(2)
HUKUM JIHAD YANG TERAKHIR DITURUNKAN MENGHAPUS HUKUM-HUKUM JIHAD YANG DITURUNKAN SEBELUMNYA.
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya. (Al Baqoroh: 109)
Beliau mengatakan: "Alloh jalla tsana-uhu menghapus perintah-Nya untuk memaafkan dan membebankan kepada mereka dengan kewajiban untuk memerangi orang-orang kafir sampai kalimat orang-orang kafir dan kalimat orang-orang beriman sama, atau mereka membayar jizyah dalam keadaan hina." Kemudian beliau rohimahulloh menukil pernyataan nasakh (dihapusnya hukum-hukum jihad yang diturunkan sebelum hukum jihad yang diturunkan terakhir-pent.) dari Ibnu Abbas, Qotadah dan Ar Robi' bin Anas.[1]
Al Hafidh Ibnu Katsir di dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya. (Al Baqoroh: 109)
… juga menukil pernyataan nasakh dari Ibnu Abbas. Setelah itu Ibnu Katsir mengatakan: "Hal yang demikian juga dinyatakan oleh Abul 'Aliyah, Ar Robi' bin Anas, Qotadah dan As Suddi. Mereka semua mengatakan: Sesungguhnya ayat ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayatus saif." Dan hal ini juga diisyaratkan oleh firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
… sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.
…"[2]
Dalam menafsirkan ayatus saif Ibnu 'Ithiyah mengatakan: "Ayat ini menasakh semua muwada'ah (perintah untuk membiarkan orang kafir) di dalam Al Qur'an atau yang semacam itu. Dan itu terdapat dalam 114 ayat."[3]
Sedangkan Al Qurthubi dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya. (Al Baqoroh: 109)
… ia mengatakan: "Ayat ini telah mansukh dengan firman-Nya yang berbunyi:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Alloh Dan Rosul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Alloh), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Yang semacam ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dan ada juga yang mengatakan bahwa yang menasakhnya adalah firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
… maka bunuhlah orang-orang musyirik …(At-Taubah: 5)
…"[4]
Dan dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (At Taubah: 73)
.. ia (Ibnu 'Ithiyah) mengatakan: "Ayat ini menasakh semua ayat yang memerintahkan untuk memaafkan dan bersabar."[5]
Sementara Ibnu Hazm mengatakan: "… dan larangan berperang itu telah dihapus dengan diwajibkannya berperang."[6]
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "… maka, perintah Alloh kepada mereka untuk berperang itu menasakh perintah-Nya kepada mereka untuk menahan tangan mereka dari orang-orang kafir."[7]
Sedangkan As Suyuthi mengatakan: "Alloh ta'ala berfirman:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
… maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka, (At-Taubah: 5)
… ayat ini adalah ayatus saif, yang menasakh ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan, bersabar, berpaling dan berdamai (dengan orang-orang kafir). Dan jumhur (myoritas) ulama' menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi bangsa turk dan habasyah."[8]
Ia juga mengatakan: "Semua ayat Al Qur'an yang memerintahkan untuk bersabar dan berpaling dari orang-orang kafir telah mansukh oleh ayatus saif."[9]
Sementara itu beberapa ulama' menyatakan ijma' atas mansukhnya ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan dan menahan diri dari orang-orang kafir dengan ayat-ayat yang mewajibkan untuk memerangi mereka.
Di dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Alloh (hari-hari di mana Alloh menimpakan siksaan-siksaan kepada mereka). (Al Jatsiyah: 14)
Ibnu Jarir mengatakan: "Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan sesungguhnya ayat tersebut telah mansukh berdasarkan ijma' para ulama'."[10]
Sementara itu Al Jashosh, dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً
"…tetapi jika mereka membiarkan kalian, dan tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian kepada kalian maka Alloh tidak memberi jalan bagi kalian (untuk menawan dan membunuh) mereka." (An Nisa': 90)
Ia mengatakan: "Kami tidak mengetahui seorangpun dari kalangan fuqoha' yang melarang memerangi orang-orang musyrik yang tidak memerangi kita. Sesungguhnya yang diperselisihkan oleh para fuqoha' itu adalah boleh tidaknya untuk tidak memerangi mereka, dan bukan larangan memerangi mereka. Karena semuanya telah bersepakat atas mansukhnya larangan memerangi orang yang seperti kami sebutkan tersebut."[11]
Sedangkan Asy Syaukani mengatakan: "Adapun memerangi dan menyerang orang-orang kafir, dan menawarkan kepada mereka untuk menganut agama Islam atau membayar jizyah atau dibunuh, adalah perkara yang sudah sangat jelas dalam ajaran Islam … sedangkan semua dalil yang menerangkan agar berdamai dan membiarkan orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi kita, semua itu telah mansukh atas kesepakatan kaum muslimin berdasarkan dalil-dalil yang menerangkan atas wajibnya memerangi mereka dalam keadaan apapun ketika kita memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka dan ketika kita memiliki kemampuan untuk memerangi mereka dan menyerang mereka ke negeri mereka."[12]
Shiddiq Hasan Khon juga menukil ijma' yang sama, dengan menggunakan kata-kata yang sama dengan kata-kata yang diucapkan oleh Asy Syaukani namun ia tidak menisbatkan perkataan tersebut kepada Asy Syaukani.[13]
Dan mesti diketahui, bahwa yang dimaksud dengan nasakh dalam masalah ini adalah bahwa memerangi orang-orang musyrik itu hukumnya menjadi wajib setelah sebelumnya dilarang, atau diperintahkan hanya ketika diserang saja. Artinya, sesungguhnya yang mansukh itu adalah membatasi diri dengan dakwah secara lisan, dan jihad katika diserang saja. Sehingga memerangi orang-orang musyrik itu hukumnya wajib meskipun mereka tidak memerangi kita terlebih dahulu. Namun demikian, perang yang bersifat defensive (mempertahankan diri), dakwah dan berdebat dengan cara yang paling baik itu hukumnya tetap berlaku.
Hal ini perlu saya ingtkan di sini karena adanya beberapa orang pada jaman sekarang yang memiliki anggapan bahwa perang itu di dalam Islam disyariatkan hanya bersifat defensive (untuk mempertahankan diri) saja. Mereka mengatakan: Jika kalian mengatakan bahwa hukum jihad itu tetap pada posisi wajibnya memerangi orang-orang kafir sejak awal (meskipun mereka tidak memerangi kita), berarti kalian melarang dakwah dan memaksa orang lain untuk masuk Islam. Padahal bukan itu yang kami maksud. Dakwah dan berdebat dengan cara yang paling baik tetap dilakukan. Akan tetapi, selain itu perang juga harus dilakukan jika orang-orang yang didakwahi itu menolak masuk Islam atau membayar jizyah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang memerintahkan untuk berdebat dan berdialog dengan orang-orang kafir itu telah mansukh dengan ayatus saif karena beranggapan bahwa perintah perang itu bertentangan dengan perintah untuk berdialog. Ini adalah salah. Karena sesungguhnya nasakh itu terjadi hanya ketika an nasikh (hukum yang memenghapus) nya bertentangan dengan al mansukh (hukum yang dihapus), seperti perintah sholat menghadap masjidil harom yang bertentangan dengan perintah sholat menghadap baitul maqdis … dan seperti firman Alloh kepada mereka: Tahanlah tangan kalian dari berperang … yang bertentangan dengan firman Alloh kepada mereka: Perangilah mereka … sebagaimana firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
أَلَمْ تَرَإِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقُُ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Alloh, bahkan lebih takut lagi. (An Nisa': 77)
Dengan demikian, perintah Alloh ta'ala kepada mereka untuk berperang menasakh perintah-Nya kepada mereka untuk menahan tangan. Adapun firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
"Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik …" (An Nahal: 125)
… dan firman-Nya yang berbunyi:
وَلاَتُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
"Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka." (Al 'Ankabut: 46)
Ayat-ayat ini tidak bertentangan dengan perintah jihad, yaitu perintah untuk memerangi mereka. Akan tetapi perintah perang ini bertentangan dengan larangan untuk berperang dan mencukupkan diri dengan mujadalah (debat)."[14]
Kemudian beliau (Ibnu Taimiyah) rohimahulloh menyebutkan beberapa cara untuk memadukan antara perintah jidal (debat) dengan perintah perang. Terakhir beliau mengatakan: "Cara yang kelima adalah kita katakan bahwa yang mansukh itu adalah (perintah untuk) mencukupkan diri dengan jidal (debat)."[15]
Meskipun nash-nash syar'i telah nyata-nyata menunjukkan atas mansukhnya hukum-hukum jihad yang turun pada tahapan-tahapan pensyariatannya sebelum tahapan diturunkannya perintah memerangi orang-orang kafir sejak awal (meskipun mereka tidak memerangi), namun ternyata kita mendapatkan ada beberapa orang pada saat sekarang ini yang mengatakan: Sesungguhnya yang terjadi bukanlah nasakh, dan sesungguhnya seluruh hukum jihad yang disebutkan di dalam nash-nash syar'i itu bersifat muhkam (paten dan tidak mansukh). Akan tetapi semuanya itu adalah hukum-hukum yang bersifat marhaliyah (berlaku secara bertahap), yang harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang sama dengan kondisi di masing-masing marhalah hukum jihad yang (tahapan) diturunkan ketika itu.[16] Kemudian setelah itu, ada sebagian orang yang berdasarkan pemikiran tersebut berpendapat bahwa kita sekarang ini tengah berada pada zaman yang masih lemah sebagaimana yang terjadi pada periode Mekah, sehingga kita harus beramal sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku pada periode itu, yaitu wajib untuk bersabar dan memberikan maaf, dan tidak berperang.
Sementara kami tidak menemukan adanya orang sebelum mereka yang berpendapat seperti itu, yakni tidak mansukhnya hukum-hukum jihad yang diturunkan pada tahapan-tahapan pensyariatannya sebelum tahapan yang terakhir, kecuali apa yang disebutkan oleh Imam Badrud Din Muhammad bin Abdillah Az Zarkasyi yang wafat pada tahun 794 di dalam kitabnya Al Burhan Fi 'Ulumil Qur-an, dan yang disebutkan oleh Al Hafidh As Suyuthi yang wafat pada tahun 911 di dalam kitabnya Al Itqon Fi 'Ulumil Qur-an.
Az Zarkasyi mengatakan: "Sebagian ulama' membuat pembagian nasakh berdasar tinjauan yang lain menjadi tiga macam … Yang ketiga adalah sesuatu yang diperintahkan karena suatu sebab kemudian sebab tersebut hilang. Seperti perintah untuk bersabar dan memberikan maaf kepada orang-orang yang tidak yakin terhadap perjumpaan dengan Alloh, serta perintah lainnya, seperti tidak diwajibkannya untuk melaksanakan amar makruf, nahi munkar, jihad dan yang lainnya, ketika dalam kondisi lemah dan berjumlah sedikit, yang kemudian mansukh dengan hukum wajibnya melakukan itu semua. Yang semacam ini sebenarnya bukanlah nasakh, akan tetapi yang benar adalah nasa' yang Alloh sebutkan di dalam firman-Nya:
أَوْ نُنْسِئهَا
… atau Kami menasa' (nunda) nya …
Sedangkan al mansa' (nasa') adalah perintah perang yang ditunda sampai kaum muslimin kuat, sedangkan ketika dalam kondisi lemah hukumnya adalah wajib untuk bersabar menghadapi gangguan. Berdasarkan kajian ini dapat dipahami lemahnya pemdapat kebanyakan ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersikap lunak itu telah mansukh dengan ayatus saif. Padahal tidak demikian, akan tetapi yang benar adalah sesungguhnya perkara ini termasuk al mansa' yang berarti masing-masing perintah itu wajib dilaksanakan ketika dalam kondisi tertentu yang menjadi 'illah (penyebab) munculnya perintah tersebut. Kemudian hukumnya berpindah sesuai dengan perpindahan 'illahnya. Sehingga ini bukanlah nasakh. Karena sesungguhnya nasakh itu adalah dihapusnya suatu hukum sehingga tidak boleh dilaksanakan kapanpun. Seperti inilah yang diisyaratkan oleh Asy Syafi'i di dalam Ar Risalah tentang larangan menimbun daging qurban karena ad dafah[17], kemudian setelah itu ada ijin untuk menimbun. Di sini Asy Syafi'i tidak menganggapnya sebuah hukum yang mansukh, akan tetapi ini adalah dihapuskannya suatu hukum lantaran 'illah (sebab munculnya hukum) nya telah hilang. Sehingga seandainya di suatu daerah didatangi oleh sekelompok orang yang dalam keadaan kesusahan maka berlakulah larangan semacam ini bagi mereka. Termasuk dalam hal ini adalah firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian menjaga diri kalian sendiri…"
Perintah ini turun pada periode awal Islam, kemudian tatkala kaum muslimin dalam keadaan kuat, mereka diwajibkan untuk melaksanakan amar makruf, nahi munkar dan berperang. Kemudian seadainya kaum muslimin berada dalam kondisi lemah kembali, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya yang berbunyi:
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً وَسَيَعُوْدُ غَرِيْباً كَمَا بَدَأَ
"Islam itu berawal dalam keadaan asing dan akan kembali terasing sebagaimana awalnya."
… maka hukumnyapun akan kembali."[18]
Dengan demikian, Az Zarkasyi di sini berpendapat bahwa perubahan yang terjadi pada hukum jihad itu bukanlah termasuk nasakh, akan tetapi ia perpendapat bahwa perubahan hukum ini merupakan penghapusan hukum yang disebabkan hilangnya 'illah (sebab yang mendasari munculnya) hukum tersebut, yang ia sebut sebagai nasa'.
Sementara As Suyuthi, ia menjadikan perkataan Az Zarkasyi tersebut sebagai landasan dalam berpendapat mengenai an nasa'. Sampai-sampai sebagian besar kata-kata yang ia gunakan sama persis dengan kata-kata yang digunakan oleh Az Zarkasyi tersebut --- yang telah kami nukil di atas --- dengan tanpa menisbatkannya kepada Az Zarkasyi.[19]
Demikianlah, namun demikian keduanya, baik Az Zarkasyi maupun As Suyuthi, masing-masing memiliki perkataan yang lain dalam masalah ini yang mana keduanya mengatakan bahwa hal ini termasuk katagori an nasakh. Adapun As Suyuthi, sebelumnya telah kita nukil perkataannya tentang nasakh dalam masalah ini, yang ia katakan dalam kitabnya Al Iklil dan At Tahbir.
Sedangkan Az Zarkasyi di tempat yang lain dalam kitab Al Burhan mengatakan: "Dan bisa saja suatu hukum dalam suatu ayat itu menasakh hukum lainnya yang terdapat dalam ayat yang lain sehingga hukumnya menjadi mansukh. Seperti firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وِلِيَ دِيْنِ
Bagi kalian agama kalian dan bagi kami agama kami.
Yang mansukh dengan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
Maka bunuhlah orang-orang musyrik.
Kemudian ayat ini mansukh lagi dengan firman-Nya yang berbunyi:
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ
… sampai mereka membayar jizyah dari tangan…
Dan juga firman-Nya yang berbunyi:
فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ
Maka maafkanlah dan berlapang dadalah sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.
Yang mansukh dengan firman- Nya yang berbunyi:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
Maka bunuhlah orang-orang musyrik.
Kemudian ayat ini mansukh lagi dengan firman-Nya yang berbunyi:
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ
… sampai mereka membayar jizyah …
…"[20]
Di sini Az Zarkasyi rohimahulloh mengakui bahwa ayatus saif telah menasakh ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersabar dan memaafkan. Dan beliau manambahkan bahwasanya ayatus saif telah mansukh dengan ayatu saifi ahlil kitab (ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab).[21]
Dengan demikian, perkataan Az Zarkasyi dalam masalah ini tidaklah satu. Begitu pula As Suyuthi. Satu kali keduanya mengatakan bahwa masalah ini termasuk an nasakh, dan dalam kesempatan yang lain keduanya mengatakan bahwa masalah ini termasuk an nasa'. Namun demikian sebagian orang jaman sekarang menjadikan perkataan keduanya tentang an nasa' ini sebagai landasan pendapat mereka, sementara itu mereka tidak memperhatikan perkataan keduanya yang lain tentang an nasakh dalam masalah ini. Padahal perkataan yang mereka tidak perhatikan itu sesuai dengan perkataan mayoritas ulama', baik dari generasi salaf maupun dari generasi kholaf.
[1] Lihat Tafsir Ath Thobari II/503-504.
[2] Tafsir Al Qur-anul 'Adzim I/154.
[3] Tafsir Ibnu 'Ithiyah VI/412.
[4] Al Jami' Li Ahkamil Qur'an II/71.
[5] Ibid VIII/205.
[6] Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam IV/82.
[7] Al Jawabush Shohih Liman Baddala Dinal Masih I/66.
[8] Al Iklil Fi Istinbathit Tanzil, hal. 138.
[9] At Tahbir Fi 'Ilmit Tafsir, hal. 432.
[10] Tafsir Ath Thobari XXV/144, cet. Darul Fikri,
[11] Ahkamul Qur-an II/222.
[12] As Sailul Jarror IV/518-519.
[13] Lihat Ar Roudlotun Nadiyah II/333.
[14] Al Jawabush Shohih I/66.
[15] Ibid I/74.
[16] Di antara orang-orang zaman sekarang yang mengatakan seperti ini adalah Rosyid Ridlo di dalam Tafsir Al Manar X/166 dan Az Zarqoni di dalam Manahilul 'Irfan II/150.
[17] Yang tercantum di dalam cetakan adalah ar ri'fah, namun yang beliau sebutkan di sini lebih benar karena yang dimaksud adalah sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan yang berbunyi:
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ
Sesungguhnya aku melarang kalian hanya karena ad dafah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 1971, Abu Dawud no. 2812 dan An Nasa-i VII/235 dari jalur 'Aisyah. Sedangkan yang dimaksud dengan ad dafah di sini adalah orang-orang badui yang lemah (miskin) yang mengirim utusan ke Madinah untuk meminta bantuan. (Lihat Syarhu Shohihi Muslim karangan An Nawawi VII/148.
[18] Al Burhan Fi 'Ulumil Qur-an II/41-43.
[19] Lihat Al Itqon Fi 'Ulumil Qur-an II/28.
[20] Al Burhan II/31.
[21] Yang lebir rojih --- wallohu a'lam --- adalah bahwasanya firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ
… sampai mereka membayar jizyah dari tangan …
… tidaklah menasakh ayatus saif, akan tetapi ia merupakan mukhosh-shish untuk ayatus saif, sebagaimana yang diterangkan oleh Al Qodli Abu Bakar bin Al 'Arobi di dalam Ahkamul Qur-an I/110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...