Sesungguhnya yang benar dalam masalah ini --- wallohu a'lam --- adalah apabila yang dimaksud dengan an nasa' itu, orang Islam ketika dalam keadaan lemah ia boleh mengambil sikap berlapang dada, memaafkan dan menahan diri dari berjihad, maka pengertian yang semacam ini adalah pengertian yang benar. Hal itu karena kemampuan itu merupakan syarat seseorang itu mendapat kewajiban jihad dan kewajiban-kewajiban syar'i yang lainnya. Akan tetapi kita tidak perlu menyelisihi apa yang telah ditetapkan oleh para ulama' dari generasi salaf maupun kholaf yang telah menyatakan bahwa hukum jihad yang diturunkan pada periode terakhir itu telah menasakh hukum-hukum jihad yang diturunkan pada periode-periode sebelumnya. Karena kita tidak akan bertentangan dengan ketetapan nasakh ini jika kita mengatakan: Sesungguhnya seorang mukallaf itu diperbolehkan untuk mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan berlapang dada dan memaafkan ketika dalam keadaan lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk berjihad. Dan ini masuk dalam katagori gugurnya sebuah kewajiban lantaran tidak adanya kemampuan untuk melaksanakannya.
Maka perintah untuk melaksanakan hukum yang nasikh dan meninggalkan hukum yang mansukh, syaratnya adalah memiliki kemampuan, karena kemampuan itu merupakan syarat diwajibkannya semua hukum. Hal itu karena nash syar'i yang menjadi nasikh adalah sama sebagaimana nash-nash syar'i yang lainnya; yang mana apabila ia berupa larangan melakukan sesuatu maka wajib hukumnya untuk dijauhi dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan dloruroh (terdesak), yang mana keringanan ketika dalam keadaan dloruroh (terdesak) itu diberikan sesuai dengan kadarnya. Sedangkan apabila ia berupa perintah maka wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ ،وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
… apabila aku melarang sesuatu kepada kalian maka jauhilah sesuatu tersebut, dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.
Dengan demikian, kapan saja seseorang itu tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum yang menjadi nasikh, maka gugurlah kewajiban dia untuk melaksanakan hukum tersebut, sehingga terkadang hal itu mengakibatkan ia harus melaksanakan hukum yang telah mansukh. Namun demikian tindakannya dalam melaksanakan hukum yang telah mansukh lantaran ia tidak dapat melaksanakan hukum yang menjadi nasikh itu tidak dapat menghalanginya untuk mengatakan bahwa hukum yang ia kerjakan itu telah mansukh dengan hukum yang ia tidak dapat kerjakan. Contohnya adalah mansukhnya perintah untuk sholat menghadap baitul maqdis dengan perintah untuk sholat menghadap al baitul harom. Meskipun demikian bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadap qiblat, ia tidak dibebani untuk melakukannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu 'Umar --- setelah ia menerangkan tata cara sholat khouf --- : Jika ketakutan itu memuncak, maka mereka sholat dengan jalan kaki dan berdiri di atas kaki mereka atau dengan menaiki kendaraan, baik menghadap qiblat maupun tidak. Nafi' mengatakan: Menurut saya Ibnu Umar tidak mengatakan seperti itu kecuali ia mendapatkannya dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.
Hal itu disebabkan karena semua perintah di dalam syariat ini dibedakan antara orang yang memiliki kemampuan dan orang yang tidak memiliki kemampuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Maka barangsiapa memiliki kemampuan untuk sholat menghadap qiblat dengan berdiri dan bersuci, ia tidak diperbolehkan sholat dengan cara selain itu. Tidak sebagaimana orang yang tidak mampu, ia diperbolehkan sholat sesuai dengan kondisinya dan bagaimana yang ia mampu kerjakan. Ia boleh sholat dalam keadaan telanjang, tidak menghadap qiblat dan dengan bertayammum apabila itu tidak mampu ia kerjakan kecuali dengan cara seperti itu."
Intinya adalah, sesungguhnya kewajiban menghadap qiblat itu menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu mengerkakannya. Dan terkadang orang yang tidak mampu mengahadap qiblat itu tidak ada pilihan lain baginya kecuali harus menghadap baitul maqdis. Sehingga dengan demikian ia telah melakukan sebuah hukum yang telah mansukh lantaran ia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hukum yang nasikh.
Demikian pula kami katakan dalam masalah jihad: Sesungguhnya siapa saja yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum-hukum yang diturunkan pada periode terakhir, ia tidak dibebani untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut. Dan ia diperbolehkan untuk melakukan hukum-hukum yang turun sebelumnya yang statusnya telah mansukh. Namun begitu tidak berarti hukum-hukum yang turun sebelumnya itu tidak mansukh.
Jadi, pendapat atas mansukhnya hukum-hukum tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya sekelompok umat Islam --- sedikit atau banyak jumlahnya --- yang tidak dapat melaksanakan hukum yang nasikh. Dan kita ketahui bersama bahwasanya dahulu setelah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam hijroh ke Madinah masih ada orang-orang beriman yang lemah yang tinggal di Mekah sampai Fat-hu Makkah (kota Mekah ditaklukkan). Sementara itu hukum-hukum jihad terus diturunkan namun demikian mereka tidak dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut lantaran mereka dalam keadaan lemah, dan hal itu juga tidak membatalkan atas berakhirnya periode memaafkan dan bersabar. Para ulama' salaf maupun para ulama' setelah mereka, ketika mengatakan bahwa hukum-hukum jihad yang turun sebelum periode terakhir itu mansukh, bukannya mereka tidak mengetahui bahwasanya pada saat diturunkannya ayat-ayat an nasikh (yang menghapus hukum yang turun sebelumnya) itu ada sekelompok orang beriman yang tidak mampu melaksanakan hukum yang baru tersebut. Namun demikian hal itu tidak menghalangi mereka untuk mengatakan bahwa hukum-hukum yang turun sebelumnya itu telah mansukh karena mereka tahu bahwa adanya sebagian orang yang tidak dapat melaksanakan hukum yang menjadi nasikh itu tidak dapat membatalkan atas mansukhnya hukum yang telah mansukh.
Adapun jika yang dimaksud dengan an nasa' itu berarti adanya kemungkinan hukum jihad itu kembali kepada hukum yang berlaku pada periode Mekah bagi umat Islam secara keseluruhan, sehingga semua orang wajib untuk mengambil sikap memaafkan dan berlapang dada serta tidak berperang secara mutlak, maka yang demikian ini tidak diragukan lagi merupakan pendapat yang salah. Karena hal ini bertentangan dengan hadits shohih yang disebutkan dalam sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka dhohir (unggul, nampak) sampai hari qiyamat.
Dan hadits dari jalur Jabir bin Samuroh, yang berbunyi:
لَنْ يَبْرَحَ هَذَا الدِّيْنُ قَائِماً يُقَاتِلُ عَلَيْهِ عِصَابَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
Din ini akan senantiasa tegak, yang mana sekelompok kaum muslimin berperang di atasnya sampai terjadi hari qiyamat.
Dan hadits dari jalur 'Uqbah bin 'Amir, yang berbunyi:
لاَ تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى أَمْرِ اللهِ قَاهِرِيْنَ لِعَدُوِّهِمْ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
Akan senantaiasa ada sekelompok umatku yang berperang diatas perintah Alloh yang mengalahkan musuh-musuh mereka, mereka tidak mempedulikan orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari qiyamat sementara mereka dalam keadaan seperti itu.
Dan hadits dari jalur 'Imron bin Hushoin, yang berbunyi:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى يُقَاتِلَ آخِرُهُمُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ
Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka mengalahkan orang-orang yang memusuhi mereka sampai yang terakhir di atara mereka memerangi Al Masih Ad Dajjal.
Dan hadits dari jalur Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang berbunyi:
...وَلاَ تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
… dan akan senantiasa ada sekelompok umat Islam yang berperang di atas kebenaran, mereka mengalahkan orang-orang yang memusuhi mereka sampai hari qiyamat.
Dan hadits dari jalur Salamah bin Nufail, ia mengatakan: "Dahulu saya duduk di sisi Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, lalu ada seseorang yang mengatakan: Wahai Rosululloh, orang-orang tidak lagi mengurus kuda dan mereka telah meletakkan senjata. Dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi jihad. Perang telah selesai." Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengahadapi orang itu dengan wajah beliau, dan bersabda:
كَذَبُوْا اَلْآنَ اْلآنَ جَاءَ الْقِتَالُ ،وَلاَ يَزَاْلُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ؛وَيَزِيْغُ اللهُ لَهُمْ قُلُوْبَ أَقْوَامٍ وَيَرْزُقُهُمْ مِنْهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ وَحَتَّى يَأْتِيَ وَعْدُ اللهِ ...
Mereka dusta, sekarang telah tiba waktunya untuk berperang. Dan akan senantiasa segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran. Alloh menyelewengkan hati beberapa golongan manusia untuk berperang melawan mereka, dan Alloh memberi rizki orang Islam yang berperang itu dari orang-orang yang Alloh selewengkan hatinya itu, sampai hari qiyamat, dan sampai datang janji Alloh…
Dan dari An Nawwas bin Sam'an, ia mengatakan: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mendapatkan kemenangan, lalu aku mendatanginya dan mengatakan kepada beliau: Wahai Rosululloh, kuda-kuda tidak lagi diurus dan mereka telah meletakkan senjata karena peperangan telah usai. Dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi perang. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
كَذَبُوْا اَلْآنَ جَاءَ الْقِتَالُ َاْلآنَ جَاءَ الْقِتَالُ، إِنَّ اللهَ جَلَّ وَعَلاَ يُزِيْغُ قُلُوْبَ أَقْوَامٍ يُقَاتِلُوْنَهُمْ وَيَرْزُقُهُمُ اللهُ مِنْهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أمْرُ اللهِ عَلَى ذَلِكَ وَعَقْرُ دَارِ الْمُؤْمِنِيْنَ الشَّامُ
Mereka dusta. Sekarang telah tiba saatnya untuk berperang, sekarang telah tiba saatnya untuk berperang. Sesungguhnya Alloh 'azza wa 'ala akan menyelewengkan hati beberapa golongan manusia yang akan memerangi mereka, dan Alloh akan memberikan rizki mereka dari orang-orang tersebut sampai datang keputusan Alloh dalam keadaan seperti itu, dan pusat negeri orang-orang beriman itu adalah Syam.
Di sini Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah memberikan informasi bahwasanya akan senantiasa ada sekelompok orang dari umat beliau yang berperang di jalan Alloh, dan bahwasanya hal itu tidak akan terputus sampai akhir zaman. Demikianlah kebanyakan Iman memberikan judul hadits ini. Abu Dawud di dalam sunannya mencantumkannya dalam Bab Fi Dawamil Jihad (Bab Tentang Terus Berlangsungnya Jihad) . Kemudian dalam bab itu beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan dari 'Imron bin Hushoin yang telah disebutkan di atas. Demikian pula Ibnul Jarud membuat sebuah bab yang berjudul Babu Dawamil Jihad Ila Yaumil Qiyamah (Bab Terus Berlangsungnya Jihad Sampai Hari Qiyamat) kemudian di sana beliau mencantumkan hadits yang diriwayatkan dari jalur Jabir di atas.
Imam Al Khothobi mengatakan: "Hadits ini menunjukkan bahwasanya jihad itu tidak akan terputus selamanya. Dan apabila menurut akal para imam itu tidak semuanya 'adil (baik), maka hal ini menunjukkan bahwa jihad melawan orang-orang kafir bersama dengan para pemimpin yang dholim itu hukumnya wajib sebagaimana jika dilaksanakan bersama pemimpin yang 'adil (baik)."
An Nawawi berkata: "Hadits ini merupakan mu'jizat yang nyata, karena sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadits ini --- al hamdulillah --- terus terjadi sejak jaman Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam sampai sekarang. Dan ia akan terus berlangsung sampai datang keputusan Alloh yang disebutkan di dalam hadits tersebut."
Di dalam hadits shohih juga disebutkan:
اَلْخَيْلُ مَعْقُوْدٌ بِنَوَاصِيْهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Pada jambul kuda itu terikat kebaikan sampai hari qiyamat.
Dan menjelaskan hadits ini Al Hafidh mengatakan: "Dan dalam hadits ini terdapat kabar gembira berupa akan tetap eksisnya Islam dan penganutnya sampai hari qiyamat. Karena konsekuensi dari eksisnya jihad adalah eksisnya mujahidin, sedangkan mujahidin adalah orang-orang Islam. Hadits ini sama dengan hadits lain yang berbunyi:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٍ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ
Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berperang di atas kebenaran.
…"
Sedangkan Syaikh Sulaiman bin 'Abdillah An Najdi menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasanya Thoifah Manshuroh itu tidak harus selamanya di Syam (hari ini Syam adalah wilayah Palestina, Lebanon, Suriah dan Yordan -penerj.). Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah terputusnya jihad di sana sejak beberapa waktu. Beliau mengatakan tentang penduduk Syam: "… dan selain itu, sejak beberapa waktu yang lalu mereka tidak memerangi seorang kafirpun. Akan tetapi mereka berperang dan bermusuhan dengan sesama mereka. Atas dasar ini, maka hadits yang berbunyi: … mereka berada di baitul maqdis…, dan perkataan Mu'adz yang berbunyi: … mereka di Syam… maksudnya adalah dalam waktu tertentu di sana dan pada waktu yang lain tidak. Dan demikianlah yang terjadi. Sehingga hal ini memperkuat apa yang kami katakan ini."
Intinya adalah bahwasanya akan senantiasa ada sekelompok orang dari umat ini yang berperang di atas kebenaran, meskipun jumlahnya sedikit, sampai datang keputusan Alloh yang disebutkan dalam hadits. Ini semua menunjukkan salahnya orang yang mengatakan bahwasanya bisa jadi umat ini secara keseluruhan kembali kepada kondisi lemah sebagaimana kondisi umat Islam pada periode Mekah sehingga yang menjadi kewajiban semua orang adalah memaafkan, bersabar dan tidak berperang.
Sedangkan ghurbah (keterasingan) yang mana pada saat itu tidak ada jihad ataupun perang adalah ghurbah yang terjadi pada akhir zaman setelah wafatnyanya Nabi 'Isa 'alaihis salam. Ketika itulah terjadi ghurbah yang sempurna dan menyeluruh. Lalu datanglah angin wangi yang mencabut nyawa semua orang beriman sehingga kekafiran merajalela, dan tidak lagi tersisa orang yang mengucapkan: Alloh, di muka bumi ini. Dengan begitu, pasti tidak ada jihad, amar makruf dan nahi munkar pada kondisi ghurbah yang seperti ini.
Adapun ghurbah yang bersifat terbatas dan parsial yang bisa terjadi sebelum itu, yang terjadi pada suatu wilayah tertentu, atau pada syariat tertentu, maka ghurbah yang semacam ini tidak dapat menghalangi kaum muslimin untuk melaksanakan perintah jihad dan amar makruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Justru dalam kondisi semacam ini hendaknya mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menanggulangi kondisi ghurbah tersebut, yang mana di antara sarana untuk menanggulanginya adalah jihad fi sabilillah. Selain itu, hadits-hadits yang menerangkan tentang Thoifah Manshuroh sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, menunjukkan atas keberlangsungan jihad meskipun pada masa-masa ghurbah yang bersifat parsial tersebut. dan juga menunjukkan bahwasanya jihad itu akan terus berlangsung sampai keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi 'Isa 'alaihis salam. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salman Al 'Audah fakkallohu asroh, bahwa sesungguhnya kita itu: "… sebagaimana kita dapatkan terjadinya apa yang disabdakan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam pada umat ini dalam masa-masa belakangan ini, yang berupa kecenderungan mereka kepada dunia, meninggalkan jihad, senang dengan pertanian, berjual beli dengan sistem riba, dikuasai oleh musuh, dicabutnya rasa gentar musuh kepada mereka dan terjangkitnya mereka dengan wahn (kelemahan) yang berupa cinta dunia dan benci dengan kematian; selain itu kita juga dapatkan terjadinya apa yang diinformasikan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang berupa terus eksis dan berlangsungnya jihad, eksisnya sekelompok orang dari umat beliau yang berperang di atas din ini dalam keadaan dhohir. Sampai sekarang terus ada beberapa orang ikhlas yang memerangi musuh-musuh Alloh, yaitu para penjajah Prancis, Inggris, Itali dan bangsa-bangsa kafir lainnya. Kemudian mereka memerangi orang-orang Yahudi di negeri-negeri Syam (sekarang Palestina, Lebanon, Yordan dan Suriah –pent.) dan lainnya … mereka semua itu adalah orang-orang yang berusaha untuk mengubah kondisi ghurbah, di mana jihad yang merupakan satu syiar Islam yang besar init mulai terasing … setiap kali bendera jihad ini hendak jatuh dari tangan suatu kaum, pasti ada kaum lain yang mengangkatnya kembali. Ini merupakan bukti kebenaran firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Alloh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang mencela. (Al Maidah: 54)
…"
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih rinci dan lebih mengikuti manhaj salaf ketika beliau mengatakan --- seabagaimana yang telah kami sampaikan di depan --- bahwa hukum-hukum jihad yang diturunkan sebelum hukum jihad yang terakhir itu telah mansukh dan beliau memberikan rukhshoh kepada orang yang tidak memiliki kemampuan untuk beramal dengan ayat-ayat yang memerintahkan bersabar dan memaafkan. Yaitu ketika beliau mengatakan: "Maka jika di antara orang yang beriman itu berada di suatu daerah yang di sana ia mustadl'af (lemah) atau berada pada suatu masa di mana di masa itu ia mustadl'af (lemah) maka hendaknya ia mengamalkan ayat yang memerintahkan bersabbar dan memaafkan terhadap orang yang mencela Alloh dan Rosul-Nya dari kalangan orang-orang yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik. Adapun orang yang memiliki kekuatan, sesungguhnya mereka mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan memerangi a-immatul kufri (para pemimpin kekafiran) yang mencela agama, dan mengamalkan ayat yang memerintahkan memerangi orang-orang yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani) sampai mereka mau membayar jizyah dari tangan sedangkan mereka dalam keadaan hina."
Di sini Ibnu Taimiyah rohimahulloh mengembalikan permasalahannya kepada kondisi orang itu sendiri. Jika ia memiliki kemampuan maka ia mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan perang, dan barangsiapa dalam keadaan lemah ia mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan memaafkan, dengan tanpa merubah dasar permasalahannya yaitu sesungguhnya kaum muslimin dituntut untuk melaksanakan perintah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang terakhir, dan sesungguhnya hal itu merupakan kewajiban umat ini yang berlaku sampai hari qiyamat. Di antara yang memperkuat hal itu adalah apa yang diperingatkan oleh Ibnu Taimiyah juga di tempat yang sama bahwasanya perintah untuk mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan perang itu berlaku sampai hari qiyamat. Beliau mengatakan: "… ayat yang memerintahkan untuk menghinakan para mu'ahidin menjadi kewajiban setiap orang memiliki kemampuan untuk membela Alloh dan Rosul-Nya dengan tangan dan lisannya. Dan ayat ini serta ayat-ayat yang semisal dengannyalah yang diamalkan oleh kaum muslimin di akhir hayat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan di masa pemerintahan Khulafaur Rosyidin. Dan demikian seterusnya sampai hari qiyamat, akan senantiasa ada sekelompok orang dari umat ini yang tegak di atas kebenaran, mereka membela Alloh dan Rosulu-Nya secara sempurna."
Kamis, 23 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...