Penulis: Ibnu Qudâmah An-Najdî
MUKADDIMAH
Segala puji milik Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampun kepada-Nya dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan nafsu serta keburukan perbuatan kami. Barangsiapa Alloh beri petunjuk, tidak ada satupun yang bisa menyesatkannya; dan siapa yang Dia sesatkan, tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. Aku berksaksi tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh; satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa dan jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
“Wahai manusia, bertakwalah kepada robb kalian yang telah mencipatakan kalian diri jiwa yang satu, dan mencipatakan dari sana isterinya dan dari keduanya Alloh perkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungas silaturrohmi. Sesung-guhnya Alloh selalu mengawasi kamu.”
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang lurus. Alloh akan perbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa taat kepada Alloh dan rosul-Nya maka sungguh ia telah berhasil dengan keberhasilan yang besar.”
Sesungguhnya perkataan terbenar adalah kitab Alloh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru, setiap yang baru adalah bid‘ah, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka.
KATA PENGANTAR
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai serta tempat tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada hal lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Alloh serta kemenangan yang dekat. Dan berilah kabar gembira orang-orang beriman.”
“Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim. Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Alloh. Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Robb mereka memberi kabar gembira kepada mereka dengan rahmat dan keridhoan dari-Nya serta surga, di sana mereka memiliki kesenangan yang kekal. Mereka abadi di sana buat selamanya, sesungguhnya Alloh memiliki pahala besar di sisi-Nya.”
dan berfirman:
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
Benar, membakar semangat (tahrîdh) untuk berperang di jalan Alloh Azza wa Jalla serta dalam rangka meninggikan kalimat-Nya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, khususnya di zaman sekarang; zaman kehinaan dan cinta dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian sebagaimana orang yang makan mengeroyok nampannya.” Ada yang betanya, “Apakah karena kami sedikit waktu itu?” beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak, namun kalian adalah buih seperti buih air, dan Alloh benar-benar akan mencabut rasa takut musuh terhadap kalian dan benar-benar akan mencampakkan perasaan ‘wahn’ dalam hati kalian.” Ada yang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Cinta dunia dan benci mati.”
Sesungguhnya pembantaian, pengusiran dan penghinaan yang terjadi terhadap kamu muslimin di setiap tempat, sebabnya tidak lain dan tidak bukan karena mereka jauh dari Alloh serta meninggalkan jihad di jalan-Nya dan cinta serta ridho terhadap dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Apabila kalian saling berjual beli dengan system ‘Inah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan cocok tanam dan kalian tinggalkan jihad, Alloh akan timpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Memperhatikan bahwa kita perlu menggerakkan akar jihad yang terpendam dalam hati kita, serta dalam rangka membantah syubhat-syubhat para mukhodzdzilûn (orang-orang yang kerjanya memperlemah semangat orang) yaitu orang-orang yang hanya berpangku tangan (qô‘idûn)dari jihad serta orang-orang munafik, maka kami bekerja menyusun risalah ini segera. Kami berharap tujuan kami itu bisa terealisir tanpa ada cacat yang fatal. Risalah ini saya bagi kepada tiga pasal dan pembahasan. Kita memohon taufiq dan kelurusan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, dan agar menjadikan perkara ini bermanfaat bagi kaum muslimin serta menjadikan amal usaha kita ikhlas karena wajah-Nya yang mulia, dan menerima amal sholeh kita serta mengampuni yang buruk, sesungguhnya Dialah yang mampu dan berkuasa atas hal itu. Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga serta para shahabatnya.
PASAL PERTAMA
PEMBAHASAN KE SATU: DEFINISI JIHAD, KEUTAMAAN SERTA DORONGAN UNTUK MELAKSANAKANNYA
Definisi jihad
• Ibnu Mandzur berkata: “Wa Jâhadal ‘Aduwwu mujâhadatan wa jihâdan, artinya: qôtalahû (meme-ranginya) dan berjihad di jalan Alloh. Di dalam hadits disebutkan: “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tinggallah jihad dan niat.”
Al-Jihad (di sini) artinya: Memerangi musuh; yaitu berusaha sekuat tenaga dan mencurahkan segala potensi dan kemampuan baik berupa kata-kata maupun aksi (tindakan).
Sedangkan yang dimaksud niat adalah: “Mengikhlaskan amal karena Alloh; artinya tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah, sebab sekarang kota itu telah berubah menjadi negara Islam, yang ada tinggal ikhlas dalam jihad dan memerangi orang-orang kafir.
Sedangkan jihad maknanya adalah berusaha keras dan mencurahkan segala kemampuan dalam rangka perang, bisa dilakukan juga dengan lisan atau apa saja yang ia mampu.” Selesai perkataan Ibnu Mandzûr.
• Adapun pengertian jihad secara syar‘i adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka mening-gikan kalimat Alloh serta bahu membahu dalam hal itu, sebagaimana yang ditafsirkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di dalam sebuah riwayat yang dibawakan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dari ‘Amrû bin ‘Abasah ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?” beliau bersabda, “Hatimu pasrah kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin selamat dari (gangguan) lidah dan tanganmu.” Ia berkata lagi, “Bagaimanakah Islam yang paling sempurna?” beliau bersabda, “Iman.” Ia berkata, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari berbangkit setelah kematian.” Ia berkata lagi, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Hijroh.” Ia bertanya, “Apakah hijroh itu?” beliau bersabda, “Engkau jauhi keburukan.” Ia berkata, “Hijroh bagaimana yang paling utama?” beliau bersabda, “Jihad.” Ia bertanya, “Apakah jihad itu?” beliau bersabda, “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau bertemu dengan mereka.” Ia berkata, “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Siapa saja yang kuda terbaiknya terluka dan darahnya tertumpah.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kemudian dua amal yang keduanya merupakan amalan terbaik kecuali kalau ada yang melakukan yang semisal; hajji mabrur dan umroh.”
Dengan tafsiran tentang jihad seperti tertera dalam hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di atas inilah para ulama Islam menafsirkan jihad:
- Ibnu Hajar Rahimahullôh berkata (mengenai definisi jihad): “Mencurahkan semua kemampuan dalam rangka memerangi orang-orang kafir.”
- Al-Qosthalânî Rahimahullôh berkata, “Memerangi orang-orang kafir untuk membela Islam dan untuk mening-gikan kalimat Alloh.”
- Al-Kasânî Rahimahullôh berkata: “Dalam kebiasaan penggunaan istilah syara‘, jihad dipakai untuk makna mencurahkan semua potensi dan kekuatan dengan membunuh (perang) di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla baik dengan jiwa, harta, lisan dan lain sebagainya ataupun menforsir tenaga dalam hal itu.”
- Penulis Ad-Durrul Mukhtâr berkata, “Mengajak kepada agama yang benar serta memerangi orang yang tidak mau menerimanya.”
Terkadang, jihad di dalam nash-nash syar‘i digunakan untuk selain makna memerangi orang-orang kafir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mujâhid adalah yang berjihad melawan nafsunya dalam rangka taat kepada Alloh, dan muhâjir adalah yang meninggalkan semua yang Alloh larang.” Demikian juga sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang yang meminta izin kepada beliau ikut berjihad, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” ia berkata, “Masih.” Beliau bersabda, “Berjihadlah untuk keduanya.”
Hanyasaja, lafadz jihad jika disebut secara mutlak maka maksudnya adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ dan tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir kecuali bila ada qorînah (bukti pendukung) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan itu sebagaimana yang terdapat dalam dua hadits tadi.
- Ibnu Rusyd berkata di dalam Muqoddimât-nya (I/ 369): “Dan jihad pedang adalah memerangi orang-orang musyrik demi dîn (agama). Maka siapa saja yang melelahkan dirinya karena Alloh berarti ia telah berjihad di jalan-Nya. Hanya saja, jika kata jihad disebut secara mutlak, maka maknanya tidak dibawa kecuali kepada makna berjihad melawan orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam, atau memberikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa jihad jika disebut secara mutlak tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir adalah sebagai berikut:
1. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Datang seorang lelaki kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad.” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya.” Beliau bersabda lagi, “Mampukah salah seorang dari kalian apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk ke masjidmu kemudian sholat dan tidak pernah berhenti dan puasa serta tidak berbuka?” ia berkata, “Siapa yang mampu melakukannya.” Abu Huroiroh berkata, “Sesungguhnya kuda seorang mujahid benar-benar akan terus ditulis kebaikan-kebaikan sepanjang masa hidupnya.” HR. Bukhori – Muslim. Bukti yang ditunjukkan hadits ini terhadap makna jihad sangatlah jelas; sholat dan puasa termasuk jihad melawan hawa nafsu, meskipun demikian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tidak temukan amalan yang menyamai jihad.” sehingga ini menunjukkan bahwa yang dimaksud jihad apabila disebut secara mutlak adalah berjihad melawan orang-orang kafir, bukan melawan hawa nafsu.
2. Dari Abû Sa‘îd Al-Khudhrî ra ia berkata: Dikatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia paling baik?” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Para shahabat mengatakan, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Orang mukmin yang berada di lembah-lembah, ia bertakwa kepada Alloh dan menjauhi kejahatan manusia.” HR. Bukhori dan Muslim. Orang yang bertakwa kepada Alloh di satu lembah itu berjihad terhadap nafsunya, bersamaan dengan itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membawa makna jihad kepada artian memerangi orang-orang kafir.
3. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, menegakkan sholat dan puasa di bulan Romadhon, maka menjadi hak Alloh memasukkannya ke dalam surga; ia berjihad di jalan Alloh, atau duduk di tanah di mana ia dilahirkan.” para shahabat mengatakan, “Apakah tidak kita beri kabar kembira kepada manusia wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, Alloh siapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, antara kedua derajat seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Alloh, mintalah surga firdaus, sesungguhnya itu adalah tengah dan puncaknya surga, dan di atasnya terdapat Arsy Ar-Rohman, dan darisanalah sungai-sungai surga mengalir.” HR. Ahmad dan Bukhori.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang duduk di tanah kelahirannya bukan sebagai mujahid, padahal ia berjihad terhadap hawa nafsunya dengan cara sholat dan berpuasa serta jihad nafs lainnya dalam rangka memikul beban-beban syar‘i.
Dan semua ayat dan hadits yang menunjukkan keuta-maan-keutamaan jihad, maka arti jihad tersebut adalah jihad yang benar-benar jihad yaitu memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ, dan tidak dibawa kepada makna jihad melawan hawa nafsu. Demikian juga para ulama Islam dari kalangan muhaditsin dan fuqoha; jika mereka membuat bab jihad dalam buku-buku mereka maka yang dimaksud adalah jihad melawan orang-orang kafir dalam artian perang, bukan berjihad melawan hawa nafsu.
• Satu hal yang mesti diperhatikan: Jihad melawan nafsu bukanlah jihad terbesar secara mutlak sebagaimana dakwaan orang-orang Tasawwuf dan orang-orang yang mengaku berilmu yang mereka menarik-narik manusia untuk tidak usah berjihad yang sebenarnya. Mengenai hadits yang berbunyi: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar…”maka ini adalah hadits dho‘if, hadits yang tidak shohih; Al-Baihaqi, Al-Iroqi serta As-Suyuthi mendho‘ifkannya, Al-Albani juga mendho‘ifkannya di dalam Dho‘îful Jâmi‘ Ash-Shoghîr, demikian juga dengan ulama lainnya –rahimahumulloh–.
Amîrul Mukminîn fil Hadîts, Al-Hâfidz Ibnu Hajar, mengatakan di dalam Tasdîdul Qous bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan dan sebebarnya itu adalah dari kata-kata Ibrôhîm bin ‘Ablah –dari kalangan Tâbi‘i `t-Tâbi‘în—; Al-Iroqi berkata dalam Takhrij hadits-hadits Al-Ihyâ’: “Dirawayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad dho‘if dari Jâbir.
Bukti yang cukup untuk menunjukan bahwa hadits di atas tidak benar adalah bahwa yang mengucapkannya (kalau memang itu hadits Nabi) yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –di mana mereka menisbatkan hadits tadi kepada beliau— tidaklah sedikitpun duduk berpangku tangan dari berperang. Tetapi beliau langsung terjun berperang selama beliau berada di Madinah sekitar tiga kali tiap tahunnya, belum lagi berbicara sariyah-sariyah. Demikian juga dengan murid-murid beliau; mereka terdidik dengan jihad yang terus sambung menyambung. Seandainya yang mereka katakan tadi benar, maka orang yang berakal akan memulai dengan latihan menanggung yang kecil-kecil dulu kemudian baru yang besar, setelah itu yang lebih besar. Jadi dia meningkat dari yang paling rendah dulu hingga yang paling tinggi. Maka, mulailah dari jihad terkecil –menurut kalian tadi—kemudian baru yang besar. Akan tetapi kami katakan sesungguhnya jihad pedang dan jihad melawan hawa nafsu tidaklah saling berdampak satu sama lain, kedua-duanya tetaplah bagian dari Islam dan salah satu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk dengan satunya lagi sebagaimana belajar ilmu yang fardhu ain tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sedang mentarbiyah diri.
Hadits (dho‘îf) tadi juga menyelisihi firman Alloh Ta‘âlâ:
“Tidaklah sama antara orang-orang yang hanya duduk dari kalangan mukminin yang tidak memiliki uzur dan orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh lebih utamakan orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan pahala yang baik. Dan Alloh lebihkan para mujahid di atas orang-orang yang duduk berupa pahala besar.” (An-Nisa’: 95)
Menyebut perang melawan orang-orang kafir sebagai jihad kecil juga tidak ditunjukkan oleh satu dalilpun dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lagi pula, orang yang berjihad terhadap hawa nafsu dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla yaitu memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut dalam memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya ia bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Alloh. Maka menjadikan jihad nafsu sebagai alat legitimasi termasuk kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin dari berjihad melawan musuh-musuh mereka.
Inilah Sayyidah Aisyah ra, beliau bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah wanita memiliki kewajiban berjihad?” beliau bersabda, “Mereka memiliki kewajiban jihad yang tidak ada unsur perangnya; hajji dan umroh.” Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Huzaimah. Sedangkan di dalam riwayat Bukhôrî disebutkan: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Jadi, ‘Âisyah memahami bahwa jihad adalah perang. Dan, apa gerangan yang dimaksud para shahabat yang mulia itu ketika mereka mengatakan kalimat mereka yang cukup masyhur:
نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدَا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِيْنَا أَبَداً
Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Muhammad
Untuk berjihad selama kami masih hidup
Apakah mereka memiliki maksud lain selain jihad bermakna perang?!
Dengan kata lain: Sesungguhnya orang meninggalkan perbuatan-perbuatan haram disebut sebagai orang yang berpuasa karena ia puasa dari perkara-perkara haram, akan tetapi apakah maknanya ia sudah mendapatkan kompensasi untuk tidak melaksanakan puasa yang sebenarnya yaitu puasa Romadhon?! Padahal, robb kita berfirman:
“Diwajibkan atas kalian berperang…” sebagaimana Dia berfirman: “Diwajibkan atas kalian berpuasa…”
“…Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan mengkufuri sebagian yang lain.”?
Sebagian orang bersikeras untuk mengkaburkan makna jihad ini mengatakan, “Kami juga sedang berjihad ini!!” mereka bertujuan untuk membenarkan sikap duduk mereka dari perang. Lalu ketika engkau lihat dalam kehidupannya, ternyata mereka bekerja sebagai pegawai untuk menghidupi keluarganya, yang satu lagi sebagai pedagang, yang itu sebagai karyawan, yang ini sebagai petani, yang lain mengajar di kuliyah syariah atau kedokteran atau ekonomi atau ilmu politik atau…semuanya menganggap dirinya sebagai mujahid dan boleh duduk dari perang…! Benar, mereka menganggap dirinya sebagai mujahid sementara di negerinya ia makan minum dan mengajar atau bekerja. Bahkan, yang lain tanpa malu-malu menganggap bahwa apa yang ia lakukan sekarang lebih baik daripada perang itu sendiri! Dan orang-orang yang rusak pemikirannya serta suka menyimpangkan makna itu mesti diterangkan lagi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sejarah para tabi‘in yang mengikuti para pendahulunya dengan kebaikan.
Seandainya urusannya adalah seperti yang mereka anggap, Alloh Swt dan nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, tidak akan mendorong untuk itu, tidak akan ada keterangan mengenai kewajiban dan keharusan berperang, tidak ada pengobaran semangat terhadap kaum muslimin untuk perang dengan menyebutkan pahala para mujahidin dan para syuhada, tidak akan ada ancaman yang keras serta janji akan mendapatkan hukuman dan siksa yang pedih bagi orang yang tidak ikut serta dalam berjihad.
Keutamaan Jihad
• Jihad di Jalan Alloh ‘Azza wa Jalla adalah amalan terbaik setelah Iman kepada Alloh Ta‘ala.
Di dalam Ash-Shohîhain disebutkan dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya , “Amal apakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh dan rosul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Berjihad di jalan Alloh.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Hajji mabrur.”
Hadits ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kedua orang tua yang harus dilayani dengan baik, atau orang yang kedua orangtuanya telah memberi izin, atau dalam kondisi ketika jihad menjadi fardhu ain; karena sesungguhnya dalam kondisi seperti itu, jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua. Wallôhu A‘lam.
Dan dari Ma‘iz ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ditanya tentang amalan terbaik, beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh saja kemudian jihad, kemudian hajji mabrur itu melebihi semua amalan seperti antara tempat terbitnya matahari dan tempat tenggelamnya.” HR. Ahmad, rijalnya adalah rijal shohîh. Untuk Ma‘iz sendiri adalah seorang shohabat yang cukup masyhur, ia tidak memakai nasab.
Makna sabda beliau: “..melebihi semua amalan.” Artinya semua amalan setelah iman dan jihad; sebelumnya telah disebutkan bahwa amalan terbaik adalah iman dan jihad.
Masih dalam Ash-Shohihain dari Abu Dzar ra ia berkata, aku bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Iman kepada Alloh dan berjihad di jalan-Nya.” Ia berkata, “Budak apakah yang paling mahal?” beliau bersabda, “Yang paling mahal bagi pemiliknya dan paling mahal harganya.” Al-Hadits.
• Jihad Lebih Baik Daripada Memberi Minum Orang Hajji Dan Memakmurkan Masjidil Haram
Dari An-Nu‘man bin Basyir ra ia berkata: Aku berada di sisi mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka ada seorang yang mengatakan, “Aku tidak akan peduli, aku tidak akan mengerjakan amalan setelah Islam selain memakmurkan Masjidil Harôm.” Yang lain mengatakan, “Tidak, tapi jihad fi sabilillah itu lebih baik daripada apa yang kau katakan.” Maka Umar bin Khothob membentak mereka seraya mengatakan, “Jangan mengangkat suara di sisi mimbar Rosululloh di hari Jum‘at, ketika aku sholat jumat, aku masuk menemui beliau dan menanyakan apa yang barusan kalian perselisihkan, akhirnya Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan: “Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim.” HR. Muslim.
• Jihad Lebih Baik Daripada Ber‘Uzlah Dan Sibuk Beribadah
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dengan isnadnya dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kuberitahu kalian tentang orang yang paling baik kedudukannya? (Yaitu) lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Alloh. Maukan kalian kuberitahu tentang orang paling baik kedudukannya setelah itu? Lelaki yang beruzlah dengan menggembalakan kambingnya, ia menegakkan sholat dan menunaikan zakat serta beribadah kepada Alloh, tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.” Muslim serta yang lain juga meriwayatkan hadits seperti ini, lafadznya ada Insyâ Allôh.
Dan dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Seorang lelaki dari shahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah lembah yang di sana terdapat sebuah mata air tawar kemudian ia berkata, “Seandainya saja aku menjauhi manusia dan tinggal di lembah ini, aku tidak akan melakukannya sampai aku minta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka ia menceritakan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan lakukan itu, sebab posisi salah seorang dari kalian di jalan Alloh lebih baik daripada sholat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun. Apakah kalian tidak suka kalau Alloh mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah? Berperanglah di jalan Alloh, barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja (fawâqo nâqoh), ia pasti masuk surga.” HR. Tirmizi dan dia berkata: Hadits hasan; juga oleh Al-Baihaqi di dalam As-Sunan dan Al-Hâkim, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Muslim.
Kalimat: Fawâqo nâqoh; Al-Jauhari dan yang lainnya mengatakan, artinya adalah waktu memerah antara dua puting susu; sebab biasanya ia diperah lalu dibiarkan sesaat yang ditetek oleh anak unta agar susunya mengumpul banyak lalu diperah. Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah antara ketika engkau letakkan tanganmu dan ketika engkau angkat dari puting ketika engkau sedang memerah susu.
• Puncak Islam Adalah Jihad Di Jalan Alloh Ta’ala
Dari Mu‘adz bin Jabal ra ia berkata: Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” HR. Hakim seperti ini secara ringkas, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Bukhori Muslim. Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi yang panjang. Demikian juga Tirmizi, ia menshohihkannya, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah dan lain-lain.
Thobaroni juga meriwayatkannya dalam Al-Kabîr melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdir Rohim dari Abdul Malik dari Al-Qosim dari Fadholah bin Ubaidillah ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam itu ada tiga bait: bawah, atas dan tengah. Adapun yang bawah adalah Islam; semua kaum muslimin memasukinya, tidak ada seorangpun dari mereka yang kau tanya melainkan mengatakan: Saya seorang muslim. Adapun yang atas maka amalan mereka bertingkat-tingkat, sebagian lebih baik daripada sebagian yang lain. Adapun pertengahan yang paling atas adalah jihad di jalan Alloh, tidak ada yang bisa mendapatkanya selain orang yang paling utama di antara mereka.”
• Tidak Ada Seorangpun Bisa Melakukan Amalan Yang Menyamai Jihad Fi Sabilillah
Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Dikatakan, “Wahai Rosululloh, apakah yang bisa menyamai jihad di jalan Alloh?” beliau bersabda, “Engkau tidak akan bisa melakukannya.” Maka para shahabat terus mengulang pertanyaannya hingga dua atau tiga kali semuanya beliau jawab, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda, “Perumpaan mujahid di jalan Alloh itu seperti orang yang berpuasa dan sholat serta taat (qônit) terhadap ayat-ayat Alloh. Ia tidak pernah berhenti dari sholat dan puasanya sampai si mujahid fi sabilillah tersebut pulang.” HR. Bukhori dan Muslim. An-Nawawi berkata, “Makna Qônit di sini adalah orang yang taat.”
• Keutamaan Memompa Semangat (Tahrîdh) Kaum Mukminin Untuk Berjihad Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan bakarlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Semoga Alloh menolak keganasan orang-orang kafir, dan Alloh itu lebih besar kekuatan dan siksa (Nya).”
Alloh Ta‘ala berfirman: “Hai Nabi, bakarlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dari kalian berjumlah dua puluh orang yang sabar, akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada dari kalian seratus, akan mengalahkan seribu dari orang-orang kafir dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak faham.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku-tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Hingga akhir surat.
Ayat-ayat mengenai tahrîdh Alloh Ta‘ala kepada para hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya, serta motivasi terhadap mereka untuk memperoleh pahala yang ada di sisi-Nya lantaran jihad sangatlah banyak.
1. Ibnu Majah mengeluarkan, demikian juga Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Shifatul Jannah serta Al-Bazzar dan Ibnu Hibban di dalam Shohîh-nya, dari Kuraib, bahwasanya ia mendengar Usâmah bin Zaid ra mengatakan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak adakah yang mau bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terbayangkan. Sungguh, demi Robb Ka‘bah, surga itu adalah cahaya yang berkilauan, tumbuh-tumbuhan wangi yang bergoyang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir berturutan buah-buahan yang matang, isteri-isteri elok dan cantik, perhiasan-perhiasan yang banyak, tempat dalam keabadian, di negeri keselamatan, buah-buahan dan hijau-hijauan, kegembiraan, kenikmatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat mengatakan, “Ya, wahai Rosululloh, kami bersegara ke sana.” Maka beliau mengatakan, “Katakanlah: Insyâ Allôh.” Para shahabat mengatakan, “Insyâ Allôh.” Kemudian beliau menyebutkan tentang jihad dan memotivasi kepadanya.
2. Ibnu Majah menyebutkan lagi dari Ali secara mauqûf, ia berkata, “Barangsiapa memompa semangat saudaranya untuk berjihad, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya; dan setiap langkah ia dalam rangka itu seperti ibadah satu tahun.”
• Keutamaan Menolong Mujahidin, Menyiapkan Perbekalan Atau Yang Lain, Memberi Makanan, Membantu, Mengantarkannya Ketika Hendak Pergi Dan Mengucapkan Selamat Jalan Kepadanya
Imam Ahmad meriwayatkan dan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Hakim serta yang lain dari jalur ‘Abdullôh bin Muhammad bin ‘Uqoil dari ‘Abdullôh bin Sahl bin Hanif bahwasanya Sahl menceritakan kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menolong seorang mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang, atau membantu seorang budak makâtib untuk membebas keterbudakkannya, Alloh akan nauingi ia dalam naungannya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.”
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dari ‘Umar bin Zaroroh, Telah bercerita kepada kami Al-Musayyib bin Syuraik dari Bakr bin Fadholah dari Maimun bin Mahron dari Ibnu Abbas ia berkata, “Barangsiapa yang membawa dan tinggal bersama kuda di jalan Alloh, ditulis baginya seperti pahala orang yang keluar dengan membawa harta dan nyawanya dalam keadaan sabar selama kuda itu masih hidup. Dan barangsiapa yang memberikan pedang di jalan Alloh, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa lidah yang panjang seraya mengatakan di hadapan semua makhluk: ‘Ketahuilah, aku adalah pedangnya fulan bin fulan. Aku terus berjihad untuknya hingga hari kiamat.’ Dan barangsiapa yang memberikan baju di jalan Alloh Ta‘ala, ia akan diberi baju dari surga yang akan digantikan kepadanya setiap hari seperti di dunia.”
Dan dari Umar bin Khothob ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memayungi kepala orang yang berperang, Alloh akan naungi ia di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti itu sampai ia mati atau pulang. Dan barangsiapa yang membangun masjid di mana di dalamnya disebut nama Alloh, Alloh akan bangunkan baginya rumah di jannah.” (HR. Ibnu Abî Syaibah, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya, Al-Baihaqî dan Syaikhnya; Al-Hakim, ia mengatakan: “Shohîhul Isnâd.”
• Keutamaan Berinfak Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Al-Qurthubi dan yang lain mengatakan, “Maknanya: Siapakah yang mau berinfak di jalan Alloh sehingga nantinya Alloh akan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda?”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Dan Alloh melipatkan gandakan pahala bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.”
Ibnu Umar berkata, “Ketika turun [“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh…”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah untuk umatku.” Maka turunlah [“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah buat umatku.” Maka turunlah [“Sesungguhnya pahala orang-orang sabar itu dilipat gandakan tanpa terhitung.”] HR. Imam Abu Bakar bin Al-Mundzir di dalam Tafsirnya, juga Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya, dan Al-Baihaqi di dalam Asy-Syu‘ab, dan lain lain.
Dari Khuraim bin Fâtik ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berinfak sekali di jalan Alloh, ditulis baginya tujuh ratus kali lipat.” (HR. Tirmizi, beliau meng-hasan-kannya, dan An-Nasa’i, Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya dan Al-Hâkim, beliau berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Menyiapkan Perbekalan Pasukan Perang Di Jalan Alloh Serta Menjaga Keluarga Mereka, Serta Tentang Orang Yang Diminta Keluarga Mujahid Kemudian Berkhianat
Dari Abu Sa‘id Al-Khudri ra bahwasnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus kepada Bani Lihyan, agar setiap dua orang ada satu yang keluar dan pahalanya akan diperoleh oleh mereka berdua. Di dalam lafadz lain: “Hendaknya setiap dua orang, ada satu orang yang keluar.” Kemudian beliau bersabda kepada yang tidak berangkat, “Siapasaja di antara kalian yang meninggalkan kebaikan pada keluarga dan harta orang yang keluar berperang, maka ia mendapatkan setengah pahala orang yang keluar.” HR. Muslim.
Imam Abu Bakar bin Al-Munzir berkata: Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa kewajiban jihad gugur dari manusia jika sudah ada yang melaksanakannya secara cukup di antara mereka.
Dan dari Zaid bin Khôlid Al-Juhannî ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, sungguh ia telah berperang. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan pada keluarga orang yang berperang, sungguh ia telah berperang.” HR. Bukhori dan Muslim.
Masih dari Khôlid ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala dia; tidak dikurangi dari pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahala seperti dia tanpa mengurangi pahala orang yang berperang itu sedikitpun.” HR. Tirmizî dan Nasa’î, Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya.
Dan dari Zaid bin Tsabit ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan kebaikan dan berinfak kepada keluarga orang yang berperang, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya.” HR. Thobaroni di dalam Al-Ausath, rijalnya adalah rijal shohih.
• Keutamaan Rasa Takut Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
- Di dalam Shohîh Muslim dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû bin Al-‘Âsh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada suatu peperangan atau sariyah yang dijalankan di jalan Alloh kemudian mereka selamat atau mendapatkan hasil, melainkan telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu peperangan atau satu sariyah yang mereka pulang tidak membawa ghanimah atau merasa ketakutan, atau terkena musibah, kecuali disempurnakan pahala mereka.”
Sabda beliau: “Takhfaqu.” (Dengan kho’ mu‘jamah, fâ’ dan qôf lagi) artinya adalah: Pulang tanpa membawa ghanimah. Dikatakan: Akhfaqol Ghôzî, jika ia berperang dan tidak memperoleh ghanimah dan kemenangan.
• Keutamaan Ribâth (Berjaga-Jaga Di Perbatasan) Di Jalan Alloh Ta‘âla Dan Keutamaan Orang Yang Bermalam Dalam Keadaan Beribath
Alloh Ta‘ala berfirman:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“…Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan beribathlah serta bertakwalah kepada Alloh agar kalian beruntung.”
Mubarok bin Fadholah mengatakan, aku mendengar Al-Hasan ketika membaca ayat ini: Ishbirû wa shôbirû (Ali Imron: 200, penerj.) ia mengatakan, “Mereka diperintahkan agar terus bersabar menghadapi orang-orang kafir sampai mereka bosan sendiri dengan agama mereka.” Adalah Muhammad bin Ka‘b Al-Qurodzi mengatakan tentang ayat ini, “Beribathlah kalian terhadap musuh-Ku dan musuh kalian sampai ia meninggalkan agamanya menuju agama kalian.”
Dari Sahl bin Sa‘d ra bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ribath satu hari di jalan Allh leih baik daripada dunia seisinya. Dan tempat cemeti salah seorang dari kalian di jannah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dan yang lain)
Sabda beliau dalam hadits di atas serta yang semisal: “…lebih baik daripada dunia seisinya…” Ada yang mengatakan bahwa memang seperti itulah maknanya. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah: Ketaatan ini lebih baik daripada dunia seisinya kalau manusia itu memilikinya dan menginfakkanya di dalam ketaatan kepada Alloh Ta‘âlâ.” Disebutkan oleh Al-Qôdhî ‘Iyâdh di dalam Syarah Muslim.
• Keutamaan Berjaga Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
Di dalam Shohîh Bukhôrî dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian. Jika ia diberi ia ridho dan jika tidak diberi ia marah. Celaka dan kembali sakitlah ia dan jika tertusuk duri tidak bisa lagi dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Alloh, kusut masai rambutnya, berdebu kakinya; jika ia sedang dalam berjaga, ia berjaga, jika ia di garis belakang ia berada di garis belakang, jika ia minta izin tidak diberi izin, jika ia minta tolong tidak diberi pertolongan.”
Dan dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû ra ia berkata, “Sungguh aku bermalam dalam keadaan berjaga dan ketakutan di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus hewan tunggangan.” HR. Ibnul Mubârok melalui jalur Ibnu Lahî‘ah, hadits ini adalah mauqûf.
Ketahuilah, bahwa berjaga di jalan Alloh Ta‘ala termasuk taqorrub terbesar dan ketaatan paling tinggi. Ini juga merupakan salah satu bentuk ribath paling utama. Dan siapa saja yang menjaga kaum muslimin di tempat yang dikhawatirkan musuh akan menyerang mereka, maka ia adalah orang yang beribath (murôbith), namun tidak sebaliknya; orang yang berjaga di jalan Alloh itu mendapatkan pahala orang yang beribath serta masih banyak keutamaan baginya, di antaranya adalah: neraka tidak akan menyentuh mata yang berjaga di jalan Alloh selama-lamanya.
Dari Ibnu ‘Abbâs ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang bermalam karena berjaga di jalan Alloh.” HR. Tirmizi dan ia berkata, hadîts hasan.
Dan dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang tercungkil di jalan Alloh dan mata yang berjaga di jalan Alloh serta mata yang menangis karena takut kepada Alloh.” HR. Al-Hâkim dari jalur ‘Umar bin Rôsyid Al-Yamâmî dan Ia berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Luka Di Jalan Alloh Ta‘ala
Dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Tidaklah seorang terluka di jalan Alloh –dan Alloh lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya— kecuali ia datang pada hari kiamat sedangkan lukanya mengucur; warnanya warna darah, aromanya aroma misik.” Dalam redaksi lain, “Setiap luka yang dialami seorang muslim di jalan Alloh, pada hari kiamat kelak ia seperti apa adanya ketika ia tertikam; ia masih mengalirkan darah, warnanya warna darah dan aromanya aroma misik.” HR. Bukhori dan Muslim, lafadznya adalah milik Muslim. Sedangkan kata Al-Kalmu (dengan kâf fathah dan lâm sukun) artinya adalah luka. Sedangkan Al-‘Arfu (dengan ‘ain fathah dan rô’ sukun) artinya adalah Aroma. Sedangkan sabda beliau: “Yats‘abu…” (dengan tsâ sukun, ‘ain fathah dan diakhiri dengan bâ’) maknanya adalah mengucur sebagaimana terdapat dalam riwayat lain. Ibnu Daqîq Al-‘Îd berkata di dalam Syarh Al-‘Umdah, “Datangnya luka pada hari kiamat bersamaan dengan mengalirnya darah terdapat dua hal: Pertama, sebagai saksi atas lukanya. Kedua, menampakkan kemuliaannya kepada para penduduk mahsyar yang menyaksikan terhadap aroma misik dan kesaksian akan kebaikan yang ada di sana.”
Dan dari Mu‘adz bin Jabal ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja, maka sungguh wajib baginya surga. Dan siapa yang memohon dengan jujur agar terbunuh kepada Alloh kemudian ia mati atau benar- benar terbunuh, maka sesungguhnya bagi dia pahala syahid. Dan barangsiapa yang terluka di jalan Alloh atau terkena satu marabahaya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang paling deras, warnanya adalah warna za‘farôn dan aromanya adalah aroma misik. Dan barangsiapa yang keluar bisul di jalan Alloh, maka ia akan mengenakan cincin para syuhada.” Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan isnâd hasan, sedangkan lafadz adalah milik dia. Diriwayatkan juga oleh Tirmizi dan ia berkata, Hadits hasan shohih, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah.
Dan ketahuilah bahwa orang yang terluka di jalan Alloh tidaklah merasakan sakit dari luka tersebut sebagaimana dirasakan oleh orang lain. Terdapat sebuah hadits shohih yang menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh tidak merasa pedih di saat mati kecuali hanya seperti gigitan semut. Jika ini adalah keadaan orang yang terbunuh, maka bagaimana dengan orang yang tidak sampai terbunuh, yaitu hanya terluka. Ini adalah fakta, tidak akan ditentang kecuali orang yang belum pernah membuktikannya.
Berita tentang orang yang terluka tadi tidak terlalu sulit diakal, karena kemarahan dan emosi jika telah mencapai titik klimaks dan menguasai perasaan seseorang, ia akan mendapatkan kedahsyatan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam dirinya dan tak banyak peduli terhadap hal yang tidak mengenakkan dan tidak merasakan rasa sakit, padahal sebelum itu ia tidak merasakannya. Bahkan, antara dua orang yang berkelahi tak jarang hingga mengakibatkan kepala salah satunya pecah yang menyakitkan serta luka yang parah namun ia tidak merasakan hal itu kecuali setelah selesai dari kejadian yang baru saja ia alami; masing-masing membela diri dan tidak ingin mati. Lantas, bagaimana dengan orang yang kemarahannya meledak karena Alloh serta mengeluarkan nyawanya kepada Alloh dan bercita-cita mendapatkan kesyahidan di sisi-Nya; ia menganggap apa yang menimpa dirinya justeru termasuk anugerah dari Alloh, dengan kekuatan cahaya imannya ia menyaksikan apa yang Alloh sediakan bagi para syuhada dan orang-orang yang terluka di jalan-Nya yaitu keutamaan besar, sebagai sebuah pandangan yang hakiki, bukan sekedar ilmu.
• Keutamaan Melempar di Jalan Alloh Ta‘ala dan Dosa Orang yang pernah Mempelajari lalu Meninggalkannya.
Perlu diketahui, belajar melempar –dengan niat berjihad di jalan Alloh Ta‘ala—, mengajarkan dan berlomba-lomba dalam melempar merupakan perkara yang dianjurkan dan didorong oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Melempar ini memiliki banyak keutamaan.
Di antaranya: Alloh Ta‘ala memerintahkan untuk me-lempar sebagai persiapan jihad di jalan Alloh Ta‘ala. Alloh Ta‘ala berfirman:
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…”
Berdasarkan ayat mulia ini sebagian ulama berpendapat bahwa melempar itu wajib hukumnya, sebab maksud keku-atan di sini adalah melempar sebagaimana disebutkan da-lam hadits Shohîh Muslim.
Dari ‘Uqbah bin ‘Âmir ra ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda—saat itu beliau di atas mimbar—, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…” ketahuilah, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar.”
Hadits lain adalah riwayat Bukhori dan lainnya dari Salamah bin Al-Akwa‘ ra ia berkata: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati satu kaum yang sedang berlomba memanah, beliaupun bersabda, “Melemparlah hai Bani Isma‘il, sesungguhnya ayah kalian adalah jago melempar. Melemparlah, aku bersama Bani Fulan.” Maka salah satu kelompok tadi menahan tangannya. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak melempar?” kata mereka, “Wahai Rosululloh, bagaimana kami melempar sementara engkau bersama mereka?” maka beliaupun bersabda, “Melemparlah, sekarang aku bersama kalian semua.”
PEMBAHASAN KEDUA:
RINGKASAN TAHAPAN DISYARI’ATKANNYA JIHAD
Tadinya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diperin-tahkan untuk memberi maaf dan memberi ampun serta menahan diri dari orang-orang musyrik selama beliau berada di Mekkah. Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-otang yang tiada takut akan hari-hari Alloh.”
Dan dari Ibnu Abbâs ra bahwasanya ‘Abdurrohman bin ‘Auf serta bebepara shahabat datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika masih di Mekkah, mereka mengatakan, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ketika kami dulu masih musyrik, kami merasa mulia; mengapa setelah kami beriman justeru kita menjadi hina?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian berperang…”
Setelah itu, Alloh mengizinkan kaum muslimin untuk berjihad namun belum sampai mewajibkannya atas mereka. Hal itu dengan firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi lantaran mereka dizalimi.”
Dan ini merupakan ayat yang paling pertama turun mengenai perang sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra.
Tahapan selanjutnya Alloh Ta‘ala mewajibkan kepada mereka untuk memerangi orang yang memerangi mereka namun tidak boleh memerangi orang yang tidak memerangi. Hal itu seperti dalam fase yang Alloh firman-kan: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak me-merangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Alloh tidak memberimu jalan bagimu (untuk memerangi dan menawan) mereka.”hingga firman-Nya: “Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepadamu serta menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kalian temui mereka. Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk membunuh dan menawan) mereka.”
Sedangkan tahapan terakhir adalah fase memerangi kaum musyrikin secara total; baik yang memerangi kita atau yang tidak dan memerangi mereka di negeri mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama semuanya menjadi milik Alloh. Pada tahapan inilah hukum jihad berakhir, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia pada fase ini. Mengenai fase ini pulalah ayat pedang turun yaitu firman Alloh Ta‘ala:
“Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian…”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Di dalam hadits shohih disebutkan sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh, perangilah orang yang kufur kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulûl, jangan berlaku khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua…”
Imam Ibnul Qoyyim meringkaskan fase-fase di atas dalam kata-kata beliau: “Tadinya diharamkan, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan kepada orang yang memulai memerangi terlebih dahulu, kemudian diperintahkan terhadap semua kaum musyrikin…”
Sabtu, 07 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apapun tanggapan anda, silahkan tulis...