Minggu, 06 Desember 2009

Syubhat Seputar Jihad (Bag. 5, HAL. 74-117)

PASAL KETIGA:
BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT YANG MENJADI AJANG PERDEBATAN SEPUTAR MASALAH JIHAD

Syubhat pertama: Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad kecuali bersama Khalifah…” artinya, umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan permusuhan sebelum adanya khalifah!!
Jawaban:
Ini adalah syubhat yang diwahyukan syetan kepada para mukhodzilûn (orang yang melemahkan jihad)
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan orang yang suka melemahkan semangat) yang menghalangi orang untuk berjihad jihad di zaman kita sekarang ini. bagi setiap Nabi musuh dari manusia dan jin yang sebagian mewahyukan kepada yang lain perkataan yang indah untuk menipu, dan seandainya tuhanmu mau, mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buat. Dan agar hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu mendengarnya, dan agar mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan.” kemudian syubhat ini dinukil orang lain karena perasangka baik terhadap mereka. Bantahan terhadap syubhat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menyatakan keabsahan adanya pengikatan dan syarat seperti ini. Tetapi, semua nash syar‘i yang memerintahkan jihad fî sabilillâh –yang sedemikian banyak—justru tercantum secara mutlak tanpa adanya ikatan waktu, tempat atau sifat tertentu seperti syarat yang disebutkan dalam syubhat tadi..!
Kedua: Tidak adanya seorang shahabatpun, atau seorang alim terpercayapun –dari kalangan generasi abad terdahulu maupun yang belakangan—yang mengatakan perkataan baru dan asing ini di mana itu sama artinya bahwa perkataan ini adalah masukan baru terhadap fikih Islam yang ia tidak meninggalkan satu penyimpangan atau kejadian kecuali ia telah membahasnya.
Ketiga: Perkataan mengenai pengikatan dan syarat seperti ini berdampak kepada tidak diamalkannya ribuan nash syar‘i yang mendorong serta memerintahkan untuk berjihad. Jadi, seolah syarat ini penting betul…tetapi ternyata tidak disebutkan, baik secara isyarat atau hanya sekilas saja dalam satu nash syar‘ipun; tidak juga dalam perkataan seorang alim terpercaya satupun padahal agama ini penjelasannya sudah sempurna. Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kita ke surga dan menjauhkan kita dari neraka kecuali telah beliau terangkan kepada umatnya.
Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Hari ini telah kusempurnakan agama kalian dan Ku-lengkapi nikmat-Ku terhadap kalian, dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Tidak kutinggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kalian kepada Alloh kecuali telah kuperintahkan. Dan tidak kutinggalkan satu perkarapun yang menjauhkan kalian dari Alloh dan mendekatkan kalian kepada neraka kecuali sudah kularang kalian darinya.”
Para shahabat mengatakan, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di langit kecuali telah beliau terangkan kepada kami ilmunya.”
Jika agama telah sempurna, dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kita kepada Alloh kecuali telah beliau terangkan, sampai burung yang terbang di langitpun beliau sudah terangkan ilmunya kepada umatnya. Lantas di mana penjelasan dan penyebutan ikatan dan syarat ini yang nampaknya begitu penting..?!
Kami tidak bisa mengatakan apapun selain memastikan bahwa syarat ini rusak dan bathil, pensyaratan ini adalah perkataan baru dan masuk belakangan terhadap fikih Islam. Di dalam sebuah riwayat shohîh dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –sebagaimana dalam Shohîh Bukhôrî dan yang lain—beliau bersabda, “Mengapa orang-orang tersebut mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh? Barangsiapa yang mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitabullôh, maka tidak benar. Meskipun syarat itu seratus kali. Syarat Alloh tetaplah lebih benar dan lebih kukuh.”
Keempat: Nash-nash syar‘i menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwasanya jihad ini akan terus berlanjut di setiap zaman hingga menjelang hari kiamat, sama saja apakah kaum muslimin memiliki khalifah atau pimpinan pusat atau tidak. Di antara nash tersebut:
• Sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat.”
• Di dalam hadits Jâbir bin Samuroh disebutkan: “Senantiasa agama ini tegak, berperang di atasnya satu kelompok dari umatku sampai (menjelang) hari kiamat.”
• Di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir disebutkan: “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas perintah Alloh, mereka kalahkan musuh mereka, mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi mereka hingga (menjelang) datang kepada mereka hari kiamat dan mereka tetap seperti itu.”
• Di dalam hadits ‘Imrôn bin Hushoin disebutkan: “Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka sampai kelompok terakhir dari mereka memerangi Al-Masîh Dajjâl.”
• Di dalam hadits Mu‘âwiyah bin Abî Sufyân: “Akan selalu ada satu kelompok dari kaum muslimin yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka hingga (menjelang) hari kiamat.”
• Dan dari Salamah bin Nufail ia berkata: Aku duduk di sisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ada seseorang yang berkata, “Wahai Rosululloh, manusia tidak lagi mengurus kuda dan meletakkan senjata serta mengatakan: Tidak ada lagi jihad, perang sudah usai.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan wajahnya dan bersabda, “Mereka dusta, sekarang…sekarang tiba waktu perang dan akan senan-tiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran; Alloh akan simpangkan hati beberapa kaum dan Dia memberi rezeki kelompok tadi dari mereka hingga (menjelang) tiba hari kiamat dan sampai datang janji Alloh.”
• Dan dari Nawwâs bin Sam‘ân ia berkata, “Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sudah melakukan penaklukan, aku mendatangi beliau dan kukatakan: Wahai Rosululloh, kuda telah dilepas dan senjata telah diletakkan, sungguh perang sudah usai dan mereka mengatakan: “Tidak ada lagi peperangan.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka dusta, sekarang datang waktu perang, sekarang datang waktu perang. Sesungguhnya Alloh Jalla wa ‘Alâ akan menyimpangkan hati beberapa kaum kemudian mereka perangi mereka dan Alloh beri mereka rezeki dari kaum tersebut sampai tiba urusan Alloh atas hal itu, sedangkan pusat negeri kaum mukminin adalah Syâm.”
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengkhabarkan bahwa akan selalu ada satu kelompok dari umat beliau yang berperang di jalan Alloh dan bahwasanya hal itu tidak akan terputus hingga akhir zaman. Dan dengan makna ini, banyak para ‘Aimmah menerjemahkan hadits ini, di antaranya Abu Dawud, beliau berkata dalam Sunan-nya: Bâb Fî Dawâmil Jihâd (Bab: akan terus berlangsungnya jihad.) Kemudian beliau menyebutkan hadits ‘Imrôn bin Hushoin tadi. Demikian juga dengan Ibnul Jârûd: Bâb Dawâmul Jihâd ilâ Yaumil Qiyâmah (Bab: akan terus berlangsungnya jihad hingga hari kiamat) kemudian beliau sebutkan hadits Jâbir di atas.
- Imam Al-Khithobi berkata: “Di sini terdapat keterangan bahwa jihad tidak akan pernah terputus. Dan jika sudah menjadi perkara yang logis apabila para pemimpin itu tidak akan semuanya sepakat menjadi adil, maka hadits ini menunjukka bahwa jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin yang jahatpun adalah wajib seperti wajibnya dengan pemimpin yang adil.”
- An-Nawawi berkata, “Di dalam hadits ini terdapat mukjizat yang jelas, sesungguhnya sifat ini akan selalu ada –dengan memuji Alloh Ta‘ala—sejak zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hingga sekarang. Dan akan selalu ada sampai datang ketetapan Alloh yang disebutkan dalam hadits itu.”
Di dalam hadits shohih juga disebutkan: “Kuda akan tetap tertambat kebaikan pada ubun-ubunnya hingga (menjelang) hari kiamat.”
- Al-Hâfizh berkata dalam syarah hadits ini: “Di dalamnya juga terdapat kabar gembira akan langgengnya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab di antara konsekwensi logis langgengnya jihad adalah langgengnya mujahidin sedangkan para mujahidin itu adalah kaum muslimin. Hadits ini mirip dengan hadits lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berpe-rang di atas kebenaran…”
- Sementara itu, Syaikh Sulaimân bin ‘Abdullôh An-Najdi merajihkan pendapat yang menyatakan bahwa thô’ifah manshûroh tersebut tidak selalunya berada di Syam. Di antara dalil yang beliau gunakan adalah terputusnya jihad di daerah tersebut sejak beberapa lama, beliau mengatakan mengenai penduduk Syam: “Lagipula, sejak beberapa lama mereka tidak memerangi seorangpun dari orang-orang kafir, tetapi huru-hara dan peperangan justeru terjadi di antara mereka sendiri. Atas dasar ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits: “Mereka ada di Baitul Muqoddas” dan perkataan Mu‘adz: “Mereka ada di Syam” maksudnya adalah mereka berada di sana pada sebagian kurun waktu tapi tidak seluruhnya, demikian juga fakta yang ada, ini menunjukkan apa yang kami telah sebutkan tadi.”
Maksud semua ini, akan selalu ada dari umat Islam ini yang menjadi kelompok perang (Thô’ifah Muqôtilah) yang berada di atas kebenaran meskipun mereka ini sedikit hingga datang ketetapan Alloh yang tercantum dalam hadits tadi.
Maka sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan selalu ada satu kelompok…”dan: “Lan yabroha…” (akan selalu ada…) menunjukkan adanya keberlangsungan yang terus menerus mengenai keberadaan kelompok yang berperang di jalan Alloh ini pada setiap putaran zaman dan hingga menjelang hari kiamat. Jihad mereka tidak akan berhenti lantaran satu penyebab yang muncul kemudian berupa vakumnya umat dari kholifah seperti yang kita alami di zaman sekarang.
Kemudian, kelompok yang berjihad di jalan Alloh –yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang sudah kami sebutkan tadi—jumlahnya (baik secara bahasa maupun syar‘i) mulai dari satu atau lebih, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Jika Kami memberi maaf satu kelompok dari kalian, Kami adzab satu kelompok lagi dikarenakan mereka adalah kaum yang jahat.”
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsîr-nya: “Dikatakan tiga orang: bergurau dua orang dan tertawa satu orang, maka yang dimaafkan adalah yang tertawa dan tidak berkata-kata.” Selesai.
Alloh Ta‘ala berfirman: “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
Dari ayat ini serta yang lain, para ulama menyimpulkan bahwa jihad itu bisa saja dilakukan oleh satu orang dari kaum muslimin. Dan bahwa keengganan umat dari jihad fi sabilillah tidak boleh menggoyahkan satu orang ini dari bangkit dan terus berjalan di atas jalan jihad.
- Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsîr-nya (V/ 293): “Az-Zujâj berkata: Alloh Ta‘âlâ memerintahkan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad meski ia hanya sendirian, sebab Alloh telah jamin kemenangan untuk beliau.
Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Ini adalah dzahir lafadz, hanya tidak ada satu pengkhabaranpun yang menyebutkan bahwa peperangan itu diwajibkan kepada beliau saja tanpa umat yang lain di suatu kurun waktu, sehingga dengan demikian maknanya –Wallôhu A‘lam—itu adalah perintah kepada beliau secara lafadz dan itu merupakan satu permisalan bagi setiap satu orang khusus pada dirinya; artinya, Engkau wahai Muhammad dan setiap yang hanya satu orang dari umatmu maka perintah inilah yang berlaku atasnya: “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri…”
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tetap berjihad walaupun ia sendirian.
Di antara dalil lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Alloh, aku benar-benar akan perangi mereka sampai hilang batang leherku.” Demikian juga dengan perkataan Abu Bakar ketika memerangi orang-orang murtad: “Jika tangan kananku tidak sejalan denganku, aku akan perangi mereka dengan tangan kiriku.” Selesai.
Pertanyaannya sekarang: Kalau jihad itu tetap dijalan-kan meskipun hanya satu kelompok yang hanya terdiri dari satu orang, lantas di manakah posisi khalifah dari kelompok yang hanya beranggotakan satu orang ini, lebih-lebih kalau adanya khalifah menjadi syarat sah jihad...?
Jika dikatakan: Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan senantiasa ada…” tidak menunjukkan ada-nya keberlangsungan jihad secara terus menerus sepanjang zaman, yang selanjutnya berarti sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam itu tidak boleh kita bawa pada waktu tidak adanya khalifah!
Pernyataan ini bisa dijawab sebagai berikut: Kata-kata: “Akan senantiasa ada…” mengandung arti keterus berlangsungan jihad di setiap waktu, baik secara tinjauan bahasa maupun fakta yang ada sebagaimana kami jelaskan dari perkataan para ulama tadi. Maka jika kita berada di suatu zaman tertentu yang kita tidak mengetahui adanya tempat dan aktifitas jihad dari kelompok yang berperang (thô’ifah muqôtilah)ini, bukan berarti kelompok tersebut tidak ada. Justeru ketidak tahuan terhadap sesuatu merupakan indikasi adanya kekurangan dan kemalasan, bukan ketidak adaan sesuatu tersebut.
Kemudian, okelah kalau kita terima –untuk sekedar mendebat dan menerima alasan mereka—bahwa sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam “Akan selalu ada…” tidak selalunya menunjukkan adanya keterus berlangsungan jihad dari kelompok yang berjihad ini di putaran zaman atau di setiap zaman, tapi tidak mungkin kita bisa terima bahwa jihad kelompok ini akan hilang dan berhenti selama seratus tahun sejak tidak adanya khalifah seperti di zaman kita sekarang.
• Di antara dalil yang lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya hijroh tidak akan terputus selama ada jihad.” Dalam riwayat lain: “Hijroh tidak akan terputus selama musuh masih diperangi.”
Di waktu yang sama, terdapat sebuah riwayat shohîh dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Hijroh tidak akan terputus sampai taubat terputus. Dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.”
Mafhum serta manthuq dari hadits ini menunjukkan bahwa pendapat yang menyatakan putusnya jihad mau tidak mau harus mengatakan juga bahwa hijroh juga terputus; sedangkan mengatakan hijroh putus, berarti secara otomatis harus mengatakan juga bahwasanya taubatpun sudah putus, padahal berdasarkan ijma‘ taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.
Selanjutnya, berarti orang yang mengatakan jihad putus di masa vakumnya khalifah –seperti di zaman kita ini—mau tidak mau harus mengatakan putusnya taubat di zaman ketidak adaan khalifah; dan tak diragukan lagi ini adalah perkataan batil dan rusak karena ia menyelisihi nash dan logika serta ijma‘.
• Dalil lain adalah firman Alloh Ta‘ala: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa dan harta mereka dengan bahwasanya mereka memperolah surga, mereka berperang di jalan Alloh lalu mereka membunuh atau terbunuh; sebagai janji yang mesti dipenuhi untuknya dan pasti di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, dan siapakah yang lebih menepati janji-Nya selain Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang engkau adakan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.”
Ini adalah jual beli yang sudah selesai serta tidak perlu dibatalkan dalam waktu-waktu tertentu. Alloh Ta‘ala membeli dari para hamba-Nya jiwa dan harta mereka dengan memberikan kepada mereka surga sebagai balasan dari amalan jihad fi sabilillah. Akad pembelian ini berlaku atas seluruh kaum mukminin kapanpun mereka hidup, di zaman manapun mereka hidup, baik di zaman adanya khalifah atau ketika tidak ada…tidak ada yang ingin tertinggal dari akad jual beli ini atau tidak merasa ridho dengan jual beli semacam ini selain orang yang lebih memilih keluar secara total dari himpunan seluruh komunitas kaum mukminin.
Sedangkan orang yang mengatakan tidak ada jihad tanpa khalifah, mau tidak mau ia harus menghentikan akad jual beli yang berlangsung antara seorang hamba dengan robbnya ketika khalifah tersebut tidak ada, padahal masa vakum ini barangkali akan memakan waktu ratusan tahun…maka, silahkan difikirkan kembali!!
• Dalil yang lain adalah sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapa terbunuh membela hartanya maka ia syahid. Siapa terbunuh membela darahnya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela agamanya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid.”
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena melawan kedzaliman terhadap dirinya, maka ia syahid.”
Dengan demikian, apakah kemudian kita katakan bahwa mereka ini disebut para syuhada jika terbunuhnya kalau ada khalifah, sedangkan jika mereka terbunuh karena membela agama dan melawan kezaliman terhadap dirinya ketika masa kevakuman khalifah maka perang mereka adalah bathil dan mereka bukanlah orang-orang yang mati syahid..?!!
Kelima: Bahwasanya Abû Bashîr serta beberapa shahabat yang bergabung dengannya –yang terkena imbas dari butir-butir perjanjian Hudaibiyah sehingga menghalangi mereka untuk bergabung dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di Madinah—mereka menyergap kafilah-kafilah dan meme-rangi kaum musyrikin tanpa seizin dan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di saat yang sama, beliau tidak mengingkari jihad yang mereka lakukan hanya lantaran mereka berjihad tanpa seizin imam yang kala itu disandang oleh diri beliau sendiri yang penuh berkah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
• Bukhori meriwayatkan di dalam Shohîh-nya: “Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah. Datanglah Abû Bashîr, seorang lelaki dari Quraisy yang sudah masuk Islam kala itu. Maka kaum quraisy mengutus dua orang untuk menyusulnya, mereka mengatakan, “Mana janji yang kau sepakati dengan kami?” akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan Abû Bashîr kepada kedua orang utusan Quraisy tersebut. Keduanyapun keluar dan membawanya sampai di Dzul Hulaifah. Mereka kemudian singgah sebentar untuk memakan kurma. Sejurus kemudian, Abu Bashir mengatakan kepada salah seorang dari keduanya: “Demi Alloh, aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan.” Maka yang seorang lagi menghunusnya seraya berkomentar, “Benar, demi Alloh ini memang pedang bagus. Aku sudah mencobanya, aku sudah mencobanya.” Abû Bashîr berkata, “Coba saya ingin melihat.” Iapun memberikan pedang itu kepada Abû Bashîr. Begitu pedang diberikan kepada Abû Bashîr, ia langsung menebas utusan Quraisy itu sampai ia mati sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke Madinah. Sesampai di sana ia masuk ke dalam masjid dengan berlari terengah-engah. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tampaknya ia ketakutan.” Ketika orang itu menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ia mengatakan, “Demi Alloh dia telah bunuh temanku, dan aku benar-benar hendak dibunuhnya.” Tak lama kemudian datanglah Abû Bashîr, ia mengatakan: “Wahai Nabi Alloh, demi Alloh, Alloh telah penuhi janjimu, engkau telah kembalikan aku kepada mereka kemudian Alloh selamatkan aku dari mereka.” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Celaka ibunya, dia penyulut peperangan jika ia bersama orang lain.”, ketika Abû Bashîr mendengar sabda beliau ini, ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada mereka. Akhirnya Abû Bashîr keluar hingga sampai di Saiful Bahr, ia berkata: “Dan di antara orang Quraisy ada yang melarikan diri (dari Mekkah) di antaranya adalah Abû Jandal bin Suhail, ia bergabung dengan Abû Bashîr, setelah itu tidak ada seorang quraisypun yang keluar dan sudah masuk Islam kecuali bergabung dengan Abû Bashîr sampai mereka berkumpul menjadi satu kelompok. Demi Alloh, tidaklah mereka mendengar ada satu unta yang milik Quraisy yang keluar menuju Syam kecuali mereka cegat unta tersebut, lalu mereka perangi kafilah unta tersebut dan mereka ambil hartanya. Akhirnya kaum quraisy mengirim utusan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memohon dengan sangat dengan nama Alloh agar dikasihani orang yang dikirim, maka barangsiapa yang datang kepada beliau, dia aman. Akhirnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus agar Abû Bashîr dan kawan-kawannya datang kepada beliau.”
Pertanyaannya sekarang: “Jika para shahabat saja boleh perang di zaman ketika adanya Imam tertinggi, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa seizin dan perintahnya –dikarenakan kondisi dan butir perjanjian Hudaibiyah—maka bagaimana perang di jalan Alloh di masa vakum dari khalifah tidak boleh, padahal bisa saja kevakuman itu disebabkan karena kondisi terpaksa sebagaimana terjadi di zaman kita sekarang?!
Keenam: Banyak para shahabat dan tabi‘in yang melewati masa perang tanpa adanya khalifah, seperti Zubair bin ‘Awwâm, Mu‘âwiyah, Amrû bin Al-‘Âsh, Al-Husain bin ‘Alî, ‘Abdullôh bin Zubair dan para shahabat yang lain–ridhwanullôh ‘alaihim ajma‘în—.
Juga seperti yang terjadi pada waktu perang Mu’tah, di mana para shahabat mengangkat Khôlid sebagai pemimpin mereka ketika para komandan mereka terbunuh dan ketika itu pemimpin tertinggi tidak ada di antara mereka –yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam—Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallampun ridho dengan apa yang mereka lakukan ini.
Demikian juga dinasti Banî Umayyah dan ‘Abbasiyah serta ‘Utsmâniyah.
Mereka melewati masa perang dan jihad sebelum tegaknya negara dan kekhilafahan mereka serta sebelum pengangkatan pimpinan umum kaum muslimin, sementara tidak ada seorang ulamapun yang mengingkari perang yang mereka lakukan lantaran mereka melakukannya tanpa adanya khalifah atau sebelum pengangkatan imam umum atas kaum muslimin.
Masa yang paling masyhur adalah tiga tahun sejak tahun 656 H –saat itu, pasukan Tartar membunuh khalifah ‘Abbâsiyah, Al-Mu‘tashim, di Baghdad—hingga tahun 659 H, di tahun inilah khalifah pertama di Mesir dibai‘at . Meskipun kala itu sedang vakum dari khalifah, kaum muslimin tetap terjun ke medan pertempuran yang termasuk pertempuran membanggakan bagi kaum muslimin hingga hari ini, yaitu perang ‘Ain Jâlût melawan Tartar tahun 658 H. Ini terjadi di saat masih adanya sekian banyak ulama, seperti ‘Izzuddîn bin ‘Abdis Salâm serta yang lain. Namun tidak ada seorangpun yang mengatakan, ‘Bagaimana kita berjihad padahal kita tidak punya khalifah?’ bahkan komandan kaum muslimin dalam perang ini (yaitu Saifuddîn Quthz) mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir setelah dilengserkannya putra ustadznya dari kesultanan karena ia masih kecil dan para qodhi serta para ulama meridhoi hal itu kemudian membaiat Quthz sebagai sultan. Ibnu Katsîr malah menganggap tindakan Quthz ini merupakan nikmat dari Alloh atas kaum muslimin, sebab melalui dia Alloh luluh lantakkan persenjataan Tartar .
Demikian juga dengan jihad dan perang yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullôh—melawan orang-orang kafir Tartar serta orang-orang zindiq bathi-niyah, di zaman ketika tidak ada imam, di waktu para penguasa lari dari beban tanggung jawab terhadap bangsa dan negerinya..!!
Ibnu Taimiyah menganggap kelompok-kelompok perang di zaman tersebut adalah termasuk Thô’ifah Manshûroh, beliau mengatakan: “Adapun kelompok-kelompok yang ada di Syâm, Mesir dan lainnya, maka di saat sekarang ini merekalah orang-orang yang berperang membela Islam dan merekalah manusia yang paling berhak masuk ke dalam Thô’ifah Manshûroh.”
Demikian juga jihad dan perang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb –rahimahullôh—melawan orang-orang musyrik para penyembah kuburan dan yang lainnya, tanpa adanya khalifah, tidak ada izin dan perintah darinya... sementara para ulama Jazirah Arab menyetujui hal itu –semoga Alloh Ta‘ala merahmati mereka semua—dan tidak mengingkari beliau yang berperang tanpa adanya khalifah dan imam.
Ketujuh: Hadits ‘Ubadah bin Shômit: “Kami berbaiat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di antara yang beliau ambil dari kami, hendaknya berbaiat untuk mendengar dan taat, baik ketika rajin maupun tidak suka, ketika mudah maupun sulit serta terhadap tindakan yang tidak adil kepada kami dan hendaknya kami tidak menentang urusan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang nyata, kamu memiliki keterangan dari sisi Alloh tentangnya.” Ini adalah khalifah atau imam ketika ia kufur dan gugur kepemimpinannya, dan wajib melawannya, memerangi dan menurunkannya serta mengganti dengan imam yang adil dan ini adalah wajib berdasarkan ijma‘ sebagaimana hal itu dinukil oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar . Apakah kita akan katakan: Kita tidak akan keluar melawan penguasa kafir sebab tidak ada imam, dan dari mana kita akan mem-peroleh imam sementara ia telah kufur dan wajib dilawan? Ataukah kita tunggu imam yang tidak ada dan kita biarkan kaum muslimin terkena fitnah kekufuran dan kerusakan? Apakah ini akan diucapkan seorang muslim? Sesung-guhnya hadits tadi berisi penjelasan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk memerangi pemimpin dan memberon-taknya apabila ia kufur. Maka kami tanyakan kepada orang-orang yang mengatakan syubhat ini, bagaimana kaum muslimin akan berperang dalam kondisi seperti ini padahal tidak ada imam? Jawaban syar‘inya adalah hendaknya mereka melakukan seperti yang dilakukan shahabat pada waktu perang Mu’tah, yaitu mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.
Kedelapan: perkataan ini mengakibatkan munculnya celaan dan keragu-raguan terhadap sah tidaknya jihad yang dila-kukan harokah-harokah jihad hari ini yang telah sungguh-sungguh bangkit di hadapan para taghut yang lalim demi tegaknya khilâfah rasyîdah serta ingin memulai kembali babak baru kehidupan Islami di semua lapisan dan tingkatan. Menyedihkankan sekali, itulah yang kami terima dari orang-orang yang melontarkan kata-kata batil ini; yaitu tidak ada jihad yang tegak salah di suatu daerah atau penjuru bumi manapun kecuali mereka ini bersegera –sebelum musuh dari para thoghut yang kafir—melesakkan panah tuduhan, sikap antipati dan memunculkan keraguan terhadap keabsahan jihad tersebut dan keabsahan loyalitas serta niatan-niatan para mujahidin..!!
Kesembilan: Perkataan ini sebenarnya tidak akan digunakan oleh selain musuh umat Islam yang jahat dan melampaui batas, mereka adalah para penjajah dan yang semisal, yang bekerja untuk semakin menancapkan kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di tanah air Islam guna menimpakan siksaan, kehinaan dan kerendahan terhadap negeri dan para hamba. Hal itu terbukti dengan dihalanginya kaum muslimin untuk bangkit melaksanakan kewajiban jihad yang dipikulkan di pundak mereka dan dihalanginya mereka untuk membersihkan tanah air dari najis dan permusuhannya.
Musuh yang kafir tidak menginginkan dari Anda lebih dari itu, lebih dari menghentikan umat, melemahkan serta mencegah agar jangan sampai bangkit kembali untuk melaksanakan kewajiban jihad melawannya. Jihad, yang musuh-musuh Islam tidak takutkan dari umat ini selain itu!!
Kesepuluh: Syubhat ini sebenarnya adalah pokok akidah kaum Syi‘ah yang disebutkan dalam Aqîdah Thohâwiyah sebagai berikut: “Hajji dan jihad akan terus berjalan bersama pemimpin kaum muslimin..” Pen-Syarah berkata: “Syaikh Rahimahullôh mengisyaratkan bantahan terhadap kelompok Rôfidhoh yang mengatakan, ‘Tidak ada jihad fî sabilîllâh sampai datangnya keridhoan keluarga Muhammad dan sampai penyeru dari langit memanggil: Ikutilah dia!’ Batilnya perkataan ini terlalu layak untuk dibuktikan dengan dalil.”
Di saat Syi‘ah menyelisihi aqidah mereka sendiri dengan diawalinya revolusi Khumaini yang berarti hal itu merupakan bukti rusaknya keyakinan seperti ini yang masih tertulis di buku-buku mereka, kaum Syi‘ah mendapati diri mereka dalam kesulitan besar lantaran hanya terikat dengan pemikiran dibuat-buat yang tidak bisa dibenarkan baik oleh dalil maupun logika akal yang pada akhirnya memaksa mereka untuk membuat pemikiran baru untuk mengeluarkan mereka dari dilema dan kesulitan ini. Akhirnya mereka tampil di hadapan kaum mereka dengan mengusung jargon pemikiran “kepemimpinan orang fakih” (wilâyatul faqîh) di mana seorang fakih diberi kelayakan dan tugas seorang imam yang nantinya dari sanalah gelora jihad dan perang akan dikumandangkan..!
Yang mengherankan, syubhat ini masih menggelayuti orang yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah.
Syubhat-syubhat seperti ini adalah sunnah qodariyyah yang berlangsung dan akan terus berlangsung selama masih ada kelompok yang berjihad dan melaksanakan perintah Alloh –dan kelompok ini akan selalu eksist sampai turunnya ‘Îsâ ‘Alaihis Salâm—, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan selalu ada satu kelompok dari ummatku yang melaksanakan perintah Alloh, tidak terpengaruh oleh orang yang melemahkan atau menyelisihi mereka sampai datang ketetapan Alloh dan mereka menang atas manusia.”
Alloh Ta‘ala berfirman: “…mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang suka mencela…”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira terhadap mujahidin dengan kemenangan dan bahwa orang-orang yang melemahkan dan menyelisihi itu tidak akan mempengaruhi mereka, semua itu tak lain adalah fitnah (ujian) untuk membersihkan barisan.
• Masalah: Adakah perbedaan antara jihad difâ‘ dan jihad tholab dari sisi pensyaratan harus adanya imam dan khalifah, ataukah kedua jenis jihad itu bisa dijalankan tanpa adanya imam/ pimpinan umum?
Kami jawab pertanyaan ini dengan beberapa point beri-kut ini:
Pertama: Tidak ada dalil syar‘i shohih yang mensyaratkan adanya imam umum dalam jihad tholab, apalagi dalam jihad difâ‘i.
Kedua: Bahwa dalil-dalil yang memerintahkan untuk berjihad –baik yang tholabi maupun yang difa‘i—tercantum secara mutlak tanpa ikatan apapun.
Ketiga: Jihad tholabi biasa dilakukan para shahabat tanpa seizin ataupun perintah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam; seperti perang dan jihad yang dilakukan Abû Bashîr dan kawan-kawan ketika melawan kaum musyrikin Quraisy dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari hal itu, ini menunjukkan berarti itu boleh dilakukan, dan…walillâhilhamdu: hanya milik Allohlah segala puji.
Keempat: Meskipun demikian, jika seorang imam atau amir memerintahkan seseorang, atau satu jama‘ah, atau satu negeri untuk jangan bergerak menyerang musuh terlebih dahulu karena pertimbangan maslahat yang pasti yang ia ketahui, maka mereka wajib mentaati amir tersebut dan wajib melaksanakan perintahnya.
Kelima: Adapun jika imam menghentikan jihad secara mutlak terhadap musuh yang musyrik, serta membuang misi jihad dari agenda tugas yang ia emban dan melarang umat untuk melaksanakannya, maka umat tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada sang Kholiq, Alloh ‘Azza wa Jalla.
Keenam: Pembebasan negeri-negeri kaum muslimin yang terampas oleh musuh sekarang ini –dan begitu banyak negeri terampas itu—, jihad demi tegaknya khilâfah rosyîdah, jihad dalam rangka mengangkat seorang pimpinan umum yang memberlakukan hukum sesuai yang diturunkan Alloh di semua daerah negeri kaum muslimin di muka bumi dan untuk melenyapkan kezaliman yang sedang meluas dan dilakukan thoghut-thoghut terhadap kaum muslimin di negeri mereka, maka jihad seperti ini semuanya adalah jihad difâ‘ sampai umat ini keluar dari masa berat dan genting seperti saat sekarang. Jika sudah, barulah ketika itu kita bisa bisa tentukan titik tolak perdebatan dari awal lagi…oleh karena itu, sekarang sebenarnya tidak ada kesulitan menghadapi orang-orang yang melontarkan kata-kata di atas.
Ketujuh: Perbedaan antara jihad difâ‘ dan jihad tholab adalah: jihad difa‘ merupakan kewajiban fardhu ain yang mana semua kaum muslimin harus melaksanakan semampunya dan sesuai kedekatan mereka dengan tempat terjadinya peperangan sebagaimana disebutkan secara rinci dalam buku-buku fikih. Sementara jihad tholab adalah fardhu kifayah, jika salah satu kelompok dari umat ini sudah melaksanakan, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Wallôhu Ta‘âlâ A‘lam, Alloh Ta‘ala lebih mengetahui.


Syubhat kedua: Tidak ada jihad sebelum menuntut ilmu.
Jawaban:
Jika orang-orang yang memunculkan perkataan ini –yaitu wajibnya menuntut ilmu sebelum jihad—bermaksud ilmu syar‘i yang fardhu ‘ain, maka kami katakan: ilmu seperti ini bisa diperoleh dalam tempo sangat singkat dan tidak diharuskan bagi semua orang untuk mengerti dalil-dalil syar‘inya secara terperinci, hal itu sesuai yang dinukil Ibnu Hajar dari Al-Qurthubi ia berkata, “Inilah yang dipegangi para a’immah ahli fatwa dan para ulama salaf sebelumnya. Sebagian mereka berhujjah dengan perkataan mengenai prinsip fithroh yang sudah disebutkan tadi dan dengan riwayat mutawatir dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian para shahabat bahwa mereka meng-hukumi orang pedalaman badui yang masuk Islam sebagai seorang muslim di mana sebelumnya mereka adalah para penyembah berhala. Para shahabat menerima ikrar dua kalimat syahadat dari kaum badui tersebut disertai kesanggupan untuk melazimi hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.” Selesai.
Namun jika yang mereka maksud adalah ilmu syar‘i yang fardhu kifayah dan seorang muslim tidak bisa berjihad sampai memperoleh ilmu syar‘i dalam kadar tertentu, maka ini keliru dari dua sisi:
Sisi pertama: Ia menjadikan sesuatu yang fardhu kifayah sebagai fardhu ain.
Ini juga mengakibatkan hilangnya mashlahat-mashlahat kaum muslimin dengan sikap duduk mereka semua dari jihad dengan dalih menuntut ilmu terlehih dahulu, padahal Alloh Ta‘ala melarang hal ini dengan firman-Nya: “Dan tidak selayaknya kaum mukminin semuanya pergi berperang. Mengapa tidak ada satu kelompok dari golongan yang memahami agama dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Sebagaimana Anda lihat, dalam ayat ini Alloh Ta‘ala telah membagi manusia kepada orang yang bertafaqquh dan yang tidak sebagaimana termaktub dalam firman Alloh Ta‘ala: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
Sedangkan orang Alim yang bertafaqquh itu diperintahkan mengajari manusia, baik dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, atau memulai terlebih dahulu dengan menerangkan kebenaran jika mereka tidak bertanya, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Juga firman Alloh Ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”
Demikian juga orang awam yang bukan mutafaqqih, ia diperintahkan untuk bertanya kepada orang alim mengenai perkara agama yang tidak ia ketahui sebagaimana dalam ayat surat An-Nahl tadi. Jika orang alim melihat orang awam mengerjakan sesuatu atas dasar ketidak tahuan kemudian ia juga tidak bertanya, maka orang alim itu harus segera memberikan nasehat dan pengajaran, sesuai firman Alloh Ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
Juga firman Alloh Ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”
Sisi kedua: Ia menjadikan sesuatu yang bukan syarat dalam jihad sebagai syarat.
Sesungguhnya orang yang mewajibkan manusia menuntut ilmu sebelum berjihad, kita mesti menanyakan dulu apa dalil perkataan Anda ini baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah? Di sini, kami sendiri akan coba menjawabnya, kami katakan: Perkataan Anda ini tidak berlandaskan satu dalilpun, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam urusan kita yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” Oleh karena itu, perkataan orang yang mengatakan perkataan ini adalah kebid‘ahan dalam agama yang tertolak dan tidak diterima.
Kemudian, kita juga mesti bertanya kepadanya: Apa dalil perkataan Anda ini dari sirah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atau sirah para Salafus Sholih dari kalangan para shahabat serta orang-orang setelahnya? Apakah mereka mengharuskan setiap muslim untuk mencari ilmu sebelum berjihad? Dan apakah mereka mengujikan ilmu tersebut kepada pasukan perang?
Padahal dulu para shahabat yang menyertai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H ada 1400 orang sedangkan pada waktu perang Fath Makkah tahun 8 H ada 10.000 shahabat. Tak sampai sebulan kemudian setelah Fathu Makkah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Hunain bersama 12.000 orang; sepuluh ribu orang adalah yang menyertai beliau memasuki Mekkah, dua ribu sisanya adalah orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Makkah. Lantas, kapan orang-orang itu belajar sementara mereka telah keluar menuju perang Hunain dan keislaman mereka belum lewat satu bulan? Apakah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada mereka: Kalian adalah orang-orang yang baru masuk Islam, maka jangan berperang bersama saya sampai kalian belajar ilmu terlebih dahulu? Ternyata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengijinkan mereka berjihad bersama beliau, justeru pada saat peperangan itulah mereka bisa belajar dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada mereka apa yang wajib untuk mereka, ini sebagaimana disebutkan Abu Wâqid Al-Laitsî ra ia berkata, “Kami keluar bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain sedangkan kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam); kala itu kaum musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah di sana serta menggantungkan senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzâtu Anwâth. Kemudian kami melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzâtu Anwâth sebagaimana mereka memiliki Dzâtu Anwâth.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allôhu Akbar, sungguh itu adalah jalan, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlh sesembahan-sembahan buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” kalian benar-benar akan melakukan jalan orang-orang sebelum kalian.
Dari penjelasan tadi, Anda mengetahui bahwa ilmu bukan merupakan syarat wajibnya jihad, bahkan kalau seseorang malas dalam mencari ilmu yang wajib ‘ain sekalipun, kemasalan dia ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap berjihad.
- Syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudâmah, ia berkata, “Dan syarat wajibnya jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.” Ini ditambah lagi syarat adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang dihutangi sebagaimana juga disebutkan Ibnu Qudâmah.
Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah.
Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah sebagian dari sembilan syarat ini dan hanya tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri atau musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor menurut salah satu pendapat.
Sebagaimana yang bisa dilihat setiap yang ingin mencari kebenaran, tidak sombong dan tidak keras kepala, bahwa ilmu syar‘i tidak masuk ke dalam syarat-syarat yang telah disebutkan tadi. Dan ini bukan hanya Ibnu Qudâmah yang mengatakan, tetapi saya tidak temukan dalam kitab fikih manapun sejauh yang saya telaah yang mensyaratkan syarat ini.
Dalam hal ini cukuplah bagi Anda sebuah hadits riwayat Bukhori Rahimahullôh dari Al-Barrô’ ra ia berkata: Datang seorang lelaki yang menghunus besinya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Wahai Rosululloh, aku berperang ataukah masuk Islam dulu?” beliau bersabda, “Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka iapun masuk Islam kemudian berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia beramal sedikit dan diberi pahala banyak.”
Yang semisal adalah hadits: “Pulanglah, aku tidak akan minta tolong kepada orang musyrik.” Disebutkan di sana bahwa orang musyrik ini kemudian masuk Islam dan ikut berperang yaitu pada perang Badar.
Sebagaimana Anda lihat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan seorangpun dari dua orang musyrik ini untuk pergi mempelajari agamanya sebelum mengijinkan berperang kepadanya, tetapi beliau mencukupkan dengan iman yang mujmal (global). Seandainya ilmu adalah syarat wajibnya jihad, tentu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan orang ini berperang bersama beliau sebelum menuntut ilmu. Dari sini Anda tahu bahwa ilmu bukanlah syarat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh, maka syarat itu batil meskipun seratus syarat.”
Sehingga dengan demikian Anda mengerti bahwa perkataan ini –yakni wajibnya mencari ilmu sebelum jihad—adalah perkataan bathil dan mengakibatkan terhentinya jihad yang menurut kami adalah fardhu ain atas sebagian besar kaum muslimin hari ini. Saya berharap perkataan batil ini tidak menjadi pembenaran bagi sebagian orang untuk duduk dari jihad.

Syubhat ketiga: Apakah sifat adil termasuk syarat di dalam jihad?
Jawaban:
Kepada orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan berjihad sampai kita penuhi tarbiyah iman dengan sempurna, kami ingin menanyakan dua pertanyaan:
Pertanyaan pertama: Apakah tujuan dari tarbiyah ini adalah sampai seorang muslim mencapai tingkatan keadilan syar‘i ataukah martabat yang lebih tinggi lagi?
Pertanyaan kedua: Apakah keadilan termasuk syarat wajibnya jihad? Maknanya bahwa seorang muslim tidak boleh berjihad sampai ia menyandang sifat adil? Dan apakah kewajiban jihad gugur dari orang fasik?
Pertama kali, kami akan sebutkan definisi adil, kami katakan: Adil adalah stabilnya kondisi agama seorang muslim. Ada juga yang berpendapat, orang yang tidak meragukan; tidak meragukan di sini tersusun dengan dua perkara: Kesalehannya agama, yaitu menunaikan yang fardhu berikut yang sunnah serta menghindari yang haram dengan tidak melakukan dosa besar serta tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Kedua, Memenuhi murû’ah dengan melakukan perbuatan yang menjadikan dirinya baik dan memperbagus diri serta meninggalkan perkara yang membuat dirinya kotor dan jelek.”
Kemudian kita sebutkan syarat wajib jihad –dan sudah saya sebutkan pada bagian yang lalu—yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, selamat dari marabahaya, merdeka, adanya biaya, izin kedua orang tua serta orang yang berhutang. Ini dalam jihad fardhu kifayah. Adapun dalam jihad fardhu ain, maka syaratnya hanya lima syarat pertama saja. Sebagaimana Anda lihat sendiri, di sini sifat adil bukan termasuk syarat.
Kalau sudah jelas bahwa adil bukanlah syarat wajib jihad, secara otomatis gugur sudah perkataan orang yang mengatakan harus ada tarbiyah terlebih dahulu sampai seorang muslim mencapai derajat keadilan sebelum ia berjihad, selanjutnya gugur pulalah perkataan orang yang mensyaratkan adanya derajat keadilan yang lebih tinggi lagi.
Bahkan, para fuqoha menerangkan kebalikan dari itu, yaitu boleh minta bantuan orang fasik dan munafik dalam perang.
- Asy-Syaukani berkata: “Dikatakan dalam Al-Bahr: “Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafik berdasarkan ijma‘ sebagaimana ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta bantuan kepada ‘Abdullôh bin Ubay dan para pengikutnya. Diperbolehkan juga meminta bantuan orang-orang fasik dalam menghadapi orang-orang kafir berdasarkan ijmâ‘. Boleh juga meminta tolong kepada para pemberontak (bughôt) menurut kami, sebab ‘Ali alaihis salam melakukannya melawan Al-Asy‘ats.” Selesai.
Dikatakan di dalam Al-Majmû‘ : “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam Ahkâmul Qur’an: Jihad wajib tetap dijalankan bersama orang-orang fasik sebagaimana wajibnya bersama orang adil. Dan semua ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan apakah jihad itu dilakukan bersama orang fasik atau orang adil yang sholeh. Juga, sesungguhnya orang-orang fasik jika berjihad, berarti status mereka adalah orang yang taat dikarenakan jihad yang ia lakukan.”
- Ibnu Hazm berkata –setelah menyebutkan hadits: “Sesungguhnya Alloh menolong agama ini dengan kaum yang tidak memiliki nilai.” Dan hadits: “Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan agama ini dengan orang yang fajir.”— beliau berkata: “Maka ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kaum yang disebutkan sifatnya dalam hadits di atas dalam rangka melawan orang-orang yang memerangi dan dalam melawan para pemberontak, mereka adalah orang-orang fajir dari kaum muslimin yang mereka itu tidak memiliki kedudukan. Demikian juga bahwa orang-orang fasik itu terkena kewajiban jihad dan terkena kewajiban untuk melawan para pemberontak sebagaimana orang mukmin yang baik juga terkena kewajiban, maka tidak halal melarang orang-orang fasik untuk berjihad, tetapi tujuannya adalah justeru bagaimana mengajak mereka kepadanya.”
Ahlus Sunnah wal Jama‘ah memperbolehkan perang bersama amir yang jahat dengan keterangan rincinya. Jika keluar berperang dengan orang jahat yang diikuti saja boleh (yaitu bersama amir), maka keluar berperang bersama orang yang menjadi pengikut tentu lebih boleh.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullôh panjang lebar menerangkan hal ini, di antara yang saya nukil di bab ketiga adalah kata-kata beliau: “Jika kebetulan ada orang yang memerangi mereka dengan kriteria sempurna maka itulah tujuan utama dalam mencapai keridhoan Alloh dan memuliakan kalimat-Nya serta menegakkan agama-Nya dan mentaati rosul-Nya. Namun jika ada yang terdapat dalam dirinya kejahatan dan niat yang rusak, yaitu ia berperang demi mendapatkan kepemimpinan atau berbuat melampaui batas di beberapa perkara kepada mereka, sementara kerusakan yang ditimbulkan dari tidak diperanginya musuh lebih besar terhadap din daripada kerusakan memerangi mereka dengan kondisi seperti ini. Maka yang wajib adalah tetap memerangi musuh dalam rangka menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil, karena hal ini termasuk prinsip Islam yang harus diperhatikan.
Oleh sebab itu, di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah berperang bersama orang baik atau jahat. Sebab Alloh menguatkan agama ini dengan orang yang jahat dan dengan kaum yang tidak memiliki nilai sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Alasan yang lain, jika perang tidak berjalan kecuali dengan para pemimpin yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak terdapat kejahatannya, maka pasti akan terjadi dua kemungkinan: Perang tidak dijalankan bersama mereka sehingga pasti akan mengakibatkan orang lain berkuasanya, ini lebih besar bahayanya terhadap agama dan dunia; atau tetap berperang bersama pemimpin jahat sehingga tetap ada perlawanan terhadap kejahatan yang lebih besar dan kebanyakan syari‘at Islam tetap bisa ditegakkan meski tidak bisa semuanya. Pilihan kedua inilah yang wajib dalam kondisi seperti ini atau kondisi apa saja yang semisal, bahkan kebanyakan perang pasca kekuasaan Khulafâ’ur Rôsyidîn tidak terjadi kecuali seperti ini kondisinya...
–hingga beliau Rahimahullôh berkata—Jika seseorang mengetahui jihad yang diperintahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam itu akan dilaksanakan para pemimpin hingga hari kiamat dan mengetahui larangan beliau untuk membantu kezaliman orang yang dzalim, ia akan tahu bahwa jalan tengah yang merupakan ajaran Islam murni adalah jihad bersama orang yang memang berhak diajak berjihad seperti kaum yang diminta tadi, bersama pemimpin atau kelompok, mereka itu lebih layak terhadap Islam daripada mereka, jika jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara itu dan tidak membantu kelompok di mana ia berperang dengannya dalam hal maksiat kepada Alloh; tetapi ia mentaati mereka ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka dalam maksiat kepada-Nya, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq.
Inilah jalan yang ditempuh orang-orang terbaik umat ini, baik yang dulu atau sekarang. Itu juga sebuah kewajiban atas setiap mukallaf, itulah jalan pertengahan antara yang ditempuh oleh kelompok Harûriyyah dan semisalnya yang menempuh jalan kehati-hatian rusak karena berawal dari minimnya ilmu, dan jalan kelompok Murji’ah dan lainnya yang mentaati pemimpin secara mutlak meskipun mereka bukan orang baik.”
Perkara ini adalah baku yang kemudian menjadi prinsip yang tertulis dalam masalah-masalah yang menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah sebagaimana dinukil dari Syarah ‘Aqîdah Thohâwiyah dalam bab ketiga, di antara yang disebutkan di sana adalah: “Dan hajji serta jihad tetap berjalan bersama pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang jahat, hingga menjelang terjadinya hari kiamat, tidak dibatalkan dan dihilangkan oleh apapun.”
Dari keterangan di atas, Anda bisa melihat bahwa jihad bersama orang fasik yang diikuti (pemimpin) atau yang menjadi pengikut (pasukan) adalah boleh berdasarkan ijmâ‘, bahkan wajib jika menolak orang-orang kafir tidak bisa dilakukan selain berjihad bersama orang-orang fasik sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahullôh dalam perkataan beliau tadi.
Prinsip pokok dalam permasalahan ini adalah: jihad diperintahkan kepada orang-orang beriman, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga…” dan ayat-ayat lainnya.
Ayat ini adalah perintah berjihad kepada kaum mukminin serta orang yang memiliki dosa-dosa: “Dia akan mengampuni dosa kalian…” ayat ini menunjukkan bahwa sudah terbiasanya seorang mukmin dengan dosa tidak berarti menggugurkan perintah jihad darinya. Sedangkan orang fasik meski besar dosanya, tetap keimanan tidak tercabut dari dalam dirinya secara keseluruhan, sebab ia masih memiliki muthlaqul îmân (yakni batasan minimal iman) yang menjadikan ia harus menanggung beban syariat, meskipun ia tidak memiliki îmân muthlaq (yang sempurna).
Berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan menjadi satu dalam diri seorang hamba adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Ini diambil dari kaidah umum yaitu bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Seperti dalam riwayat Bukhori dari Umar ra bahwasanya ada seorang lelaki di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bernama ‘‘Abdullôh, ia biasa dipanggil Himâr, dia ini selalunya membuat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa. Pernah beliau menderanya lantaran minum khomer. Suatu hari ia datang kepada beliau kemudian diperintahkan agar didera, maka ada seseorang yang mengatakan: “Ya Alloh, laknatlah dia. Betapa seringnya ia melakukan dosa.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kau laknat dia, demi Alloh engkau tidak tahu bahwa dia mencintai Alloh dan rosul-Nya.”
Inilah seorang shahabat, meskipun kemaksiatan yang ia lakukan yaitu minum khomer, namun ia masih memiliki ketaatan berupa cinta kepada Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan kecintaan ini termasuk cabang iman terbesar, coba renungkan derajat kecintaan kepada Alloh dan rosul-Nya dalam ayat yang membatalkan delapan uzur jihad dalam surat At-Taubah: “Katakanlah jika bapak-bapak kalian …dst.”
Selain itu, pelaku maksiat mendapatkan manfaat khusus dari jihad, yaitu bisa menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah rahimahulloh setelah mengkomentari ayat dalam surat Ash-Shoff di atas: “Dan siapa yang banyak dosa, maka obat termanjurnya adalah jihad, sesungguhnya Alloh Ta‘ala mengampuni dosa-dosanya sebagaimana Alloh khabarkan dalam kitab-Nya dengan firman-Nya: “Dia akan mengampuni dosa kalian…” dan barangsiapa yang ingin membebaskan diri dari barang haram dan ingin bertaubat sementara ia tidak bisa mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan di jalan Alloh dengan niatan amalan tersebut mengatasnamakan pemiliknya, sebab itu adalah cara yang baik untuk bisa terbebas darinya, ditambah lagi dengan pahala jihad yang ia peroleh.”
Dari penjelasan di atas, Anda tahu bahwa kefasikan tidak menggugurkan beban kewajiban jihad; orang fasikpun mendapatkan perintah berjihad secara syar‘i seperti orang adil yang sholeh.
Sudah disebutkan juga sebelumnya apa yang dinukil Asy-Syaukani mengeai kebolehan –bukan kewajiban—minta bantuan kepada orang fasik dan munafik berdasarkan ijma‘. Jika hal itu jelas diperbolehkan, maka perkaranya dikembalikan kepada manfaat dan mafsadah yang ditimbulkan jika orang tersebut turut serta dalam berjihad; mana di antaranya keduanya yang lebih dominan maka itulah yang dijadikan patokan hukum. Artinya, jika turut sertanya orang fasik dalam berjihad itu lebih besar manfaatnya daripada mafsadatnya, ia dipersilahkan ikut, namun jika sebaliknya, hukumpun sebaliknya (yaitu tidak boleh ikut serta).
- Yang senada dengan itu adalah perkataan Ibnu Qudâ-mah: “Jangan sampai seorang komandan memilih shahabat seorang mukhodzil, yaitu orang yang menghambat manusia dari berperang…jangan juga seorang murjif, yaitu orang yang mengatakan: ‘Pasukan kaum muslimin telah hancur, mereka tidak punya bala bantuan dan kekuatan melawan orang-orang kafir.’ Jangan juga memilih shahabat orang yang bekerja sama untuk mencelakakan kaum muslimin dengan cara memata-matai untuk kepentingan orang-orang kafir, atau orang yang menimbulkan permusuhan antar kaum muslimin serta orang yang berbuat kerusakan.”
Semua ini berpulang kepada firman Alloh Ta‘ala: Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Juga firman Alloh Ta‘ala: “Maka jika Alloh mengem-balikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian minta izin kepadamu untuk keluar berperang maka katakan: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama, karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut perang.”
Ringkasnya, orang yang memiliki karakter suka melemahkan dan merusak barisan atau berkhianat tidak boleh diikutkan dalam jihad, orang seperti ini kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar meski di sana ada manfaat-manfaat.
Dengan diperbolehkannya berjihad bersama pemimpin fasik dan pelaku maksiat –di mana manfaatnya lebih besar daripada kefasikan dirinya—, itu bukan berarti menjadi legitimasi dari kefasikan dan kemaksiatannya. Tetapi ia harus diperintah kepada yang makruf dalam bentuk pengajaran serta nasehat dan dilarang dari yang mungkar dalam bentuk peringatan dan hukuman. Ini maknanya adalah melatih tarbiyah iman di tengah berlangsungnya jihad.
Kita tidak katakan jihad ditunda sampai tarbiyah iman sempurna, sebab ini tidak akan selesai kecuali dengan datangnya kematian, sesuai firman Alloh Ta‘ala: “Dan beribadahlah kepada robbmu sampai datang kepadamu keyakinan.” keyakinan di sini adalah kematian sebagaimana dalam tafsir. Bisa saja ajal tiba sementara seorang hamba belum memperoleh nilai tarbiyah ini kecuali sedikit saja. Alloh Ta‘ala berfirman: “Kemudian Kami wariskan Al-Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang terlebih dahulu berbuat baik dengan izin Alloh.”
Inilah tingkatan-tingkatan iman dalam diri para pengikut rosul dan para pewaris Al-Kitab.
• Dari pemaparan di muka, mungkin bisa kita ringkas sebagai berikut:
1. I‘dad Îmânî (baca: tarbiyah) adalah wajib dan merupakan pilar utama kemenangan. Perincian hal ini sudah kita sampaikan di muka, khususnya mengenai pengaruh kemaksiatan-kemaksiatan terhadap muncul-nya kelemahan dan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang saja akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Inilah kondisi terbaik yang jika ada akan terasa benar-benar indah.
2. Di saat yang sama, kami katakan bahwa jihad tidak ditunda dengan alasan I‘dâd Imânî –meskipun jihad bisa ditunda karena pertimbangan I‘dad materiil ketika dalam kondisi lemah—khususnya apabila jihad menjadi fardhu ‘ain.
Yang paling spesifik dari jihad fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin, dan inilah kondisi kebanyakan negeri Islam hari ini. Maka jihad seperti ini wajib ‘ain dan mendesak sekali untuk segera dilaksanakan. Menunda jihad seperti ini berdampak kepada bahaya dan kerusakan; fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir mengkangkangi negeri kaum muslimin, mereka paksakan hukum kufur dan berusaha merusak kaum muslimin dan menggoyahkan agama mereka dengan berbagai sarana tipudaya. Maka siapa yang mengatakan jihad melawan mereka ini harus ditunda sampai tarbiyah orang yang ingin berjihad itu ia nyatakan siap, maka ia tidak mengerti bahwa sarana penghancur itu lebih banyak daripada sarana membangun, “Dan mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka mampu.”
“Dan kaum yahudi dan nashrani tidak akan pernah rela kepada kalian sampai kalian ikuti agama mereka.”
Ia juga tidak mengerti bahwa orang-orang kafir tidak akan membiarkan sarana apapun untuk merealisasikan tarbiyah yang baik. Alloh Ta‘ala berfir-man: “Dan sekiranya Alloh tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Asma Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” kalau bukan tolakan Alloh Ta‘ala terhadap orang-orang kafir melalui orang-orang yang berjihad di jalan-Nya tentu tidak akan tersisa lagi tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh Swt. Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullôh mensifati para mujahid dengan kata-katanya: “Mereka telah korbankan nyawa mereka demi kecintaan kepada Alloh dan menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya serta melawan musuh-musuh-Nya. Dan mereka adalah teman bagi siapa saja menjaganya amalan-amalan yang mereka kerjakan dengan pedang-pedangnya meskipun mereka bermalam di rumah masing-masing. Mereka mendapatkan pahala orang yang beribadah kepada Alloh dari hasil jihad dan penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, karena merekalah yang menjadi sebab dari semua itu. Sedangkan Sang Pembuat syari‘at telah menjadikan adanya sebab itu seperti pelakunya persis dalam hal pahala dan dosa. Oleh karena itu, penyeru kepada petunjuk dan penyeru kepada kesesatan masing-masing mendapatkan balasan seperti yang mengikutinya lantaran dia menjadi penyebab.”
3. Jika kaum muslimin telah menyelesaikan I‘dad materiil sesuai kemampuan, “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…” diiringi perkiraan bisa menang, maka wajib melaksanakan jihad dan tidak boleh menundanya dengan alasan menyempurnakan I‘dad Îmânî. Ini maknanya adalah jika dalam kondisi lemah, harus melakukan dua I‘dad sekaligus, iman dan materi. Maka siapa yang berusaha melakukan I‘dad imani dengan meninggalkan I‘dad materi, ia telah berbuat dosa karena meninggalkan hal yang diperintahkan “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…”
4. I‘dâd Îmânî wajib dilatih dalam setiap tahapan sebelum memasuki tahapan jihad dan ketika tengah melaksana-kannya, sebab amar makruf nahi munkar adalah sifat yang mesti ada dalam diri kaum muslimin sebelum dan setelah memperoleh kekuasaan (tamkîn) di muka bumi. Sementara tarbiyah terbaik adalah yang dilakukan ketika jihad berlangsung, sebab manusia seringnya saat itu sedang dekat dengan Alloh Ta‘ala. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri selalu memberikan pengarahan di saat beliau melakukan jihad dan tidak ada seorangpun mengatakan jihad ditunda sampai tarbiyah sempurna. Di antara bentuk tarbiyah itu adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Kholid bin Walid.” juga sabda beliau kepada sariyah ‘Abdullôh bin Hudzâfah: “Kalau mereka memasukinya (masuk ke dalam api, lantaran dikomando pemimpinnya seperti itu, penerj.), mereka tidak akan pernah keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf.” Juga sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usâmah bin Zaid, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Lâ ilâha illallôh?” Demikian juga dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abû Dzar: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang di dalam dirimu ada perkara jahiliyyah.” Juga sabda beliau dalam salah satu peperangan: “Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan din ini dengan orang yang jahat.”
Demikian juga, dulu terjadi peristiwa menyebarnya berita bohong (hadîtsul Ifki) begitu selesai dari salah satu peperangan, beliau kemudian melaksanakan hukuman had qodzaf (hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berzina berupa cambukan sebanyak 80 kali, penerj.) terhadap orang yang menjadi anggota dalam perang tersebut, bahkan di antara mereka ada yang veteran perang Badar yaitu Misthoh bin Utsâtsah, di antara mereka juga ada penyair Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Hassân bin Tsâbit.
Oleh karena itu, bisa saja ada orang yang sempurna dan baik serta mendapat jaminan masuk jannah namun ia juga terjerumus ke dalam dosa besar seperti Mishthoh bin Utsâtsah dan Hâthib bin Abî Balta‘ah ra. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Hâtib: “Bukankah dia adalah pengikut Badar? Engkau tidak tahu, barangkali Alloh melihat hati mereka kemudian berfirman: ‘Kerjakanlah sesuka kalian, Aku telah wajibkan surga bagi kalian.”
Ibnu Hajar berkata, “Meski seseorang itu mencapai derajat kesholehan bagaimanapun dan sudah menda-patkan jaminan masuk surga, ia tetaplah tidak ma‘shum (terjaga) dari terjerumus ke dalam dosa. Sebab Hâthib termasuk orang yang Alloh wajibkan surga baginya, namun ia melakukan perbuatan sampai sejauh itu.” Yang semisal dengan ini sangatlah banyak. Jadi, tarbiyah iman dilatih di tengah-tengah jihad namun jihad tidak ditunda karena alasan itu. Sebab tarbiyah –sebagaimana sudah dikemukakan—tidak akan berakhir kecuali dengan matinya seorang hamba dan Alloh Swt membolak-balikkan hati serta mengarahkan hati terse-but sesuai kehendak-Nya.
5. Sifat adil bukanlah syarat wajib jihad, dan orang fasik boleh keluar untuk berjihad jika ia seorang pengikut (baca: prajurit) kalau memang manfaat untuk jihad lebih besar daripada mafsadahnya sebagaimana diterangkan rinciannya di muka, dan tidak diizinkan bagi orang yang dalam dirinya ada sifat merusak atau khianat.
6. Sesungguhnya tidak jelek jika dalam barisan kaum muslimin ada beberapa orang pelaku maksiat. Yang jelek adalah membiarkan mereka dalam kemaksiat-annya serta tidak memerintahkan mereka untuk taat kepada Alloh Ta‘ala, baik dengan cara menyuruh atau melaranga, hal ini mengingat kesalahan dan maksiat tidak akan pernah bisa lepas dari manusia. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melaksanakan hukuman zina dan qodzaf, minum khomer, mencuri dan perampokan semasa beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hidup. Kaum munafikin juga ikut berperang bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan tadi dan tidak ada satupun yang mengatakan, ‘Kita tidak akan berjihad selama dalam barisan kita masih ada orang-orang bermaksiat dan munafik.’ Padahal, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak datang satu hari kepada manusia kecuali hari setelahnya lebih buruk daripada hari itu.”
Arti semua ini, jika dalam satu kelompok yang berjihad terdapat orang-orang yang bermaksiat, itu bukanlah alat pembenaran untuk tidak mau berjihad bersama kelompok tersebut dengan alasan bahwa di sana masih ada para pelaku maksiat.
7. Jika tidak ada kelompok yang diisyaratkan di atas (yaitu kelompok yang sholeh namun beranggotakan para pelaku maksiat) dan tidak mungkin jihad dilakukan kecuali bersama orang ummiy yang jahat atau bersama pasukan yang banyak kejahatannya, maka jihad bersama mereka tetap wajib dilakukan –sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah—demi menolak salah satu dari dua mafsadat yang lebih besar, yaitu mafsadat orang-orang kafir. Dan inilah bentuk ketakwaan kepada Alloh sesuai kemampuan hamba: “Maka bertakwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”
Sesungguhnya tidak ada kerusakan yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslimin serta dampak yang ditimbulkan berupa pemurtadan kaum muslimin secara paksa yang mengenai hampir seluruh umat Islam selain yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Alloh Ta‘ala berfirman: “Mereka tidak henti-henti-nya memerangi kalian sampai mereka dapat mengemba-likan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka sanggup. Dan barangsiapa murtad di antara kalian kemudian mati dalam keadaan kafir, maka sia-sialah amal perbuatannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka serta mereka kekal di dalamnya.”
Jika seorang muslim berperang bersama amir yang jahat atau pasukan yang banyak kejahatannya, maka hendaknya ia bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan; ia taati mereka dalam ketaatan dan tidak mentaati mereka dalam kemaksiatan serta memberikan nasehat kepada, semoga saja Alloh Ta‘ala memperbaikinya dengan itu.
- Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata: “Jika tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu dan jihad atau yang lain kecuali dengan orang yang dalam dirinya terdapat kebid‘ahan yang mana bahayanya di bawah bahaya kalau kewajiban itu ditinggalkan, maka meraih mashlahat dari kewajiban yang diiringi kerusakan sedikit itu lebih baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu, perbincangan tentang hal ini terdapat perincian.”
- Asy-Syâthibî berkata, “Demikian juga jihad bersama pemimpin yang jahat, para ulama menyatakan hal itu diperbolehkan. Mâlik berkata: Jika itu ditinggalkan tentu berbahaya bagi kaum muslimin. Jadi jihad adalah sangat penting, keberadaan pemimpin di dalamnya juga sangat urgen, sementara sifat adil adalah pelengkap dari yang urgen ini, sedangkan jika ketika pelengkap dikembalikan kepada yang pokok justeru bisa memba-talkannya, maka pelengkap itu tidak dianggap.”
- Abû Muhammad bin Hazm bahkan memiliki perkataan sangat keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin jahat, Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekufuran selain orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir serta mempersilahkan agar kehormatan kaum muslimin diserahkan kepada mereka, hanya lantaran kefasikan seorang Muslim yang mana orang lain belum tentu menganggap kefasikannya itu.”
Hanya perlu diketahui, imam jahat yang diikuti dalam perang –jika memang tidak ada yang lain—adalah imam yang kejahatannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak sampai kepada tingkat kekufuran.
Dari penjabaran tadi, Anda tahu wahai saudaraku muslim, bahwa perkataan yang menyatakan kita tidak berjihad sampai kita menuntut ilmu syar‘i atau sampai kita sempurnakan tarbiyah keimanan dan mewajibkan hal itu kepada setiap muslim merupakan perkataan yang berujung kepada pencabutan Islam hingga ke akarnya.
Sesungguhnya ilmu dan tarbiyah adalah benar dan kami menyeru manusia kepada keduanya dengan memper-hatikan hal-hal berikut ini:
a. Bahwa keduanya –ilmu dan tarbiyah—bukan syarat wajibnya jihad, maknanya, tidak sah kita melarang seseorang berjihad sampai ia mempelajari agamanya atau mensucikan jiwanya. Allôhumma, kecuali ilmu yang bersifat fardhu ain khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari‘atkannya jihad dan mengetahui bendera yang ia berperang di bawahnya.
b. Sesungguhnya jalan keluar dari kehidupan hina yang sekarang dialami kaum muslimin adalah jalan jihad sebagaimana dalam hadits Tsauban secara marfû‘: “Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian…dst” dan hadits Ibnu Umar secara marfû‘: “Jika kalian berjual beli dengan ‘inah…” keduanya sudah kami jelaskan. Dan jihad ini menurut kami adalah wajib atas sebagian besar kaum muslimin, khususnya jihad melawan penguasa murtad. Dari sini, kami menganggap ilmu dan tarbiyah merupakan bagian dari I‘dad (persiapan) menuju jihad dalam rangka membentuk satu kelompok yang berjihad di atas ilmu dan agaman. Kami tidak menganggap ilmu dan tarbiyah tanpa jihad sebagai jalan keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...