka dan juga tidak ridlo dengan perbuatan mereka, namun jika ia ikut membantu atau ridlo maka ia termasuk golongan mereka.” (Fat-hul Baariy XIII/61).
7. Dan Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab rh menyebuutkan di dalam hal-hal yang membatalkan Islam yang menyebabkan seorang muslim kafir, ia mengatakan: “ Pembatal kedelapan: Membantu dan menolong orang-orang musyrik di dalam menghadapi orang-orang Islam, berdasarkan firman Alloh:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُم
“Barangsiapa diantara kalian berwalaa’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka”. (QS. Al-Maidah:51).
(Majmuu’atut Tauhiid cet. Daarul Fikri 1399 H. hal. 33)
8. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab juga menyebutkan: “Jika walaa’ itu dilakukan dengan tinggal bersama mereka di negeri mereka dan turut serta dalam peperangan yang mereka lakukan dan hal-hal yang semacam itu, maka orang yang melakukan itu semua divonis kafir, sebagaimana firman Alloh:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُم
“Barangsiapa diantara kalian berwalaa’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka”. (QS. Al-Maidah:51).
Dan juga firman Alloh SWT:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ
“Dan telah diturunkan kepada kalian di dalam Al-Kitab bahwasanya apabila kalian mendengar ayat-ayat Alloh diingkari (dikafiri) dan diolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka beralih pembicaraan, karena kalau tidak maka kalian serupa dengan mereka” (QS. An-Nisaa:140).
(Ibid. hal 175 – 176)
Saya katakan: “Bukankah hal-hal yang menyababkan kekafiran yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab diatas terdapat pada para tentara para penguasa murtad dan para pendukungnya yang berupa pemberian bantuan dan pertolongan yang mereka lakukan kepada para penguasa tersebut dalam memusuhi Islam dan orang-orang Islam.” Dan perhatikanlah perkataan Ibnu Hajar yang berbunyi: ”…namun jika ia ikut membantu atau ridlo maka ia termasuk golongan mereka…” Maka pemberian bantuan merupakan sebuah sebab tersendiri untuk menghukuminya sebagai orang kafir, sebagaimana ridlo juga merupakan penyebab tersendiri. Dan untuk menghukuminya sebagai orang kafir tidak harus menunggu berkumpulnya 2 penyebab. Akan tetapi keduanya masing-masing cukup untuk menghukuminya sebagai orang-orang kafir tidak sebagaimana yang dikira oleh pengarang buku Ar Risaalah Al Liimaaniyaah, dia mengatakan bahwa orang yang ikut membantu itu tidak kafir kecuali jika dibarengi dengan ridlo terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Dan perkataannya akan saya paparkan dalam pembahasan tentang kritikan terhadap pendapat-pendapatnya pada Bagian Ketiga insya Alloh. Dan berikut ini tambahan perkataan para ulama tentang masalah yang sama.
9. Dalam berbicara kepada para pengikutnya dan mengkritik musuh-musuh dakwahnya, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab mengatakan: “….akan tetapi mereka pada hari ini mendebat kalian dengan satu syubhat, maka dengarkanlah supaya kamu dapat menjawabnya; mereka mengatakan: Memang semua ini benar dan kami bersaksi bahwa hal ini adalah diin Alloh dan RosulNya kecuali at takfiir wal qitaal (mengkafirkan dan memerangi orang-orang yang melakukan kesyirikan) maka sungguh aneh kalau ada orang yang tidak mengetahui jawabannya, kalau mereka mengakui bahwa ini adalah diin Alloh dan RosulNya. Bagaimana tidak kafir orang yang mengingkarinya, dan membunuh serta memenjarakan orang-orang yang menyuruh untuk mengamalkannya? Bagaimana tidak kafir orang yang datang kepada orang musyrik lalu ia menganjurkan untuk tetap berbuat syirik dan memuji kesyirikan mereka? Juga menganjurkan untuk membunuh orang-orang yang bertauhid dan mengambil hartanya? Bagaimana tidak kafir sedangkan dia bersaksi bahwa yang dia anjurkan itu sesungguhnya diingkari dan dilarang Rosululloh SAW? Dan beliau namakan syirik kepada Alloh. Dan dia juga bersaksi bahwa diin (ajaran) yang dia benci dan dia benci pula orang-orang yang mengamalkannya yang disuruh oleh orang-orang musyrik untuk membunuhnya itu adalah diin Alloh dan diin RasulNya.
Dan ketahuilah bahwasanya dalil-dalil untuk mengkafirkan orang muslim yang sholih ketika ia melakukan kesyirikan kepada Alloh atau dia bersama orang-orang musyrik dalam memusuhi orang yang bertauhid, walaupun orang tersebut tidak melakukan syirik, dalil untuk mengkafirkan orang seperti ini tidak terhitung, baik dalil dari firman Alloh, sabda Rasul, maupun perkataan semua ahlul ‘ilmi.“ (Ar Rosaa-il As Sakhsyiyyah, hal 272 yang merupakan bagian kelima dari tulisan-tulisan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, cetakan Jaami’atul Imaam Muhammad Ibnu Su’uud). Dan perhatikanlah perkataan Syaikh yang menyatakan bahwasanya orang yang bersama orang-orang musyrik dalam memusuhi orang-orang bertauhid, ia kafir meskipun dia tidak berbuat syirik. Perkataan beliau ini juga merupakan bantahan terhadap penulis buku Ar Risaalah Al Liimaaniyyah yang menyatakan bahwa para pendukung penguasa murtad itu tidak kafir hanya lantaran mereka mendukung penguasa tersebut kecuali jika dibarengi dengan keyakinan kafir, yaitu dengan mencintai dan ridlo terhadap apa yang dilakukan oleh penguasa tersebut.
10. Dan Syaikh Hamad bin ‘Atiiq An Najdiy rh (wafat th. 1301 H) mengatakan: “Ibnu Taimiyyah berkata: “Saya telah perhatikan madzhab (Hambaliy) lalu aku dapatkan bahwa ikrooh (paksaan) itu berbeda-beda tergantung apa yang dipaksakan untuk dilakukan. Sehingga ikrooh yang bisa diterima untuk mengucapkan kata-kata kafir tidak sama dengan ikrooh yang bisa diterima untuk melakukan hibah (pemberian) dan yang serupa dengannya. Karena sesungguhnya Ahmad telah menyatakan pada lebih dari satu tempat bahwa ikrooh untuk berbuat kekafiran itu tidak bisa diterima kecuali berupa siksaan seperti pukulan dan belenggu, dan paksaan yang berupa ucapan itu tidak dianggap sebagai ikrooh. Selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya seandainya seorang perempuan memberikan maharnya yang ditahan oleh suaminya , kepada suaminya tersebut. Maka perempuan itu boleh mengambil maharnya kembali sebab dia memberikan mahar tersebut karena takut dicerai atau diperlakukan tidak baik. Pada masalah ini Imam Ahmad menjadikan takut ditalak atau perlakuan yang tidak baik sebagai ikrooh. Dan dalam perkataannya yang lain ia mengatakan bahwa suaminya tersebut telah memaksa perempuan tersebut. Dan ikrooh semacam ini tidak bisa diterima untuk melakukan kekafiran. Karena sesungguhnya seorang tawanan itu apabila ia khawatir orang-orang kafir tidak akan menikahkannya atau akan memisahkannya dengan istrinya, dalam keadaan seperti ini ia tidak diperbolehkan untuk mengucapkan kata-kata kekafiran. (Selesai perkataan Ibnu Taimiyyah) perkataan yang serupa ini banyak juga diucapkan oleh selain dia. Jika permasalahan ini telah jelas, maka sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwasanya membantu orang-orang musyrik dan menunjukkan rahasia kaum muslimin kepada mereka atau membela mereka dengan lisan atau ridlo terhadap apa yang mereka lakukan, semua ini merupakan penyebab kekafirannya orang yang melakukannnya tanpa ada ikrooh seperti di atas. Sehingga dia murtad meskipun dia membenci orang-orang kafir dan mencintai orang-orang Islam dan masalah ini telah saya sebutkan di beberapa tempat. Hal ini kami ulangi karena tersebarnya kebodohan dan besarnya kebutuhan terhadap pemahaman masalah ini. (Ad Difaa’ An Ahlis Sunnah Wal Ittibaa’, karangan Syaikh Hamad bin ‘Atiiq, hal. 31-32, cetakan Daarul Qur-aanuul Kariim1400 H dengan sedikit pembenaran lafadz dalam kitab Majmuu’atut Tauhiid hal. 419).
11. Dan Syaikh Sulaimaan bin Samhaan An Najdiy (wafat th. 1349 H) mengatakan dalam bentuk syar’iy:
ومن يتول الكافرين فمثلهم * ولا شك في تكفيره عند من عقل
ومن قد يواليهم ويركن نحوهم* فلا شك في تفسيقه وهو في وحل
وكل محب أو معين و ناصر * و يظهر جهرا للوفاق على العمل
فهم مثلهم في الكفرمن غير ريب*وذا قول من يدري الصواب من الزلل
Dan barangsiapa berwalaa’ kepada orang-orang kafir maka dia serupa dengan mereka…
Dan kekafirannya ini tidak diragukan lagi oleh orang yang berakal…
Dan kadang ada orang yang berwalaa’ dan cenderung kepada mereka…
Ia dalam keadaan takut, maka tidak diragukan lagi atas kefasikannya…
Dan setiap orang yang mencintainya atau menolong dan membelanya…
Dan dia menampakkan dengan terang-terangan persetujuan dia terhadap apa yang mereka lakukan…
Maka tidak diragukan lagi bahwa dia kafir seperti mereka…
Dan inilah pendapat orang yang memahami mana yang benar dan mana yang salah…
Diambil dari kumpulan syair yang berjudul ‘Uquudul Jawaahiril Munadlodatil Hisaan, karangan Sulaiman bin Samhan, hal. 131, yang ini kami nukil dari “Al-Muwaalat Wal Mu’aadaat”, karangan Mahmaas Al-Jaluud II/353.
12- Dan diantara ulama mu’aashiriin (kontemporer) adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz, beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang menyerukan paham sosialis atau komunis atau aliran-aliran lain yang menghancurkan hukum Islam dan bertentangannya, mereka itu adalah orang-orang kafir lagi sesast yang lebih kafir daripada orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka adalah orang-orang sekuler yang tidak beriman kepada Alloh dan hari Akhir (qiyamat). Dan tidak boleh menjadikan mereka sebagai khotib dan imam di Masjid kaum muslimin, dan tidak syah sholat di belakang mereka.
Dan setiap orang yang membantu mereka dalam melakukan kesesatan, memuji apa yang mereka serukan, mencela para juru dakwah Islam dan menghina mereka maka dia kafir lagi sesat status hukumnya sama dengan status hukum kelompok sekuler yang dia ikuti dan dia bantu.
Dan para ulama Islam telah berijma’ (sepakat) bahwasanya orang yang menolong dan membantu orang-orang kafir dalam memusuhi umat Islam dengan bentuk apapun, maka dia kafir seperti mereka, sebagaimana firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan barang siapa diantara kalian berwalaa’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dholim” (QS. Al Maaidah:51).
Dan Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai wali jika mereka lebih mencintai kekafiran daripada keimanan. Dan barangsiapa diantara kalian yang berwalaa’ kepada mereka maka mereka adalah orang-orang dholim”. (QS. At-Taubah:23).
Dinukil dari “Majmuu’ Fataawaa wa Maqodaat Mutanawwi’ah”, Syaikh Abdul Aziiz bin Baaz yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir I/274, cetakan II 1408 H).
Sedangkan ijma’ yang disebutkan Syaikh bin Baaz diatas adalah ijma’ para sahabat yang telah saya sebutkan pada dalil yang pertama. Dan ini merupakan ijma’ yang qoth’iy sehingga orang yang menyelisihinya kafir, sebagaimana yang telah saya jelaskan.
Dan Syaikh ini, --- yaitu Syaikh bin Baaz --- termasuk orangt-orang yang melampaui batas, dan fatwanya berubah-ubah sesuai dengan politik yang berkembang. Oleh karena itu fatwanya bermacam-macam dan saling bertolak belakang pada satu permasalahan, antara satu tahun dengan tahun yang lain. Sebagai contoh lihat apa yang ia katakan tentang meminta bantuan kepada orang-orang musyrik dalam kitabnya berjudul “Naqdul Qoumiyah Al ‘Arobiyyah” (kritik terhadap Nasionalisme Arab) dan apa yang ia katakan tentang Perang Teluk II tahun 1990 M. Saya memohon Alloh agar menunjuki beliau untuk bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya sebelum ia mati, karena sesungguhnya amalan itu tergantung yang terakhir.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...