Syubhat keempat: Apakah persenjataan (syaukah) dan kemampuan menjadi syarat dalam jihad difa‘î (defensif)?
Jawaban:
- Bahwasanya harus dibedakan antara jihad tholab dan jihad difa‘. Pensyaratan adanya syaukah dan kemampuan untuk wajibnya jihad adalah ketika jihad tholab. Adapun ketika jihad difa‘, seperti ketika musuh memerangi negeri kaum muslimin, maka wajib melawan semampunya:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun jihad defensif, maka ia adalah bentuk melawan paling besar terhadap serangan kepada kehormatan dan agama. Hukumnya adalah wajib secara ijmak. Musuh yang menyerang, di mana ia merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Maka tidak lagi disyaratkan satu syaratpun di sana tetapi ia harus melawan semampunya. Para ulama dari madzhab kami dan yang lain menetapkan hal itu. Maka harus dibedakan antara menolak serangan yang dzalim dan kafir dan antara menyerang mereka di negeri-nya.”
Beliau berkata lagi, “Adapun jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka melawannya menjadi wajib atas seluruh orang yang diserang, orang yang tidak diserang juga wajib untuk membantu orang yang diserang, dan ini wajib hukumnya sesuai kemampuan setiap orang, baik dengan jiwa atau hartanya, baik sedikit atau banyak, berjalan atau berkendaraan sebagaimana ketika kaum muslimin diserang musuh pada waktu perang Khondaq, Alloh tidak mengizinkan seorangpun meninggalkannya sepertimana Dia mengizinkan ketika perang offensive untuk menyerang musuh di mana Alloh membagi kaum muslimin ada yang duduk dan ada yang keluar…”
Beliau berkata lagi, “Dan perang difa‘ seperti ketika jumlah musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu menghadapinya, akan tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan menyerang orang-orang yang ada di belakang mereka, maka dalam kondisi seperti ini pengikut madzhab kami menegaskan mereka wajib mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang yang dikhawatikan tadi dalam rangka menolak musuh sampai mereka semua selamat. Yang semisal adalah ketika musuh menyerang negeri Islam sementara kelompok yang berperang tidak sampai setengah jumlah musuh; jika mereka mundur, musuh akan menguasai kehormatan, maka yang seperti ini dan semisalnya adalah perang difa‘, bukan perang tholab, tidak diperbolehkan mundur dalam kondisi apapun. Perang uhud termasuk katagori perang seperti ini.”
Bahkan, dalam jihad tholab sekalipun, syaukah dan ke-mampuan adalah syarat wajib, bukan syarat sah jihad. Da-lil-dalil dari apa yang kami sebutkan adalah:
a. Di antaranya yang terdapat dalam kisah ‘Âshim bin Tsâbit ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya sebagai pemimpin beberapa orang shahabatnya ke ‘Adhol dan Al-Qôroh. Maka keluarlah sekitar seratus orang pemanah untuk menyerang mereka. Kemudian mereka kepung Âshim dan para shahabatnya seraya mengatakan, “Kalian mendapatkan sumpah dan janji jika kalian mau turun menyerah kepada kami, yaitu kami tidak akan membunuh seorangpun dari kalian.” Maka Âshim berkata, “Adapun saya, aku tidak akan turun ke tanggungan orang kafir…” Akhirnya merekapun memerangi Âshim dan kawan-kawannya sampai akhirnya mereka berhasil membunuh Âshim dengan tujuh orang yang menggunakan lembing.”
Di sini tidak diragukan lagi bahwa kemampuan Âshim dan shahabatnya tidak cukup untuk melawan seratus pemanah padahal sebenarnya mereka memiliki alternatif untuk meninggalkan perang, namun meski demikian Âshim ra tidak mau kecuali memerangi mereka, ia pun memerangi mereka sampai terbunuh.
b. Dalil lain adalah yang tercantum dalam kisah ‘Amrû bin Jamûh ra, Ia adalah seorang lelaki pincang dan ia memiliki empat anak seperti singa yang ikut serta dalam beberapa perang yang dilakukan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala perang Uhud, mereka ingin menahan ayahnya dan mengatakan, ‘Sesungguhnya Alloh telah memberi udzur kepada engkau.’ Maka ia datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu mengatakan, “Sesungguhnya anak-anakku ingin menahan aku dari kesempatan ini dan melarangku keluar bersama engkau. Demi Alloh, aku benar-benar berharap bisa menginjakkan kakiku yang pincang ini di jannah.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Adapun engkau, Alloh telah memberi udzur kepadamu, engkau tidak wajib berjihad.” Kemudian beliau bersabda kepada anak-anaknya, “Janganlah kalian halangi dia, barangkali Alloh akan memberikan kesyahidan kepadanya.” Akhirnya ia turut keluar bersama beliau hingga akhirnya terbunuh dalam perang Uhud.”
Dari Abû Qotâdah ia berkata: Amru bin Jamuh datang kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, apa pendapat tuan jika aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan bisa berjalan di Jannah dengan kakiku dalam keadaan sehat (normal)?” –kakinya memang pincang—maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya.” Akhirnya ia terbunuh bersama keponakan serta maula-nya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewatinya kemudian bersabda, “Seolah aku melihat ia sedang berjalan di jannah dengan kakinya dalam keadaan sehat.” Akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka berdua berikut maulanya dijadikan dalam satu kubur, merekapun dikubur menjadi satu.”
Petunjuk yang ada pada kisah Amru bin Jamuh adalah bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengi-zinkan ia berperang meski ia dalam keadaan pincang yang mendapatkan udzur berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, jadi dia sebenarnya tidak wajib berperang.
c. Dalil yang lain adalah hadits Salamah bin Al-Akwa‘ ketika ia menyergap Abdurrohman Al-Fazari dan pasukannya untuk mengambil kembali kambing milik Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mereka rampas. Salamah bin Al-Akwa‘ mengejar mereka sendirian, ia terus melempari mereka dengan lembing hingga berhasil membebaskan apa yang mereka rampas. Ia terus mengejar mereka sementara mereka lari dan mereka buang apa yang mereka simpan, akhirnya ia mengambil salab dari mereka lebih dari tiga puluh burdah dan tiga puluh tombak.
Di antara yang tercantum di sana adalah penuturan Salamah: “…aku terus berada pada posisiku sampai akhirnya aku melihat pekuda-pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di celah-celah pohon.” Ia melanjutkan: “Ternyata yang paling depan adalah Al-Akhrom Al-Asadi, disusul di belakangnya Abu Qotadah Al-Anshori.” Salamah melanjutkan, “Kemudian kupegang tali kekang kuda Al-Akhrom.” Salamah berkata lagi, “Merekapun lari mundur, aku katakan, ‘Wahai Akhrom, waspadailah mereka, jangan sampai mereka menghadangmu sebelum Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya datang.” Al-Akhrom berkata, “Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari Akhir serta tahu bahwa surga dan neraka itu benar, maka jangan halangi antara diriku dan kesyahidan.” Salamah berkata, “Akhirnya kulepaskan ia, kemudian ia bertemu berhadapan dengan Abdurrohman, Abdurrohman berhasil menikam dan membunuhnya. Kemudian Abu Qotadah, pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengejar Abdurrohman dan berhasil menikan dan ganti membunuhnya. Maka demi Dzat yang telah memuliakan wajah Muhammad, aku benar-benar mengikuti mereka, aku kejar dengan kakiku sampai aku tidak melihat di belakangku ada para shahabat Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak juga debunya sedikitpun. Hingga tibalah sebelum matahari tenggelam, mereka belok ke sebuah lembah yang di sana ada mata air, namanya Dzû Qorod, untuk minum darinya karena mereka kehausan.” Salamah berkata, “Kemudian mereka melihat diriku yang mengejar di belakang mereka, maka akupun mengusir mereka dari mata air tersebut sehingga mereka tidak jadi minum satu tetespun dari sana.” Di dalamnya termasuk sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, “Sebaik-baik penunggang kuda kita hari ini adalah Abu Qotadah, dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah Salamah.”
Hadits ini juga disebutkan Imam Ibnun Nuhâs Ad-Dimyâthî dalam kitabnya Masyâri‘ul Asywâq ilâ Mashôri‘il ‘Usysyâq fî Fadhô’ilil Jihâd dalam bab yang beliau beri judul: Keutamaan seorang diri yang pemberani atau kelompok yang sedikit menceburkan diri ke dalam jumlah yang banyak karena mengharapkan kesyahidan dan ingin merugikan musuh. Kemudian beliau mengatakan, “Di dalam hadits shohih ini terdapat dalil yang sangat tepat akan kebolehan seorang diri menyerang golongan musuh yang banyak meskipun ia bisa pastikan dirinya bakal terbunuh, jika ia melakukan hal itu ikhlas dalam rangka mencari kesyahidan sebagaimana dilakukan Al-Akhrom Al-Asadi ra dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela hal itu serta tidak melarang sahahabat melakukan seperti tindakannya. Bahkan dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya dan keutamaan perbuatan ini, sebab Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah tindakan mereka berdua sebagaimana disebutkan, padahal mereka berdua maju menghadapi musuh sendirian dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang.”
- Ibnu Qudamah berkata, “Jika musuh berlipat ganda dari jumlah kaum muslimin namun kaum muslimin merasa akan menang, maka lebih baik mereka bertahan sebab ada mashlahat di sana; namun kalau mereka mundur, boleh-boleh saja, sebab tidak ada jaminan mereka akan selamat. Tetapi jika mereka menduga kuat bahwa mereka akan binasa jika tetap bertahan dan jalan selamat adalah dengan mundur, maka lebih baik mundur, kalaupun mereka tetap bertahan juga boleh-boleh saja sebab memiliki keinginan syahid dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa menang.”
Seandainya syaukah dan kemampuan menjadi syarat sah jihad, tentu Ibnu Qudâmah tidak memperbolehkan tetap bertahan walaupun dalam dugaan kuat mereka pasti akan binasa jika tetap bertahan dan akan selamat jika mundur.
- Al-Quthubi berkata di dalam Tafsir-nya: “Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Seandainya ada satu orang yang maju menghadapi seribu orang musyrik sendirian, hal itu tidak menjadi masalah jika ia tetap sangat berkeinginan untuk selamat dan bisa merugikan musuh. Jika tidak seperti itu, maka hal itu makrûh, sebab ia menyodorkan dirinya kepada kehancuran tanpa adanya manfaat bagi kaum muslimin.
Jika maksud dia adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin melawan musuhnya sampai ia melakukan tindakannya tersebut, maka itu tidak mengapa. Sebab di sana ada manfaat bagi kaum muslimin dari beberapa sisi.
Jika tujuannya adalah irhâb (menakutkan) musuh agar mereka tahu betapa kuatnya kaum muslimin dalam urusan agama, maka itu tidak mengapa. Jika di sana ada manfaat bagi kaum muslimin, lalu ia membina-sakan dirinya dalam rangka memuliakan agama Alloh dan menghinakan kaum kafir maka itu adalah kedudukan mulia yang Alloh puji kaum mukminin dengannya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa mereka…” dan ayat pujian lain di mana Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya. Dengan demikian, sebaiknya hukum amar makruf nahi munkarpun dibangun di atas pertimbangan di atas.”
- As-Sarkhosi berkata: “Tidak mengapa mundur jika kaum muslimin didatangi musuh yang tidak sanggup dilawan , namun tidak mengapa juga terus bersabar; tidak seperti yang dikatakan sebagian orang bahwa itu adalah bentuk menceburkan diri kepada kebinasaan, tapi itu justeru merupakan bentuk pengorbanan jiwa dalam rangka mencari keridhoan Alloh Ta‘ala. Ini dilakukan oleh lebih dari seorang shahabat ra, di antaranya adalah ‘Âshim bin Tsâbit, ia menolak mundur dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji perbuatan mereka sehingga dari situ tahulah kita bahwa tindakan seperti itu tidak mengapa. Wallôhul Muwaffiq.”
Ini semua adalah dalam jihad tholab, di mana dalam sahnya jihad jelas bahwasanya tidak disyaratkan satu kelompok mujahid harus memastikan dirinya memiliki syaukah yang bisa merealisasikan kemenangan atas musuh. Kalau kelompok tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada musuh walaupun itu sekedar menebar ketakutan dalam hati mereka itu sudah cukup, atau bisa mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin walaupun mashlahat ini hanya berupa menaikkan keberanian dalam hati orang-orang beriman.
Adapun dalam jihad difa‘, maka tidak ada syarat seperti ini sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Tidak diragukan, pendapat yang muncul akan beragam ketika menentukan kerugian dan mashlahat yang bisa ditimbulkan dengan memberanikan diri maju untuk melaksanakan satu operasi jihad tertentu. Maka dalam kondisi seperti itu, harus ada ijtihad dalam menentukan urusan tersebut. Yang wajib bagi kelompok mujahid adalah bertakwa kepada Alloh sehingga ia tidak mengambil sikap ngawur tidak juga terlalu pengecut, tetapi ia serahkan urusan tersebut kepada orang berilmu yang memiliki kemampuan qiyas yang baik. Dan, kelompok tersebut harus selalu merujuk kepada ulama yang pejuang (Âmilîn).
Oleh karena itu, kapan saja kelompok dari ahlul haq tersebut bisa memastikan –setelah mencurahkan kesung-guhannya dan meminta pertimbangan kepada ahlul ‘ilmi—bahwa mereka memiliki kemampuan yang bisa menimbul-kan kerugian terhadap musuh, atau memberikan mashla-hat bagi kaum muslimin, maka ia bisa langsung melaksa-nakan perang saat itu juga. Untuk selain mereka yang berudzur karena masih lemah, maka ia tidak berhak mengingkari apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka belum memiliki kemampuan, tapi mestinya ia justeru bergembira dengan itu serta berandai-andai seandainya ia yang menjadi pelaku jihad tersebut.
- Ibnu Abdil ‘Izz berkata, “Jika seorang hamba tidak mampu mengetahui sebagian hal itu atau tidak bisa mengamalkannya, maka janganlah ia melarang dilaksanakannya ajaran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak mampu ia laksanakan tersebut. Tapi, tidak mencela itu sudah cukup baginya, justeru ia harus merasa bangga serta ridho karena ada orang lain yang melaksanakannya dan berandai andai kalau saja dialah yang menjadi pelakunya.”
Perkataan ini didasari karena Alloh ‘Azza wa Jalla telah memberikan udzur orang yang tidak mampu berjihad, akan tetapi dengan syarat ia berlaku baik kepada Alloh dan rosul-Nya, bukan malah menghambat dan mencela, Alloh Ta‘ala berfirman: “Tidak ada dosa bagi orang-orang lemah, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mendapatkan biaya untuk membawanya jika mereka berbuat baik kepada Alloh dan rosul-Nya.”
- Al-Hâfidz Ibnu Katsîr berkata, “Maka bagi mereka ini tidak ada dosa jika mereka duduk dan berbuat baik ketika mereka duduk serta tidak mempengaruhi manusia, tidak menghalangi mereka dan mereka baik-baik saja. Oleh karena itu Alloh berfirman: “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapengasih.”
Syubhat kelima: Kita harus menahan diri tidak berperang dulu karena kaum muslimin masih lemah seperti yang terjadi pada fase Mekkah.
Jawaban:
Apakah pendapat yang mengatakan lemahnya kaum muslimin itu menjadi sebab tidak disyari‘atkannya jihad di Mekkah? Apakah itu merupakan ‘illah yang mempengaruhi disyari‘atkan tidaknya jihad? Ataukah itu merupakan hikmah dari hukum naskh (penghapusan) dan tadarruj (pensyariatan setahap demi setahap)?
Agar permasalahan ini menjadi lebih jelas, kita kembali kepada masalah disyariatkannya jihad pada periode Mek-kah dan periode Madinah, dan bagaiamana ayat pedang (At-Taubah: 5, penerj.) telah menghapus semua hukum disyariatkannya jihad yang terdapat dalam ayat-ayat yang turun sebelumnya. Para ulama salaf dan setelahnya menetapkan bahwa fase terakhir itu menjadi penghapus masa sebelumnya.
- Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata mengenai tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” “Alloh Jalla Tsanâ’uhû menghapus berlakunya sikap memberi maaf dan membiarkan mereka dengan kemudian mewajibkan memerangi mereka sebagai gantinya sampai kalimat orang-orang kafir dan kaum mukminin sama (artinya mereka masuk Islam, penerj.), atau mereka membayar jizyah dari tangan dalam keadaan hina.” Kemudian beliau rahimahullôh menukil pendapat yang menyatakan penghapusan ini dari Ibnu ‘Abbâs, Qotâdah dan Robî‘ bin Anas.
- Al-Hâfiz Ibnu Katsîr di dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” juga menukil pendapat telah terhapusnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbâs, beliau mengata-kan, “Abul ‘Âliyah, Ar-Robî‘ bin Anas, Qotâdah dan As-Suddî juga mengatakan bahwa ayat ini terhapus dengan ayat pedang, hal itu ditunjukkan juga oleh firman Alloh Ta‘ala: “…sampai Alloh datangkan urusan-Nya.”
- Ibnu ‘Athiyyah mengatakan dalam tafsirnya terhadap ayat pedang: “Ayat ini menghapus semua sikap pemberian maaf dalam Al-Quran atau yang senada. Disebutkan bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah sekitar seratus empat belas ayat.”
- Al-Qurthubi berkata mengenai tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” “Ayat ini mansûkh dengan firman Alloh Ta‘ala: “Qôtilul ladzîna lâ yu’minûna billâhi sampai “…shôghirûn.”
Dari Ibnu ‘Abbâs, dikatakan: Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh: “…faqtulul musyrikîna…”
Beliau berkata juga mengenai tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka.” “Ayat ini menghapus semua ayat tentang pemberian maaf dan memberi ampun.”
- Ibnu Hazm berkata, “Larangan perang dihapus menjadi wajibnya perang.”
- Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, “…maka perintah-Nya agar mereka berperang menghapus perin-tah menahan diri…”
- As-Suyûthî berkata, “Firman Alloh Ta‘ala: “…Faqtulul Musyrikîn haitsu wajadtumûhum…” ini adalah ayat pedang yang menghapus ayat-ayat tentang pemberian maaf, membiarkan, berpaling dan berdamai. Jumhur menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi Turki dan Habasyah.”
Ia juga berkata, “Semua pemberian maaf, berpaling, membiarkan dan menahan diri terhadap orang kafir yang tercantum dalam Al-Qur’an telah terhapus dengan ayat pedang.”
Lebih dari satu orang ulama yang menukil adanya ijmâ‘ tentang pendapat yang menyatakan terhapusnya ayat-ayat tadi:
- Ibnu Jarîr mengatakan dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…” “Ayat ini terhapus dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan terhapus lantaran adanya ijmâ‘ ahlut takwil yang menyatakan seperti itu adanya.”
- Al-Jashshôsh berkata mengenai firman Alloh Ta‘ala: “Maka jika mereka membiarkan kalian, tidak memerangi kalian dan mengemukakan perdamaian, maka kami tidak berikan jalan bagi kalian untuk (menawan dan membunuh mereka).” “Dan kami tidak mengetahui seorangpun dari fuqoha yang melarang memerangi orang musyrik yang tidak memerangi kita, yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya membiarkan mereka tidak diperangi, bukan larangannya; sebab semuanya sepakat larangan perang terhadap orang musyrik yang tidak memerangi kita telah terhapus.”
- As-Syaukani berkata: “Adapun memerangi orang-orang kafir, bertempur melawan orang-orang kafir dan menga-jak mereka kepada Islam atau mereka menyerahkan jizyah, atau mereka diperangi, semua itu merupakan ajaran agama yang sudah sangat maklum…adapun dalil-dalil yang berisi perintah untuk membiarkan dan meninggalkan mereka jika mereka tidak memerangi, maka itu sudah mansûkh (dihapus) menurut kesepakatan kaum Muslimin dengan ayat yang mewajibkan untuk memerangi mereka dalam kondisi apapun jika memiliki kemampuan untuk memerangi mereka serta bisa memerangi dan menyerbu di negeri-negeri mereka.”
- Shiddîq Hasan Khon juga menukil ijmâ‘ dengan lafadz yang sama dengan Asy-Syaukânî, namun ia tidak menisbatkan perkatan itu kepadanya.
Jadi, yang benar, belum disyariatkannya jihad di fase Mekkah adalah tinjauan hikmah penghapusan hukum, bukan merupakan ‘illah, sebab ‘illah disyariatkannya jihad adalah untuk meninggikan kalimat Alloh. Nash-nash syar‘i menunjukkan bahwa ‘illah memerangi orang-orang kafir adalah karena kekufuran mereka, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka…”
Alloh Ta‘ala juga berfirman: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Maka nash-nash ini dan yang semisal menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu diperangi lantaran kekufuran mereka; ayat dan hadits-hadits yang ada menyatakan mun-culnya hukum perang lantaran mereka kufur. Al-Qurôfî –Rahimahullôh—berkata, “Dzohir dari nash-nash yang ada mengandung makna munculnya hukum perang lantaran ada kekufuran dan kesyirikan…dan, munculnya suatu hukum lantaran suatu sifat itu menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi ‘illah, sementara selain sifat itu bukan ‘illah.”
Jadi, ‘illah yang menjadikan wajib tidaknya jihad bukan kuat atau lemahnya kaum muslimin sehingga dikatakan secara mutlak bahwasanya menahan diri dan membiarkan itu wajib ketika dalam kondisi lemah. Tetapi ‘illahnya tak lain terkait dengan adanya kekufuran serta adanya agama yang bukan seluruhnya milik Alloh, sehingga perang menjadi wajib sampai tidak ada fitnah dan agama semuanya menjadi milik Alloh.
Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah tidak lain adalah sebuah ijtihad, bukan nash hadits Nabi. Oleh karena itu, bisa saja menambahkan hikmah dan sebab-sebab lain dari ijtihad seperti ini sesuai yang Alloh bukakan kepada para hamba-Nya.
Ibnu Katsîr telah mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin bukan merupakan satu-satunya sebab jihad tidak disyariatkan di Mekkah, beliau mengatakan, “Kaum mukminin pada awal-awal Islam di Mekkah diperintahkan untuk sholat dan zakat belum mencapai nishob. Mereka juga diperintah untuk menyantuni orang fakir dari mereka. Mereka juga diperintahkan untuk mem-biarkan dan memaafkan orang-orang musyrik serta bersabar hingga tiba saatnya nanti, padahal dirinya juga menahan amarah dan ingin sekali berperang agar bisa melampiaskan perasaan terhadap musuh. Kondisi saat itu belum tepat lantaran banyak sebab; di antaranya masih sedikitnya jumlah mereka jika dibandingkan jumlah musuh, sebab yang lain adalah mereka berada di negeri mereka sendiri, yaitu negeri harôm (terhormat/ Mekkah) dan merupakan jengkal tanah termulia sehingga saat itu belum ada perintah perang dulu sebagaimana dikatakan. Oleh sebab itu, jihad belum diperintahkan kecuali setelah di Madinah ketika mereka sudah memiliki negeri kekuatan dan para penolong.”
Beliau juga mengisyaratkan sebab lain dalam tafsir firman Alloh Ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…” beliau mengatakan, “Artinya, hendaknya orang-orang beriman memaafkan dan bersabar menahan gangguan mereka. Ini di awal-awal Islam, mereka diperintahkan bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan ahlu kitab supaya hal itu bisa melunakkan mereka. Kemudian, tatkala mereka terus menerus menentang, Alloh mensyariatkan untuk sikap tegas dan jihad. Demikianlah yang diriwa-yatkan dari Ibnu ‘Abbâs ra dan Qotâdah.”
Beliau juga berkata, “Jihad disyariatkan di saat paling tepat, karena ketika mereka masih di Mekkah, kaum musyrikin lebih banyak jumlahnya. Kalau Alloh perintahkan kaum muslimin memerangi kaum musyrikin yang ada padahal jumlah mereka tidak sampai seperse-puluh, tentu itu berat bagi mereka. Maka tatkala kedudukan mereka di Madinah kokoh dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada mereka dan merekapun berkumpul membela beliau, mereka menolong beliau, dan mereka sudah punya negeri Islam dan tempat kembali untuk berlindung, Allohpun mensyariatkan berjihad melawan musuh.”
Ustadz Sayyid Quthb Rahimahullôh memiliki perkataan tentang masalah ini, di sana beliau menambahkan masalah lemahnya kaum muslimin ada enam hikmah lain, secara ringkas beliau mengatakan:
- Mungkin karena fase Mekkah adalah fase tarbiyah dan I‘dad. Di antara tujuan tarbiyah adalah mendidik jiwa orang arab untuk bersabar atas perkara yang biasanya tidak sabar menerima kezaliman yang menimpa dirinya atau menimpa orang yang mereka jadikan tempat pelarian, supaya kepribadiannya bisa terbebas darinya serta agar dirinya tidak kembali dan juga orang yang mereka jadikan sebagai tumpuan kehidupan dalam pandangannya.
- Mungkin juga, karena dakwah secara damai lebih berbekas dan lebih bisa diterima pada lingkungan seperti Quraisy yang memiliki sikap arogan dan merasa mulia, dan mungkin saja kalau perang digunakan pada fase seperti ini hanya akan menambah penentangan.
- Di antara hikmah lain, mungkin untuk menghindari munculnya peperangan dan pembunuhan di setiap rumah. Sebab saat itu belum ada system kekuasaan berupa undang-undang secara umum perihal siksaan yang menimpa kaum mukminin, tetapi saat itu hanya diserahkan kepada pemimpin masing-masing orang, mereka berhak menyiksa, menguji dan mendidiknya.
- Barangkali juga, karena Alloh tahu bahwa kebanyakan orang-orang yang menentang dan menyiksa kaum muslimin generasi pertama itu kelak bakal menjadi tentara Alloh yang ikhlas.
- Barangkali juga, karena sifat kesatria bangsa arab biasanya ingin membalaskan dendam orang terzalimi yang menerima gangguan dan tidak bisa membalas, terlebih jika gangguan itu menimpa orang mulia di kalangan mereka. Ibnud Daghonah misalnya, ia tidak rela membiarkan Abu Bakar hijrah dan keluar dari Mekkah serta menganggap itu sebagai aib bagi bangsa Arab, akhirnya ia mendampingi dan melindunginya.
- Barangkali juga, mengingat sedikit dan terbatasnya jumlah kaum muslimin di Mekkah saat itu. Maka dalam kondisi seperti ini, peperangan yang dipaksakan akan berujung kepada terbunuhnya kelompok muslim dan eksisnya kesyirikan.
Di saat yang sama, waktu itu belum ada tuntutan mendesak untuk mengabaikan semua pertimbangan ini. Sebab perkara yang pokok dalam dakwah ini berdiri tepat dan terlaksana pada waktunya, yaitu adanya dakwah dalam kepribadian sang da‘i, yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sementara diri beliau sendiri di bawah lindungan pedang-pedang Bani Ha-syim, sehinga tidak ada tangan yang berani coba-coba mengusik beliau kecuali terancam akan tertebas.”
Sebelumnya, ustadz Sayyid Quthb sudah memberikan pengantar dalam mukaddimah di mana beliau menyebut-kan bahwa apa yang akan belaiu ucapkan dalam masalah ini tak lain adalah ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Dan bisa saja di balik semua itu ada hikmah-hikmah lain yang tidak diketahui selain Alloh, dan sikap seorang mukmin di hadapan beban syariat atau hukum apapun yang sebabnya tidak Alloh terangkan secara rinci, pasti dan jelas, maka:
“…meskipun terlintas sebab dan ‘illah-‘illah dari hukum ini atau beban syariat itu, ia harus menganggap semuanya sebatas kemungkinan. Janganlah ia memastikan –walau seperti apapun tingkatan ke-tsiqoh-an ilmu yang ia miliki pada akal dan perenungan yang ia lakukan terhadap hukum-hukum Alloh—bahwa pendapatnya itulah hikmah yang dikehendaki Alloh secara nash, dan di balik itu tidak ada yang lain. Maka, sikap menolak memastikan tersebut termasuk adab yang wajib terhadap Alloh…”
Jadi, ini adalah permasalahan ijtihad, tidak mungkin bisa dipastikan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah satu-satunya sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah.
Artinya, di sana ada beberapa banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan dalam mencari sebab-sebab mengapa perang dilarang di fase Mekkah. Lantas, mengapa kelemahan dianggap sebagai satu-satunya ‘illah yang menjadi poros dari ada tidaknya perintah untuk menahan diri dan sikap membiarkan.
Isyarat tadi, yaitu perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyariatkannya jihad di fase Mekkah, sebenarnya adalah pembahasan mengenai hikmah dari pensyariatan secara bertahap (tadarruj), bukan pada ‘illah sebuah hukum, seperti perkataan Aisyah ketika menerangkan sebab ditundanya hukum-hukum diturunkan, di antaranya untuk tadarruj dalam pengha-raman khomer.
Kita tahu bahwa tadinya khomer tidak haram, selan-jutnya diharamkan ketika sholat saja dan terakhir diha-ramkan secara total, hukum terakhir inilah yang menghapus semua hukum sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa belum diharamkannya khomr pada awal permulaan memiliki beberapa sebab seperti yang dijelaskan perkataan Aisyah ra: “…sesungguhnya yang pertama kali diturunkan adalah surat Mufashshol yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka, hingga ketika manusia mau kembali kepada Islam, turunlah yang halal dan yang haram. Seandainya pertama-tama langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer selamanya.’ Jika langsung diturunkan, ‘Kalian jangan berzina.’ Tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan tinggalkan zina selamanya…”
Di sini, Aisyah ra menjelaskan bahwa sebab turunnya hukum-hukum ditunda seperti pengharaman khomer adalah karena manusia di awal-awal Islam belum siap menerimanya, itu juga bagian dari hikmah ilâhî dengan menunda turunnya hukum sampai jiwa mereka tenang dengan tauhid dan memahami surga dan neraka.
Al-Hâfidz Ibnu Hajar berkata, “Maka tatkala jiwa sudah tenang atas hal itu, barulah turun ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, Aisyah ra berkata, ‘Seandainya pertama kali langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer.’ Hal itu disebabkan watak jiwa yang akan menolak meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.”
Tetapi perlu dicatat, sebab yang disebutkan Ummul Mukminin ‘Aisyah dengan ditundanya penurunan ayat-ayat hukum bukan berarti jika sebab itu kembali ada, hukum dari sebab itu akan sama dengan hukum yang berlaku pertama kali; misalnya jika hari ini ada orang barat masuk Islam yang biasa minum khomer dan memiliki kebiasaan seperti kebiasaan orang arab dulu, atau lebih parah, maka tidak boleh kita terapkan syariat secara bertahap dalam hal pengharaman khomer terhadapnya, namun sejak hari pertama kali masuk Islam, ia diwajibkan mengamalkan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling akhir (yaitu khomer haram secara total) meskipun dalam diri orang barat ini terdapat sebab yang sama diharam-kannya khomer secara tadarruj.
Jadi, ‘Aisyah tidak berbicara mengenai ‘illah diharamkannya khomer, zina atau hukum lainnya. Beliau juga tidak berbicara sampai dalam masalah hikmah pensyariatan hukum tersebut sekalipun. Beliau hanya berbicara mengenai hikmah mengapa turunnya hukum-hukum tersebut ditunda.
Demikian juga, dalam permasalahan jihad sah-sah saja mengatakan: Sesungguhnya lemahnya kaum muslimin di fase Mekkah adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad di masa itu. Akan tetapi, itu bukan merupakan ‘illah yang menjadi poros wajib tidaknya jihad.
Sesungguhnya perkataan bahwa dalam kondisi lemah hukum kembali kepada hukum yang berlaku ketika fase Mekkah sama juga maknanya dengan meninggalkan I‘dad (persiapan) untuk perang, sebab saat itu mereka tidak diperintahkan untuk mengadakan I‘dad, perintah I‘dad baru turun ketika di Madinah setelah disyariatkannya perang. Inilah tentunya yang tidak benar karena sudah jelas bahwa di saat jihad tidak bisa dilakukan lantaran lemah harus dilakukan I‘dad sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah .
Syubhat keenam: Orang kafir terlindungi darah dan hartanya jika kaum muslimin belum memiliki persen-jataan yang cukup (syaukah) dan kekuatan. Sebab Rosululloh Sho-llallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerangi memerangi seorang musyrikpun di Mekkah dan tidak menghalalkan harta dan darah mereka.
Jawaban:
Adapun anggapan bahwa orang kafir terlindungi jika kaum muslimin tidak memiliki syaukah dan kekuatan, maka ini adalah perkara bid‘ah dalam agama Islam.
Mengenai masalah terlindunginya darah, sudah dibica-rakan pada pembahasan pertama dari pasal kedua. Se-dangkan masalah syaukah dan kekuatan telah dibahas pada jawaban syubhat keempat, silahkan merujuknya kem-bali.
Berdalil dengan apa yang dilakukan Rosululloh Shol-lallohu ‘Alaihi wa Sallam di fase Mekkah terhadap orang-orang kafir adalah seperti perkataan sebagian orang-orang yang disebut Jama‘ah Tawaqquf, di mana mereka mengata-kan bahwa kita sedang hidup di masa kelemahan seperti periode Mekkah dulu, sehingga kita harus mengambil fase-fase pemberlakuan hukum yang diikuti di masa pertama Islam yaitu memulai dengan apa yang diturunkan di Mekkah pada waktu masa lemah yang sekarang kita juga sedang mengalaminya.
Nanti kalau jama‘ah ini sudah sampai kepada kekuasaan dan memberlakukan Islam sebagai hukum, barulah ia jalankan syari‘at yang turun di Madinah di waktu Islam berkuasa kala itu.
Adapun fase yang sekarang kita alami adalah masa kelemahan, sehingga wanita-wanita musyrik belum haram (dinikahi), demikian juga dengan sembelihan-sembelihan mereka juga belum haram, sholat jum‘at belum wajib, demikian juga dengan Idul Fithri dan Idul Adha. Berjihad juga tidak boleh, tetapi harus menahan diri dulu dan tidak melakukan perlawanan serta tidak ada hukum-hukum lain yang turun di Madinah di masa Islam berkuasa saat itu.
Lebih dari itu, kelompok ini menganggap itu bagian dari akidah (keyakinan) sehingga kemudian mengkafirkan orang yang mengingkari fase-fase tersebut. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan orang yang berusaha menyusun kekuatan di masa kelemahan seperti ini. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang menyatakan pandangan khusus dia secara terus terang tentang kafirnya Sayyid Quthb –Rahimahullôh—karena dalam pandangan mereka beliau ini mengambil jalan kekuatan…
Yang lebih parah dari bid‘ah ini adalah bid‘ah seseorang bernama Mahmûd Thôhâ As-Sûdânî –yang terbunuh pada masa An-Numairî—di mana ia juga beranggapan bahwa kita ini hanya diwajibkan mengamalkan Al-Qur’an Mekkah, ia menamakannya Al-Qur’an Mekkah dengan Qur’an Al-Ishôlah. Atas dasar keyakinan itu, sekarang ini tidak ada zakat dan jihad, khomer tidak haram dan pada asalnya wanita itu adalah terbuka, bukan berjilbab serta kebatilan-kebatilan lain , ini tentunya adalah kesesatan yang paling parah.
Selasa, 08 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...