KEDUA :
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hukum-hukum positif nyata-nyata telah kafir.
Penjelasan di atas berkisar seputar hukum menetapkan undang-undang selain Allah secara umum. Kali ini secara khusus kita akan menge-tengahkan pembahasan undang-undang positif yang diwajibkan oleh para penguasa kita kepada rakyat, untuk menjelaskan kepada orang yang tidak tahu bahwa hal itu berarti menghalalkan hal yang haram, mengharamkan yang halal dan me-rubah syari’at Allah, yang dihukumi kafir dan murtad menurut ijma' seluruh ulama sebagai-mana telah disebutkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Saya akan mencukupkan diri dengan menye-butkan beberapa contoh yang menjelaskan hal ini:
A. Bentuk penghalalan yang haram. Undang-un-dang hukum pidana Mesir kosong dari penye-butan pasal yang mengharamkan zina jika ter-jadi pada diri seorang laki-laki atau perem-puan yang belum menikah. Maknanya zina o-rang yang masih bujangan adalah boleh kare-na kita memahami bahwa kaedah yang berla-ku pada para pakar hukum adalah "tidak ada kejahatan dan hukuman kecuali menurut un-dang-undang". Juga, seorang suami boleh berzina di luar rumah, karena undang-undang pidana Mesir pasal 277 menyatakan, "Setiap suami yang berzina dalam rumah istrinya kemudian diadukan dengan tuduhan dari pi-hak istri, maka suami ditahan dalam masa yang tidak lebih dari enam bulan."
Seorang istri yang berzina dengan keridha-an suaminya tidak dianggap melakukan sebu-ah kejahatan, karena pasal 273 undang-un-dang hukum pidana Mesir menyatakan, "Tidak boleh mengadili seorang istri yang ber-zina kecuali dengan adanya tuduhan suami."
Undang-undang Mesir sama sekali tidak menyebutkan hukuman murtad. Maknanya, menurut mereka murtadnya seorang muslim boleh-boleh saja karena kaedah yang berlaku di kalangan pakar hukum menyatakan "tidak ada kejahatan dan hukuman kecuali dengan undang-undang". Bandingkan hal ini dengan banyak hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya namun didiamkan saja oleh undang-un-dang dan hukum sehingga di kalangan mereka menjadi hal yang boleh.
Bahkan di antara pasal-pasal dalam un-dang-undang Mesir ada yang secara tegas membolehkan menghalakan hal yang diha-ramkan Allah. Contohnya adalah pasal 226 undang-undang hukum perdata Mesir yang memberi kesempatan bahkan mewajibkan membayar bunga hutang (riba) diakhir untuk menutup hutang. Pasal tersebut menyatakan," Jika kewajiban yang harus dibayar berupa uang dalam jumlah yang telah ditentukan pa-da masa meminjam, kemudian pihak pemin-jam tidak bisa memenuhinya pada waktu yang telah ditentukan maka peminjam harus mem-bayar bunga 4 % dalam perkara perdata dan 5 % dalam perkara perdagangan. Bunga dihi-tung sejak masa berakhirnya pembayaran hu-tang."
Pasal 228 undang-undang hukum perdata menyatakan, "Terjadinya kesusahan pada diri pemberi hutang bukan menjadi syarat pemba-yaran bunga hutang sebagai akibat dari keter-lambatan pengembalian hutang."
B. Pengharaman hal yang dihalalkan Allah. Con-tohnya adalah pasal 201 undang-undang hu-kum pidana Mesir yang menegaskan, "Setiap individu, meskipun seorang tokoh agama, yang menyampaikan khutbah yang mengan-dung celaan kepada pemerintah, undang-un-dang, ketetapan pemerintah, pekerjaan salah satu lembaga pemerintah, atau menyebarkan nasehat atau pengajaran agama yang me-ngandung hal-hal di atas akan ditahan dan membayar denda minimal 100 junaih dan maksimal 500 junaih, atau dengan salah satu dari kedua hukuman ini."
Pasal ini menganggap nasehat keagamaan yang merupakan sebuah kewajiban menurut syari’at Islam sebagai hal yang terlarang dan pantas dihukum. Ini jelas-jelas mengharam-kan hal yang dihalalkan dan bahkan diwajib-kan Allah Ta'ala.
C. Mengganti Syari’at Allah. Contohnya banyak sekali, antara lain :
Pasal 274 undang-undang hukum pidana Mesir menyatakan, "Seorang istri yang te-lah jelas berzina akan ditahan dalam masa maksi-mal dua tahun, namun suaminya berhak menghentikan pelaksanaan huku-man ini jika ia meridhai istrinya sebagai-mana sebelum terjadi perzinaan."
Mengenai suami yang berzina telah dise-butkan di muka bahwa pasal 277 menyatakan jika ia berzina di luar rumah istrinya maka ia ditahan dalam masa maksimal enam bulan. Ini semua jelas merubah had rajam, sebagai-mana memberi suami hak untuk menggu-gurkan hukuman atas kasus berzinanya istri juga merubah syari’at Allah. Contoh lainnya masih banyak.
D. Cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa hak menetapkan undang-undang telah diberikan kepada selain Allah. Pasal 86 telah menyata-kan bahwa," Majelis Perwakilan Rakyat meme-gang kekuasaan menetapkan undang-un-dang."
Hak menetapkan undang-undang sebagai-mana telah kami sebutkan hanyalah hak Allah semata, tak seorangpun boleh merampas hak ini dari-Nya. Pasal ini tidak membatasi kekuasaan Majelis Perwakilan Rakyat dalam mene-tapkan undang-undang dengan ikatan apapun. Pasal ini tidak mengatakan, misalnya, "Selama tidak me-nyelisihi syariah Islam." Maknanya mereka mene-tapkan apapun yang mereka inginkan atau yang diinginkan oleh kepala pemerintahan Mesir.
Karena itulah kami mengatakan bahwa hukum positif ini jelas-jelas menyelisihi syari’at dan me-nentangnya dengan sejelas-jelas penentangan. Orang yang menetapkannya jelas telah kafir, orang yang ridha dengannya dan menggiring ma-nusia untuk berhukum kepadanya juga telah ka-fir. Apa yang kami jelaskan ini telah disadari oleh para ulama kontemporer. Mereka menerangkan bahaya hukum-hukum positif ini. Mereka mene-rangkan bahwa hukum-hukum positif adalah ke-kafiran nyata yang mengeluarkan dari milah. Saya menyebutkan di bawah ini sebagian dari perkataan para ulama tersebut, semoga meya-kinkan syaikh Albani bahwa yang kami katakan bukanlah pendapat Khawarij dan tidak menyelisihi firqah najiyah. Kami senantiasa berdoa kepada Allah semoga tetap meneguhkan kami di atas aqidah firqah najiyah sampai kami menghadap-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Ma-ha Berbuat Kebajikan.
1. Di antara para ulama tersebut adalah syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, "Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah mempo-sisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara ma-nusia dan mengembalikan perselisihan kepa-danya, karena telah menentang firman Allah :
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيــــــلاً
"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…" [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].
Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, "Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hu-kum Al Qur'an dan As Sunah, dengan berpega-ngan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan meng-haruskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qura'an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat "Muhammad adalah utusan Allah" mana lagi yang lebih besar dari hal ini?" [Tahkimul Qawanien hal. 20-21].
2. Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkata-an Ibnu Katsir tentang Al Yasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinu-kil di depan, "Apakah kalian tidak melihat pen-sifatan yang kuat dari al hafidz Ibnu Katsir pa-da abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Is-lam Jengish Khan? Bukankah kalian melihat-nya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Alyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan sege-ra hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menye-lisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Alyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim da-lam berbuat dengannya, atau tunduk kepada-nya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri." [Umdatu Tafsir IV/173-174].
3. Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam Adhwaul Bayan IV/92 ketika menafsirkan fir-man Allah, "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan kepu-tusan." [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menye-butkan beberapa ayat yang menunjukkan bah-wa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, "De-ngan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang me-ngikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menye-lisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragu-kan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashi-rahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."
4. Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hu-kum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafi-ran, kerusakan dan kedzaliman bagi para ham-ba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidah-nya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya. Berhukum dengan se-lain hukum Allah berarti berhukum dengan hu-kum buatan manusia untuk manusia seperti-nya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakh-siah (masalah nikah,cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum anta-ra ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung." [As Salsabil II/384].
5. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah Al 'Arabiyah " (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan keem-pat yang menegaskan batilnya seruan nasio-nalisme arab : seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasio-nalisme arab pasti akan mengakibatkan masya-rakat menolak hukum Al Qur'an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim ti-dak akan pernah ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemim-pin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur'an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasio-nalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad." [Majmu' Fatawa wa Maqolat Mutanawi'ah lisyaikh Ibni Baz I/309].
6. Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang berten-tangan dengan hukum Allah ; berarti telah keluar dari milah dan kafir." [lihat Ahamiyatul Jihad Fi Nasyri Ad Da'wah hal. 196, D. 'Ali Nufai' Al 'Ulyani].
7. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam ko-mentar beliau atas Fathul Majid (hal. 275-276) mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergu-nakan kekuatannya untuk mempraktekkan-nya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"
Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid hal. 387 saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Alyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…".
8. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin me-ngatakan, "Barang siapa tidak berhukum de-ngan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau me-remehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk da-lam golongan ini adalah mereka yang mene-tapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya men-jadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askio-ma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpa-ling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan." [Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin II/143].
Mengomentari kaset syaikh Albani, yang dalam kaset tersebut syaikh Al Albani menya-takan penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah tidak dihukumi kafir kecuali kalau ia meyakini kebolehan berhukum dengan se-lain hukum Allah, Syaikh Muhammad Sholih Ibnu Utsaimin mengatakan, "…Tapi kami me-nyelisihi pendapatnya dalam masalah pengua-sa tidak dihukumi kafir kecuali kalau ia meya-kini kebolehannya. Pendapat beliau ini perlu ditinjau kembali karena kami mengatakan siapa yang meyakini bolehnya berhukum de-ngan selain hukum Allah --meskipun ia tetap berhukum dengan hukum Allah namun ia me-yakini selain hukum Allah lebih baik dari hu-kum Allah-- maka ia telah kafir, kufur aqidah. Pendapat kami ini atas perbuatan (bukan atas niat-pent). Menurut keyakinan saya, tak mungkin seorang menerapkan hukum yang bertentangan dengan syari’at Islam di antara rakyatnya kecuali kalau ia membolehkan hal itu dan meyakini hukum tersebut lebih baik dari hukum syari’at. Inilah yang realita yang ada. Kalau tidak demikian, apa yang menye-babkannya berbuat demikian? Boleh jadi yang menyebabkannya berbuat demikian karena ia takut kepada manusia lain yang lebih kuat darinya. Kalau demikian halnya, maka ia telah berkompromi dengan mereka. Dalam kondisi seperti ini, kami katakan ia telah kafir seba-gaimana orang yang berkompromi dalam kemaksiatan yang lain..." [Fitnatu Takfir lil Allamah Al Albani ma'a Ta'liqat lisyaikh Ibni Baz wa Syaikh Ibni Utsaimin, catatan kaki hal. 28].
9. Syaikh Sholih bin Fauzan dalam bukunya Al Isryad ila Shahihil I'tiqad I/72 mengatakan, "Barang siapa berhukum kepada perundang-undangan dan hukum positif selain syari’at Allah, berarti ia telah menjadikan penetap perundang-undangan tersebut dan orang-orang yang menghukumi dengan perundang-undangan tersebut sebagai sekutu-sekutu Allah dalam menetapkan undag-undang. Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sem-bahan-sembahan selain Allah yang mensya-riatkan (menetapkan) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." Allah berfirman," Jika kalian mentaati merka maka kalian telah musyrik."
Dalam buku yang sama (I/74), setelah menukil perkataan Ibnu Katsir tentang Al-yasiq, beliau mengatakan, "Yang semisal de-ngan hukum Tartar yang beliau sebutkan dan dihukumi kafir orang yang menjadikannya sebagai pengganti hukum syariah, yang semi-sal dengan ini adalah hukum-hukum positif yang hari ini dibanyak negara dijadikan sum-ber perundang-undangan sehingga keberada-annya membuang syariah Islam kecuali bebe-rapa masalah yang mereka sebut al ahwal ash syakhsiyah…"
10. Kalau kita menyebutkan secara detail perkata-an para ulama dalam masalah ini tentulah akan menjadi panjang lebar. Namun kami merasa nukilan-nukilan ini sudah mewakili. Hanya saja untuk menutup permasalahan ini saya akan menyebutkan perkataan syaikh Albani sendiri yang membantah pendapat be-liau. Yaitu yang tersebut dalam buku Fatawa Syaikh Al Albani wa Muqaranatuha bi Fatawa Ulama'. Dalam halaman 263, dinukil dari kaset nomor 171, melalui pembicaraan syaikh Al Albani yang mengisahkan dialog antara beliau dengan seorang cendekiawan, "Saya terang-kan kepadanya bahwa kaum muslimin tidak mengkafirkan Ataturk dikarenakan ia seorang muslim, tidak, namun kaum muslimin meng-kafirkan Ataturk dikarenakan ia telah berlepas diri dari Islam ketika ia mewajibkan kepada kaum muslimin sebuah hukum selain hukum Islam. Di antaranya adalah ia menyamakan warisan antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan sedangkan Allah telah berfir-man, "Bagi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan", lalu ia mewajibkan topi atas rak-yat muslim Turki…"
Kita perhatikan di sini syaikh Al Albani telah membenarkan pengkafiran Ataturk, dengan ala-san Ataturk mewajibkan hukum selain hukum Islam atas kaum muslimin. Saya katakan, "Kalau begitu, apa bedanya antara Ataturk dengan para penguasa lain yang juga mewajibkan selain hu-kum Islam atas kaum muslimin. Sebuah hukum yang isisnya antara lain ; membatalkan hukuman bagi orang murtad, hukuman bagi peminum khamr, hukuman bagi pelaku perzinaan, hukuman bagi pencuri dan lainnya. Bahkan ada yang lebih kejam dari sekedar mewajibkan topi, yaitu mewa-jibkan mencukur jenggot bagi tentara dan polisi. Seorang tentara atau polisi akan dihukum kalau membiarkan jenggotnya. Sebagian pemerintah negara-negara arab juga melarang kaum wanita untuk memakai hijab syar’i. Di Mesir, menteri pendidikan sejak dahulu menetapkan peraturan yang melarang pelajar putri menutup kepalanya dengan khimar (cadar) syar’i kecuali jika ia mam-pu mendatangkan tanda persetujuan walinya. Adapun menutup wajah, menteri pendidikan telah melarang total tanpa perkecualian dengan alasan bukan pakaian yang bermoral.
Sebenarnya kita tidak menemukan perbedaan antara Ataturk dengan penguasa -penguasa yang kami sebutkan ini. Kami katakan demikian, sam-pai syaikh Albani bisa memberikan bukti yang menolak apa yang kami sebutkan ini.
Wallahu Al Musta'an.
KETIGA :
Pendapat para ulama kontemporer yang menyatakan bahwa atsar ibnu Abbas tidak sesuai untuk para pnguasa saat ini.
Pembicaraan kita pada dua pembahasan ter-dahulu berkisar pada masalah menetapkan hu-kum selain dengan hukum Allah adalah kafir akbar dan hukum-hukum positif adalah jelas-jelas kekafiran.
Kini kami akan membicarakan sebuah perma-salahan yang lebih spesifik, yaitu penjelasan ten-tang tidak benarnya menggenakan atsar Ibnu Abbas untuk menghukumi para penguasa hari ini dan hukum-hukum positif batil ketetapan mereka. Dalam kesempatan ini kami mencukupkan diri de-ngan mengetengahkan pendapat para ulama kon-temporer yang mengerti persoalan hukum-hukum positif tersebut dan bahaya destruktifnya. Maksud kami adalah menerangkan kepada syaikh Al Alba-ni bahwa ketika kami menyatakan atsar Ibnu Ab-bas tidak bisa dipakai untuk menghukumi para penguasa yang menetapkan undang-undang tanpa izin Allah, kami sama sekali tidak mengada-adakan pendapat baru. Kami katakan, wabillahi at Taufiq :
1. Syaikh 'Allamah Ahmad Muhammad Syakir dalam Umdatu Tafsir IV/156-158 mengomen-tari atsar Ibnu Abbas dengan perkataan be-liau, "Atsar-atsar dari Ibnu Abbas dan lainnya ini dipermainkan oleh orang-orang yang mem-buat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai udzur atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diterapkan di ne-geri-negeri Islam. Ada juga atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Kha-warij Ibadhiyah tentang perbuatan para pe-nguasa dzalim yang menetapkan vonis dalam beberapa kasus dengan vonis yang bertenta-ngan dengan syariah, dikarenakan hawa nafsu atau tidak mengetahui hukum kasus tersebut. Kaum Khawarij berpendapat orang yang mela-kukan dosa besar telah kafir, mereka mende-bat Abu Mijlaz dengan tujuan beliau menyetu-jui pendapat mereka yang mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga dengan demikian mereka mempunyai alasan untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini diri-wayatkan oleh Ath Thabari (12025 dan 12026). Saudara saya, Mahmud Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang kuat, bagus dan bermutu…" Syaikh Ahmad Syakir kemudian menyebutkan teks riwayat atsar yang pertama, kemudian mengatakan :
"Saudara saya, Mahmud Ahmad Syakir telah menulis berkenaan dengan dua atsar ini, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba'du. Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan ahlu fitnah di kalangan ulama pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dan memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya. Mereka membela penguasa yang menja-dikan undang-undang kafir sebagai undang-undang di negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua riwayat ini, mereka mengam-bilnya sebagai pembenar sikap penguasa yang memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah. Mereka menyatakan bahwa menetapkan perundang-undangan: baik orang yang meri-dhai maupun pelakunya, sama-sama tidak kafir.
Padahal sudah jelas bahwa kaum Ibadhi-yah yang menanyai Abu Mijlaz bermaksud me-maksakan dalil ini kepada beliau, agar beliau mengkafirkan para penguasa dikarenakan para penguasa berada di bawah bendera sultan (khalifah). Dan juga karena barangkali para penguasa berbuat maksiat atau melanggar beberapa larangan Allah.
Karena itu dalam menanggapi atsar yang pertama (12025), Abu Mijlaz menjawab," Jika mereka meninggalkan suatu hal (memutuskan kasus dengan hukum Allah), mereka mengeta-hui bahwa dengan hal itu mereka telah melakukan suatu dosa." Mengenai atsar kedua (12026), Abu Mijlaz berkata kepada kaum Iba-dhiyah, "Mereka mengerti apa yang mereka kerjakan dan mereka menyadari kalau perbua-tan tersebut adalah sebuah dosa."
Dengan demikian, pertanyaan kaum Iba-dhiyah bukanlah apa yang dijadikan alasan oleh para pengikut bid'ah zaman sekarang ini yaitu memutuskan hukum dalam masalah har-ta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam, dan bukan pula dalam masalah menetapkan undang-undang yang diwajibkan atas kaum muslimin dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengu-tamakan hukum-hukum orang kafir atas hu-kum Allah Ta'ala. Ini jelas sebuah kekafiran yang tak diragukan oleh seorang muslim ma-napun, meskipun mereka masih berbeda pan-dapat mengenai kafirnya orang yang mengata-kan dan juru kampanyenya…"
Barang siapa beralasan dengan kedua atsar ini bukan pada tempatnya dan mema-lingkan maknanya kepada selain makna sebe-narnya karena ingin menolong sultan atau sebagai rekayasa untuk memperbolehkan ber-hukum dengan selain hukum Allah dan mem-perbolehkan penguasa mewajibkan kaum muslimin untuk berhukum kepada hukum ter-sebut. Hukum orang yang seperti ini dalam tinjauan syariah adalah orang yang menging-kari hukum Allah. Ia diminta untuk bertaubat, jika tetap pada pendiriannya, terus menerus seperti itu, mengingkari hukum Allah dan ridha dengan digantinya hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya hukum yang berkenaan dengan orang kafir yang tetap bertahan di atas kekafirannya telah sama-sama diketahui oleh orang yang memahami dien ini."
Perkataan Syaikh Ahmad Syakir dan pe-ngakuan beliau terhadap perkataan saudara beliau, Syaikh Mahmud Ahmad Syakir sudah jelas sejelas matahari di siang bolong dalam membedakan antara maksud perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz dengan kondisi kita hari ini. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz ber-kenaan tentang penguasa dzalim yang memu-tuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, namun undang-undang yang berlaku dalam negara adalah syariah Islam. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz tidak berkenaan dengan penguasa yang menetap-kan undang-undang yang menyelisihi syari’at Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum kepada undang-undang tersebut.
2. Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan," Riwayat dari Ibnu Abbas, Thawus dan lain-lain menunjukkan bahwa penguasa yang berhu-kum dengan selain hukum Allah telah kafir, baik kafir I'tiqad yang mengeluarkan dari Is-lam maupun kafir amal yang tidak mengeluar-kan dari Islam.
Kafir yang pertama ; Kafir I'tiqad. Ada be-berapa macam….Yang kelima. Adalah yang paling besar, paling luas dan paling nyata penentangannya terhadap syariah, penen-tangannya terhadap hukum-hukum syariah dan permusuhannya terhadap Allah dan rasul-Nya, dan paling nyata dalam menyaingi pe-ngadilan-pengadilan Islam. Pengadilan hukum positif ini telah ditegakkan dengan segala persiapan, dukungan, pengawasan, sosialisasi yang gencar dan pembuatan hukum baik pokok maupun cabang serta pemaksaan dan membuat referensi dan sumber-sumber hu-kum, yang semuanya untuk menandingi mah-kamah Islam. Sebagaimana pengadilan-pe-ngadilan Islam mempunyai referensi dan po-kok landasan yaitu seluruhnya berdasar Al Qur'an dan As sunah, demikian juga undang-undang dalam pengadilan-pengadilan hukum positif ini juga mempunyai sumber, yaitu dari perundang-undangan dan berbagai ajaran dari banyak sumber, seperti undang-undang Pe-rancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan lain sebagainya, juga dari berbagai sekte sesat pembawa bid'ah.
Kekafiran apalagi yang lebih besar dari kekafiran ini, dan pembatal syahadat "Asyha-du Anna Muhammadan Rasulullah" manalagi yang lebih besar dari perbuatan ini?
Sampai pada perkataan beliau :
"Adapun jenis kedua dari dua jenis keku-furan karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak menge-luarkan dari milah…yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutus-kan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan men-jauhi petunjuk." [Tahkimul Qawanin hal. 15-24].
Sudah kami sebutkan di muka bahwa syaikh Muhammad bin Ibrahim menyebutkan bahwa termasuk kafir akbar yang sudah jelas adalah menempatkan undang-undang terlak-nat sebagai pengganti dari wahyu yang ditu-runkan ruhul amien (kepada Muhammad) se-bagai hukum di antara makhluk. Syaikh Muhammad menjelaskan bahwa menetapkan undang-undang yang menyelisihi syari’at Allah dan tunduk kepadanya merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Adapun kafir asghar yang disebutkan dalam atsar Ibnu Abbas berkenaan dengan orang yang didorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, sementara ia masih mengakui bahwa perbua-tannya tersebut berarti kelemahan dalam menjalankan hukum Allah dan ia tidak mene-tapkan undang-undang yang menyelisihi hu-kum Allah.
3. Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin ditanya tentang perbedaan antara satu kasus yang diputuskan oleh seorang hakim dengan selain hukum Allah Ta'ala dengan menetapkan undang-undang? Beliau menjawab, "Ya, ada perbedaan di antara keduanya. Masalah mene-tapkan undang-undang tidak masuk dalam pembagian yang telah lewat (atsar Ibnu Abbas-pent), namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja (kafir akbar) karena orang yang menetapkan undang-undang yang me-nyelisihi Islam, ia menetapkan undang-undang tersebut karena ia meyakini hal itu lebih baik dan bermanfaat bagi hamba, sebagaimana telah diisyaratkan di awal." [Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/144].
Perkataan syaikh Utsaimin, "namun ia ma-suk dalam bagian yang pertama saja" mak-sudnya termasuk bagian yang Allah menafikan iman darinya, yaitu kafir akbar yang menge-luarkan dari milah. [lihat Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/141].
Dengan demikian jelas sudah bahwa yang dikatakan oleh syaikh Albani sebagai sebuah tak-wilan lucu, bukanlah sekedar pendapat yang ko-song dari dalil dan diutarakan tanpa ilmu oleh se-bagian orang-orang bodoh yang dijuluki syaikh Al Albani dan pengikutnya sebagai Khawarij kontem-porer, namun justru adalah pendapat para ahli tahqiq dari ulama ahlu sunah wal jama'ah kon-temporer yang mengerti betul undang-undang positif tersebut dan penentangannya terhadap kitabullah dan sunah rasul-Nya.
Saya mengajak syaikh Albani untuk memper-hatikan kembali ungkapan imam Ibnul Qayyim ketika menerangkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."
[QS. Al Maidah :44].
Dalam Madariju Salikin I/337 beliau menga-takan, "Pendapat yang benar bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua kafir sekaligus ; kafir asghar dan akbar sesuai kondisi penguasa tersebut. Jika ia meyakini wajibnya ber-hukum dengan hukum Allah dalam kasus tersebut tapi kemudian ia berpaling kepada hukum lain dngan tetap mengakuiperbuatannya tersebut se-buah maksiat dan ia berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Adapun jika ia meyakini ia tidak wa-jib berhukum dengan hukum Allah dan ia bebas memilih antara berhukum dengan hukum Allah atau hukum lainnya meskipun ia menyakini hu-kum Allah, maka ini kafir akbar. Sedangkan jika ia tidak mengetahui hukum Allah (dalam kasus ter-sebut) dan ia memutuskan dengan keputusan yang salah, maka ia seorang yang bersalah (keli-ru) dan hukum yang berlaku atas dirinya adalah hukum orang yang keliru."
Yang dimaksudkan di sini adalah memper-hatikan kembali kata beliau "dalam kasus terse-but". Ungkapan ini berbicara tentang sebuah ka-sus yang diputuskan oleh seorang penguasa de-ngan selain hukum Allah. Artinya, yang dimaksud dari penjelasan rinci ini adalah menjatuhkan vonis dalam sebuah kasus tertentu, bukan menetapkan sebuah undang-undang secara umum karena jika beliau memaksudkan menetapkan undang-un-dang maka ungkapan beliau "dalam kasus terse-but" tidak akan ada maknanya. Sebabnya, seo-rang yang menetapkan undang-undang tidak me-netapkannya untuk sebuah kasus saja, namun ia menetapkan sebuah hukum umum yang ia wajib-kan kepada rakyatnya dalam kehidupan mereka. Ini menguatkan pendapat kami bahwa atsar Ibnu Abbas mengenai menetapkan vonis dalam kasus tertentu, bukan mengenai menetapkan undang-undang. Wallahu A'lam.
Selasa, 01 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...