V. BAGAIMANA PELAKSANAAN JIHAD ?
A. Tahapan-tahapan Jihad
1. I’dad (persiapan)
Allah berfirman dalam Surat Al-Qur’an:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-arang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”. (QS. Al-Anfal:60)
Hadits Rasululloh :
عَنْ عُقبَة َ بْنِ عَامِرْيَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَعَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ اَلرَّميُ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ اَلرَّميُ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ اَلرَّميُ
“Dari ‘Uqbah bin Amir dia berkata: Aku mendengar Rasululloh bersabda di atas mimbar: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu dari kekuatan! Ketahuilah! Sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar! Ketahuilah! Sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar! Ketahuilah! Sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar!” (HR.Muslim)
Ayat tersebut diatas merupakan ayat yang muhkam (tidak perlu di takwilkan lagi), bahwa sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin secara umum siapapun dia untuk mempersiapkan segala jenis kekuatan untuk menghadapi orang-orang kafir yang menjadi musuh Allah dan musuh ummat Islam dan siapapun yang semisal dengan mereka.
Adapun hadits tersebut di atas merupakan penjelasan dari Rasululloh mengenai kekuatan. Rasululloh menerangkan secara tegas bahwa sesungguhnya kekuatan adalah melempar (memanah, menembak. pent). Karena sesungguhnya melempar (memanah, menembak) merupakan hal yang sangat penting dalam peperangan.
Apalagi untuk peperangan moderen dewasa ini, melempar (memanah, menembak) adalah sarana umum yang dipergunakan dalam peperangan, baik senjata ringan maupun senjata berat (roket, meriam, senjata artileri) semuanya dilemparkan (ditembakkan) kearah musuh.
عَنْ عُقبَة َ بْنِ عَامِرْيَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَعَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ اَرْضُوْنَ وَيَكْفِيْكُمُ ا للَّهُ فَلاَ يَعْجِزُ اَحَدُكَمْ اَنْ يَلْهُوَ بِاَسْهُمِهِ
“Dari ‘Uqbah bin Amir dia berkata: Aku mendengar Rasululloh bersabda: “Akan dibukakan (ditaklukkan) atas kalian negeri-negeri dan Allah mencukupi kepada kalian, maka janganlah melemah salah seorang dari kalian untuk bermain (berlatih) dengan anak panahnya. (HR. Ahmad dan Muslim, Shohihul Jami’ 3609).
اَنَّ فُقَيْمًا اللَّخْمِي قَالَ لِعُقْبَة َبْنِ عَا مِرٍ تَخْتَلِفُ بَيْنَ هَذَيْنِ الغَرَضَيْنِ وَاَنْتَ كَبِيْرٌ يَشُقُّ عَلَيْكَ قَالَ عُقْبَة ُلَوْلاَ كَلاَمٌ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ اُعَانِيْهِ قَالَ الْحَارِثُ فَقُلْتُ لاِ بْنِ شَمَاسَةَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّهُ قَالَ مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا اَوْ قَدْ عَصَى
“Sesungguhnya Fuqaim al-Lakhmi bekata kepada ‘Uqbah bin ‘Amir: “Engkau berulangkali tidak mengenai dua sasaran ini, sedang engkau sudah tua, hal itu akan memayahkanmu.” ‘Uqbah berkata: “Kalaulah bukan perkataan yang aku dengar dari Rasululloh , aku tidak akan berpayah-payah.” Berkata al-Harits: “Aku bertanya kepada Ibnu Syumamah: ‘Apakah perkataan itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya beliau bersabda: “Barangsiapa yang tahu (bisa) memanah kemudian meninggalkannya, maka dia bukan termasuk dari golongan kami atau dia sudah durhaka.” (HR. Muslim)
Itulah Rasululloh dan para sahabat yang setia yang selalu taat dan mengikuti keinginan dan perintah beliau tidak pernah berhenti berlatih memanah. Oleh karena itulah Allah memberikan kemuliaan kepada mereka dan menundukkan bagi mereka seluruh bagian bumi baik di Timur maupun di Barat.
Dan secara tegas Rasululloh menyatakan bahwa: Barangsiapa yang tahu (bisa) memanah kemudian meninggalkannya, maka dia bukan termasuk dari golongan kami atau dia sudah durhaka.
Itulah ucapan beliau yang jelas dan gamblang. Orang yang pernah belajar dan pernah bisa memanah kemudian meninggalkan dan melupakannya, tidak diakui sebagai golongan beliau, yakni tidak diakui sebagai seorang muslim, atau disebutkan oleh beliau paling tidak telah berbuat durhaka. Dan sebagian ulama menggolongkannya kedalam salah satu dosa besar. Karena urusan jihad adalah urusan keberlangsungan dan terjaganya dien (agama) ini. Orang yang tidak mau berlatih keahlian tersebut, atau tidak mau mempelajarinya, kemudian apabila Islam diserang oleh orang-orang kafir, niscaya mereka tidak akan mempunyai kekuatan dan keahlian berperang untuk melawan musuh-musuh Islam.
Seperti yang kita saksikan dewasa ini di berbagai belahan bumi baik di Timur ataupun di Barat (Bosnia, Indonesia (Maluku, Poso dan Sampit), Chechnya, India dan sebagainya), ummat Islam dengan mudahnya di bantai oleh orang-orang kafir dikarenakan mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk berlatih kekuatan ini. Wallahu A’lam.
Sekarang bagaimana halnya dengan kita? Kita yang mengaku dan ingin diakui sebagai golongan Rasululloh pernahkah mempersiapkan diri untuk belajar memanah (menembak), atau melatih diri meningkatkan kemampuan memanah (menembak)? Padahal disitulah letak kekuatan yang sesungguhnya.
Maka pantaslah hari ini Allah SWT memberikan kehinaan kepada kita sehingga kita dijajah oleh kaum orientalis, orang-orang kafir dan para penyembah berhala lainnya. Disebabkan kita tidak mau dan enggan untuk melatih diri guna mempersiapkan kekuatan untuk memerangi musuh Allah dan musuh kita semuanya.
Bahkan di banyak negara yang mayoritas penduduknya mengaku muslim, pemerintahnya melarang penduduknya untuk berlatih menembak (Perang), dan bila ada penduduknya yang kedapatan berlatih menembak atau membawa senjata tanpa izin, mereka akan menuntutnya dengan tuntutan pelanggaran terhadap keamanan negara atau dikenakan tuduhan kepada mereka telah melanggar undang-undang darurat atau bahkan dituduh sebagai teroris!.
Ya salam..!! Pantaslah hari ini ummat Islam selalu menjadi bahan permainan dan menjadi budak orang kafir, karena mereka sendiri yang tidak mau dimuliakan. Mereka sendiri yang meninggalkan senjata. Mereka sendiri yang tidak mau melatih kekuatan. Mereka sendiri yang tidak mau. Mereka sendiri dan mereka sendirilah penyebab kehinaan dan hancurnya Islam.
2. Qital (perang)
Setelah selesai tahapan i’dad, maka tahapan selanjutnya adalah qital (perang). Perang tanpa adanya persiapan dan latihan, sungguh akan kacau balau dan akan mudah ditaklukkan dan dikalahkan. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan sebelum kita terjun ke kancah peperangan. Apabila kita telah mempersiapkan diri dan telah berlatih secara maksimal, baru kita melangkah ketahapan perang.
Mengenai hal ini, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan dan menjelaskan kepada kita melaui ayat dan hadits yang sangat jelas dan tegas.
1.Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 216
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُون َ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”
2. Al- Qur’an Surat Al-Anfal ayat 65
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ
“Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
3. Al-Qur’an Surat As-Shoff ayat 10-11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Ayat- ayat yang berkenaan dengan jihad ini sangat banyak, jumlahnya lebih dari 114 ayat, diantaranya adalah : QS.At-Taubah ayat 5, 24, 31, 73, 16, QS. Al-Baqoroh ayat 218, 190-193, QS. Ali Imron ayat 142, QS.An-Nisa ayat 73-77, 95.
Dalil-dalil Hadits, diantaranya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقَال َدُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيْعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُوْمَ وَلَا تُفْتِرَ وَتَصُوْمَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيْعُ ذَلِكَ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ إِنَّ فَرَسَ الْمُجَاهِدِ لَيَسْتُنَّ فِيْ طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ حَسَنَاتٍ.
“Dari Abu Hurairah ia berkata:“ Datang seseorang kepada Rasululloh . Lalu berkata,”Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!”. Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?”. Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???”. Abu Hurairah berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.”
لاَ تَزَالُ طَائِفَةّ مِنْ أُمَتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ اْلِقيَامَةِ
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari ummatku yang berperang di atas kebenaran mereka senantiasa dzohir sampai hari qiyamat.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلىَ اللهِ تَعَالىَ» رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar h , bahwasanya Rasululloh bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada ilâh (yang hak) selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungannya diserahkan kepada Allah Ta‘ala.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Kewajiban Qital merupakan kewajiban setiap mu’min yang bertujuan untuk menegakkan dan membela dien islam ini. Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 216, Al-Anfal ayat 65, As-Shof ayat 10-11, Allah SWT secara tegas dan jelas mewajibkan kepada kaum mu’minin khususnya dan ummat Islam umumnya untuk berperang. Memang perang merupakan hal yang sangat dibenci oleh manusia, karena dalam perang ada kesusahan, kepayahan, ketakutan, kematian dan lenyapnya beberapa banyak dari kenikmatan dunia.
Tapi Rasululloh menyatakan bahwa beliau diutus oleh Allah untuk memerangi semua manusia sampai mereka bersyahadat “Laa Ilaaha Illallah MuhammadurRasullloh”, sampai semua manusia shalat, membayar zakat dan hanya beribadah serta menyembah hanya kepada Allah saja. Artinya sampai semua manusia yang ada di muka bumi ini menjadi muslim, kemudian mereka hanya taat dan patuh serta tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya, serta mereka rela diatur oleh aturan Islam. Jika itu terjadi, baru pada saat itu kewajiban perang berhenti.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 193
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah, dan dien (aturan) hanya milik Allah semata. Dan jika mereka berhenti (dari kekafiran) maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang yang dholim”.
Firman Allah
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan dien(aturan), hanya milik Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”. (Al-Anfal:39)
Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, para ulama menyatakan bahwa yang disebut dengan fitnah adalah kekafiran. Jadi, selagi masih ada kekafiran di muka bumi ini dan selagi dien (aturan) Allah belum tegak, maka selama itu pula kewajiban perang akan terus ada.
Inilah dalil yang jelas yang tidak ada bantahannya kecuali oleh orang-orang munafik yang selalu berkilah dan mencari-cari alasan. Kecuali oleh para pencinta dunia yang mereka benci mati dan lebih memilih hidup di dunia dibandieng dengan kenikmatan akhirat.
3. Ribath
Dienamakan dengan “Ribath” (terikat), karena sesungguhnya mereka (para mujahid) mengikat kuda-kuda mereka disampingnya menunggu-nunggu di medan perang untuk menyerang atau menahan musuh di perbatasan. Maka dienamakan tempat perbatasan itu ribath sekalipun tidak ada kuda disana.
Ribath itu adalah pembelaan terhadap kaum muslimin dan wanita-wanita mereka serta kekuatan bagi penjaga perbatasan dan pasukan perang. Ribath itu pokok jihad dan cabangnya; sedangkan jihad itu lebih utama daripada ribath, karena adanya kepayahan, keletihan, dan penderitaan.
Ribath artinya menahan diri di daerah perbatasan tatkala engkau menakut-nakuti musuh dan musuhpun menakut-naukutimu, menunggu-nunggu untuk berperang. Dan jihad (perang) itu tiangnya adalah ribath. Dan sesungguhnya perang itu sebentar sedangkan ribath itu panjang dan menegangkan. Dan jiwa itu mudah bosan dan jemu bersama penantian yang panjang, khususnya ketika sedikit bergerak, udara yang keras dan kehidupan yang kasar.
Rasululloh menerangkan mengenai ribath ini dalam banyak hadits, diantaranya:
أَرْبَعَةٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُوْرَهُمْ بَعْدَالْمَوْتِ : مَنْ مَاتَ مُرَابطًا فِي سَبِيْلِ اللهِ وَمَنْ عَمِلَ عَمَلاً أُجْرِيَ لَهُ عَمَلَهُ مَا عَمِلَ بِهِ, وَمَنْ تَصَدَّ قَ بِصَدَقَةٍ فَأَجْرُهَا لَهُ مَاجَرَتْ, وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا فَهُوَ يَدْعُوْ لَهُ
“Empat golongan yang mengalir pahalanya kepada mereka sesudah kematiannya, adalah: (1). Orang yang mati dalam keadaan ribath (berjaga) di jalan Allah, (2). Orang yang mengajarkan ilmu, baginya pahala mengamalkannya dan pahala orang yang beramal dengannya, (3). Orang yang bersodaqoh dengan satu sodaqoh, maka pahalanya mengalir baginya apa yang didapat, dan (4). Orang yang meninggalkan seorang anak yang sholeh lalu dia mendo’akan untuknya” (HR. Ahmad dan At-Thobroni- hasan- dari Abu Umamah, Shohihul Jami’ 890)
مَنْ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَجْرَي عَلَيْهِ أَجْرَ عَمَلِهِ الصَّالِحِ الَّذِي يَعْمَلُ عَلَيْهِ وَأَجْرَي عَلَيْهِ رِزْقِهِ, وَأَمِنَ مِنَ الْفِتَّانِ, وَبَعَثَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ آمِنًا مِنَ الْفَزَعِ
“Barangsiapa mati dalam keadaan ribath di jalan Allah, Allah mengalirkan atasnya (pahala) amal sholih yang dia amalkan dan mengalir rizqi kepadanya, dia aman dari fitnah-fitnah, dan Allah akan membangkitkannya pada hari qiyamat dalam keadaan aman dari ketakutan. (HR. Ibnu Majah-Shohih- dari Abu Hurairoh, Shohihul Jami’ 6420).
رِبَاطُ شَهْرٍ خَيْرًا مِنْ صِيَامِ دَهْرٍ, وَمَنْ مَاتَ مُرَاِبطًا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمَنَ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَغُدِيَ عَلَيْهِ بِرِزْقِهِ وَرِيْحٌ مِنَ الْجَنَّةِ وَيَجْرِيْ عَلَيْهِ أَجْرُالْمُرَابِطِ حَتَّي يَبْعَثَهُ اللهُ
“Ribath satu bulan itu lebih baik daripada shaum sepanjang masa, dan barangsiapa mati dalam keadaan ribath di jalan Allah, dia akan aman dari goncangan yang besar, diberi makan dengan rizqinya, dan mencium bau wangi surga serta pahala ribath mengalir kepadanya sampai dibangkitkan oleh Allah”. (HR. At-Thobroni-Shohih-dari Abu Darda, Shohihul Jami’ 3473)
ِربَاطُ َيْومٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَفْضَلُ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَا مِهِ , وَمَنْ مَاتَ فِيْهِ وُقِيَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَنَمَالَهُ عَمَلُهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Ribath sehari di jalan Allah lebih utama daripada shaum satu bulan beserta sholat malamnya. Dan tumbuh (pahala) amalnya untuknya sampai hari qiyamat.” (HR. Tirmidzi)
كُلُّ عَمَلٍ مُنْقَطِعٌ عَنْ صَا حِبِهِ اِذَا مَاتَ إِلَّا الْمُرَابِطُ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَإِنَّهُ يُنْمَى لَهُ عَمَلُهُ وَيَجْرِيْ عَلَيْهِ ِرزْقَهُ اِلَي يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tiap-tiap amal terputus (pahalanya) dari pelakunya apabila dia mati, kecuali orang yang ribath di jalan Allah. Maka ditumbuhkan baginya (pahala) amalnya dan mengalir rizqi kepadanya sampai hari qiyamat”. (HR. At-Thobroni dan Abu Nu’aim, Al- Hilyah ‘an Ar-Riyadh-Shohih-Shohihul Jami’ 4415)
Dari hadits-hadits dan keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa pahala ribath sangatlah besar dan kedudukannya sangat tinggi. Seseorang yang mati dalam kondisi ribath, pahalanya akan terus tumbuh dan mengalir seolah-olah dia tetap melaksanakan ribath sampai dia dibangkitkan oleh Allah SWT, dan dia akan aman dari siksa kubur serta diselamatkan oleh Allah dari goncangan dan ketakutan pada hari qiyamat. Allah akan menjaganya dan memasukkannya ke dalam jannah.
Itulah pahala bagi murobith (orang yang ribath).
Inilah tiga tahapan jihad. Adapun dalam kondisi ketika ummat Islam dalam keadaan lemah, yakni ketika mereka berada di bawah kekuasaan para penguasa kafir dan murtad, maka yang harus dilakukan tidak terlepas dari dua hal, yaitu i’dad dan qital. Hendaknya ummat Islam dalam kondisi apapun selalu mempersipkan diri untuk menghadapi dan melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Allah dan musuh orang-orang yang beriman.
Apabila ummat Islam lengah atau terlepas dari dua kondisi ini (i’dad dan qital), maka dapat dipastikan mereka akan diperbudak dan dikuasai oleh orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Dan ini juga merupakan ciri-ciri kehancuran mereka.
Karena sumber dari kekutan Islam adalah jihad. Tanpa ada jihad, maka agama ini akan lemah dan hancur.
Selasa, 29 Desember 2009
Kamis, 24 Desember 2009
APA SIH JIHAD ITU ??
IV. APA BENAR BAHWA JIHAD AKBAR ADALAH MELAWAN HAWA NAFSU ?
Masalah yang berkaitan dengan hal ini sangat tersebar luas di masyarakat, sehingga masyarakatpun banyak yang pemahamannya terjebak ke arah tersebut. Padahal pemahaman tersebut jelas salah!!.
Ada satu hal yang harus kita perhatikan betul, yaitu jihad melawan hawa nafsu bukanlah jihad yang terbesar, sebagaimana yang di klaim oleh kaum “tasawwuf” dan orang-orang “yang mengaku berilmu” yang mengajak dan menarik manusia kepada keyakinan tersebut, padahal tujuan utama mereka adalah untuk memalingkan manusia dari berjihad sehingga enggan dan tidak mau berjihad.
Adapun yang menjadi rujukan mereka mengenai hal ini, yaitu yang mereka yakini sebagai sebuah hadits yang berbunyi :” Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar….” Merupakan hadits dho’if dan tidak benar.
Al-Baihaqi, Al-Iroqi, As-Suyuthi, Albani serta ulama-ulama lainnya menilai hadits ini adalah dho’if.
Amirul Mukminin fil Hadits, Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam kitab Tasdiidul Qous, bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan, padahal itu bukanlah hadits. Yang benar adalah kata-kata dan ucapan Ibrahim Bin ‘Ablah, seorang tabi’ut tabi’in (generasi ke tiga dalam Islam setelah generasi shahabat, tabi’in baru kemudian tabi’ut tabi’in).
Bukti yang paling nyata dan jelas yang menunjukkan bahwa hadits ini tidak benar adalah bahwa yang mengucapkan (seandainya itu hadits) adalah Rasululloh yang selalu mereka nisbatkan hadits ini kepada beliau, sama sekali tidak duduk berpangku tangan dan berleha-leha dari berperang. Selama tinggal di Madinah, Rasululloh berperang sebanyak 27 kali, dengan keterangan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي إِسْحَا قَ قَالَ سَأَلْتُ زَيْدَابْنَ أَرْقَمَ كَمْ غَزَوْتَ مَعَ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ سَبْعَ عَشْرَةَ وَقَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُبْنُ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ وَ أَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً حَجَّةَ الْوَدَاعِ
"Dari Abu Ishak, ia berkata: Aku bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Berapa kali engkau ikut perang bersama Rasululloh ? Zaid menjawab: “Tujuh belas kali. Selanjutnya Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasululloh telah berperang sebanyak sembilan belas kali dan bahwa beliau menunaikan satu kali haji setelah hijrah, yaitu haji wada’.
عَنْ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ وَخَرَجْتُ فِيْمَا يَبْعَثُ مِنَ الْبُعُوْثِ تِسْعَ غَزَوَاتٍ مَرَّةً عَلَيْنَا أَبُوْ بَكْرٍ وَمَرَّ ةً عَلَيْنَا أُسَامَةُ ابْنُ زَيْدٍ
“Dari Salamah ., ia berkata: Aku pernah ikut berperang bersama Rasululloh sebanyak tujuh kali, serta pernah ikut serta dalam pasukan perang yang diutus beliau sembilan kali. Terkadang kami dipimpin oleh Abu Bakar dan terkadang juga dipimpin oleh Usamah bin Zaid”
1. Ghozwah, yaitu perang yang dipimpin langsung oleh Rasululloh sebanyak sembilan belas kali.
2. Sariyah, yaitu pasukan yang diperintah langsung oleh Rasululloh , tetapi beliau tidak ikut dalam pasukan tersebut sebanyak delapan kali.
Itulah Rasululloh . Beliau selama 10 tahun hidup di Madinah berperang secara langsung di kancah peperangan, yang terkenal diantaranya adalah : Perang Badar, perang Uhud, perang Khandak, perang Bani Quroizhoh, perang Khaibar, perang Hunain, perang Tabuk dan lainnya. Demikian juga dengan para shahabat yang juga merupakan murid-murid dan sekaligus pengikut beliau yang paling setia, mereka terdidik dengan jihad yang sambung menyambung yang tidak putus sampai mereka semua bertemu dengan Robb-nya. Hidup mereka selalu berada di kancah peperangan dan hidup mereka selalu berada diujung kematian dan bayangan pedang. Mereka tidak pernah lengah, istirahat apalagi berhenti dari urusan jihad (perang).
Bahkan dalam hadits tersebut di atas menyatakan bahwa Rasululloh selama tinggal dan bermukim di madienah, beliau hanya melakukan ibadah haji sekali saja, yaitu haji wada’. Justru beliau melaksanakan jihad dan peperangan secara langsung yang beliau terjuni sebanyak 19 (sembilanbelas) kali.
Seandainya yang mereka katakan benar tentang jihad dalam artian berperang melawan orang-orang kafir merupakan jihad kecil, tentu mereka yang mengaku sebagai orang-orang yang berilmu tersebut akan mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rasululloh . Pasti mereka akan memulai latihan dengan menanggung hal yang mereka anggap kecil-kecil dulu, baru kemudan hal yang besar, lalu yang lebih besar lagi. Sehingga meningkat dari yang terendah sampai yang tertinggi.
Jadi, mulailah dari hal yang dianggap kecil tadi, baru yang besar!!
Memang, para ulama pun tetap mengakui bahwa melawan hawa nafsu masih merupakan jihad, tapi bukan berarti kita meninggalkan jihad dalam arti yang sesungguhnya.
Memerangi hawa nafsu memang sangat penting, tapi lebih penting lagi memerangi orang kafir yang memerangi Islam. Jangan sampai kita terlena oleh hal-hal yang sifatnya untuk kepentingan pribadi, mengabaikan kepentingan ummat.
Kalau kita sibuk memerangi hawa nafsu, hanya berdiam diri di rumah atau di masjid atau di majlis-majlis ilmu dan dzikir, lalu siapa yang akan memerangi orang-orang kafir yang menghancurkan Islam. Jika Islam hancur, lalu siapa yang salah??
Hadits dho’if tadi juga menyelisihi firman Allah Ta’ala :
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“.Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,” (Qs. An-Nisa ayat 95)
Menyebut perang melawan orang kafir sebagai jihad kecil merupakan suatu pernyataan yang tidak ada satupun dalil yang mendukungnya, baik dalil dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Jadi pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang batil, mengada-ada dan hanya merupakan alasan orang-orang yang tidak mau berjihad. Itu hanyalah alasan orang-orang yang takut terhadap kematian dan lebih mementingkan urusan dunia dibandieng dengan urusan dien ini. Mereka lebih mencintai kenikmatan dunia dibandieng janji Allah tentang kenikmatan jannah.
Walaupun mereka beralasan dengan berjuta argumentasi untuk mendukung pembenaran ucapan mereka, pada intinya adalah mereka lebih mencintai kenikmatan dan kehidupan dunia dibandieng dengan kehidupan dan kenikmatan akhirat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasululloh :
وَعَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : «يُوْشِكُ اْلأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلىَ قَصْعَتِهَا»، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ اْلوَهْنَ»، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا اْلوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَا هِيَةُ الْمَوْتِ» أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ.
وَفِيْ رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ: «حُبُّكُمُ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَتُكُمُ الْقِتَالَ».
“Dan dari Tsauban berkata: Rasululloh bersabda: “Sebentar lagi bangsa-bangsa akan mengeroyok kalian sebagaimana orang-orang makan mengelilingi nampannya.” Ada seseorang bertanya: “Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu?” Beliau bersabda: “Bahkan ketika itu kalian banyak, akan tetapi kalian seperti buih lautan. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian terhadap kalian dan Allah benar-benar akan mencampakkan sifat wahn di dalam hati-hati kalian.” Ada seseorang bertanya: “Wahai Rasululloh, apakah wahn itu?” beliau bersabda: “Cinta dunia dan benci mati.” (Dikeluarkan Abu Dawud)
Dalam riwayat Ahmad: “…kecintaan kalian kepada dunia, dan ketidak sukaan kalian kepada perang.”
Hal ini pulalah yang difahami oleh Abu Bakar As-Shiddiq yang merupakan sahabat yang paling utama, sehingga ketika beliau diangkat sebagai khalifah, beliau mengucapkan kalimat seperti yang tercantum di bawah ini:
وَبَعْدَ أَنْ بَايَعَ اْلمُسْلِمُوْنَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ بِاْلخِلاَفَةِ تَكَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِالَّذِيْ هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِيْ، وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِيْ، اَلصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَاْلكَذِبُ خِيَانَةٌ، وَالضَّعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى أُرْجِعَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَاْلقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ حَتَّى آخُذَ اْلحَقَّ مِنْهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، لاَ يَدَعُ قَوْمٌ اْلجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ خَذَلَهُمُ اللهُ بِالذُّلِّ، وَلاَ تَشِيْعُ اْلفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِاْلبَلاَءِ، أَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَ طَاعَةَ لِيْ عَلَيْكُمْ» رَوَاهُ ابْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ ابْنُ كَثِيْرٍ: وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ.
“Dan setelah kaum muslimin mengambil sumpah (baiat) dari Abû Bakar Ash-Shiddiq untuk menjabat sebagai khalifah, Abû Bakar berpidato. Maka ia memuji Allah dan menyanjung-Nya sesuai yang pantas bagi-Nya, setelah itu ia berkata:
“Amma ba‘du…wahai ummat manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat buruk, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah. Dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di antara kalian adalah kuat bagiku sampai aku kembalikan hak yang menjadi miliknya, insyâ Allah. Orang kuat di antara kalian adalah lemah bagiku, sampai aku mengambil hak yang harus ia tunaikan, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah melainkan Allah akan mentelantarkan mereka dengan kehinaan. Dan tidaklah perbuatan seronok merajalela pada suatu kaum melainkan Allah akan meratakan musibah kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.” (Diriwayatkan oleh Abu Ishaq, Ibnu Katsir berkata: ini isnad-nya shohih).
Itulah ucapan Abu Bakar As-Shiddiq . Beliau menyatakan bahwa apabila suatu kaum meninggalkan jihad, maka Allah akan menelantarkan mereka dengan kehinaan. Ini merupakan penjelasan dari hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ ا لله ُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: «إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
“Dari Ibnu ‘Umar h berkata: Rasululloh bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), kalian memegang ekor-ekor sapi, kalian senang dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad, Allah akan timpakan kehinaan kepada kalian yang kehinaan itu tidak akan Dia cabut dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi)
Jadi intinya orang yang tidak mau dan enggan berjihad dengan alasan apapun juga, hal itu disebabkan karena kecintaan mereka terhadap dunia dan kebencian mereka terhadap akhirat.
Ini merupakan ciri dan sifat dari orang yang tidak beriman kepada Allah dan juga tidak beriman kepada hari akhirat. Padahal hal ini merupakan bagian dari rukun iman. Apabila rukun iman yang enam ada dalam dirinya secara utuh, maka dia disebut sebagi orang yang beriman. Tapi apabila hilang satu saja dari dirinya atau bahkan lebih dari satu, maka telah hilang keimanan dari dirinya dan dia tidak berhak disebut sebagai orang yang beriman.
Lagi pula, orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya, pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla untuk segera memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya mereka bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Mereka hanya mencari-cari alasan dan berkilah.
Maka jelaslah, barangsiapa berdalih dengan alasan bahwa jihad terbesar adalah memerangi hawa nafsu untuk membenarkan sikap berpangku tangan mereka dari memerangi orang-orang kafir, merupakan kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin untuk tidak berjihad melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir dan musyrik.
Pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang apabila urusan dunia mereka diusik, mereka akan bangkit dengan segera, tetapi apabila mereka melihat agama ini hancur akibat serangan orang-orang kafir, hati dan badan mereka samasekali tidak akan tergerak untuk membela agama. Mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang dayus, yaitu orang yang sudah tidak mempunyai lagi ghirah (rasa cemburu) terhadap dien ini.
Ummat telah ditimpa penyakit "orang-orang menyimpang" yang telah dikunci mati hatinya. Mereka mengatakan ---baik dengan lisan maupun sikap--- perkataan keji, menyesatkan dan bertolak belakang dengan kedua wahyu maupun fitrah yang sehat. Mereka mengatakan ; tidak ada jihad…yang ada hanyalah dakwah.
Mereka menihilkan kewajiban jihad dengan alasan-alasan sepele dan permainan logika; yang sebenarnya sama sekali tidak berdasar akal yang sehat (logis)! Mereka membutakan diri dari dalil-dalil syariat.
Mereka menyelewengkan makna dalil-dalil syariat, supaya sesuai dengan hawa nafsu mereka yang membuang jihad dari kamus rasio mereka. Mereka menyelewengkan istilah jihad, maka muncul istilah jihad pena, jihad dakwah dan jihad dialog, bahkan istilah jihad budaya yang tidak dikenal dalam istilah para pendahulu ummat ini.
Istilah-istilah ini benar, seandainya diletakkan pada tempatnya. Sayang, semuanya digunakan untuk membuang "perang". Mereka tidak mempunyai hujah yang jelas. Pendapat mereka gugur, bertabrakan dengan nash-nash yang sharih (tegas), fitrah yang lurus dan akal sehat . Ada lagi kelompok ganjil lainnya, mreka membuat teori-teori jihad, padahal mereka sendiri tidak berjihad (qa'idun).
Mereka mengklasifikasikan jihad dan mujahidien, sementara mereka dalam buaian istri-istri mereka. Mereka berada diatas kasur dan sofa yang empuk.
Mereka berkata ; “tidak ada jihad hari ini, ummat Islam lemah, ummat Islam dalam kondisi dhu’afa. Kondisi ummat sama persis dengan fase Makkah, maka wajib menahan diri, mencukupkan diri dengan sabar dan dakwah.
Jihad membuat hasil-hasil dakwah kita selama belasan tahun sirna begitu saja. Maslahat menuntut kita menunda jihad.
Seluruh arrgumentasi mereka tegak di atas dasar logika semata, tidak mampu bertahan bila dihadapkan dengan nash-nash yang sharih dan fitrah yang lurus.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam memberitahu kita, akan adanya sekelompok ummat Islam yang senantiasa menang dan berjihad di jalan Allah. Beliau memberitahu kita, bahwa jihad akan senantiasa berlangsung sampai hari kiamat.
Beliau memberitahu kita, bahwa kelemahan dan kehinaan yang menimpa kita saat ini...adalah disebabkan karena meninggalkan jihad, mencintai dunia dan takut mati. Bagaimana kita mengharapkan ‘izzah dan kekuatan dengan meninggalkan jihad ?
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: «إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
“Dari Ibnu ‘Umar h berkata: Rasululloh bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), kalian memegang ekor-ekor sapi, kalian senang dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad, Allah akan timpakan kehinaan kepada kalian yang kehinaan itu tidak akan Dia cabut dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi)
Fase Makkah yang selalu mereka suarakan di telinga kita ini, benarkah menimpa keseluruhan ummat Islam ???
Bukankah beliau Shallallahu 'alaihi wa salam menyatakan akan adanya sekelompok ummat Islam yang senantiasa berjihad di jalan Allah dan meraih kemenangan.
لاَ تَزَالُ طَائِفَةّ مِنْ أُمَتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ اْلِقيَامَةِ
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari ummatku yang berperang di atas kebenaran mereka senantiasa dzohir sampai hari kiamat.”
Perhatikan sabda beliau: "berperang", yang merupakan penegasan dari beliau, bahwa sesungguhnya akan ada ummat beliau yang berperang sampai hari kiamat untuk membela kebenaran (islam).
Dari Yazid bin al-Asham ia berkata ; Saya mendengar Mu'awiyah bin Abi Sufyan menyebutkan sebuah hadits yang ia dengar dari Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa salam, yang belum saya dengar. Ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam dari atas mimbar bersabda : " Barang siapa yang Allah kehendaki pada dirinya kebaikan, Allah akan menjadikannya paham agama. Dan akan senantiasa ada sekelompok ummat Islam yang berperang di atas kebenaran. Mereka meraih kemenangan atas orang-orang yang memusuhi mereka, sampai hari kiamat."
Nabi bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَا ئِمَةً بِأَمْرِاللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ اَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُاللهِ وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ عَلَى النَّاسِ
"Akan senantiasa ada sekelompok ummatku yang menegakkan perintah Allah. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang mencela atau menyelisihinya sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap nampak diatas ummat ini." (HR. muslim)
Perhatikan, nash yang menunjukkan "perang". Bahkan, ditambahkan ; orang-orang yang menyelisihi tidak akan mampu membahayakan kelompok yang berperang tersebut. Seluruh hadits di atas, diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shahihnya.
Bukankah orang yang berperang, berhak menganggap dirinya termasuk dalam kelompok yang berperang dan tidak termasuk dalam kategori fase Makkah ?
Kenapa dari fase Makkah, hanya diambil hukum "menahan diri tidak berperang" semata, sementara hukum-hukum lain semisal ; tidak beramar ma'ruf nahi munkar, sholat dua raka'at, tidak shaum, tidak zakat, dan hukum-hukum lain yang sangat terkenal ; tidak diambil ? Kenapa tidak adanya hukum hudud, halalnya khamr, dan hukum-hukum lainnya tidak diambil ? Jika menurut mereka hukum syariat telah sempurna…kenapa jihad dikeluarkan (dikecualikan) dari kesempurnaan syariat ?
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ نُفَيْلٍ اَلْكِنْدِي قَا لَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَذَالَ النَّاسُ الْخَيْلَ وَوَضَعُوالسِّلاَحَ, وَقَالُوْ: لاَ جِهَادَ, قَدْ وَضَعَتِ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا! فَأَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ بِوَجْهِهِ وَقَالَ كَذَّبُوْا ! ألآنَ! ألآ نَ! جَاءَ لْقِتَالُ.وَلاَ يَزَالُ مِنْ اُمَّتِي أُمَّةٌ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ وَيُزِيْغُ اللهُ لَهُمْ قُلُوْبَ أَقْوَامِ وَيَرْزُقُهُمْ مِنْهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ وَحَتَّى يَأْ تِيَ وَعْدُاللهِ. وَلْخَيْلُ مَعْقُوْدَ ةٌ فِي نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Dari Salamah bin Nufail al- Kindi ia berkata: “Saya duduk di sisi nabi , maka seorang laki-laki berkata: “Ya Rasululloh, manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, mereka mengatakan : “Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai”. Maka Rasululloh menghadapkan wajahnya dan berkata: “Mereka berdusta!!! Sekarang! Sekarang! Perang telah tiba. Akan senantisa ada dari ummatku, ummat (golongan) yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki ummat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghonimah). Begitulah sampai datangnya hari kiamat dan sampai datangnya janji Allah . Dan pada ubun-ubun kuda akan senantiasa tertambat kebaikan sampai hari kiamat”. (HR. Nasa-I, shohih sunan Nasa-I 3333, Silsilah al-Hadits shohihah no. 1991)
Lihat dan perhatikan hadits di atas. Dalam hadits tersebut jelas sekali, bahwa ketika ada seorang laki-laki yang mengatakan : “Ya Rasululloh, manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, mereka mengatakan : “Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai”.
Rasululloh sangat marah, dan mengatakan bahwa mereka adalah pendusta! Jadi orang yang mengatakan tidak ada jihad, kemudian mereka meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, Rasul menyebut mereka sebagai pendusta.
Kemudian Rasul menyatakan bahwa sekarang ! sekarang ! perang telah tiba. Itulah pernyataan Rasul. Barangsiapa menyelisihi ucapan Rasul, apakah dia pantas mengaku sebagai ummat Rasululloh ??
Syaikh Abdul Akhir Hammad berkata: “Memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memeragi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak. Dan inilah puncak ketinggian Islam, dan ini pula lah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri).”
Jadi, segala bentuk jihad baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam, bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Allah adalah bagian dari jihad, namun bukan yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak, baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
PENGKABURAN DAN PENDANGKALAN MAKNA JIHAD
Ummul mu’minin Sayyidah ‘Aisyah s pernah bertanya kepada Rasululloh :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُولَ الهِ, عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
‘Âisyah s berkata, ”Ya Rasululloh .apakah atas wanita ada kewajiban jihad ?”. Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.” (Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Majah dn Ibnu Khuzaimah).
Sedangkan dalam riwayat Bukhori disebutkan : ‘Aisyah s berkata: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?
Jadi, ‘Aisyah s memahami bahwa jihad adalah perang (bukan yang lainnya. Pen).
Saat ini, faridhoh (kewajiban) jihad merupakan faridhoh yang paling banyak mendapatkan serangan, baik dari orang-orang kafir penyebar orientalis maupun dari kalangan ummat Islam sendiri, baik budak-budak yahudi bahkan juga sebagian ulama yang mukhlis yang tanpa mereka sadari mereka menikam dan menghancurkan jihad serta Islam secara keseluruhan.
Serangan-serangan itu hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka sebarkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, ‘Ijma salaful ummah dan realita kehidupan ummat Islam pada zaman keemasan mereka. Diantara sebagian pemahaman yang melenceng yang tidak sesuai dengan ketentuan syar’i dalam memahami makna jihad ini adalah:
JIHAD SECARA SYAR’I BUKAN PERANG
Ada sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini (perang). Mereka memandang, memaknai jihad dengan kata perang melawan orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan, agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil dari Al Qur’an dan As- sunah, yang kiranya memperkuat pendapat mereka yang “moderat” tersebut. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah :
Firman Allah :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah untuk Allah dengan sebenar-benar jihad.”(QS. Al-Hajj: 78).
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.”
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَ أَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian.” (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasa’i 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no. 2436, Al Baghawi no.3410).
اَيُّ الْجِهَا دِ اَفْضَلُ ؟ فَقَا لَ : كَلِمَةُ حَقٌٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَا ءِرٌ
“Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab:”Berkata yang benar dihadapan penguasa yang dholim.”(HR Ahmad, Nasa-I 7/61, dihasankan Al-Mundzir dalam At-Targhiib wa At-Tarhib 3/168).
عَنِ بنِ مَسْعُوْ دٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثُهُ اللَّهَ فِيْ اُمَّةٍ قَبْلِيْ اِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ اُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَاَصْحَابٌ يَاْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ يَقْتَدُوُنَ بِاَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَاتَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْن َمَا لَا يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالَا يُؤْ مَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَالْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasululloh bersabda: “Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunya sahabat-sahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan mengerjakan apa yang diperintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka dia adalah mu’min, dan barangsiapa berjihad dengan lisannya, dia adalah mu’min, dan siapa yang berjihad dengan hatinya, dia adalah mu’min. Setelah itu tidak ada lagi iman walupun seberat biji sawi”.(HR Muslim bab Iman, no. 50)
اَ لْجِهَادُ اَرْبَعٌ اَ لْاَمْرُ بِأ لْمَعْرُوْفِ وَا لنَّهْيُ عَنِ ا لْمُنْكَرِ وَا لصِّدْقُ فِيْ مَوَا طِنِ ا لصَّبْرِ وَ شَنَا نِ ا لْفَا سِقِ
“ Jihad itu ada empat: amar ma’ruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasiq”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, hasan).
Di antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az- Zakat] dan DR. Ramadhan al- Buthy [dalam buku beliau Al Jihad fi al Islam Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu]. Di sini hanya akan kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau diakui dan menjadi tempat rujukan ummat Islam. Dr. Yusuf Qardhawi berkata,” Oleh karena itu saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer…Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keIslaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong dien Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi.
Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, ummat dan peradabannya.”
Beliau lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah.
Jawaban Atas Berbagai Dalil di Atas :
Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihad menurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syar’i. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Qur'an dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah," Makna syar’i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara', daripada pengertian bahasa maupun 'urf (adat disuatu daerah)."
(a) Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qorinah (dalil/hal lain yang mengiringi) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya. Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan." . Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269]. Karena itu, bila sebagian besar ummat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.
(b) Bila dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun adanya mayoritas masyarakat ummat Islam yang memahami jihad sebagaimana jihad dalam artian perang dan tidak menamai aktifitas ke-Islaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka ummat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz mengajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris, Islam fundamentalis, Islam garis keras dan sebagainya. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada dua: Dakwah dengan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab.
(c) Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami, sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah adalah sebagai berikut :
1. Memang benar ayat-ayat tadi (QS. Al-Hajj: 78, Al-Furqon : 52) menerangkan keutamaan dan arti penting jihad da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, yaitu bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan ummat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun menjelang hijrah beliau ke Madienah ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syar’inya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti "perang", meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad." [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar’iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.” Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلَّابَاعَدَ اللهُ بِذَالِكَ الْيَوْمُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا. وَ فِي رِوَايَةِ الْبُخَارِي : مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ بَعَدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.
“Dari Abu Sa’id ia berkata,” Rasululloh bersabda,” Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153].
Imam Ibnu Jauzi berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilillah maka maknanya adalah jihad.” Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok, mendirikan majlis dzikir dan sebagainya. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu A’lam.
2. Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits tadi, wallahu A’lam adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar Dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar ma’ruf di hadapan sultan yang zhalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa atau bahkan mungkin lebih pas bila diterapkan dalam jihad dengan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukum-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dan seterusnya, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam bis-Showab.
3. Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ أَيُّ اْلأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ أَ ْلإِيْمَانُ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : اَلْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh ditanya,” Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no.56, 1519, Muslim no. 83, Tirmidzi no. 1658, Nasa’I 8/93].
عَنِ ا بْنِ مَسْعُوْدٍ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ , قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قُلْتُ : ثُمَّ أَيُ؟ قَالَ : بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قُلْتُ : ثُمَّ أَيُ؟ قَاَل : اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Dari Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasululloh,” Ya Rasululloh, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,” Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.
Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,” Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad pada awal Islam adalah sebaik-baik amalan yang merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memungkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (من) dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.”
Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama ini. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim.” Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adalah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam.
Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam :
ISTILAH SYAR’I DAN PEMAKAIANNYA
Dalam Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai sebagai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah. Sebagai contoh :
a). Sholat maknanya secara bahasa adalah do’a, sedang secara syar’i perbuatan dan perkataan tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa “doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disebut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna yang kedua, yaitu makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tidak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian ?, karena ia mempermainkan istilah syariat.
b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaum, tidak makan namanya shaum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shaum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu dan lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun pondok pesantren dengan membangun pondok pesantren dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dan seterusnya, tapi itu kalau ada qorinah (kalimat pengiring/ keterangan ).
Kesimpulannya :
Kata jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu tsanamil Islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Nuhas dan Ibnu Taimiyah . Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardhu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardhu ‘ain. Adapun dakwah dan seterusnya itu termasuk jihad dengan makna yang kedua (yang disertai qorinah), dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qorinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan kata jihad dengan qorinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qorinah. Wallahu A’lam.
Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”. Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan di atas.
Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia, disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Allah adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang, lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rasululloh saw. :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : «مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasululloh bersabda: “Barangsiapa mati dan belum pernah berperang, atau membetikkan niat dalam dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)
Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Allah. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lisan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim.
Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“ Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad.”
Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.”
Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dan seterusnya itu juga jihad, namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus (syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan dan lainnya, keutamaan mati syahid dan lainnya, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i (mutlaq), bukan untuk dakwah dan yang lainnya. Itulah kenapa makna syar’i jihad menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dst. Karena itu tidak bisa kita artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syar’i, jihad dengan artian perang. Wallahu A’lam.
اَ لْجِهَادُ اَرْبَعٌ اَ لْاَمْرُ بِأ لْمَعْرُوْفِ وَا لنَّهْيُ عَنِ ا لْمُنْكَرِ وَا لصِّدْقُ فِيْ مَوَا طِنِ ا لصَّبْرِ وَ شَنَا نِ ا لْفَا سِقِ
“ Jihad itu ada empat: amar ma’ruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasiq”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, hasan).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ وَهُوَ يَأْرِزُ بَيْنَ الْمَسْجِدَيْنِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ فِي جُحْرِهَا
" Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing, dan ia akan kembali asing sebagaimana dulu bermula. Dan sesungguhnya iman akan berkumpul di antara dua masjid ini (Masjid Nabawi Madienah dan Masjidil Haram Makkah), sebagaimana ular berkumpul (berlindung dengan kembali) di lubangnya."
Inilah sabda Rasululloh tentang Islam. Islam pertama kali datang aneh dan asing, dan akan kembali asing sama seperti ketika pertama datang.
Islam telah mensyari’atkan jihad, tapi hari ini jihad terasa asing dan aneh bagi orang Islam itu sendiri. Mereka menganggap jihad bukan bagian dari ajaran Islam, atau paling tidak mereka menganggap jihad merupakan kalimat kuno dan asing yang sudah tidak layak lagi untuk diperbincangkan.
Ya salam..!! Musibah apa yang lebih besar dibandieng dengan musibah ini …??
Masalah yang berkaitan dengan hal ini sangat tersebar luas di masyarakat, sehingga masyarakatpun banyak yang pemahamannya terjebak ke arah tersebut. Padahal pemahaman tersebut jelas salah!!.
Ada satu hal yang harus kita perhatikan betul, yaitu jihad melawan hawa nafsu bukanlah jihad yang terbesar, sebagaimana yang di klaim oleh kaum “tasawwuf” dan orang-orang “yang mengaku berilmu” yang mengajak dan menarik manusia kepada keyakinan tersebut, padahal tujuan utama mereka adalah untuk memalingkan manusia dari berjihad sehingga enggan dan tidak mau berjihad.
Adapun yang menjadi rujukan mereka mengenai hal ini, yaitu yang mereka yakini sebagai sebuah hadits yang berbunyi :” Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar….” Merupakan hadits dho’if dan tidak benar.
Al-Baihaqi, Al-Iroqi, As-Suyuthi, Albani serta ulama-ulama lainnya menilai hadits ini adalah dho’if.
Amirul Mukminin fil Hadits, Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam kitab Tasdiidul Qous, bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan, padahal itu bukanlah hadits. Yang benar adalah kata-kata dan ucapan Ibrahim Bin ‘Ablah, seorang tabi’ut tabi’in (generasi ke tiga dalam Islam setelah generasi shahabat, tabi’in baru kemudian tabi’ut tabi’in).
Bukti yang paling nyata dan jelas yang menunjukkan bahwa hadits ini tidak benar adalah bahwa yang mengucapkan (seandainya itu hadits) adalah Rasululloh yang selalu mereka nisbatkan hadits ini kepada beliau, sama sekali tidak duduk berpangku tangan dan berleha-leha dari berperang. Selama tinggal di Madinah, Rasululloh berperang sebanyak 27 kali, dengan keterangan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي إِسْحَا قَ قَالَ سَأَلْتُ زَيْدَابْنَ أَرْقَمَ كَمْ غَزَوْتَ مَعَ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ سَبْعَ عَشْرَةَ وَقَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُبْنُ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ وَ أَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً حَجَّةَ الْوَدَاعِ
"Dari Abu Ishak, ia berkata: Aku bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Berapa kali engkau ikut perang bersama Rasululloh ? Zaid menjawab: “Tujuh belas kali. Selanjutnya Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasululloh telah berperang sebanyak sembilan belas kali dan bahwa beliau menunaikan satu kali haji setelah hijrah, yaitu haji wada’.
عَنْ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ وَخَرَجْتُ فِيْمَا يَبْعَثُ مِنَ الْبُعُوْثِ تِسْعَ غَزَوَاتٍ مَرَّةً عَلَيْنَا أَبُوْ بَكْرٍ وَمَرَّ ةً عَلَيْنَا أُسَامَةُ ابْنُ زَيْدٍ
“Dari Salamah ., ia berkata: Aku pernah ikut berperang bersama Rasululloh sebanyak tujuh kali, serta pernah ikut serta dalam pasukan perang yang diutus beliau sembilan kali. Terkadang kami dipimpin oleh Abu Bakar dan terkadang juga dipimpin oleh Usamah bin Zaid”
1. Ghozwah, yaitu perang yang dipimpin langsung oleh Rasululloh sebanyak sembilan belas kali.
2. Sariyah, yaitu pasukan yang diperintah langsung oleh Rasululloh , tetapi beliau tidak ikut dalam pasukan tersebut sebanyak delapan kali.
Itulah Rasululloh . Beliau selama 10 tahun hidup di Madinah berperang secara langsung di kancah peperangan, yang terkenal diantaranya adalah : Perang Badar, perang Uhud, perang Khandak, perang Bani Quroizhoh, perang Khaibar, perang Hunain, perang Tabuk dan lainnya. Demikian juga dengan para shahabat yang juga merupakan murid-murid dan sekaligus pengikut beliau yang paling setia, mereka terdidik dengan jihad yang sambung menyambung yang tidak putus sampai mereka semua bertemu dengan Robb-nya. Hidup mereka selalu berada di kancah peperangan dan hidup mereka selalu berada diujung kematian dan bayangan pedang. Mereka tidak pernah lengah, istirahat apalagi berhenti dari urusan jihad (perang).
Bahkan dalam hadits tersebut di atas menyatakan bahwa Rasululloh selama tinggal dan bermukim di madienah, beliau hanya melakukan ibadah haji sekali saja, yaitu haji wada’. Justru beliau melaksanakan jihad dan peperangan secara langsung yang beliau terjuni sebanyak 19 (sembilanbelas) kali.
Seandainya yang mereka katakan benar tentang jihad dalam artian berperang melawan orang-orang kafir merupakan jihad kecil, tentu mereka yang mengaku sebagai orang-orang yang berilmu tersebut akan mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rasululloh . Pasti mereka akan memulai latihan dengan menanggung hal yang mereka anggap kecil-kecil dulu, baru kemudan hal yang besar, lalu yang lebih besar lagi. Sehingga meningkat dari yang terendah sampai yang tertinggi.
Jadi, mulailah dari hal yang dianggap kecil tadi, baru yang besar!!
Memang, para ulama pun tetap mengakui bahwa melawan hawa nafsu masih merupakan jihad, tapi bukan berarti kita meninggalkan jihad dalam arti yang sesungguhnya.
Memerangi hawa nafsu memang sangat penting, tapi lebih penting lagi memerangi orang kafir yang memerangi Islam. Jangan sampai kita terlena oleh hal-hal yang sifatnya untuk kepentingan pribadi, mengabaikan kepentingan ummat.
Kalau kita sibuk memerangi hawa nafsu, hanya berdiam diri di rumah atau di masjid atau di majlis-majlis ilmu dan dzikir, lalu siapa yang akan memerangi orang-orang kafir yang menghancurkan Islam. Jika Islam hancur, lalu siapa yang salah??
Hadits dho’if tadi juga menyelisihi firman Allah Ta’ala :
لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“.Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,” (Qs. An-Nisa ayat 95)
Menyebut perang melawan orang kafir sebagai jihad kecil merupakan suatu pernyataan yang tidak ada satupun dalil yang mendukungnya, baik dalil dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Jadi pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang batil, mengada-ada dan hanya merupakan alasan orang-orang yang tidak mau berjihad. Itu hanyalah alasan orang-orang yang takut terhadap kematian dan lebih mementingkan urusan dunia dibandieng dengan urusan dien ini. Mereka lebih mencintai kenikmatan dunia dibandieng janji Allah tentang kenikmatan jannah.
Walaupun mereka beralasan dengan berjuta argumentasi untuk mendukung pembenaran ucapan mereka, pada intinya adalah mereka lebih mencintai kenikmatan dan kehidupan dunia dibandieng dengan kehidupan dan kenikmatan akhirat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasululloh :
وَعَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : «يُوْشِكُ اْلأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلىَ قَصْعَتِهَا»، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ اْلوَهْنَ»، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا اْلوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَا هِيَةُ الْمَوْتِ» أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ.
وَفِيْ رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ: «حُبُّكُمُ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَتُكُمُ الْقِتَالَ».
“Dan dari Tsauban berkata: Rasululloh bersabda: “Sebentar lagi bangsa-bangsa akan mengeroyok kalian sebagaimana orang-orang makan mengelilingi nampannya.” Ada seseorang bertanya: “Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu?” Beliau bersabda: “Bahkan ketika itu kalian banyak, akan tetapi kalian seperti buih lautan. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian terhadap kalian dan Allah benar-benar akan mencampakkan sifat wahn di dalam hati-hati kalian.” Ada seseorang bertanya: “Wahai Rasululloh, apakah wahn itu?” beliau bersabda: “Cinta dunia dan benci mati.” (Dikeluarkan Abu Dawud)
Dalam riwayat Ahmad: “…kecintaan kalian kepada dunia, dan ketidak sukaan kalian kepada perang.”
Hal ini pulalah yang difahami oleh Abu Bakar As-Shiddiq yang merupakan sahabat yang paling utama, sehingga ketika beliau diangkat sebagai khalifah, beliau mengucapkan kalimat seperti yang tercantum di bawah ini:
وَبَعْدَ أَنْ بَايَعَ اْلمُسْلِمُوْنَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ بِاْلخِلاَفَةِ تَكَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِالَّذِيْ هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِيْ، وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِيْ، اَلصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَاْلكَذِبُ خِيَانَةٌ، وَالضَّعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى أُرْجِعَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَاْلقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ حَتَّى آخُذَ اْلحَقَّ مِنْهُ إِنْ شَاءَ اللهُ، لاَ يَدَعُ قَوْمٌ اْلجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ خَذَلَهُمُ اللهُ بِالذُّلِّ، وَلاَ تَشِيْعُ اْلفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِاْلبَلاَءِ، أَطِيْعُوْنِيْ مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَ طَاعَةَ لِيْ عَلَيْكُمْ» رَوَاهُ ابْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ ابْنُ كَثِيْرٍ: وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ.
“Dan setelah kaum muslimin mengambil sumpah (baiat) dari Abû Bakar Ash-Shiddiq untuk menjabat sebagai khalifah, Abû Bakar berpidato. Maka ia memuji Allah dan menyanjung-Nya sesuai yang pantas bagi-Nya, setelah itu ia berkata:
“Amma ba‘du…wahai ummat manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat buruk, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah. Dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di antara kalian adalah kuat bagiku sampai aku kembalikan hak yang menjadi miliknya, insyâ Allah. Orang kuat di antara kalian adalah lemah bagiku, sampai aku mengambil hak yang harus ia tunaikan, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah melainkan Allah akan mentelantarkan mereka dengan kehinaan. Dan tidaklah perbuatan seronok merajalela pada suatu kaum melainkan Allah akan meratakan musibah kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.” (Diriwayatkan oleh Abu Ishaq, Ibnu Katsir berkata: ini isnad-nya shohih).
Itulah ucapan Abu Bakar As-Shiddiq . Beliau menyatakan bahwa apabila suatu kaum meninggalkan jihad, maka Allah akan menelantarkan mereka dengan kehinaan. Ini merupakan penjelasan dari hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ ا لله ُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: «إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
“Dari Ibnu ‘Umar h berkata: Rasululloh bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), kalian memegang ekor-ekor sapi, kalian senang dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad, Allah akan timpakan kehinaan kepada kalian yang kehinaan itu tidak akan Dia cabut dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi)
Jadi intinya orang yang tidak mau dan enggan berjihad dengan alasan apapun juga, hal itu disebabkan karena kecintaan mereka terhadap dunia dan kebencian mereka terhadap akhirat.
Ini merupakan ciri dan sifat dari orang yang tidak beriman kepada Allah dan juga tidak beriman kepada hari akhirat. Padahal hal ini merupakan bagian dari rukun iman. Apabila rukun iman yang enam ada dalam dirinya secara utuh, maka dia disebut sebagi orang yang beriman. Tapi apabila hilang satu saja dari dirinya atau bahkan lebih dari satu, maka telah hilang keimanan dari dirinya dan dia tidak berhak disebut sebagai orang yang beriman.
Lagi pula, orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya, pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla untuk segera memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya mereka bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Mereka hanya mencari-cari alasan dan berkilah.
Maka jelaslah, barangsiapa berdalih dengan alasan bahwa jihad terbesar adalah memerangi hawa nafsu untuk membenarkan sikap berpangku tangan mereka dari memerangi orang-orang kafir, merupakan kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin untuk tidak berjihad melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir dan musyrik.
Pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang apabila urusan dunia mereka diusik, mereka akan bangkit dengan segera, tetapi apabila mereka melihat agama ini hancur akibat serangan orang-orang kafir, hati dan badan mereka samasekali tidak akan tergerak untuk membela agama. Mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang dayus, yaitu orang yang sudah tidak mempunyai lagi ghirah (rasa cemburu) terhadap dien ini.
Ummat telah ditimpa penyakit "orang-orang menyimpang" yang telah dikunci mati hatinya. Mereka mengatakan ---baik dengan lisan maupun sikap--- perkataan keji, menyesatkan dan bertolak belakang dengan kedua wahyu maupun fitrah yang sehat. Mereka mengatakan ; tidak ada jihad…yang ada hanyalah dakwah.
Mereka menihilkan kewajiban jihad dengan alasan-alasan sepele dan permainan logika; yang sebenarnya sama sekali tidak berdasar akal yang sehat (logis)! Mereka membutakan diri dari dalil-dalil syariat.
Mereka menyelewengkan makna dalil-dalil syariat, supaya sesuai dengan hawa nafsu mereka yang membuang jihad dari kamus rasio mereka. Mereka menyelewengkan istilah jihad, maka muncul istilah jihad pena, jihad dakwah dan jihad dialog, bahkan istilah jihad budaya yang tidak dikenal dalam istilah para pendahulu ummat ini.
Istilah-istilah ini benar, seandainya diletakkan pada tempatnya. Sayang, semuanya digunakan untuk membuang "perang". Mereka tidak mempunyai hujah yang jelas. Pendapat mereka gugur, bertabrakan dengan nash-nash yang sharih (tegas), fitrah yang lurus dan akal sehat . Ada lagi kelompok ganjil lainnya, mreka membuat teori-teori jihad, padahal mereka sendiri tidak berjihad (qa'idun).
Mereka mengklasifikasikan jihad dan mujahidien, sementara mereka dalam buaian istri-istri mereka. Mereka berada diatas kasur dan sofa yang empuk.
Mereka berkata ; “tidak ada jihad hari ini, ummat Islam lemah, ummat Islam dalam kondisi dhu’afa. Kondisi ummat sama persis dengan fase Makkah, maka wajib menahan diri, mencukupkan diri dengan sabar dan dakwah.
Jihad membuat hasil-hasil dakwah kita selama belasan tahun sirna begitu saja. Maslahat menuntut kita menunda jihad.
Seluruh arrgumentasi mereka tegak di atas dasar logika semata, tidak mampu bertahan bila dihadapkan dengan nash-nash yang sharih dan fitrah yang lurus.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam memberitahu kita, akan adanya sekelompok ummat Islam yang senantiasa menang dan berjihad di jalan Allah. Beliau memberitahu kita, bahwa jihad akan senantiasa berlangsung sampai hari kiamat.
Beliau memberitahu kita, bahwa kelemahan dan kehinaan yang menimpa kita saat ini...adalah disebabkan karena meninggalkan jihad, mencintai dunia dan takut mati. Bagaimana kita mengharapkan ‘izzah dan kekuatan dengan meninggalkan jihad ?
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: «إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ
“Dari Ibnu ‘Umar h berkata: Rasululloh bersabda: “Jika kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), kalian memegang ekor-ekor sapi, kalian senang dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad, Allah akan timpakan kehinaan kepada kalian yang kehinaan itu tidak akan Dia cabut dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi)
Fase Makkah yang selalu mereka suarakan di telinga kita ini, benarkah menimpa keseluruhan ummat Islam ???
Bukankah beliau Shallallahu 'alaihi wa salam menyatakan akan adanya sekelompok ummat Islam yang senantiasa berjihad di jalan Allah dan meraih kemenangan.
لاَ تَزَالُ طَائِفَةّ مِنْ أُمَتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ اْلِقيَامَةِ
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari ummatku yang berperang di atas kebenaran mereka senantiasa dzohir sampai hari kiamat.”
Perhatikan sabda beliau: "berperang", yang merupakan penegasan dari beliau, bahwa sesungguhnya akan ada ummat beliau yang berperang sampai hari kiamat untuk membela kebenaran (islam).
Dari Yazid bin al-Asham ia berkata ; Saya mendengar Mu'awiyah bin Abi Sufyan menyebutkan sebuah hadits yang ia dengar dari Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa salam, yang belum saya dengar. Ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam dari atas mimbar bersabda : " Barang siapa yang Allah kehendaki pada dirinya kebaikan, Allah akan menjadikannya paham agama. Dan akan senantiasa ada sekelompok ummat Islam yang berperang di atas kebenaran. Mereka meraih kemenangan atas orang-orang yang memusuhi mereka, sampai hari kiamat."
Nabi bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَا ئِمَةً بِأَمْرِاللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ اَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُاللهِ وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ عَلَى النَّاسِ
"Akan senantiasa ada sekelompok ummatku yang menegakkan perintah Allah. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang mencela atau menyelisihinya sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap nampak diatas ummat ini." (HR. muslim)
Perhatikan, nash yang menunjukkan "perang". Bahkan, ditambahkan ; orang-orang yang menyelisihi tidak akan mampu membahayakan kelompok yang berperang tersebut. Seluruh hadits di atas, diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shahihnya.
Bukankah orang yang berperang, berhak menganggap dirinya termasuk dalam kelompok yang berperang dan tidak termasuk dalam kategori fase Makkah ?
Kenapa dari fase Makkah, hanya diambil hukum "menahan diri tidak berperang" semata, sementara hukum-hukum lain semisal ; tidak beramar ma'ruf nahi munkar, sholat dua raka'at, tidak shaum, tidak zakat, dan hukum-hukum lain yang sangat terkenal ; tidak diambil ? Kenapa tidak adanya hukum hudud, halalnya khamr, dan hukum-hukum lainnya tidak diambil ? Jika menurut mereka hukum syariat telah sempurna…kenapa jihad dikeluarkan (dikecualikan) dari kesempurnaan syariat ?
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ نُفَيْلٍ اَلْكِنْدِي قَا لَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَذَالَ النَّاسُ الْخَيْلَ وَوَضَعُوالسِّلاَحَ, وَقَالُوْ: لاَ جِهَادَ, قَدْ وَضَعَتِ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا! فَأَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ بِوَجْهِهِ وَقَالَ كَذَّبُوْا ! ألآنَ! ألآ نَ! جَاءَ لْقِتَالُ.وَلاَ يَزَالُ مِنْ اُمَّتِي أُمَّةٌ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ وَيُزِيْغُ اللهُ لَهُمْ قُلُوْبَ أَقْوَامِ وَيَرْزُقُهُمْ مِنْهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ وَحَتَّى يَأْ تِيَ وَعْدُاللهِ. وَلْخَيْلُ مَعْقُوْدَ ةٌ فِي نَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Dari Salamah bin Nufail al- Kindi ia berkata: “Saya duduk di sisi nabi , maka seorang laki-laki berkata: “Ya Rasululloh, manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, mereka mengatakan : “Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai”. Maka Rasululloh menghadapkan wajahnya dan berkata: “Mereka berdusta!!! Sekarang! Sekarang! Perang telah tiba. Akan senantisa ada dari ummatku, ummat (golongan) yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki ummat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghonimah). Begitulah sampai datangnya hari kiamat dan sampai datangnya janji Allah . Dan pada ubun-ubun kuda akan senantiasa tertambat kebaikan sampai hari kiamat”. (HR. Nasa-I, shohih sunan Nasa-I 3333, Silsilah al-Hadits shohihah no. 1991)
Lihat dan perhatikan hadits di atas. Dalam hadits tersebut jelas sekali, bahwa ketika ada seorang laki-laki yang mengatakan : “Ya Rasululloh, manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, mereka mengatakan : “Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai”.
Rasululloh sangat marah, dan mengatakan bahwa mereka adalah pendusta! Jadi orang yang mengatakan tidak ada jihad, kemudian mereka meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata, Rasul menyebut mereka sebagai pendusta.
Kemudian Rasul menyatakan bahwa sekarang ! sekarang ! perang telah tiba. Itulah pernyataan Rasul. Barangsiapa menyelisihi ucapan Rasul, apakah dia pantas mengaku sebagai ummat Rasululloh ??
Syaikh Abdul Akhir Hammad berkata: “Memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memeragi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak. Dan inilah puncak ketinggian Islam, dan ini pula lah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri).”
Jadi, segala bentuk jihad baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam, bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Allah adalah bagian dari jihad, namun bukan yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak, baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
PENGKABURAN DAN PENDANGKALAN MAKNA JIHAD
Ummul mu’minin Sayyidah ‘Aisyah s pernah bertanya kepada Rasululloh :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُولَ الهِ, عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
‘Âisyah s berkata, ”Ya Rasululloh .apakah atas wanita ada kewajiban jihad ?”. Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.” (Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Majah dn Ibnu Khuzaimah).
Sedangkan dalam riwayat Bukhori disebutkan : ‘Aisyah s berkata: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?
Jadi, ‘Aisyah s memahami bahwa jihad adalah perang (bukan yang lainnya. Pen).
Saat ini, faridhoh (kewajiban) jihad merupakan faridhoh yang paling banyak mendapatkan serangan, baik dari orang-orang kafir penyebar orientalis maupun dari kalangan ummat Islam sendiri, baik budak-budak yahudi bahkan juga sebagian ulama yang mukhlis yang tanpa mereka sadari mereka menikam dan menghancurkan jihad serta Islam secara keseluruhan.
Serangan-serangan itu hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka sebarkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, ‘Ijma salaful ummah dan realita kehidupan ummat Islam pada zaman keemasan mereka. Diantara sebagian pemahaman yang melenceng yang tidak sesuai dengan ketentuan syar’i dalam memahami makna jihad ini adalah:
JIHAD SECARA SYAR’I BUKAN PERANG
Ada sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini (perang). Mereka memandang, memaknai jihad dengan kata perang melawan orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan, agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil dari Al Qur’an dan As- sunah, yang kiranya memperkuat pendapat mereka yang “moderat” tersebut. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah :
Firman Allah :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah untuk Allah dengan sebenar-benar jihad.”(QS. Al-Hajj: 78).
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.”
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَ أَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian.” (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasa’i 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no. 2436, Al Baghawi no.3410).
اَيُّ الْجِهَا دِ اَفْضَلُ ؟ فَقَا لَ : كَلِمَةُ حَقٌٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَا ءِرٌ
“Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab:”Berkata yang benar dihadapan penguasa yang dholim.”(HR Ahmad, Nasa-I 7/61, dihasankan Al-Mundzir dalam At-Targhiib wa At-Tarhib 3/168).
عَنِ بنِ مَسْعُوْ دٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثُهُ اللَّهَ فِيْ اُمَّةٍ قَبْلِيْ اِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ اُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَاَصْحَابٌ يَاْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ يَقْتَدُوُنَ بِاَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَاتَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْن َمَا لَا يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالَا يُؤْ مَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَالْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasululloh bersabda: “Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunya sahabat-sahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan mengerjakan apa yang diperintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka dia adalah mu’min, dan barangsiapa berjihad dengan lisannya, dia adalah mu’min, dan siapa yang berjihad dengan hatinya, dia adalah mu’min. Setelah itu tidak ada lagi iman walupun seberat biji sawi”.(HR Muslim bab Iman, no. 50)
اَ لْجِهَادُ اَرْبَعٌ اَ لْاَمْرُ بِأ لْمَعْرُوْفِ وَا لنَّهْيُ عَنِ ا لْمُنْكَرِ وَا لصِّدْقُ فِيْ مَوَا طِنِ ا لصَّبْرِ وَ شَنَا نِ ا لْفَا سِقِ
“ Jihad itu ada empat: amar ma’ruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasiq”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, hasan).
Di antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az- Zakat] dan DR. Ramadhan al- Buthy [dalam buku beliau Al Jihad fi al Islam Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu]. Di sini hanya akan kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau diakui dan menjadi tempat rujukan ummat Islam. Dr. Yusuf Qardhawi berkata,” Oleh karena itu saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer…Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keIslaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong dien Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi.
Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, ummat dan peradabannya.”
Beliau lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah.
Jawaban Atas Berbagai Dalil di Atas :
Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihad menurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syar’i. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Qur'an dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah," Makna syar’i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara', daripada pengertian bahasa maupun 'urf (adat disuatu daerah)."
(a) Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qorinah (dalil/hal lain yang mengiringi) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya. Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan." . Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269]. Karena itu, bila sebagian besar ummat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.
(b) Bila dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun adanya mayoritas masyarakat ummat Islam yang memahami jihad sebagaimana jihad dalam artian perang dan tidak menamai aktifitas ke-Islaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka ummat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz mengajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris, Islam fundamentalis, Islam garis keras dan sebagainya. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada dua: Dakwah dengan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab.
(c) Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami, sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah adalah sebagai berikut :
1. Memang benar ayat-ayat tadi (QS. Al-Hajj: 78, Al-Furqon : 52) menerangkan keutamaan dan arti penting jihad da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, yaitu bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan ummat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun menjelang hijrah beliau ke Madienah ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syar’inya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti "perang", meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad." [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar’iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.” Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلَّابَاعَدَ اللهُ بِذَالِكَ الْيَوْمُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا. وَ فِي رِوَايَةِ الْبُخَارِي : مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ بَعَدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.
“Dari Abu Sa’id ia berkata,” Rasululloh bersabda,” Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153].
Imam Ibnu Jauzi berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilillah maka maknanya adalah jihad.” Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok, mendirikan majlis dzikir dan sebagainya. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu A’lam.
2. Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits tadi, wallahu A’lam adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar Dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar ma’ruf di hadapan sultan yang zhalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa atau bahkan mungkin lebih pas bila diterapkan dalam jihad dengan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukum-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dan seterusnya, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam bis-Showab.
3. Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ أَيُّ اْلأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ أَ ْلإِيْمَانُ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : اَلْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh ditanya,” Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no.56, 1519, Muslim no. 83, Tirmidzi no. 1658, Nasa’I 8/93].
عَنِ ا بْنِ مَسْعُوْدٍ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ , قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قُلْتُ : ثُمَّ أَيُ؟ قَالَ : بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قُلْتُ : ثُمَّ أَيُ؟ قَاَل : اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Dari Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasululloh,” Ya Rasululloh, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,” Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.
Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,” Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad pada awal Islam adalah sebaik-baik amalan yang merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memungkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (من) dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.”
Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama ini. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim.” Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adalah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam.
Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam :
ISTILAH SYAR’I DAN PEMAKAIANNYA
Dalam Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai sebagai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah. Sebagai contoh :
a). Sholat maknanya secara bahasa adalah do’a, sedang secara syar’i perbuatan dan perkataan tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa “doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disebut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna yang kedua, yaitu makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tidak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian ?, karena ia mempermainkan istilah syariat.
b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaum, tidak makan namanya shaum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shaum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu dan lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun pondok pesantren dengan membangun pondok pesantren dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dan seterusnya, tapi itu kalau ada qorinah (kalimat pengiring/ keterangan ).
Kesimpulannya :
Kata jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu tsanamil Islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Nuhas dan Ibnu Taimiyah . Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardhu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardhu ‘ain. Adapun dakwah dan seterusnya itu termasuk jihad dengan makna yang kedua (yang disertai qorinah), dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qorinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan kata jihad dengan qorinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qorinah. Wallahu A’lam.
Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”. Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan di atas.
Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia, disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Allah adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang, lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rasululloh saw. :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : «مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasululloh bersabda: “Barangsiapa mati dan belum pernah berperang, atau membetikkan niat dalam dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)
Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Allah. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lisan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim.
Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“ Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad.”
Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.”
Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dan seterusnya itu juga jihad, namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus (syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan dan lainnya, keutamaan mati syahid dan lainnya, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i (mutlaq), bukan untuk dakwah dan yang lainnya. Itulah kenapa makna syar’i jihad menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dst. Karena itu tidak bisa kita artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syar’i, jihad dengan artian perang. Wallahu A’lam.
اَ لْجِهَادُ اَرْبَعٌ اَ لْاَمْرُ بِأ لْمَعْرُوْفِ وَا لنَّهْيُ عَنِ ا لْمُنْكَرِ وَا لصِّدْقُ فِيْ مَوَا طِنِ ا لصَّبْرِ وَ شَنَا نِ ا لْفَا سِقِ
“ Jihad itu ada empat: amar ma’ruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasiq”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, hasan).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ وَهُوَ يَأْرِزُ بَيْنَ الْمَسْجِدَيْنِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ فِي جُحْرِهَا
" Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing, dan ia akan kembali asing sebagaimana dulu bermula. Dan sesungguhnya iman akan berkumpul di antara dua masjid ini (Masjid Nabawi Madienah dan Masjidil Haram Makkah), sebagaimana ular berkumpul (berlindung dengan kembali) di lubangnya."
Inilah sabda Rasululloh tentang Islam. Islam pertama kali datang aneh dan asing, dan akan kembali asing sama seperti ketika pertama datang.
Islam telah mensyari’atkan jihad, tapi hari ini jihad terasa asing dan aneh bagi orang Islam itu sendiri. Mereka menganggap jihad bukan bagian dari ajaran Islam, atau paling tidak mereka menganggap jihad merupakan kalimat kuno dan asing yang sudah tidak layak lagi untuk diperbincangkan.
Ya salam..!! Musibah apa yang lebih besar dibandieng dengan musibah ini …??
Rabu, 23 Desember 2009
APA SIH JIHAD ITU??
III. SIAPA YANG HARUS BERJIHAD ?
Dari semua keterangan yang telah disebutkan, kita telah mengetahui bahwa jihad merupakan ajaran Islam dan juga bagian dari Islam serta sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam dan orang-orang yang beriman.
Adapun orang yang terkena kewajiban jihad adalah semua orang Islam yang telah baligh, berakal dan mempunyai kemampuan untuk berjihad.
Para ulama menyebutkan syarat-syarat orang yang terkena kewajiban jihad, yaitu:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْغُلاَمِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
“Dari ‘Âisyah s, bahwasanya Rasululloh .bersabda," Pena diangkat dari tiga kelompok : 1) Orang tidur sampai ia bangun. 2) Anak kecil sampai ia baligh 3) Orang gila sampai ia sembuh.”
4. Laki-laki
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللهِ, عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
‘Âisyah s berkata, ”Ya Rasululloh .apakah atas wanita ada kewajiban jihad ?”. Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.”
5. Sehat fisik dan jasmani (tidak buta, pincang dan sebagainya yang menyebabkan kesulitan dalam bergerak). Dalilnya firman Allah SWT dalam Surat At-Taubah ayat 91
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (At-Taubah ayat 91)
لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ وَمَنْ يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih”. (QS. Al-Fath : 17)
6. Mampu.
Dalilnya firman Allah SWT dalam Surat Al-Anfal ayat 60, 65 dan 66.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan (apa saja yang kamu sanggupi) dan dari kuda yang ditambatkan, ( yang dengan persiapan itu) dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-arang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”. (QS. Al-Anfal:60)
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَيَفْقَهُونَ الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal : 65-66).
7. Merdeka, bukan budak
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ( لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوْكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ). وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ الْحَجُّ وَ بِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوْتَ وَ أَنَا مَمْلُوكٌ.
“Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh .bersabda,” Bagi budak yang sholih ada dua pahala.” Abu Hurairoh berkata,” Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan taat kepada ibu tentulah aku senang mati dalam keadaan sebagai budak.”
8. Tidak mempunyai hutang
Rasululloh . bersabda :
يَغْفِرُ لِلشَّهِيْدِ كُلَّ ذَ نْبٍ إِلاَّ الدَّيْنِ
“Diampuni bagi seorang syahid itu semua dosa kecuali hutang.” (HR Muslim dari Ibnu ‘Amru)
9. Memiliki bekal untuk berperang (baik persenjataan ataupun makanan dan lainnya yang merupakan kebutuhan dan alat untuk berperang). Dalilnya Surat At-Taubah ayat 92
وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
”Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kau berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mreka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”.
10. Izin orangtua
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ أََّن رَجُلاً هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ مِنَ الْيَمَنِ فَقَالَ هَلْ لَكَ أَحَدٌ بِالْيَمَنِ فَقَالَ أَبَوَايَّ فَقَالَ أَذِنَا لَكَ فَقَالَ لاَ قَالَ ارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَاسْتَأْذِنْهُمَا فَإْنَ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ وَ إِلاَّ فَبِرُّهُمَا
“Dari Abu Sa’id bahwasanya ada seseorang datang dari Yaman berhijrah kepada Rasululloh . Rasululloh bertanya,”Apakah kamu mempunyai seseorang di Yaman?” Ia menjawab,”Kedua orang tuaku.” Rasululloh . bertanya,” Apakah mereka mengijinkanmu?”Ia menjawab,” Tidak.” Rasululloh bersabda,” Kembalilah kepada keduanya dan mintalah ijin kepada keduanya. Jika mereka mengijinkanmu maka berjihadlah dan jika mereka tidak mengijinkanmu maka berbuat baiklah kepada keduanya.”
Semua itu ketika dalam kondisi jihad tholabi (ofensif). Adapun ketika jihad difa’i (defensif) maka menjadi berubah sebagaimana keterangan dari Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim.
Ibnu Taimiyah berkata:
” Perang defensif merupakan bentuk perang melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak ada amalan yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya, tidak ada syarat apapun untuk melaksanakannya, tetapi mereka melawan sesuai dengan kemampuan. Ini sudah ditegaskan para ulama madzhab kami dan selainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh dzalim kafir yang menyerang dengan jihad melawan mereka di negeri mereka.”
Imam Ibnul Qayyim mengatakan :
“ Perang defensive lebih luas dan kewajibannya lebih umum dari perang ofensive. Karena itu perang defensive wajib atas setiap individu. Seorang budak berperang baik dengan izin tuannya maupun tidak, seorang anak berperang meskipun tanpa izin orang tuanya, orang yang berhutang berperang meski tanpa izin orang yang menghutangi. Inilah jihad kaum muslimin pada perang Uhud dan Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak disyaratkan musuh dua kali lipat kaum muslimin atau kurang dari itu, karena pada saat perang Uhud dan Khandaq jumlah musuh berlipat-lipat dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka (sekalipun musuh berlipat-lipat dari jumlah tentara kaum muslimin—ed) karena saat itu jihad karena dharurah (terpaksa), bukan karena jihad pilihan sendiri.”
Ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain, maka syarat orang yang wajib berjihad berubah menjadi:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Sehat fisik dan jasmani (tidak buta, pincang dan sebagainya yang menyebabkan kesulitan dalam bergerak).
6. Mampu
7. Semua orang Islam baik merdeka ataupun budak
8. Memiliki bekal untuk berperang (baik persenjataan ataupun makanan dll)
Adapun dalil secara umum tentang siapa saja yang terkena kewajiban jihad adalah firman Allah di dalam Surat Al-Baqoroh ayat 216, Al-Anfal ayat 72, As-Shoff yat 4, dan masih banyak dalil lainnya.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh : 21)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Anfal : 72)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. As-Shoff : 4)
Dalam kondisi fardhu ‘ain, para ulama menyepakati bahwa seorang budak boleh berangkat jihad tanpa seizin tuannya, seorang yang berhutang boleh berangkat berjihad tanpa seizin yang menghutangi, seorang anak boleh berjihad tanpa izin orangtuanya, bahkan seorang isteri boleh berjihad tanpa seizin dari suaminya dengan syarat dia didampingi oleh mahromnya.
Pada intinya semua ayat tersebut di atas memerintahkan kepada semua orang Islam secara umum siapa saja untuk berjihad tanpa kecuali.
1. Niat mujahid
1.Berjuang untuk meninggikan kalimat Allah
Dalil ayat Al- Qur’an : QS.Al- Baqoroh:190,193, 218, 244, QS. Ali Imron: 12,13.
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.Al- Baqoroh:190)
Berkata Abu Ja’far Ar- Rozi dari Robi’ bin Anas, dari Abi ‘Aliyah mengenai firman Allah SWT :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu”
Ini adalah ayat pertama tentang perang (qital) yang turun di Madienah. Setelah ayat ini turun, Rasululloh memerangi musuh-musuhnya yang menyerang beliau (jihad difa’i/ devensif/ bertahan), sampai kemudian Allah menurunkan surat Baro’ah (At-Taubah) yang menasakh (menghapus hukum) ayat tersebut di atas, sehingga kemudian Rasululloh memerangi (menyerang) orang-orang musyrikin, yahudi dan nasrani walaupun beliau tidak diperangi (jihad tholabi/ offensif/ menyerang).
Dalilnya adalah firman Allah di QS. At- Taubah :5
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka”
Ayat ini memerintahkan Rasululloh dan para pengikutnya untuk memerangi orang-orang musyrik dan kafir secara keseluruhan walaupun Rasululloh tidak diserang. Ini bermakna perintah Allah untuk menyerang mereka (perang offensif) di mana saja kita menjumpai mereka.
Sampai kapan orang-orang muslim memerangi mereka? Allah berfirman dalam QS. Al- Baqoroh ayat 193 dan Al-Anfal ayat 39
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) dien (ketaatan, hukum, undang-undang) itu hanya semata-mata untuk (milik) Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (QS. Al- Baqoroh : 193)
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan". (QS. Al-Anfal : 39)
2. Hanya mengharapkan Rahmat Allah
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (.QS. Al-Baqoroh : 218)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al- Baqoroh : 244)
Dalam QS. Ali- Imron : 12-13 Allah berfirman :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ () قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya". Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur) . Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS. Ali- Imron : 12-13)
Dan telah disebutkan oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari ‘Asim bin Umar bin Qotadah, bahwasanya Rasululloh setelah selesai perang Badar, beliau dan ahlul Badar pulang menuju Madienah, kemudian mengumpulkan Yahudi di pasar bani Qoinuka, dan beliau bersabda: “ Hai sekalian Yahudi! Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian apa yang telah ditimpahkan kepada orang-orang Quraisy (kekalahan)”. Maka kemudian orang-orang Yahudi berkata: “Hai Muhammad, janganlah engkau menipu dirimu sendiri dengan engkau telah membunuh beberapa orang Quraisy, karena mereka adalah orang-orang yang tidak bisa berperang. Sesungguhnya engkau, demi Allah. Jika engkau memerangi kami, niscaya engkau pasti tahu bahwa sesungguhnya kami manusia, dan engkau belum pernah menjumpai (manusia) seperti kami”.
Maka kemudian Allah menurunkan ayat yang berkenaan dengan ucapan mereka (yahudi):
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".
Sampai firman Allah
لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ
“Pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”.
Hal tersebut di atas merupakan keterangan dan kabar dari Allah kepada Rasul , bahwasanya orang-orang kafir pasti kalah dan mereka akan digiring ke neraka.
Syarat untuk mengalahkan mereka yaitu harus memerangi mereka. Mana mungkin ada kekalahan dan kemenangan kalau tidak ada peperangan. Inilah janji Allah kepada Rasul-Nya dan juga kepada kita sebagai ummatnya.
Ayat-ayat yang semisal dan semakna dengan itu sangat banyak, diantaranya yaitu: QS. An- Nisa:75, 76, 95, QS. Al- Anfal:72, 74, QS. At- Taubah:20, 38, 41, QS. muhammad: 4, QS. Ash- Shoff: 4, 11.
2. Sifat-sifat mujahid
A. Niat ikhlas untuk berjuang
Firman Allah dalam QS. Muhammad : 4.
فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka". (QS. Muhammad : 4)
Ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT hendak menguji orang-orang beriman dengan orang-orang kafir, apakah orang-orang beriman akan lulus dari ujian ini atau tidak. Mereka diuji baik dengan kemenangan, yaitu mengalahkan orang-orang kafir ataukah mereka diuji dengan kesyahidan. Hanya orang-orang yang ikhlaslah yang bisa lulus dari kedua ujian tersebut. Apabila mereka menang, mereka akan bersyukur kepada Allah, dan apabila mereka syahid, merekapun ikhlas. Karena memang itulah yang mereka cari.
B. Taat dan patuh pada pemimpin
Firman Allah dalam QS. An-Nisa :59, QS. An-Nur :48.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa :59)
Imam Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ibnu Juraij, dari Ya’la bin Muslim, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ مُسْلِم، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: { أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } قَالَ: نُزِلَتْ فِي عَبْدِ اللهِ بْنِ حُذَافَةَ بْنُ قَيْسٍ بْنُ عَدِي؛ إِذْ بَعَثَهُ رَسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَةٍ.
“Dari Juraij, dari Ya’la bin Muslim, dari Sa’id bn Jubair, dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat: {“taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”}. Ibnu ‘Abbas berkata: “ ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Hudzafah bin Qois bin ‘Ady ketika dia diutus oleh Rasululloh pada sebuah sariyah (peperangan yang tidak diikuti oleh Rasululloh , tapi beliau yang memerintahkan secara langsung)”.
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang..” (QS. An-Nur : 48)
C. Kesabaran pejuang saat bertemu musuh
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. "Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al-Baqoroh : 249,250)
Firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung". (QS. Al-Anfal : 45)
Firman Allah
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al-Ahzab : 22)
D. Berani berperang dan tidak pengecut
Dalil-dalil dari kitabulloh mengenai hal ini banyak sekali, diantaranya :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun" (QS. An-Nisa : 77)
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa : 104)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (Al-Anfal : 15)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“ Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Al-Anfal : 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandiengkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit”. (At-Taubah : 38)
Jika kita perhatikan secara seksama, maka kita dapat melihat dan memahami dengan jelas apa yang Allah ungkapkan dalam ayat-ayat tersebut di atas. Misalnya dalam surat An-Nisa ayat 77 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun". (QS. An-Nisa : 77)
Ayat tersebut di atas menjelaskan sifat manusia secara umum dan khususnya orang munafik. Allah mengabarkan bahwa manusia apabila mereka diperintahkan suatu hal yang tidak membutuhkan kepayahan serta ketakutan, semisal sholat, bayar zakat, dan mereka diperintahkan melakukan ibadah selain perang, mereka akan laksanakan perintah tersebut. Tapi apabila mereka diperintahkn berjihad (berperang), niscaya mereka enggan dan menolak hal tersebut disebabkan mereka tidak percaya terhadap rahmat dan pertolongan Allah yang berasal dari sifat munafik yang ada dalam diri mereka.
Jadi, hanya orang-orang munafiklah yang enggan dan menolak ketika diperintahkan kepada mereka untuk berjihad. Apabila hal ini ada dalam diri kita, maka kita harus hati-hati, karena bisa jadi sifat munafik tersebut ada dalam diri kita.
Salahsatu ciri dari sifat munafik menurut ayat tersebut di atas, adalah mereka takut kepada manusia sama seperti mereka takut kepada Allah, atau bahakan lebih. Mereka beranggapan bahwa apabila mereka berjihad, mereka akan celaka, atau kehidupan mereka akan susah dan sempit. Atau mereka takut apabila tertangkap mereka dipenjara dan disiksa.
Padahal Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an, diantaranya :
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap (memenjarakanmu) atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya”. (QS.Al-Anfal : 30)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqoroh : 214)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (Ali-Imron : 142)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (At-Taubah : 16)
Dari surat Al-Anfal ayat 30, surat Al-Baqoroh ayat 214, surat Ali-Imron ayat 142, surat At-Taubah ayat 16, kita dapat melihat secara gamblang dan jelas (tentunya bagi orang-orang yang berakal dan mau berfikir), bahwa Allah SWT menyatakan bahwa resiko bagi orang-orang yang berjihad adalah mereka ditangkap, dipenjarakan, dibunuh atau diusir.
Ini adalah konsekuensi bagi seorang mujahid yang menginginkan dan mengharapkan surga serta pahala dari Allah . Allah menyatakan bahwa masuk surga itu tidak mudah.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (Ali-Imron : 142)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (At-Taubah : 16)
Inilah berita dan pernyataan dari Allah sebagai pemilik surga. Allah menyatakan bahwa masuk surga itu bukanlah perkara yang mudah. Allah akan memberikan surga hanya kepada orang-orang yang diuji oleh Allah dengan jihad, kemudian mereka sabar dalam menghadapi ujian tersebut.
Kemudian sarat yang lain bagi orang yang ingin dimasukkan oleh Allah ke dalam surga adalah mereka hanya mengambil Allah , Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai teman setia. Inilah hakikat Islam, yaitu menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai wali (teman setia), dan menjadikan orang-orang musyrik dan kafir sebagai musuh. Hal ini hanya akan dilakukan oleh orang yang berjihad. Karena jihad adalah memerangi orang-orang musyrik dan kafir yang menjadi musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang yang beriman. Inilah yang disebut dengan “Al-wala wal Baro” (loyalitas dan anti loyalitas, perwalian dan permusuhan).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Mumtahanah : 1)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)". (QS. Ali – Imron : 28)
Ibnu Katsîr dalam menafsirkan ayat tersebut di atas menyatakan : “Allah Tabaroka wa Ta’ala telah melarang hamba-hamba –Nya yang mukmin untuk berwali kepada orang-orang kafir, dan mengambil (mengangkat) mereka sebagai wali-wali, serta lebih gembira (senang) menjalin kasih sayang dengan mereka dibandieng dengan orang-orang mukmin, dan memusuhi orang-orang mukmin.
Maka Allah berfirman:
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Atau barangsiapa yang melanggar larangan Allah mengenai hal ini, maka Allah telah berlepas diri darinya, seperti yang di firmankan-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”. (QS. An-Nisa : 144)
Dan juga firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ .إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah : 51)
Dan firman Allah
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ } إلى أن قال: { وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ }
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang”.
Sampai firman- Nya: “Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (Al-Mumtahanah : 1)
Dan Allah berfirman –setelah menyebutkan perwalian antara orang-orang mukmin dengan orang mukmin lainnya dari kalangan orang-orang Muhajirin, Ansor dan orang-orang Arab pedalaman :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al-Anfal : 73)
Dan juga firman-Nya :
إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. (QS.Ali-Imron : 28)
Atau (yang dimaksud) : “Kecuali barangsiapa yang takut di suatu negeri atau suatu waktu dari kejahatan mereka (orang-orang kafir), maka dia (boleh) “bertaqiyah” (berpura-pura dikarenakan rasa takut atau khawatir) secara zhohir, tapi batin dan niatnya tidak (tidak mengikuti zhohirnya), seperti yang disebutkan oleh Al-Bukhori dari Abi Darda, sesungguhnya dia telah berkata: “ Sesungguhnya kami menyeringai (tersenyum getir) di hadapan suatu kaum, tetapi hati kami melaknat mereka”.
Dan telah berkata Tsauri : telah berkata Ibnu ‘‘Abbâs h: “Taqiyah itu bukan dengan perbuatan, sesungguhnya taqiyah itu dengan lisan”.
Dan ini pulalah yang diucapkan Abu ‘Aliyah, Abu Sya’tsa, Ad-Dhohak, dan Robi’ bin Anas.
Dan pendapat mereka dikuatkan oleh firman Allah SWT
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ .
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. An-Nahl : 106)
Secara gamblang kita bisa memahami dari keterangan ayat di atas, bahwa Allah jelas-jelas menyatakan bahwa barangsiapa yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman setia, penolong, pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin, maka dia telah lepas dari pertolongan Allah.
Kecuali bagi orang-orang yang takut terhadap siksaan ataupun kejelekan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang kafir, dia diperbolehkan “bertaqiyah” (berpura-pura senang kepada mereka, tetapi hatinya mengingkari), dan hati mereka tetap tenang dalam kondisi iman. Tapi apabila hatinya (dadanya) lapang menerima dan menyukai mereka, sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka ( telah kafir).
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”. (QS. An-Nisa : 76)
Allah hanya akan memasukkan manusia ke dalam surga apabila mereka telah diuji dengan malapetaka dan kesengsaraan yang menggoncangkan, sehingga hampir saja mereka putus asa sampai-sampai mereka mengucapkan "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" (Al-Baqoroh : 214).
Inilah sifat orang-orang beriman seperti yang Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya yang Allah sebutkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 165:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandiengan-tandiengan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)".
Ikhlas sebagai Syarat Syahnya Jihad
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya pada hari qiyamat adalah seseorang yang mati syahid. Lalu dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Kemudia dia ditanya; Apa yang kamu perbuat dengan kenikmatan itu? Dia menjawab; Aku berperang di jalan- Mu sampai aku mati syahid. Allah berkata kepadanya; Dusta!, kamu berperang supaya kamu dibilang sebagi orang yang pemberani, dan kamu telah dikatakan sebagai orang yang pemberani. Lalu ia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan kedalam neraka.”
Dari semua keterangan yang telah disebutkan, kita telah mengetahui bahwa jihad merupakan ajaran Islam dan juga bagian dari Islam serta sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam dan orang-orang yang beriman.
Adapun orang yang terkena kewajiban jihad adalah semua orang Islam yang telah baligh, berakal dan mempunyai kemampuan untuk berjihad.
Para ulama menyebutkan syarat-syarat orang yang terkena kewajiban jihad, yaitu:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْغُلاَمِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
“Dari ‘Âisyah s, bahwasanya Rasululloh .bersabda," Pena diangkat dari tiga kelompok : 1) Orang tidur sampai ia bangun. 2) Anak kecil sampai ia baligh 3) Orang gila sampai ia sembuh.”
4. Laki-laki
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللهِ, عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ :نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ اْلحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ.
‘Âisyah s berkata, ”Ya Rasululloh .apakah atas wanita ada kewajiban jihad ?”. Beliau menjawab,” Ya, bagi wanita ada kewajiban jihad (yaitu jihad ) tanpa perang, yaitu haji dan umrah.”
5. Sehat fisik dan jasmani (tidak buta, pincang dan sebagainya yang menyebabkan kesulitan dalam bergerak). Dalilnya firman Allah SWT dalam Surat At-Taubah ayat 91
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (At-Taubah ayat 91)
لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ وَمَنْ يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih”. (QS. Al-Fath : 17)
6. Mampu.
Dalilnya firman Allah SWT dalam Surat Al-Anfal ayat 60, 65 dan 66.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan (apa saja yang kamu sanggupi) dan dari kuda yang ditambatkan, ( yang dengan persiapan itu) dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-arang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”. (QS. Al-Anfal:60)
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَيَفْقَهُونَ الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal : 65-66).
7. Merdeka, bukan budak
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ( لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوْكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ). وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ الْحَجُّ وَ بِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوْتَ وَ أَنَا مَمْلُوكٌ.
“Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh .bersabda,” Bagi budak yang sholih ada dua pahala.” Abu Hurairoh berkata,” Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan taat kepada ibu tentulah aku senang mati dalam keadaan sebagai budak.”
8. Tidak mempunyai hutang
Rasululloh . bersabda :
يَغْفِرُ لِلشَّهِيْدِ كُلَّ ذَ نْبٍ إِلاَّ الدَّيْنِ
“Diampuni bagi seorang syahid itu semua dosa kecuali hutang.” (HR Muslim dari Ibnu ‘Amru)
9. Memiliki bekal untuk berperang (baik persenjataan ataupun makanan dan lainnya yang merupakan kebutuhan dan alat untuk berperang). Dalilnya Surat At-Taubah ayat 92
وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
”Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kau berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mreka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”.
10. Izin orangtua
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ أََّن رَجُلاً هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ مِنَ الْيَمَنِ فَقَالَ هَلْ لَكَ أَحَدٌ بِالْيَمَنِ فَقَالَ أَبَوَايَّ فَقَالَ أَذِنَا لَكَ فَقَالَ لاَ قَالَ ارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَاسْتَأْذِنْهُمَا فَإْنَ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ وَ إِلاَّ فَبِرُّهُمَا
“Dari Abu Sa’id bahwasanya ada seseorang datang dari Yaman berhijrah kepada Rasululloh . Rasululloh bertanya,”Apakah kamu mempunyai seseorang di Yaman?” Ia menjawab,”Kedua orang tuaku.” Rasululloh . bertanya,” Apakah mereka mengijinkanmu?”Ia menjawab,” Tidak.” Rasululloh bersabda,” Kembalilah kepada keduanya dan mintalah ijin kepada keduanya. Jika mereka mengijinkanmu maka berjihadlah dan jika mereka tidak mengijinkanmu maka berbuat baiklah kepada keduanya.”
Semua itu ketika dalam kondisi jihad tholabi (ofensif). Adapun ketika jihad difa’i (defensif) maka menjadi berubah sebagaimana keterangan dari Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim.
Ibnu Taimiyah berkata:
” Perang defensif merupakan bentuk perang melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak ada amalan yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya, tidak ada syarat apapun untuk melaksanakannya, tetapi mereka melawan sesuai dengan kemampuan. Ini sudah ditegaskan para ulama madzhab kami dan selainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh dzalim kafir yang menyerang dengan jihad melawan mereka di negeri mereka.”
Imam Ibnul Qayyim mengatakan :
“ Perang defensive lebih luas dan kewajibannya lebih umum dari perang ofensive. Karena itu perang defensive wajib atas setiap individu. Seorang budak berperang baik dengan izin tuannya maupun tidak, seorang anak berperang meskipun tanpa izin orang tuanya, orang yang berhutang berperang meski tanpa izin orang yang menghutangi. Inilah jihad kaum muslimin pada perang Uhud dan Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak disyaratkan musuh dua kali lipat kaum muslimin atau kurang dari itu, karena pada saat perang Uhud dan Khandaq jumlah musuh berlipat-lipat dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka (sekalipun musuh berlipat-lipat dari jumlah tentara kaum muslimin—ed) karena saat itu jihad karena dharurah (terpaksa), bukan karena jihad pilihan sendiri.”
Ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain, maka syarat orang yang wajib berjihad berubah menjadi:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Sehat fisik dan jasmani (tidak buta, pincang dan sebagainya yang menyebabkan kesulitan dalam bergerak).
6. Mampu
7. Semua orang Islam baik merdeka ataupun budak
8. Memiliki bekal untuk berperang (baik persenjataan ataupun makanan dll)
Adapun dalil secara umum tentang siapa saja yang terkena kewajiban jihad adalah firman Allah di dalam Surat Al-Baqoroh ayat 216, Al-Anfal ayat 72, As-Shoff yat 4, dan masih banyak dalil lainnya.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh : 21)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Anfal : 72)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. As-Shoff : 4)
Dalam kondisi fardhu ‘ain, para ulama menyepakati bahwa seorang budak boleh berangkat jihad tanpa seizin tuannya, seorang yang berhutang boleh berangkat berjihad tanpa seizin yang menghutangi, seorang anak boleh berjihad tanpa izin orangtuanya, bahkan seorang isteri boleh berjihad tanpa seizin dari suaminya dengan syarat dia didampingi oleh mahromnya.
Pada intinya semua ayat tersebut di atas memerintahkan kepada semua orang Islam secara umum siapa saja untuk berjihad tanpa kecuali.
1. Niat mujahid
1.Berjuang untuk meninggikan kalimat Allah
Dalil ayat Al- Qur’an : QS.Al- Baqoroh:190,193, 218, 244, QS. Ali Imron: 12,13.
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.Al- Baqoroh:190)
Berkata Abu Ja’far Ar- Rozi dari Robi’ bin Anas, dari Abi ‘Aliyah mengenai firman Allah SWT :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu”
Ini adalah ayat pertama tentang perang (qital) yang turun di Madienah. Setelah ayat ini turun, Rasululloh memerangi musuh-musuhnya yang menyerang beliau (jihad difa’i/ devensif/ bertahan), sampai kemudian Allah menurunkan surat Baro’ah (At-Taubah) yang menasakh (menghapus hukum) ayat tersebut di atas, sehingga kemudian Rasululloh memerangi (menyerang) orang-orang musyrikin, yahudi dan nasrani walaupun beliau tidak diperangi (jihad tholabi/ offensif/ menyerang).
Dalilnya adalah firman Allah di QS. At- Taubah :5
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka”
Ayat ini memerintahkan Rasululloh dan para pengikutnya untuk memerangi orang-orang musyrik dan kafir secara keseluruhan walaupun Rasululloh tidak diserang. Ini bermakna perintah Allah untuk menyerang mereka (perang offensif) di mana saja kita menjumpai mereka.
Sampai kapan orang-orang muslim memerangi mereka? Allah berfirman dalam QS. Al- Baqoroh ayat 193 dan Al-Anfal ayat 39
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) dien (ketaatan, hukum, undang-undang) itu hanya semata-mata untuk (milik) Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (QS. Al- Baqoroh : 193)
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan". (QS. Al-Anfal : 39)
2. Hanya mengharapkan Rahmat Allah
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (.QS. Al-Baqoroh : 218)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al- Baqoroh : 244)
Dalam QS. Ali- Imron : 12-13 Allah berfirman :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ () قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya". Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur) . Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS. Ali- Imron : 12-13)
Dan telah disebutkan oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari ‘Asim bin Umar bin Qotadah, bahwasanya Rasululloh setelah selesai perang Badar, beliau dan ahlul Badar pulang menuju Madienah, kemudian mengumpulkan Yahudi di pasar bani Qoinuka, dan beliau bersabda: “ Hai sekalian Yahudi! Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian apa yang telah ditimpahkan kepada orang-orang Quraisy (kekalahan)”. Maka kemudian orang-orang Yahudi berkata: “Hai Muhammad, janganlah engkau menipu dirimu sendiri dengan engkau telah membunuh beberapa orang Quraisy, karena mereka adalah orang-orang yang tidak bisa berperang. Sesungguhnya engkau, demi Allah. Jika engkau memerangi kami, niscaya engkau pasti tahu bahwa sesungguhnya kami manusia, dan engkau belum pernah menjumpai (manusia) seperti kami”.
Maka kemudian Allah menurunkan ayat yang berkenaan dengan ucapan mereka (yahudi):
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".
Sampai firman Allah
لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ
“Pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”.
Hal tersebut di atas merupakan keterangan dan kabar dari Allah kepada Rasul , bahwasanya orang-orang kafir pasti kalah dan mereka akan digiring ke neraka.
Syarat untuk mengalahkan mereka yaitu harus memerangi mereka. Mana mungkin ada kekalahan dan kemenangan kalau tidak ada peperangan. Inilah janji Allah kepada Rasul-Nya dan juga kepada kita sebagai ummatnya.
Ayat-ayat yang semisal dan semakna dengan itu sangat banyak, diantaranya yaitu: QS. An- Nisa:75, 76, 95, QS. Al- Anfal:72, 74, QS. At- Taubah:20, 38, 41, QS. muhammad: 4, QS. Ash- Shoff: 4, 11.
2. Sifat-sifat mujahid
A. Niat ikhlas untuk berjuang
Firman Allah dalam QS. Muhammad : 4.
فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka". (QS. Muhammad : 4)
Ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT hendak menguji orang-orang beriman dengan orang-orang kafir, apakah orang-orang beriman akan lulus dari ujian ini atau tidak. Mereka diuji baik dengan kemenangan, yaitu mengalahkan orang-orang kafir ataukah mereka diuji dengan kesyahidan. Hanya orang-orang yang ikhlaslah yang bisa lulus dari kedua ujian tersebut. Apabila mereka menang, mereka akan bersyukur kepada Allah, dan apabila mereka syahid, merekapun ikhlas. Karena memang itulah yang mereka cari.
B. Taat dan patuh pada pemimpin
Firman Allah dalam QS. An-Nisa :59, QS. An-Nur :48.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa :59)
Imam Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ibnu Juraij, dari Ya’la bin Muslim, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas :
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ مُسْلِم، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: { أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } قَالَ: نُزِلَتْ فِي عَبْدِ اللهِ بْنِ حُذَافَةَ بْنُ قَيْسٍ بْنُ عَدِي؛ إِذْ بَعَثَهُ رَسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَةٍ.
“Dari Juraij, dari Ya’la bin Muslim, dari Sa’id bn Jubair, dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat: {“taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”}. Ibnu ‘Abbas berkata: “ ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Hudzafah bin Qois bin ‘Ady ketika dia diutus oleh Rasululloh pada sebuah sariyah (peperangan yang tidak diikuti oleh Rasululloh , tapi beliau yang memerintahkan secara langsung)”.
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang..” (QS. An-Nur : 48)
C. Kesabaran pejuang saat bertemu musuh
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. "Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al-Baqoroh : 249,250)
Firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung". (QS. Al-Anfal : 45)
Firman Allah
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al-Ahzab : 22)
D. Berani berperang dan tidak pengecut
Dalil-dalil dari kitabulloh mengenai hal ini banyak sekali, diantaranya :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun" (QS. An-Nisa : 77)
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa : 104)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (Al-Anfal : 15)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“ Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Al-Anfal : 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandiengkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit”. (At-Taubah : 38)
Jika kita perhatikan secara seksama, maka kita dapat melihat dan memahami dengan jelas apa yang Allah ungkapkan dalam ayat-ayat tersebut di atas. Misalnya dalam surat An-Nisa ayat 77 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun". (QS. An-Nisa : 77)
Ayat tersebut di atas menjelaskan sifat manusia secara umum dan khususnya orang munafik. Allah mengabarkan bahwa manusia apabila mereka diperintahkan suatu hal yang tidak membutuhkan kepayahan serta ketakutan, semisal sholat, bayar zakat, dan mereka diperintahkan melakukan ibadah selain perang, mereka akan laksanakan perintah tersebut. Tapi apabila mereka diperintahkn berjihad (berperang), niscaya mereka enggan dan menolak hal tersebut disebabkan mereka tidak percaya terhadap rahmat dan pertolongan Allah yang berasal dari sifat munafik yang ada dalam diri mereka.
Jadi, hanya orang-orang munafiklah yang enggan dan menolak ketika diperintahkan kepada mereka untuk berjihad. Apabila hal ini ada dalam diri kita, maka kita harus hati-hati, karena bisa jadi sifat munafik tersebut ada dalam diri kita.
Salahsatu ciri dari sifat munafik menurut ayat tersebut di atas, adalah mereka takut kepada manusia sama seperti mereka takut kepada Allah, atau bahakan lebih. Mereka beranggapan bahwa apabila mereka berjihad, mereka akan celaka, atau kehidupan mereka akan susah dan sempit. Atau mereka takut apabila tertangkap mereka dipenjara dan disiksa.
Padahal Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an, diantaranya :
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap (memenjarakanmu) atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya”. (QS.Al-Anfal : 30)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqoroh : 214)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (Ali-Imron : 142)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (At-Taubah : 16)
Dari surat Al-Anfal ayat 30, surat Al-Baqoroh ayat 214, surat Ali-Imron ayat 142, surat At-Taubah ayat 16, kita dapat melihat secara gamblang dan jelas (tentunya bagi orang-orang yang berakal dan mau berfikir), bahwa Allah SWT menyatakan bahwa resiko bagi orang-orang yang berjihad adalah mereka ditangkap, dipenjarakan, dibunuh atau diusir.
Ini adalah konsekuensi bagi seorang mujahid yang menginginkan dan mengharapkan surga serta pahala dari Allah . Allah menyatakan bahwa masuk surga itu tidak mudah.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (Ali-Imron : 142)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (At-Taubah : 16)
Inilah berita dan pernyataan dari Allah sebagai pemilik surga. Allah menyatakan bahwa masuk surga itu bukanlah perkara yang mudah. Allah akan memberikan surga hanya kepada orang-orang yang diuji oleh Allah dengan jihad, kemudian mereka sabar dalam menghadapi ujian tersebut.
Kemudian sarat yang lain bagi orang yang ingin dimasukkan oleh Allah ke dalam surga adalah mereka hanya mengambil Allah , Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai teman setia. Inilah hakikat Islam, yaitu menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai wali (teman setia), dan menjadikan orang-orang musyrik dan kafir sebagai musuh. Hal ini hanya akan dilakukan oleh orang yang berjihad. Karena jihad adalah memerangi orang-orang musyrik dan kafir yang menjadi musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang yang beriman. Inilah yang disebut dengan “Al-wala wal Baro” (loyalitas dan anti loyalitas, perwalian dan permusuhan).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Mumtahanah : 1)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)". (QS. Ali – Imron : 28)
Ibnu Katsîr dalam menafsirkan ayat tersebut di atas menyatakan : “Allah Tabaroka wa Ta’ala telah melarang hamba-hamba –Nya yang mukmin untuk berwali kepada orang-orang kafir, dan mengambil (mengangkat) mereka sebagai wali-wali, serta lebih gembira (senang) menjalin kasih sayang dengan mereka dibandieng dengan orang-orang mukmin, dan memusuhi orang-orang mukmin.
Maka Allah berfirman:
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Atau barangsiapa yang melanggar larangan Allah mengenai hal ini, maka Allah telah berlepas diri darinya, seperti yang di firmankan-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”. (QS. An-Nisa : 144)
Dan juga firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ .إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah : 51)
Dan firman Allah
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ } إلى أن قال: { وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ }
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang”.
Sampai firman- Nya: “Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (Al-Mumtahanah : 1)
Dan Allah berfirman –setelah menyebutkan perwalian antara orang-orang mukmin dengan orang mukmin lainnya dari kalangan orang-orang Muhajirin, Ansor dan orang-orang Arab pedalaman :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al-Anfal : 73)
Dan juga firman-Nya :
إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. (QS.Ali-Imron : 28)
Atau (yang dimaksud) : “Kecuali barangsiapa yang takut di suatu negeri atau suatu waktu dari kejahatan mereka (orang-orang kafir), maka dia (boleh) “bertaqiyah” (berpura-pura dikarenakan rasa takut atau khawatir) secara zhohir, tapi batin dan niatnya tidak (tidak mengikuti zhohirnya), seperti yang disebutkan oleh Al-Bukhori dari Abi Darda, sesungguhnya dia telah berkata: “ Sesungguhnya kami menyeringai (tersenyum getir) di hadapan suatu kaum, tetapi hati kami melaknat mereka”.
Dan telah berkata Tsauri : telah berkata Ibnu ‘‘Abbâs h: “Taqiyah itu bukan dengan perbuatan, sesungguhnya taqiyah itu dengan lisan”.
Dan ini pulalah yang diucapkan Abu ‘Aliyah, Abu Sya’tsa, Ad-Dhohak, dan Robi’ bin Anas.
Dan pendapat mereka dikuatkan oleh firman Allah SWT
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ .
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. An-Nahl : 106)
Secara gamblang kita bisa memahami dari keterangan ayat di atas, bahwa Allah jelas-jelas menyatakan bahwa barangsiapa yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman setia, penolong, pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin, maka dia telah lepas dari pertolongan Allah.
Kecuali bagi orang-orang yang takut terhadap siksaan ataupun kejelekan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang kafir, dia diperbolehkan “bertaqiyah” (berpura-pura senang kepada mereka, tetapi hatinya mengingkari), dan hati mereka tetap tenang dalam kondisi iman. Tapi apabila hatinya (dadanya) lapang menerima dan menyukai mereka, sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka ( telah kafir).
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”. (QS. An-Nisa : 76)
Allah hanya akan memasukkan manusia ke dalam surga apabila mereka telah diuji dengan malapetaka dan kesengsaraan yang menggoncangkan, sehingga hampir saja mereka putus asa sampai-sampai mereka mengucapkan "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" (Al-Baqoroh : 214).
Inilah sifat orang-orang beriman seperti yang Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya yang Allah sebutkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 165:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandiengan-tandiengan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)".
Ikhlas sebagai Syarat Syahnya Jihad
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya pada hari qiyamat adalah seseorang yang mati syahid. Lalu dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Kemudia dia ditanya; Apa yang kamu perbuat dengan kenikmatan itu? Dia menjawab; Aku berperang di jalan- Mu sampai aku mati syahid. Allah berkata kepadanya; Dusta!, kamu berperang supaya kamu dibilang sebagi orang yang pemberani, dan kamu telah dikatakan sebagai orang yang pemberani. Lalu ia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan kedalam neraka.”
Langganan:
Postingan (Atom)