PASAL III
DISKUSI DENGAN TEMA LAIN BERSAMA SYAIKH AL ALBANI.
Setelah kita selesai mendiskusikan dua per-masalahan di atas, saya melihat akan sangat tepat bila saya sebutkan beberapa catatan singkat mengenai pendapat-pendapat syaikh Al Albani lainnya yang masih berkaitan dengan perubahan yang telah lewat. Saya katakan billahi taufiq - :
PERTAMA :
Pemahaman Yang Aneh Tentang Permasalahan I`dad.
Allah berfirman :
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّااسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَتَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
"Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu mampu, dan dari kuda-kuda yang tertambat untuk ber-perang, dengannya kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh ka-lian."
[ QS. Al ِِAnfal : 60],
Dalam ayat ini ada perintah ilahy yang dituju-kan kepada kaum muslimin untuk mempersiapkan pembekalan untuk memerangi musuh-musuh. Na-mun syaikh Al Albani menetapkan syarat yang aneh untuk melaksanakan perintah Allah ini, di mana sepengetahuan kami tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian sebelum beliau.
Dalam fatawa syaikh Al Albani, beliau ber-kata, "Untuk siapa ayat ini ditujukan (وَأَعِـدُّوا لَهُم) Siapkanlah wahai seluruh umat Islam !!!…. Siap-kanlah wahai semua orang yang beriman dengan sebenar-benar iman …. Apakah keimanan kita sudah demikian? jika demikian, kita tidak dituju oleh ayat ini secara lansung karena kita belum mukmin dengan sebenarnya …." [ Fatawa Syaikh Al bani hal :254, dari kaset no :171 ].
Dalam buku yang sama, beliau mengulang pendapat beliau, "Untuk siapa ayat ( وَأَعِدُّوا لَهُم ) ditujukan? orang-orang Islam, orang-orang muk-min yang sebenarnya yang menjaga semua perin-tah Allah dan rosul-Nya, ataukah untuk orang-oramg muslim akhir zaman semisal kita ini? Siapa yang di maksud oleh ayat ini? mereka, tentu saja adalah orang-orang mukmin golongan yang pertama." [Fatawa Syaikh Al bani hal : 448 ]
Kemudian beliau menjelaskan sifat-sifat o-rang-orang mukmin yang dituju oleh ayat ini, "Mereka tidak harus shoum selamanya dan sholat malam, tidak, ini hanya nafilah saja, namun o-rang-orang mukmin yang sebenarnya adalah orang-orang yang mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang diharamkan Allah." [ Fatawa Syaikh Al Albani hal :254, dari kaset no : 136 ].
Kami ingin bertanya kepada Syaikh : dari ma-na beliau mendapatkan syarat yang aneh ini? Dalil mana yang menunjukkan bahwa ayat ini di tujukan kepada orang-orang yang mukmin de-ngan sebenar-benar iman saja? Atau orang-orang yang Syaikh sifati mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Nya?
Allah telah berfirman kepada orang-orang be-riman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum kalian supaya kalian bertaqwa."
[QS Al Baqarah : 183].
Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji kalian."
[Q S Al Maidah : 1].
Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian."
[QS. Al Maidah : 6]
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
[QS. Al Ahzab : 56],
Dan ayat-ayat lain yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman, baik berupa perintah maupun larangan. Maka mungkinkah bagi seseo-rang untuk menyatakan ayat-ayat ini khusus ditujukan segolongan umat Islam tertentu, yaitu orang-orang beriman dengan sebenar-benar iman? Kalau apa yang dikatakan oleh Syaikh Al Al-bani benar, tentulah setiap orang boleh mengata-kan, "Saya tak akan pernah shoum Ramadlon ka-rena saya tidak termasuk orang-orang yang beri-man dengan sebenar-benar iman, yang melaksa-nakan seluruh perintah Allah dan meninggal-kan seluruh larangan Allah, atau ia akan mengata-kan saya tak akan menetapi janji dan tak akan mengucapkan sholawat atas Nabi karena saya belum beriman dengan sebenar-benar iman."
Jika Syaikh Al Albani menyangkal, "Saya tidak berpendapat demikian kecuali dalam hal jihad saja." Kami jawab, "Apa bedanya perintah untuk melakukan i`dad dengan perintah-perintah lara-ngan syar’i lainnya? bukankah semuanya dituju-kan kepada orang-orang beriman?".
Duhai alangkah besarnya pintu yang terbuka bagi orang-orang yang melalaikan perintah-perin-tah Allah. Dikatakan kepada mereka --menurut pendapat Syaikh Al Albani ini--, "Karena kalian pelaku maksiat dan melalaikan kewajiban-kewa-jiban syar’i, maka kami cukupkan kalian dengan menggugurkan kewajiban I`dad, terlebih lagi kewajiban jihad, kalian tak terkena kewajiban jihad. Karena selama seseorang tak terkena ke-wajiban i`dad ia tidak terkena kewajiban jihad." Bahkan saya telah mendengar sebuah kaset Syaikh sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam kaset tersebut Syaikh juga menyatakan gugurnya kewajiban jihad. sayang sekali kaset tersebut saat ini tidak ada di sisi saya, sehingga saya tidak bisa menuliskan ucapan beliau.
Yang benar jihad dan i`dad untuk melaksana-kan jihad merupakan dua kewajiban syar’i, untuk melakukannya seseorang tidak disyari’atkan ha-rus lepas dari dosa dan maksiat. Perintah untuk jihad dan i`dad merupakan perintah mutlaq tanpa syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani ini. Pada masa salafus sholeh, orang-orang berjihad padahal pada dirinya belum terpenuhi syarat-sya-rat yang disebutkan oleh Syaikh Al bani.
Diantaranya adalah hadits Bara’, "Seorang laki-laki dengan baju besi untuk perang datang kepada Nabi. Ia bertanya, "Ya Rasulullah saya ikut perang dahulu atau masuk Islam dahulu? Be-liau menjawab, "Masuklah Islam terlebihh dahulu baru kemudian ikut berperang !" Laki-laki itu masuk Islam lalu ia ikut berperang hingga terbu-nuh. Maka Rasulullah bersabda, "Ia beramal sedi-kit namun diberi pahala yang banyak." [H R. Al Bukhori : 2808, Muslim :1900, dengan lafadz Al Bukhori ].
Laki-laki ini lansung ikut berperang setelah masuk Islam dan Nabi tidak memintanya untuk menunggu dulu sehingga menjadi seorang muk-min yang sebenar-benar iman, mukmin yang menjalankan perintah-perintah Allah dan mening-galkan larangan-Nya.
Kisah yang semisal terjadi pada diri Ushoirim Bani Abdul Asyhal. Imam Ibnu Ishak meriwayat-kan dari Abu Hurairah, ia berkata, "Mereka men-ceritakan kepadaku tentang seorang laki-laki yang masuk jannah padahal belum sholat seka-lipun. mereka tidak mengetahui siapa laki-laki ter-sebut dan menanyakannya, maka Abu Hurairah menjawab, "Ushoirim bani Abdul Asyhal (Amru bin Tsabit bin Waqash). Al Husain (perawi) ber-kata, "Saya bertanya kepada Mahmud bin Asad, "Bagaimana sebenarnya ceriata tentang Ushoirim bani Abdul Asyhal?” Ia menjawab, "Ia tidak mau masuk Islam. Ketika Rasulullah keluar pada perang Uhud, Ia terketuk untuk masuk Islam. Ia lalu masuk Islam dan mengambil pedangnya lalu masuk barisan kaum muslimin. Ia ikut berperang hingga akhirnya terjatuh karena lukaluka yang dialaminya. Ketika Bani Abdul Asyhal mencari korban-korban yang meninggal dari kaum mere-ka, mereka menemukannya tergeletak. Mereka bertanya-tanya, "Ini Ushoirim? Kenapa ia datang? Kita meninggalkannya dalam keadaan membenci perkataan ini (syahadat)?" Mereka menanyai Amru, "Ya Amru, apa yang mendorong-mu ikut berperang? Karena membela kaummu atau senang kepada islam? Ia menjawab, "Karena senang kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku masuk Islam, lalu kuambil pedangku, aku ikut berperang bersama Rasulullah sampai aku terluka seperti ini," Ia hanya bertahan sebentar dan tak lama kemudian ia meninggal di depan mereka. Mereka melapor-kan kisah Ushoirim kepada Rasulullah, maka be-liau bersabda, "Ia termasuk penghuni syurga." [HR. Ibnu Ishaq, sebagaimana disebutkan di da-lam sirah Ibnu Hisyam III/95, di shohihkan oleh Al Hafidz di dalam Al Fath VI/25. Kisah ini juga diriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah oleh Abu Daud (2537) dan Al Hakim III/28].
Dalam hadits Abu Hurairah secara marfu`, "Sesungguhnya Allah akan menolong dien ini dengan laki-laki yang fajir (pendosa)." [HR. Bukhori 3062, Muslim 111 ].
Dalam hadits Abu Mihjan Ats Tsaqafy, bahwa-sanya ia terus dijilid karena minum khomr. Kare-na sudah terlalu sering dan tidak pernah jera, akhirnya mereka memenjarakan dan mengikat-nya. Pada saat perang Qadisiyah berkecamuk, ia melihat pertempuran kaum muslimin. Seakan-akan ia telah melihat orang-orang musyrikin telah mengalahkan umat Islam. Ia segera mengutus seseorang untuk mengatakan kepada isteri Sa`ad," Abu Mihjan berpesan kepada anda bila anda melepaskan ikatannya dan mengantarkan kuda dan pedang kepadanya, ia akan pulang per-tama kali kecuali kalau terbunuh."
Isteri Sa`ad melepaskan ikatan Abu Mihjan dan membawakan kuda yang ada di rumah lalu menyerahkan pedang kepadanya. Segera Abu Mihjan melesat ke medan pertempuran. Ia terus bertempur dengan gagah berani sehingga mem-bunuh musuh-musuh yang ada di depannya dan membabat punggungnya. Sa`ad melihat kepa-danya dengan penuh keheranan dan bertanya-tanya, "Siapa penunggang kuda ini?" Kaum musli-min terus bertempur sampai Allah mengalahkan orang-orang musyrik.
Abu Mihjan segera kembali ke tempat penaha-nannya, mengembalikan senjata dan mengikat kedua kakinya seperti sedia kala. Ketika Sa`ad datang, isterinya segera bertanya, "Bagaimana jalannya pertempuran?" Sa`ad menceritakan ja-lannya pertempuran dengan urut. "Kita terdesak sampai Allah mengutus seorang penunggang kuda. Kalaulah tidak karena Abu Mihjan kuting-galkan dalam keadaan terikat, tentulah aku sudah mengira penunggang kuda tersebut adalah Abu Mihjan." Isterinya menjawab, "Demi Allah, itulah Abu Mihjan. Ia tadi begini dan begini…" Mende-ngar hal itu, Sa`ad segera memanggil Abu Mihjan dan melepaskan ikatannya. "Demi Allah, kami tidak akan menjilidmu lagi karena kamu minum khomr." Abu Mihjan menjawab, "Dan saya tidak akan minum khomr lagi." [Diriwayatkan oleh Ab-du Razaq no : 17077, dari Ma`mar dari Ayub dan Ibnu Sirrin, sanad ini shahih bersambung sampai Ibnu Sirrin. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (15593), Sa’id bin Manshur (2502) dan Abu Ahmad al Hakim seperti dalam Al Ishobah (IV/173) dari Muhammad bin Sa`ad bin Abi Waqash].
Diantara aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah berjihad bersama umara’, baik yang sho-lih maupun yang fajir. Makanya jihadnya pengu-asa yang fajir adalah disyari’atkan, kita dituntut untuk berjihad bersamanya sekalipun ia fasiq dan fajir. Aqidah ini jelas menggugurkan syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani.
Yang paling ganjil dari seruan Syaikh Albani ini adalah seruan ini menyelisihi sabda Rasulullah, "Akan senantiasa ada suatu kelompok umatku yang berperang diatas jalan kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat." [Muslim 156,1923, Ahmad III/345, Abnu Hibban 6780, Ibnu Jarid dalam Al Muntaqa 1031, dari hadits Jabir bin Abdullah. Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah dalam shohih Muslim 1922, hadits Uqbah bin Amer dalam shohih Muslim 1924, dan hadits Imron bin Husain dalam sunan Abu Daud 2484 dan musnad Ahmad IV / 437].
Nabi telah memberitahukan akan senantiasa ada sekelompok umatnya yang berperang fi sabi-lillah dan hal itu tidak akan berhenti sampai terjadinya akhir zaman, Imam Al Khithobi berkata dalam Ma`alim Sunan, "Dalam hadits ini ada penjelasan bahwa jihad tidak akan pernah ber-henti selamanya. Jika pernyataan tidak mungkin semua penguasa itu adil adalah sebuah pernya-taan yang masuk akal, maka hadits ini menunjuk-kan jihad melawan orang-orang kafir bersama pe-nguasa yang dholim adalah wajib sebagaimana jihad bersama penguasa yang adil. Kedzaliman mereka tidak menggugurkan kewajiban ta`at ke-pada mereka dalam jihad dan kebaikan lainnya." [Ma`alim Sunan Hasyiyah Abi Daud III/11].
Dalam Syarh Muslim XIII/67, An Nawawi mengatakan, "Dalam hadits ini terdapat mu`jizat nyata, bahwa sifat ini senantiasa ada --Al Ham-dulillah-- sejak zaman Nabi hingga sekarang, ia akan tetap ada hingga datang ketetapan Allah yang disebutkan dalam hadits."
Maksud dari perkataan Syaikh Albani, bahwa kaum muslimin semisal kita yang berada di akhir zaman ini : sekarang ini tidak di perintahkan untuk pergi berjihad dan beri`dad karena kita bukan orang-orang yang beriman dengan sebe-nar-benar iman, sementara hadits-hadits ini men-jelaskan suatu masa tak akan pernah kosong dari suatu kelompok yang berperang fisabilillah apa-pun kondisi umat saat itu; kuat, lemah ataupun jauh dari syari’at Allah.
Kemudian kami katakan, "Bukan menjadi hak seseorang untuk memvonis umat Islam lainnya. Boleh jadi ia tak mampu berjihad, bahkan untuk melakukan i`dad sekalipun, sementara orang lain boleh jadi mampu melakukannya. Orang yang mampu wajib melakukan apa yang tidak mampu dikerjakan oleh pihak yang tidak mampu. Pada saat itu orang yang tidak mampu tidak boleh me-ngingkari orang lain, yang mampu menegakkan perintah Allah.
Al Qadhi Ibnu Abil `Izz dalam Muqaddimah Syarh Thahawiyah halaman 16 mengatakan, "Jika seorang hamba lemah untuk mengetahui seba-giannya atau untuk mengamalkannya, maka janganlah kelemahannya tersebut menghalangi dari apa yang dibawa Rasulullah. Cukuplah celaan itu gugur darinya karena kelemahannya. Namun hendaklah ia bergembira karena orang lain telah mengerjakan amal tersebut, hendaklah ia ridlo dengan hal itu dan berharap bisa melakukannya."
Kedua :
Apa faedah mengkafirkan para penguasa kalau tidak mampu memerangi mereka?
Syaikh Albani berkata," Tarohlah kekafiran para penguasa adalah kafir karena murtad. Jika ada penguasa yang kedudukannya lebih tinggi da-ri mereka dan mengetahui kekafiran mereka, ma-ka hukuman had bisa di tegakkan. Sekarang faedah apa yang bisa kalian ambil dari aspek amal, kalau kita mengakui kekafiran mereka ada-lah kafir murtad? Apa yang bisa kalian lakukan? Orang-orang kafir menguasai negara Islam, se-mentara kita disini diuji dengan pendudukan Ya-hudi atas Palestina. Apa yang kalian dan kita bisa lakukan terhadap orang-orang kafir yang me-nguasai negeri Islam, sehingga kalian bisa mela-wan para penguasa yang kalian yakini mereka telah kafir? Kenapa masalah ini tidak kalian ting-galkan saja, lalu kalian memulai membangun kekuatan inti yang menjadi pondasi pemerintahan islam dengan mengikuti sunah yang dengannya Rasulullah membina dan menggembleng para sahabat?" [Fatawa Syaikh Albani hal : 250,251, dari kaset 670 ].
Syaikh dalam hal ini berpendapat tidak boleh mengusik para penguasa kafir jika kita tidak mampu merobah mereka. Beliau berpendapat se-wajarnya kita diam, tidak mengumumkan kekafi-ran mereka, tidak mengatakan kebenaran di ha-dapan mereka dan tidak melakukan I`dad untuk jihad melawan mereka. Sebagai gantinya kita ha-rus menyibukkan diri dengan membangun kekua-tan inti Islam melalui metode yang selalu Syaikh Albani sebut dengan istilah Tashfiyah dan Tarbi-yah.
Saya katakan tidak diragukan lagi urgensi tarbiyah imaniyah yang diserukan oleh Syaikh, tapi kami berbeda pendapat dengan Syaikh dalam hal tashfiyah wa tarbiyah sebagi satu-satunya kewajiban dan kita tidak boleh melakukan sesua-tupun dalam menyikapi para pengusa kafir sela-ma kita tidak mampu menyingkirkan mereka. Penyebabnya tak lain karena konsekwensi dari kafirnya para penguasa bukanlah sekedar perang dan keluar dari ketaatan kepada mereka saja, na-mun ada banyak konsekwensi lain yang harus dilakukan umat Islam terhadap orang yang di hukumi kafir, baik penguasa maupun rakyat, yaitu :
• Di antaranya berlepas diri dari orang kafir tersebut dan mengumumkan sikap berlepas diri dengan menampakkan kebencian dan permusuhan karena kekafirannya.
Allah berfirman :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang beriman yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya," Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kekafiran kalian dan telah nampak kebencian dan permusuhan selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja."
[ Q S Mumtahanah : 47 ].
Tidak diragukan lagi bahwa Ibrahim dan pengi-kut beliau ketika mengungkapkan ungkapan ini, berjumlah sedikit dan lemah, tidak mampu meme-rangi kaumnya. Meskipun demikian, mereka me-ngatakan berlepas diri dari kaum mereka dan mengumumkan permusuhan dan kebencian yang sangat. Demikian pula kondisi Rasulullah di mak-kah. Beliau bersama pengikutnya hanyalah kelom-pok lemah yang tidak mampu memerangi kaum musyrikin Quraisy. Namun beliau tetap lantang menyerukan kebenaran di hadapan mereka, mem-bodoh-bodohkan penyembahan selain Allah dan mengancam mereka dengan adzab yang pedih di akhirat. Bahkan beliau mengancam mereka di du-nia juga, seperti sabda Rasulullah yang berbunyi :
أَتَسْمَعُونَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَمَّا وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِالذَّبْحِ
"Apakah kalian dengar wahai seluruh orang Quraisy?. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Aku benar-benar datang untuk menyembelih kalian."
[HR. Ahmad II/218, Ibnu Ishaq sebagaimana dalam sirah Ibnu Hisyam I/289-290, At Thobari dalam Tarikh II/332, Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah II/275 dari Abdullah bin Amru. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Haitsami dalam Majma`uz Zawaid VI/15-16, dan ia mengatakan, "Diriwa-yatkan oleh Ahmad. Ibnu Ishaq telah menegas-kan ia mendengarnya, dan perawi lainnya adalah perawi Ash shohih." Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam syarh beliau terhadap musnad Ahmad II/204 ].
Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah II/275 berkata, "Dalam hadits ini disebutkan Rasulullah mengancam akan menyembelih mereka, yaitu membunuh mereka dalam kondisi seperti itu. Allah lalu menampakkan kebenaran ucapan beliau setelah lewat beberapa waktu, Allah menghan-curkan mereka dan menjaga kaum muslimin dari kejahatan mereka."
• Menasehati ummat dengan menerangkan kondisi penguasa-penguasa yang mengaku Is-lam padahal mereka bukan kaum muslimin. Membiarkan tanpa menjelaskan kondisi mere-ka adalah suatu penipuan terhadap ummat dan penyembunyian kebenaran yang diperin-tahkan untuk disuarakan dengan lantang.
• Orang-orang murtad tidak halal sembelihan mereka, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi. Maka wajib bagi orang yang mengetahui kondisi orang-orang yang murtad untuk tidak makan sembelihan mereka dan tidak menikahi wanita mereka. Ia juga wajib memberi tahu orang-orang yang belum tahu akan kondisi orang-orang murtad terse-but sehingga bisa memperlakukan orang-orang murtad dengan perlakuan yang benar.
• Wajib bagi umat islam untuk mengadakan I`dad, sehingga ketika mereka telah mampu, mereka bisa memerangi orang-orang kafir ter-sebut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dalam Maj-mu` Fatawa XXVIII/259 berkata," Wajib hu-kumnya mempersiapkan diri untuk jihad dengan menyiapkan kekuatan dan menam-batkan kuda-kuda perang ketika tidak mampu melakukan jihad karena masih lemah. sesung-guhnya hal yang suatu kewajiban tak akan sempurna tanpanya, maka hukum hal tersebut adalah wajib."
• Dan kewajiban-kewajiban lain yang terhadap orang-orang murtad dan tidak berkaitan de-ngan kemampuan memerangi mereka. Jika seorang muslim tidak mampu melakukan se-bagian kewajiban ini, kewajiban yang ia bisa lakukan tidaklah gugur. Dalam kaedah ushul telah diakui kaedah "hal yang mudah tidak gugur dengan adanya kesusahan." Rasulullah bersabda :
"Barang siapa melihat kemungkaran, jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan ta-ngannya. Jika tidak sanggup, hendaklah ia meru-bah dengan lisannya. Jika tetap tidak sanggup, hendaklah ia merubah dengan hatinya. Dan itulah tingkatan iman yang paling lemah."
Jika kita tidak bisa merubah kemungkaran pe-nguasa yang kafir ini, yaitu kekafirannya, dengan tangan kita, maka kewajiban kita adalah meru-bahnya dengan lisan kita kalau mampu. Yaitu menerangkan kekafirannya, kewajiban menjatuh-kannya dan bertaubat. Seorang mukmin wajib merubah kemungkaran sesuai dengan kemam-puannya.
Bagi orang yang merubah kemungkaran tidak disyari’atkan mengetahui kemungkaran akan hi-lang dengan usaha tersebut. Yang wajib adalah memerintahkan yang ma`ruf dan yang melarang yang mungkar, sekalipun ia tahu kemungkaran akan tetap seperti sedia kala.
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim II/23, mengatakan, "Kewajiban amar ma`ruf nahi mun-kar tidak gugur dari seorang mukallaf dikerena-kan ia yakin usahanya tidak akan bermanfaat. Bahkan ia wajib melakukannya karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Sudah kami terangkan didepan bahwa yang menjadi kewajibannya adalah memerintah dan melarang, bukan diterimanya (peringatan tersebut), seba-gaiman firman Allah :
مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ...
"Kewajiban seorang rasul hanyalah menyampaikan."
Syaikh Albani menyebutkan bahwa kaum mus-limin tidak mampu melepaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi. Kami katakan "ya" benar. Namun apakah karena tidak adanya kemampuan ini menghalangi kita untuk membicarakan bahaya Yahudi dan ajakan kepada umat Islam untuk berjihad melawan yahudi? Kami yakin Syaikh Albani tidak berpendapat wajibnya diam dari mem-bicarakan Yahudi dan kewajiban berjihad mela-wan mereka dengan alasan tidak mampu.
Demikian juga kami katakan dalam masalah penguasa jika telah kafir. ketidak mampuan kita untuk merubahnya tidak menjadi penghalang untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban yang kita mampu melaksanakannya terhadap penguasa kafir, Wallahu A`lam.
KETIGA :
Mencampur Adukkan antara Jama'ah Takfir Dengan Orang-Orang Yang Mengkafirkan Penguasa
Telah kita simak perkataan syaikh Albani di awal kaset yang menjadi pembahasan kita pada dua pasal terdahulu, yaitu perkataan beliau, "Se-sungguhnya realita kehidupan kaum muslimin dibawah para penguasa, katakanlah mereka penguasa kafir menurut istilah jama'ah takfir…" Jelas dari perkataan syaikh bahwa beliau men-campur adukkan antara orang yang mengatakan kafirnya penguasa dengan jama'ah takfir. Hal ini terulang beberapa kali dalam ungkapan seperti ini atau ungkapan lainnya, di tempat lain dalam kaset beliau serta dalam kesempatan lainnya.
Yang ingin kami jelaskan kepada syaikh, tidak setiap orang yang menyatakan kafirnya penguasa termasuk dalam gerakan yang disebut dengan nama jama'ah takfir. Jama'ah takfir adalah nama untuk sebuah jama'ah yang mendasarkan pemiki-rannya kepada beberapa pendapat bid'ah, yang paling penting adalah mengkafirkan orang yang terus menerus berbuat maksiat dan menganggap dirinya sajalah jama'atul muslimin itu. Orang yang tidak masuk dalam jama'ah mereka tidak mereka akui sebagai seorang muslim.
Adapun mengkafirkan penguasa yang mene-tapkan undang-undang positif, maka ini suatu hal yang telah disepakati oleh para ulama sebagai-mana telah kami jelaskan, bukan khusus milik jama'ah yang mereka namakan jama'ah takfir dan menamakan dirinya jama'atul muslimin.
Di Mesir misalnya, Jama'ah Islamiyah menga-takan kafirnya penguasa yang mengganti hukum-hukum syari’at. Jama'ah Islamiyah berpendapat keluar dari ketaatan kepada mereka. Meski demi-kian, Jama'ah Islamiyah berbeda dengan jama'ah takfir, bahkan Jama'ah Islamiyah mempunyai be-berapa studi dan pembahasan yang membantah pemikiran-pemikiran pengkafiran. Dalam buku "Mitsaqul Amal Al Islamy" --buku ini memuat pemikiran-pemikiran Jama'ah Islamiyah— terda-pat sebuah pasal berjudul "Aqidah kami". Da-lam pasal ini, jama'ah Islamiyah menjelaskan aqi-dahnya, yaitu aqidah salafush sholih, lalu me-rinci aqidah tersebut. Ternyata rincian itu adalah sama dengan aqidah yang ditulis syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para muridnya tentang tauhid rububiyah, uluhiyah, asma' wa shifat, masalah-masalah iman dan lain sebagainya.
Dalam Mitsaqul Amal Al Islamy hal. 32, ditulis, "Seorang muslim tidak dikafirkan karena kemak-siatannya sekalipun banyak dan tidak bertaubat, selama hatinya tidak menghalalkan maksiat terse-but.."
Dalam Mitsaqul Amal Al Islamy juga terdapat pasal berjudul "Pemahaman kami", dalam hal. 56 ditulis, "Aturan satu-satunya yang benar untuk memahami Islam dengan pemahaman yang be-nar, yang bebas dari kekurangan dan bersih dari kesalahan, adalah mencari pemahaman salaf umat ini terhadap Islam; pemahaman shahabat, tabi'in tabi'it tabi'in dan para ulama yang teguh dan terpercaya yang mengikuti jejak mereka, yang tidak membuat bid'ah dan tidak merubah-rubah serta tidak mengganti, mereka merealisasi-kan sabda Rasulullah :
"Maka berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah para khalifah sesudahku yang lurus dan mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham kalian…"
Karena itu kami tidak berpaling dari pemaha-man salafush sholih kepada pemahaman lainnya.
Adapun jama'ah Syukri Musthafa yang disebut dengan jama'ah takfir wal hijrah, ia sama se-kali berbeda. Jama'ah Syukri tidak meyakini pemahaman salafush sholih, tidak pula pemaha-man selain salafush sholih. Jamaah ini, sebagai-mana kami sebutkan tadi, mengkafirkan pelaku dosa yang tidak bertaubat. Sampai dalam masa-lah keluar dari penguasa sekalipun, terdapat per-bedaan yang sangat mencolok antara jama'ah Syukri dengan jama'ah-jama'ah jihad lain seperti Jama'ah Islamiyah dan lainnya.
Satu hal yang tidak banyak diketahui orang, bahwa Syukri berpendapat tidak boleh keluar dari para penguasa secara mutlak, bahkan sejak awal ia berpendapat tidak ada jihad kecuali setelah kekuatan persenjataan pembunuh modern di seluruh dunia telah habis. Setelah itu barulah jama'ah Syukri akan muncul memerangi sisa-sisa kekuatan orang kafir, ia mengatakan hal ini dalam bukunya "Al Khilafah", "…Apakah ada kesem-patan bagi gerakan Islam hari ini yang lebih besar dari menjadi sebuah kekuatan yang menunggu di sebuah daerah di muka bumi, beribadah kepada Allah dan menunggu bagaimana negara-negara kafir satu sma lain saling menghancurkan dengan izin Allah, sembilan tahun misalnya atau lebih banyak dari itu, sesuai dengan kekuatan bom dan rudal serta makar setan abad dua puluh…"
Tentang peran gerakan Islam selama masa menunggu tersebut, ia mengatakan, "Dalam masa tersebut, kaum muslimin mencurahkan waktunya di sebuah daerah di muka bumi untuk beribadah kepada rabb mereka, mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal-amal sholih, menegakkan sho-lat, menunaikan zakat, membersihkan baju-baju mereka dari kotoran dan najis jahiliyah yang menempel dan mengotorinya. Barulah pada saat itu fajar diizinkan segera menjelang….kewajiban kaum muslimin adalah menunggu, mengambil pelajaran, bersabar, sujud, ruku' dan berjalan sesuai ketetapan taqdir melalui realita yang ada sampai mereka diizinkan untuk membawa pedang tertolong untuk menghancurkan sisa-sisa orang kafir yang telah ditaqdirkan Allah."
Syukri tidak mengatakan adanya jihad, sela-manya, sampai pedang, anak panah dan kuda kembali hadir di tengah manusia. Dalam buku yang sama, ia mengatakan, "Sesungguhnya kaum muslimin tidak mengetahui dan sekali-kali tidak mengetahui sebuah peperangan, kecuali dengan shaf, pedang, kuda dan anak panah dan bahwa-sanya tidak akan ada perang di jalan Allah sejak hilangnya peralatan yang telah disebutkan tadi, dan juga …" [Dokumen "Al Khilafah" tulisan Syu-kri Ahmad Musthafa, diterbitkan dalam buku "Ats Tsairun" karya Raf'at Sayid Ahmad hal. 115-160].
Bagaimanapun juga, pikiran yang diserukan oleh Syukri ini termasuk dalam peribahasa "men-ceritakannya semata sudah cukup untuk mem-bantahnya." Termasuk sebuah kedzaliman yang nyata bila kita menyamakan antara kelompok-kelompok jihad terkhusus lagi Jama'ah Islamiyah di Mesir dengan pemikiran jama'ah takfir hanya karena kedua belah pihak sependapat mengenai telah kafirnya penguasa saat ini. Kalau begitu, kita pun boleh menyamakan antara jama'ah takfir dengan syaikh Albani karena keduanya sama-sama berpendapat tidak bolehnya keluar dari penguasa pada saat ini dan cukup dengan mela-kukan tarbiyah, sekalipun masing-masing mem-punyai konsep yang berbeda mengenai tarbiyah. Orang yang jujur tentu tak akan mengatakan demikian.
Meski kami mempunyai catatan terhadap pe-mikiran pengakfiran ini, namun siapa saja yang mengikuti realita gerakan Islam hari ini, khusus-nya di Mesir, ia pasti mencatat telah lunturnya pemikiran ini karena di Mesir hanya segelintir orang yang tercerai-berai saja yang masih mem-punyai pemikiran seperti pendapat Syukri Mus-thafa semasa ia hidup. Pemerintah Mesir juga tidak memburu mereka, sebagaimana pemerintah memburu mereka sebelumnya, karena pemerin-tah mengetahui meskipun jama'ah Syukri meng-kafirkan pemerintah dan seluruh masyarakat, na-mun jama'ah Syukri tidak berpendapat bolehnya keluar dari pemerintah.
Sabtu, 05 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...