Syubhat ketujuh: Tidak boleh membunuh orang Amerika dengan cara menyergapnya (ightiyâl), berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak selayaknya seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.”
Jawaban:
Diperbolehkan melakukan ightiyâl terhadap orang kafir harbî, yakni yang tidak ada ikatan janji. Sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan hal itu terhadap orang yang mengadakan gangguan terhadap Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sangat keras. Terdapat juga isyarat terhadap hal itu dalam firman Alloh Ta‘ala: “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
Al-Qurthubi berkata, “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”maksudnya, intailah mereka di tempat-tempat ketika mereka lalai saat diintai, ini merupakan dalil bolehnya melakukan ightiyâl terhadap mereka sebelum mendakwahi mereka.” Selesai.
Perkataan Al-Qurthubi, “…sebelum mendakwahi mereka” maksudnya, bagi orang yang sebelumnya sudah menerima dakwah. Sedangkan ayat “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.” di dalamnya terdapat dalil disyariatkannya mengintai dan mengawasi serta memata-matai musuh.
Adapun sunnah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof dan Abu Rofî‘ bin Abil Huqoiq, keduanya adalah yahudi.
• Mengenai Ka‘ab, ia selalu memprovokasi orang musyrik untuk melawan kaum muslimin, ia juga mencaci Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan syairnya dan suka mendekat-dekat dengan kaum wanita kaum muslimin. Adapun kisah penyergapannya, Bukhôrî dan Muslim me-riwayatkannya; Bukhôrî meriwayatkan dari Jâbir, Rosu-lulloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang mau membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamah berdiri lalu berkata, “Wahai Rosululloh, apakan tuan suka kalau saya membunuhnya?” beliau bersabda, “Ya.” Ia berkata, “Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu.” Beliau bersabda, “Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka‘b.”
Selanjutnya dalam hadits ini dikisahkan bahwasanya Muhammad bin Salamah dan temannya mengelabui Ka‘ab dengan berpura-pura kecewa terhadap Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka juga menipunya sampai akhirnya berhasil membunuhnya, saat itu Ka‘b berada di benteng Manî‘.
- Ibnu Hajar berkata, “Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebut-kan: ‘..orang yahudipun ketakutan dengan peristiwa itu, kemudian mereka mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, ‘Pembesar kami terbunuh dengan cara disergap.’ Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan kelakuan Ka‘ab dan bagaimana dia suka memprovokasi untuk melawan beliau dan menyakiti kaum muslimin.’”
Sa‘d menambahkan, “…akhirnya mereka ketakutan dan tidak bicara sepatahpun.”
–Hingga Ibnu Hajar mengatakan—: “Hadits ini berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa dakwah terlebih dahulu jika dakwah secara umum sudah sampai kepadanya. Juga berisi bolehnya berbicara dalam perang sesuai keperluan meskipun orang yang mengatakan tidak bermaksud yang sebenarnya.” Bukhôrî mengeluarkan hadits ini dalam Kitâbul Jihâd (Bâb Al-Kidzbu fil Harbi/ bab tentang berdusta dalam perang) dan (Bâb Al-Fatku bi Ahlil Harbî/ Bab: Membunuh dalam perang)
Maka barangsiapa yang mensifati tindakan ightiyâl ter-hadap orang-orang kafir yang memerangi Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya itu adalah pengkhianatan terhadap janji atau sifat semisal atau bahwa Islam mengharamkan hal itu, berarti ia sesat dan mendus-takan Al-Qur’an dan Sunnah.
- An-Nawawi berkata: “Al-Qôdhî berkata, ‘Tidak halal bagi siapapun untuk mengatakan bahwa membunuh orang seperti itu adalah mengkhianati janji. Dulu pernah ada seseorang yang mengatakan hal itu di majelis Ali bin Abi Tholib ra , maka ia diperintahkan agar dipenggal, iapun akhirnya dipenggal.’”
Kisah terakhir ini ditunjukkan Al-Qurthubi dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “…maka bunuhlah para pemimpin-pemimpin kufur.”
Disebutkan juga oleh Ibnu Taimiyah dalam As-Shôrimul Maslûl ‘Alâ Syâtimir Rosûl, beliau juga menyebutkan kisah yang terjadi antara Muawiyah dan Muhammad bin Maslamah ra.
• Adapun Ibnu Abil Huqoiq, dia adalah orang yahudi Khoibar, seorang pedagang Hijâz. Dulu dialah yang pergi ke Mekkah membujuk rayu kaum Quraisy tentang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sampai akhirnya mereka membentuk pasukan Ahzâb (pasukan sekutu), dialah penyulut api perang Ahzâb.
Bukhôrî meriwayatkan dari Al-Barrô’ bin ‘Âzib ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang Anshôr kepada Abû Rôfi‘, beliau menunjuk Abdullôh bin ‘Atîk sebagai pemimpin. Abû Rôfi‘ ini selalu menyakiti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan bersekongkol melawan beliau. Waktu itu ia berada di bentengnya di tanah Hijaz.”
Masih dari Barrô‘, Bukhôrî meriwayatkan lagi, ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu kelompok rohth (pasukan berjumalah antara 3-10, penerj.) kepada Abû Rôfi‘, maka ‘Abdullôh bin ‘Atik masuk ke rumahnya pada suatu malam kemudian membu-nuhnya.”
‘Abdullôh bin Atik mengunakan berbagai tipuan sampai ia berhasil membunuhnya, ia menyamar hingga bisa masuk ke dalam benteng kemudian itu tutup pintu rumah orang-orang yahudi dari luar baru kemudianberjalan ke rumah Abû Rôfi‘, tidaklah ia berjalan melewati satu pintu melainkan ia kunci dari dalam, ia juga merubah suaranya hingga tidak dapat dikenali.
- Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: Bolehnya melakukan ightiyâl terhadap orang musyrik yang dakwah sudah disampaikan kepadanya kemudian ia masih saja berada di atas kesyirikannya. Dan boleh membunuh orang yang mem-bantu melawan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan (perbuatan), hartanya atau lisannya. Juga bolehnya memata-matai dan mencari celah kelalaian pasukan perang musuh serta bersikap keras dalam me-merangi orang-orang musyrik. Juga bolehnya menya-markan perkataan demi sebuah kemashlahatan dan diperbolehkannya kaum muslimin yang sedikit maju menghadapi orang musyrik yang banyak.”
- Dalam masalah ini, Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari Rahimahullôh berkata ketika menyebutkan tingkatan-tingkatan ‘Ubudiyyah di dalam tafsirnya terhadap firman Alloh Ta‘ala: “Hanya kepada-Mulah hamba beribadah dan hanya kepada-Mulah hamba mohon pertolongan.” beliau berkata, “Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekwensi dalam menegakkannya. Maka seorang hamba yang ibadahnya kepada Alloh benar tidak akan dipalingkan oleh sikap menunda-nunda dalam urusan ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Juga, seorang hamba yang beri-badah kepada Alloh serta dalam dirinya terdapat tekad kuat untuk berjihad, ia akan melaksanakan ightiyâl terhadap para pemimpin kekufuran dari kalangan para penyeru pemikiran atheis dan pornografi serta siapa saja yang mencela wahyu Alloh atau menggerakkan pena dan propagandanya untuk melawan agama yang lurus ini, sebab berarti ia telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin di jengkal bumi manapun baik orang alimnya atau awamnya untuk membiarkan orang seperti itu tetap hidup, sebab orang seperti ini lebih berbahaya daripada Ibnu Abil Huqoiq dan yang lainnya di mana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk melakukan ightiyâl kepada mereka.
Maka tidak melakukan ightiyâl terhadap orang-orang yang menjadi pewaris mereka di zaman sekarang merupakan bentuk pengabaian terhadap wasiat Nabi pilihan Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam serta pencacatan yang parah dalam ibadah kepada Alloh dan merupakan sikap toleransi terang-terangan sekaligus jahat terhadap cangkul-cangkul yang menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilapangkan dadanya dalam hal itu kecuali orang yang tidak memiliki ghîroh terhadap agama Alloh serta tidak memiliki rasa marah demi wajah-Nya yang mulia, dan itu merupakan kekurangan besar pada kecintaan serta pengagungan kepada Alloh dan rosul-Nya, tidak mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang benar dan sesuai yang diwajibkan.” Selesai.
- Ibnu Qudamah berkata, “Boleh melakukan tabyît terhadap orang-orang kafir, yaitu menyerang mereka di malam hari serta membunuh mereka ketika mereka lengah. Ahmad berkata: Tidak mengapa menyerang malam hari, bukankah Romawi juga diperangi di malam hari? Ia berkata lagi: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menganggap makruh menyerang musuh di malam hari. Sufyan membacakan kepadanya dari Az-Zuhri dari ‘Abdullôh dari Ibnu ‘Abbâs dari Ash-Sho‘b bin Jatsâmah ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai perkampungan-perkam-pungan orang musyrik yang kami serang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk mereka.” Ahmad berkata: Isnad-nya jayyid. Jika dikatakan: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak, maka kami katakan: ‘Ini dibawa kepada makna jika membunuh mereka dengan sengaja.’ Ahmad berkata, ‘Kalau membunuh mereka dengan sengaja, maka tidak boleh.’ Ia berkata: Hadits Ash-Sho‘b datang setelah larangan beliau untuk membunuh wanita ketika beliau melarang membunuh wanita saat mengutus untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq. Juga, kompromi dari dua hadits tersebut bisa dilakukan, yaitu: larangan dibawa kepada makna jika sengaja, dan boleh dalam kondisi tidak sengaja.”
- As-Sarkhosi berkata dalam As-Sairul Kabîr:
“Jika orang-orang Islam yang ditawan bisa membunuh kaum yang memerangi dengan cara ightiyâl dan mengambil harta mereka, hal itu tidak mengapa. Sebab kaum tersebut memerangi mereka, di saat yang sama, mereka dalam kondisi ditindas dan didzalimi, maka mereka boleh melakukan perlakuan setimpal terhadap orang yang menzalimi jika hal itu memungkinkan..!!
• Di antaranya lagi adalah kisah ‘Abdullôh bin Sa‘d bin Abis Sarh dalam riwayat Abû Dâwud, Nasâ’i, Al-Bazzâr, Al-Hâkim dan Al-Baihaqî dari hadits ‘Utsmân ra, bahwa-sanya ia meminta jaminan keamanan untuk ‘Abdullôh bin Sa‘d bin Abis Sarh, lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Ia mengulangi untuk kedua kalinya. Maka tatkala ‘Abdullôh pergi, beliau bersabda, “Mengapa tidak ada seorangpun dari kalian yang membu-nuhnya ketika aku berpaling darinya?” para shahabat me-ngatakan, “Mengapa tuan tidak mengisyaratkan dengan mata tuan?” beliau bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.”
Para ulama berkata: Ini berlaku khusus bagi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam…jadi, itu boleh dilakukan bagi selain beliau. Seandainya ada seseorang selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang memberikan isyarat, tentu itu sesuai dengan keinginan Rosululloh ‘Alaihis Salâm di mana beliau berpaling dari permintaan keamanan ‘Utsmân untuk ‘Abdullôh supaya barangkali ada salah satu dari shahabat yang datang kemudian membunuh ‘Abdullôh bin Abis Sarh..!!
Abû Dâwud, Tirmizî dan Baihaqî meriwayatkan melalui jalur lain dari Anas, ia berkata: “Aku berperang bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kaum musy-rikin maju ke arah kami sampai kami lihat kuda kami berada di punggung-punggung kami, di antara mereka ada seorang lelaki yang maju menerobos barisan kami, ia memukul serta memporak-porandakan dan membuat kami kocar kacir, namun kemudian Alloh kalahkan mereka. Maka ada seorang lelaki yang mengatakan: “Sungguh aku bernadzar, jika Alloh datangkan lelaki tadi kepadaku, aku akan penggal kepalanya.” Akhirnya orang itu datang kedua kalinya, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menahannya, tidak membaiatnya. Maka lelaki yang ber-sumpah tadi menghadangnya namun ia sungkan kepada Rosululloh Saw untuk membunuh orang itu. Tatkala Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat ia tidak melakukan apapun, baru beliau membaiatnya. Maka lelaki itu berkata, “Nadzarku?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menahan diri dari orang itu sejak hari ini kecuali agar engkau bisa menunaikan nazarmu.” Maka lelaki itu berkata, “Wahai Rosululloh, mengapa tuan tidak mengerdipkan mata kepadaku?” beliau bersabda, “Tidak boleh seorang nabi mengedipkan mata .”
Di sini muncul permasalahan, yaitu jika tidak memung-kinkan membunuh orang kafir kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak yang menyertainya, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?
Jawabnya: Boleh membunuh mereka meskipun mereka tidak berperang dan membantu peperangan, yaitu ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan itu, dan jangan melakukan itu dengan sengaja. Dalam masalah ini ada dua hadits:
- Hadits Ibnu ‘Umar ia berkata, “Ada seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” Di dalam riwayat lain menggunakan redaksi: “Beliau mengingkarinya.” Sebagai ganti dari kata-kata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.”
- Dan Hadits Ash-Sho‘b bin Jatstsâmah ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka diserang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak kaum musyrikin. Maka beliau bersabda, “Mereka adalah dari mereka.” Dalam lain riwayat: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya bahwa pasukan kuda menye-rang pada malam hari kemudian mengenai anak-anak kaum musyrikin, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk ayah mereka.”
- An-Nawawi berkata, ““Mereka termasuk ayah mere-ka.”artinya, tidak mengapa melakukan serangan tersebut; sebab hukum-hukum yang berlaku bagi ayah mereka juga berlaku untuk mereka dalam hal waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya, di sini maksudnya adalah jika mereka terkena dengan tidak sengaja dan bukan dalam keadaan terpaksa.
Hadits berisi larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan malam tadi merupakan madzhab yang kami pegang, termasuk madzhab Malik, Abu Hanifah dan Jumhur. Makna dari kata Al-bayât dan yubayyatûna adalah: mereka diserang di malam hari di mana antara lelaki, wanita dan anak-anak tidak bisa diketahui. Hadits ini berisi bolehnya penyerangan malam hari dan bolehnya menyerang orang yang sudah didakwahi tanpa harus memberitahukan penyerangan itu terlebih dahulu. Termasuk kandungan hadits ini adalah: Hukuk anak-anak orang kafir di dunia sama dengan hukum ayahnya; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh ada tiga madzhab dalam hal ini.”
• Mengenai istidlâl (pengambilan dalil) dengan hadits yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghukum mati seorang muslim pada waktu perang Khaibar karena ia membunuh orang kafir dengan cara meng-ightiyâl-nya, dan ketika itu beliau bersabda, “Aku paling utama atau paling berhak sebagai orang yang memenuhi jaminannya.”
Hadits ini –yakni mengenai pembunuhan yang dilakukan si muslim tadi dengan cara ightiyâl—adalah dho‘îf, disebutkan Abû Dâwud dalam Marôsîl-nya dan semua jalur periwayatannya cacat (ma‘lûlah). Pengarang Ad-Dirôyah fî Takhrîji Ahâdîtsil Hidâyah mengupas dengan baik sebagian besar jalur periwayatannya (II/ 262), demikian juga dengan pengarang Nashbur Rôyah milik Az-Zaila‘I, ia menyebutkan dan menghukuminya sebagai hadits dho‘if, silahkan memeriksa pembahasan tentang hal itu. Asy-Syafi‘i –semoga Alloh Ta‘ala merahmati beliau—berkata, “Kalaulah kita anggap hadits itu shohih, maka itu juga sudah manshûkh dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu Fathu Makkah, ‘Seorang muslim tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.’ Hadits ini tercantum dalam riwayat Bukhôrî dan yang lain.
Kalaulah hadits itu shohih, dan kita anggap ia tidak ter-manshûkh, maka hukum itu berlaku bagi kafir dzimmî yang mu‘âhad (terikat janji), sebagaimana disebutkan di dalam Al-Muwaththo’ Imam Mâlik –semoga Alloh Ta‘ala merahmatinya—kemudian ia ter-manshûkh, tinggallah dosa tersebut bagi yang membunuh orang kafir mu‘âhad. Menurut kami, membunuh kafir dzimmi yang mu‘âhad adalah terlarang dan kami katakan hal itu berdasarkan hadits dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu‘âhad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sungguh baunya tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”
Sementara sekarang, orang-orang Amerika itu bukan mu‘âhad sebagaimana yang akan dijelaskan. Lebih-lebih para pelaku yang melancarkan operasi serangan terhadap mereka sudah memberitahukan bahwa tidak ada ikatan dan perjanjian apapun dengan mereka. Maka bagaimana hadits ini dan petunjuk Al-Mushthofâ (Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam) mengenai bolehnya membunuh orang kafir secara ightiyâl akan diterapkan dengan fakta Bani Ashfar sebagaimana sudah dijelaskan?
Syubhat kedelapan: Barangkali ada yang mengatakan, ‘Kalaulah kami terima pendapat kalian ini, maka sesungguhnya ini berlaku ketika dalam kondisi perang, sedangkan antara kita dan Amerika adalah kondisi damai, sebab urusannya adalah urusan mu‘âhadah (adanya perjanjian) yang harus dipenuhi…
Jawaban:
Pertama: Sudah jelas dari pemaparan sebelumnya yang tidak menyisakan tempat untuk ragu bahwa Amerika adalah negara yang memerangi kaum muslimin secara umum, tidak ada yang membantahnya kecuali orang yang sombong.
Kedua: Kalaulah kita terima itu adalah mu‘âhadah, apa yang kalian katakan tentang perbuatan Abû Bashîr dan larinya dia ke daerah tepi pantai menyerang orang-orang kafir kemudian di sana kaum muslimin yang lari membawa agamanya bergabung kepadanya? Apakah kalian akan mengharamkan perbuatan dia? (Jika iya), berarti kalian telah mencela Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menyebut beliau telah membatalkan janji –dan itu mustahil bagi beliau—di mana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan hal itu, beliau bersabda, “Celaka ibunya, dia pengobar perang seandainya ia bersama orang lain.” ini adalah riwayat Bukhôrî.
Sekarang, tidak ada kesempatan buat Anda untuk mengatakan bahwa sekarang ini termasuk dalam kondisi perjanjian. Jika Anda mengatakan hal itu, kami katakan juga kepada Anda: Kondisi yang kita alami sekarang ini bukan termasuk dalam kondisi perjanjian, wahai orang-orang yang mengharamkan, yang menghalangi dan melemahkan orang (untuk berjihad)!! Jika Anda hendak mengeluarkan kondisi yang sedang kita hadapi sekarang, Anda mesti mendatangkan dalil yang mengeluarkannya..!
Ketiga: perjanjian umum –menurut Anda tadi— sudah batal berdasarkan alasan berikut:
1. Perjanjian itu tidak dilangsungkan oleh imam terbesar kaum muslimin. Maka perjanjian itu berlaku khusus bagi yang mengadakan akad dengan Amerika jika yang mengadakannya adalah seorang penguasa yang berhukum dengan hukum Islam. Jika tidak…maka tidak…dan seribu kali tidak..
2. Perjanjian itu tidak terbatasi dengan waktu tertentu, sehingga itu batil, karena kaum muslimin sudah seratus lima puluh tahun lebih tidak pernah terjun dalam kancah perang tholabî terhadap orang kafir dan ini adalah batil serta tidak diperbolehkan. Makanya, Ibnu Qudamah berkata, “Minimal, jihad dilaksanakan setahun sekali; sebab jizyah itu wajib atas ahlu dzimmah setiap tahun dan itu merupakan ganti dari pemberian pertolongan. Demikian juga dengan gantinya, yaitu jihad; wajib dilaksanakan setahun sekali kecuali ada uzur, seperti karena kaum muslimin masih lemah jumlah dan logistiknya, atau sedang menunggu bantuan yang diminta, atau jalan yang hendak mereka lewati ke arah musuh ada penghalang, atau di sana tidak ada makanan dan minuman, atau ia mengetahui bahwa musuhnya punya pandangan bagus terhadap Islam, sehingga besar harapan mereka masuk Islam jika perang terhadap mereka ditunda, atau hal lain yang dipandang sebagai mashlahat ketika perang tidak dilaksanakan. Maka boleh tidak melaksanakan jihad dalam rangka gencatan senjata karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dulupun membuat perjanjian damai dengan kaum Quraisy selama dua puluh tahun dan menunda peperangan terhadap mereka sampai mereka sendiri yang membatalkan janjinya, beliau juga menunda perang terhadap para kabilah arab tanpa adanya gencatan senjata. Jika satu tahun diperlukan perang lebih dari satu kali, hal itu wajib dilaksanakan; sebab itu adalah fardhu kifâyah, sehingga wajib dilaksanakan kapan diperlukan. Dan sebagaimana ditetapkan para ulama, jika mu‘âhadah lebih dari batas waktu yang ditentukan, batallah sisa waktu yang lebih tersebut.
3. Perjanjian itu adalah perjanjian mengenai perkara haram, maka tidak ada kata mendengar dan taat di dalamnya, sebab yang bernilai haram di sana adalah penihilan jihad dan penghapusan pilar penegak Islam, hal itu dengan adanya klaim perdamaian dunia.
4. Terus berlangsung tidaknya perjanjian ini sangat ter-gantung dengan konsekwen tidaknya salah satu fihak, yaitu ia tidak melanggarnya. Sedangkan faktanya, Ame-rika telah melanggar semua perjanjian dan ikatan, bahkan ia tidak mengenal selain khianat dan pelanggaran janji! “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin..” “Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin) padahal jika mereka menang terhadap kamu mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Mereka menyenangkanmu dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” “Mereka tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
5. Kalaulah kita terima adanya perjanjian khusus dari satu negeri kaum muslimin dan penguasanya dengan Amerika, maka para mujahidin yang berada di selain negara yang menjalin ‘perjanjian palsu’ tadi tidak terikat janji apapun dengan Amerika seperti yang dinyatakan Amerika sendiri.
6. Berdasarkan ijmâ‘, boleh membatalkan janji dari suatu kaum dengan syarat dikhawatirkan kaum itu akan mengabaikannya. Alloh berfirman: “Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Alloh tidak suka orang-orang yang berkhianat.”
7. Kemudian, bagaimana mungkin memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir yang memerangi dan menjajah negeri Islam sementara ia selalu melakukan pelanggaran keamanan dan perjanjian ini setiap masa. Maka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan kepada orang seperti ini ibarat orang yang mengu-capkan sesuatu hal sekaligus mengucapkan lawan ka-tanya dalam satu waktu, dan seperti orang yang mem-berikan jaminan keamanan kepada orang yang menyem-belih, merampok dan menodai kehormatannya, kemudian setelah itu mengatakan kepadanya, “Kejaha-tan seperti apapun yang engkau lakukan terhadap hakku, engkai tetap aman menurut fihak saya; adapun engkau –hai musuh yang memerangi—engkau mendapatkan kebebasan total untuk menodai kehormatanku dan merampok hasil negeriku, bagaimana dan kapan saja maumu..!!”
Tindakan seperti ini tentu saja tidak benar baik secara akal maupun syar‘i. Dan tidak ada seorangpun –yang memiliki akal dan din walau seberat biji dzarroh—menyatakan kebenaran akad dan perjanjian seperti ini dan keharusan untuk menghormatinya. Umat ini belum pernah mengenal perjanjian dan akad seperti ini kecuali di zaman kita sekarang di mana banyak sekali anak-anak umat yang mengekor dan menuhankan Amerika atau negeri kafir dan angkara murka lainnya serta merasa ridho dengannya.
8. Islam melarang memberi tempat, melindungi, menyela-matkan atau memberi keamanan kepada ahli bid‘ah yang seharusnya dijatuhi hukuman atau had; Islam menganggap perbuatan seperti itu termasuk dosa besar. Terdapat riwayat shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah di Madinah, atau melindungi pelakunya, maka ia menanggung laknat Alloh, para malaikat dan semua manusia, tidak diterima penyimpangan dan kelurusan darinya.”
Walaupun hadits ini khusus bagi orang yang memberi tempat berlindung pelaku bid‘ah di Madinah, namun ia mengandung celaan mutlak bagi orang yang menjadi tempat lari orang yang menjadi ahli bid‘ah kemudian ia melindungi dan menyelamatkannya serta menghalangi antara dirinya dan pelaksaan qishosh hak dan keadilan untuk bisa sampai kepadanya.
Jika hukum orang yang memberi tempat, melindungi dan mengamankan orang muslim yang melakukan bid‘ah saja seperti ini, lantas bagaimana dengan orang yang menyelamatkan dan memberikan keamanan kepada orang kafir harbî yang terus berbuat makar dan memeranginya sebelum, ketika dan setelah ia beri jaminan keamanan dan perlindungan? tidak diragukan lagi, orang seperti ini lebih berhak mendapatkan ancaman dan laknat serta jauh dari rahmat Alloh, dia juga merupakan serikat dari orang kafir ini dalam kejahatan dan permusuhannya yang terus menerus tiada henti. Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Barangsiapa memberi syafaat yang baik, niscaya akan memperoleh bagian pahala daripadanya. Dan siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dosa dari padanya. Dan Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Terdapat riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohîh Muslim—bahwa beliau bersabda, “Siapa yang menyimpan barang hilang, maka ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.”
Hadits ini berbicara mengenai orang yang menyimpan serta menyembunyikan hewan hilang. Lantas bagaimana dengan orang yang memberi tempat orang kafir harbî dan tidak menghentikan perang dan penjajahannya, kemudian malah menyembunyikan, membantu dan menghalangi antara dirinya dengan pedang-pedang kebenaran untuk bisa mencapainya? tidak diragukan lagi, ini lebih berhak mendapat predikat jahat dan sesat.!
Bukti keterangan dari penjelasan tadi adalah: Siapa saja yang seperti ini keadaannya –yaitu melakukan penjajahan dan perang yang terus menerus—maka dalam kondisi apapun tidak boleh mendapatkan jaminan keamanan atau diselamatkan. Dan siapa yang memberi tempat, menyela-matkan atau melindunginya, maka ia dosa dan penjahat. Jaminan keamanannya tidak berlaku, tidak boleh dan tidak mengharuskan seorangpun dari umat ini memenuhinya.
Syubhat kesembilan: Jihad kita terhadap orang kafir yang memerangi adalah jihad tholab.
Jawaban:
Mengenai syubhat ini, kami tidak punya apa-apa selain mengatakan, ‘Selamat hai kafir yahudi dan nashrani. Selamat hai anak cucu kera dan babi para penyembah thoghut; telah lahir dari umat Lâ ilâha illallôh, telah lahir dari umat jihad, yang mengatakan bahwa negeri-negeri dan kehormatan kami adalah negeri dan kehormatan kalian.’
Jihad tholab, sebagaimana telah dijelaskan, adalah menyerang dan memerangi musuh di negeri mereka. Jadi, semua negeri kaum muslimin yang dinodai tentara-tentara najis itu adalah negeri mereka. Dan..Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Alloh saja.
Kami tidak mengerti, berapa kiblat lagi yang mereka inginkan untuk ternajisi supaya perang ini berubah menjadi difâ‘î? Berapa lagi tempat isro Nabi Kita yang mereka inginkan untuk dirampas musuh, berapa darah kaum muslimin yang ingin tertumpah dengan murah yang tidak ada tangisan di sana sehingga jihad ini menjadi difâ‘i? Berapa ribu lagi yang mereka inginkan anak-anak ‘haram’ lahir dari rahim wanita-wanita muslimat yang suci setelah mereka diperkosa supaya jihad ini menjadi difâ‘î?
Wahai mereka yang menghambat dan melemahkan semangat untuk berjihad…bangsa musyrik penyembah batu yang sesembahannya adalah Budha diperintah perang kemudian merekapun perang dan rela anak keturu-nannya terbantai hingga beberapa generasi sampai musuh terusir, sementara umat yang Alloh wajibkan syariat untuk berperang sampai-sampai Nabinya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengendarai hewan tunggangannya untuk berperang padahal usianya sudah enampuluh tahun lebih , orang-orangnya yang mengaku dirinya sebagai ulama malah mengatakan kepada para pemeluknya di sana: ‘Perang kalian melawan orang-orang kafir di negeri kalian adalah jihad tholab!! Dan tidak sempurna kecuali dengan syarat ini…itu…!!
Alloh Ta‘ala berfirman: “Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk.”
Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya.
Akhir doa kami adalah, Al Hamdu lillâhi Robbil ‘Âlamîn, segala puji hanya milik Alloh robb semesta alam.
Risalah ini ditulis bersandarkan kepada beberapa rujukan, antara lain –setelah Kitab Alloh yang mulia dan buku-buku hadits yang mulia serta yang tercantum di catatan kaki— buku-buku berikut ini:
1. Kitâb Al-‘Umdah Fî I‘dâdil ‘Uddah tulisan Syaikh Abdul Qôdir bin ‘Abdul ‘Azîz.
2. Ath-Thorîq ilâ Isti’nâfi Hayâtin Islâmiyyatin wa Qiyâmi Khilâfatin Rôsyidah ‘Alâ Dhou’il Kitâbi Was Sunnah, Syaikh Abdul Mun‘im Mushthofâ Halîmah, Abû Bashîr.
3. At-Ta’shîl Li Masyrû‘iyyati Mâ Hashola Li Amrîkâ min Tadmîr milik Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Al-Jarbû‘.
4. Al-Harbus Sholîbiyyah Al-Jadîdah tulisan Sang penakluk Salibis, Sholâhuddîn Al-Ayyûbi (bukan nama asli, penerj.)
5. Marôhilu Tasyrî‘il Jihâd edisi revisi dari cetakan sebelumnya.
Rabu, 09 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...