PEMBAHASAN KEEMPAT:
TENTANG IMÂROH (KEPEMIMPINAN)
PERTAMA: IMÂROH ADALAH WAJIB.
a. Berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, rosul dan pemimpin dari kalian.”
b. Firman Alloh Ta‘ala: “Dan apabila datang berita kepadamu tentang keamanan atau ketakutan, mereka menyebarluaskannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rosul dan ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (rosul dan ulil Amri).”
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa manusia harus memiliki seorang pemimpin yang mengatur permasalahan-permasalahan serta mengurusi ke-maslahatan-kemaslahatan mereka. Hal itu ditunjuk-kan oleh isyarat nash.
c. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
- Asy-Syaukani berkata di dalam Nailul Authôr: Bab wajibnya mengangkat qôdhî dan kepemimpinan serta yang lain –beliau menyebutkan hadits-hadits tadi—kemudian berkata: yang senada dengan hadits ‘Abdullôh bin ‘Amrû dan Hadits Abu Sa‘id juga diriwayatkan oleh Al-Bazzâr dengan isnâd shohîh dari hadits ‘Umar bin Khothob dengan lafadz: “Jika kalian bertiga dalam perjalanan, maka angkatlah salah seorang sebagai amir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkannya.” Al-Bazzar juga mengeluarkannya dengan isnâd shohîh dari hadits ‘Abdullôh bin ‘Umar secara marfû‘ dengan lafadz: “Jika mereka bertiga dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Ath-Thobaroni mengeluarkan dengan lafadz ini dari hadits Ibnu Mas‘ûd dengan isnâd shohîh. Hadits-hadits ini saling menguatkan satu sama lain. Abû Dâwud dan Al-Munzirî tidak berkomentar tehadap hadits Abû Sa‘îd dan Abû Huroiroh, kedua hadits tersebut rijalnya adalah shohîh selain Ali bin Bahr, ia adalah tsiqoh. Sedangkan lafadz hadits Abû Huroiroh: “Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Di dalamnya terdapat dalil bagi setiap jumlah tiga orang atau lebih untuk mengangkat salah satu sebagai pemimpin. Sebab di dalam tindakan tersebut terdapat keselamatan dari perselisihan yang akan berdampak kepada kerusakan. Dengan tidak adanya pemimpin, masing-masing akan bersikukuh dengan pendapatnya serta melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, sehingga mereka semua akan hancur. Sedangkan jika ada pemimpin, perselisihan akan terminimalisir dan kalimat akan menjadi satu. Dan jika hal ini disyari‘atkan bagi tiga orang yang berada di salah satu jengkal bumi, atau ketika mereka bepergian, maka disyari‘atkannya hal itu pada jumlah yang lebih banyak yang tinggal di desa-desa dan berbagai penjuru daerah serta mereka membutuhkannya untuk menyelesaikan tindak saling menzalimi serta menyelasaikan pertikaian, tentu lebih layak dan pantas. Dalam hal itu terdapat dalil bagi mereka yang mengatakan bahwasanya wajib bagi kaum muslimin mengangkat para pemimpin, wali dan penguasa.”
d. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Perlu diketahui bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak selain dengan itu. Sebab sesungguhnya Bani Adam tidak akan sempurna maslahat mereka kecuali dengan berkumpul, ini mengingat bahwa sebagian butuh kepada yang lain; dan ketika mereka berkumpul maka di sana harus ada pimpinannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika ada tiga orang yang berada dalam perjalanan, maka hendaknya mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al-Musnad dari ‘‘Abdullôh bin ‘Amrû bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam satu jengkal tanah kecuali mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” Di sini, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan mengangkat salah satu sebagai pemimpin di dalam satu perkumpulan sedikit yang terjadi ketika bepergian, sebagai peringatan akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan. Juga karena Alloh Ta‘ala mewajibkan amar makruf nahi munkar dan hal itu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuatan serta kepemimpinan. Demikian juga dengan semua yang Alloh wajibkan, mulai dari jihad, penegakkan keadilan dan pelaksanaan hajji, sholat jum‘at, sholat ‘Îd dan menolong orang yang terzalimi. Demikian juga dengan pelaksanaan hudûd, ia tidak akan terlaksa kecuali dengan kekuatan dan kepemim-pinan…–sampai dengan perkataan beliau—Maka yang wajib adalah mengadakan sebuah kepemimpi-nan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama dan pendekatan diri kepada Alloh, sebab mendekatkan diri kepada Alloh di dalam urusan tersebut dengan mentaati-Nya dan mentaati rosul-Nya termasuk bentuk taqorrub paling utama. Hanya, kebanyakan urusan manusia justeru menjadi rusak dalam urusan yang satu ini lantaran mereka mencari jabatan sebagai pemimpin atau harta dengannya. Telah diriwayatkan dari Ka‘b bin Malik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan pada tempat gembalaan domba itu lebih merusak daripada (merusaknya) rasa ambisi sese-orang terhadap harta dan kemuliaan terhadap agamanya.” Beliau mengkhabarkan bahwa kerakusan seseorang terhadap harta dan kepemimpinan itu akan merusak agamanya seperti atau bahkan lebih daripada kerusakan yang ditimbulkan dua ekor serigala lapar terhadap gembalaan domba.
e. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam Jâmi‘ Bayânil Ulûm, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Qôsim Kholaf bin Al-Qôsim, telah menceritakan kepada kami Abû Shôlih Ahmad bin ‘Abdur Rohmân di Mesir, telah menceritakan kepada kami Abû Bakar Muhammad bin Al-Hasan Al-Bukhôrî, telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Hasan bin Widhôh Al-Bukhôrî As-Simsâr, telah bercerita kepada kami Hafsh bin Dâwud Ar-Rib‘î ia berkata telah menceritakan kepada kami Khôlid ia berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sofwân bin Rustum Abû Kâmil, telah menceritakan kepada kami Abdur Rohmân bin Maisaroh dari Abdur Rohmân dari Tamîm Ad-Dârî ia berkata, “Manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan pada zaman ‘Umar bin Al-Khothob, maka beliau berkata: “Wahai orang-orang arab, bumi..bumi.., sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama‘ah, tidak ada jama‘ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Ketahuilah, barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya atas dasar kefakihan, maka itu lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya tidak di atas kefakihan, maka hal itu adalah kerusakan bagi orang yang mengikutinya.”
Dalam perkataan ‘Umar ra ini terdapat isyarat akan kewajiban berjama‘ah, kepemimpinan dan ketaatan untuk tegakknya syari‘at Islam.
KEDUA: PENGANGKATAN PEMIMPIN DIPERCAYAKAN KEPADA PEMIMPIN YANG MENJADI PENANGGUNG JAWAB, JIKA ADA.
Berdasarkan hadits Buroidah ra “Bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang komandan pada satu pasukan atau sariyah, beliau mewasiatkan khusus kepadanya untuk bertakwa kepada Alloh, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya.”
- Ibnu Qudamah berkata, “Dan urusan jihad diserahkan kepada Imam serta ijtihadnya…–hingga perkataan beliau—ia berhak mengangkat amir pada setiap sektor yang akan mengatur urusan perang dan mengurusi urusan jihad, yang ia angkat adalah orang yang berpandangan jeli, memiliki ketajaman akal, keberanian serta analisa yang baik dalam urusan perang dan dalam urusan membuat tipudaya kepada musuh. Pada dirinya juga harus ada sifat amanah, berbuat baik dan memberikan nasehat kepada kaum muslimin.”
KETIGA: PEMIMPIN BOLEH MENGANGKAT BEBERAPA PIMPINAN SECARA BERURUTAN
Berdasarkan yang dilakukan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada perang Mu’tah (ketika beliau mengutus para komandan) di mana beliau mengurutkan pada tiga orang untuk memimpin. (Riwayat Bukhôrî-Muslim (Muttafaq ‘Alaih) dari Anas). Jika yang pertama terbunuh, diganti yang kedua dan begitu seterusnya.
Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Umar ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pada perang Mu’tah. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja‘far sebagai gantinya. Jika Ja‘far terbunuh, maka gantinya ‘Abdullôh bin Rowahah.” Ibnu Umar berkata, “Aku ikut dalam perang itu. Kami mencari Ja‘far bin Abi Tholib, lalu kami menemukannya di jajaran orang-orang yang terbunuh, dan kami temukan pada jasadnya ada sembilan puluh sekian tikaman dan panahan.”
Kepemimpinan tidak diberikan kepada fihak kedua kecuali apabila pemimpin yang pertama meninggal atau terkena musibah sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Sedangkan yang kedua sendiri tidak berhak menentang pemimpin pertama dalam urusan tugas dengan alasan karena dia memiliki kemungkinan menjadi pemim-pin atau alasan semisal, selama tampuk kepemimpinan masih dipegang oleh pemimpin yang pertama; tetapi semuanya harus mendengar dan taat kepadanya.
Pada saat terjadi peristiwa Al-Jisr melawan kaum Persi yang masyhur, saat itu pemegang kepemimpinan, Abu ‘Ubaid bin Mas‘ûd Ats-Tsaqofî memberikan wasiat kepemimpinan atas pasukan kepada delapan orang secara berurutan jika ia terbunuh. Maka beliau terbunuh berikut tujuh orang pemimpin dari Bani Tsaqif sepeninggalnya, sampai kepemimpinan itu berujung kepada yang kedelapan, yaitu Al-Mutsannâ bin Harîtsah. Saat itu, Daumah, isteri dari Abu ‘Ubaid melihat dalam mimpinya kejadian yang sama persis dengan apa yang telah terjadi.
Kejadian ini pecah pada tahun 13 H pada saat kekhalifahan Umar bin Khothob ra. Ini adalah jumlah pengangkatan pemimpin ketika ia telah meninggal paling banyak dalam sejarah yang pernah diketahui. Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan ‘Umar dan kala itu banyak sekali terdapat para shahabat tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya.
KEEMPAT: KAPANKAH HAK MENGANGKAT PEMIMPIN DIBERIKAN KEPADA RAKYAT?
Sudah kami jelaskan di muka mengenai wajib adanya sebuah kepemimpinan dan bahwa mengangkat pemimpin itu adalah hak dari imam kaum muslimin atau orang yang se-posisi dengannya misalnya seorang pemimpin yang menjadi penanggung jawab dari satu tugas pekerjaan tertentu. Hanya saja, dalam beberapa kondisi komunitas kaum muslimin dituntut untuk memilih pemimpin sendiri, misalnya:
- Jika amir yang ditunjuk oleh imam pusat tidak ada (karena terbunuh, tertawan atau kondisi lemah) semen-tara kaum muslimin tidak memungkinkan untuk merujuk kepada imam, padahal mereka tidak memiliki amir secara berurut, atau kalaulah ada mereka semua sudah habis.
- Apabila kaum muslimin, atau salah satu kelompok dari mereka, mengadakan sebuah operasi yang bersifat jama‘i (kolektif) –khususnya tadrib (latihan) dan jihad—sementara kaum muslimin tidak memiliki imam, sebagaimana kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang.
Maka kaum muslimin boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, dan tidak sah bagi mereka bekerja tanpa adanya pemimpin. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan hak mengangkat pemimpin kepada kaum muslimin dalam sabdanya: “Hendaknya mereka mengangkat pemim-pin…”dari hadits: “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melimpahkan kuasa mengangkat amir kepada satu kelompok ini di mana mereka berkumpul di atas perkara yang bersifat kolektif antar mereka yaitu safar. Keterangan hadits ini sudah kita terangkan sebelumnya.
Bisa juga menggunakan dalil dari perbuatan para shahabat –Ridhwânullôh ‘alaihim– pada waktu perang Mu’tah setelah terbunuhnya tiga orang yang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam angkat sebagai pemimpin. Maka setelah itu mereka sepakat untuk mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin, sedangkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri ridho dengan perbuatan mereka ini.
Bukhori meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ra ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda, “Panji diambil oleh Zaid, maka ia terkena (terbunuh). Kemudian diambil oleh Ja‘far, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil ‘Abdullôh bin Rowahah, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Kholid bin Al-Walid tanpa ia sendiri menginginkan untuk menjadi sebagai pemimpin, maka Allohpun menangkan dia. Dan betapa senang mereka jika mereka menyertai kita.” Anas berkata, “Dan sungguh kedua mata beliau menderaikan air mata.” Dan di dalam riwayat Bukhori dari Anas disebutkan: “Sampai panji diambil oleh salah satu pedang Alloh, hingga Allohpun menangkan ia.”
- Ibnu Hajar berkata –ketika Ibnu Rowahah terbunuh—, “Kemudian panji diambil oleh Tsâbit bin Aqrom Al-Anshôrî, maka ia berkata, “Sepakatilah seseorang (sebagai pemimpin).” Maka mereka mengatakan, “Kalau begitu anda saja.” Ia berkata, “Tidak.” Akhirnya mereka sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai koman-dan. Thobaroni meriwayatkan dari hadits Abul Yasar Al- Anshôrî ia berkata, “Aku memberikan panji kepada Tsâbit bin Aqrom ketika ‘Abdullôh bin Rowahah terkena. Kemudian Tsabit memberikannya kepada Khôlid bin Walîd dan berkata kepadanya, “Engkau lebih tahu tentang perang daripada saya.”
Ibnu Hajar berkata lagi, “Di dalamnya terdapat dalil mengenai bolehnya mengangkat pemimpin dalam perang tanpa harus melalui proses pengangkatan –atau tanpa keputusan dari imam—. Ath-Thohawi berkata, “Inilah prinsip yang diambil, yaitu kaum muslimin harus mengangkat seseorang sebagai pemimpin jika imam tidak ada, ia menggantikan posisinya sampai ia datang.”
Ibnu Hajar juga berkata, “Ibnul Munayyar berkata: ‘Dari hadits bab ini diambil kesimpulan bahwasanya siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin sementara tidak memungkinkan untuk merujuk kepada imam, maka kepemimpinan saat itu sah adanya secara syar‘i bagi orang yang ditunjuk tersebut dan wajib hukumnya mentaatinya.” Demikian yang ia katakan, dan bukan rahasia bahwa posisinya adalah ketika orang-orang yang hadir di situ menyepakatinya.”
- Ibnu Qudâmah Al-Hanbali berkata, “Jika imam tidak ada, jihad tidak ditunda. Sebab maslahat jihad akan hilang dengan ditunda. Dan jika diperoleh ghanimah, maka pemiliknya bisa langsung membagikannya sebagaimana ketentuan syar‘i. Al-Qodhi berkata: Diakhirkan jatah imam sampai imam datang, sebagai bentuk hati-hati kalau-kalau ada jalan keluar. Jika imam mengirim satu pasukan dan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir kemudian ia terbunuh atau meniggal, maka pasukan boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin sebagaimana yang dilakukan para shahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada pasukan perang Mu’tah ketika para pemimpin mereka terbunuh di mana Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka sebagai pemimpin. Mereka kemudian mengangkat Kholid bin Walid sebagai pemimpin. Berita itu kemudian sampai kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliaupun ridho dengan urusan mereka serta membenarkan pandangan mereka tersebut dan memberikan gelar kepada Kholid dengan sebutan: Saifullôh (pedang Alloh).”
PASAL KEDUA:
PEMBAHASAN PERTAMA: HUKUM ASAL DARAH ORANG KAFIR
Perlu diketahui bahwa pada asalnya hubungan dengan orang kafir adalah hubungan perang serta halalnya darah serta harta mereka. Tidak ada damai dan perlindungan. Berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Dan bunuhlah mereka di manapun kalian jumpai mereka dan usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu, dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan. Dan janganlah kalian perangi mereka di Masjidil Haram sampai mereka memerangi kalian. Maka jika mereka memerangi, perangilah mereka, demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang dzalim.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
Jadi, negara-negara di dunia ini, hubungannya dengan kaum muslimin adalah: Kalau bukan negara harbi (yang berstatus perang), maka negeri ‘ahd (yang terikat dengan perjanjian). Pada asalnya, keadaan negara kafir adalah negara harbi, boleh diperangi dengan segala bentuk jenis peperangan sebagaimana yang dilakukan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dahulu, beliau pernah mencegat kafilah-kafilah milik negara-negara harbi sebagaimana beliau pernah mencegat kafilah kaum Quraisy. Beliau juga pernah mengambil penduduk negara-negara kafir sebagai gadai jika hal itu diperlukan seba-gaimana ketika beliau mengambil seorang lelaki dari Bani ‘Uqoil sebagai tawanan sebagai balasan dari dua orang tawanan dari shahabat beliau yang ditawan oleh Tsaqîf. Pernah juga beliau melakukan ightiyâl (membunuh dengan cara menculik atau menyergap diam-diam, penerj.) sebagaimana ketika beliau memerintahkan untuk melaku-kan ightiyâl terhadap Khôlid Al-Hudzalî dan Ka‘b Al-Asyrof serta Salamah bin Abil Huqoiq. Dua orang terakhir ini adalah orang kafir mu‘ahad (terikat perjanjian) lalu mereka berdua melanggar janjinya maka beliaupun memper-bolehkan untuk membunuh keduanya. Beliau juga memberikan fatwa untuk membunuh wanita, orang tua dan anak-anak dari negeri kafir harbi jika mereka tidak terpisahkan dan tidak mungkin bisa mencapai pasukan perang musuh tersebut kecuali dengan membunuh mereka, sebagaimana yang beliau lakukan juga di Thô’if, beliau membombardir mereka dengan munjanik. Jadi, negara-negara kafir harbi tidaklah memiliki batasan-batasan syar‘i yang melarang untuk menimpakan marabahaya kepada mereka kecuali kalau sengaja menyerang wanita, anak-anak dan orang tua jika mereka terpisah dan tidak membantu perang dan permusuhan, ditambah lagi jika kita tidak merasa perlu untuk melancarkan hukuman kepada orang kafir dengan balasan setimpal sebagaimana yang akan kita terangkan nanti.
Jadi, negara terbagi menjadi dua, harbi –dan inilah hubungan asli terhadapnya– dan negara mu‘ahad. Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zâdul Ma‘âd (III/ 159) menyebutkan tentang keadaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pasca hijroh: “Kemudian, keadaan orang-orang kafir bersama beliau setelah perintah jihad ada tiga macam: Orang kafir yang terikat perjanjian damai dan gencatan senjata, orang kafir harbi dan orang kafir dzimmî.” Sedangkan negara-negara yang kita bahas di atas tidak akan menjadi dzimmî, tetapi kalau tidak harbi ya mu‘ahad; mengenai dzimmah, itu adalah hak personal di negeri Islam. Dan jika orang kafir itu tidak menjadi mu‘âhad atau dzimmî, maka pada asalnya dia adalah harbi; halal darah, harta dan kehormatannya (artinya boleh dijadikan budak, penerj.). Syaikhul Islam berkata di dalam Al-Fatâwâ (32/ 343), “Dan jika kafir harbî, maka peperangan yang ia lancarkan (terhadap kaum muslimin) menjadikan halal hukumnya untuk membunuhnya, mengambil hartanya dan menjadikannya sebagai budak.”
Disebutkan dalam riwayat Bukhôrî dari Ibnu ‘Abbâs ra mengenai klasifikasi orang-orang musyrik di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengatakan, “Orang-orang musyrik berada dalam dua posisi dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum mukminin: orang musyrik harbi, beliau memerangi mereka dan mereka memerangi beliau; dan kaum musyrik yang mengikat perjanjian damai, beliau tidak memerangi mereka dan mereka tidak memerangi beliau.”
Dan perang melawan orang kafir telah diwajibkan di mana saja mereka berada, di mana saja mereka dijumpai dan dapat dilumpuhkan sampai mereka mengucapkan Lâ ilâha illallôh (masuk Islam), di dalam Shohîh Muslim disebutkan dari Jâbir ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lâ ilâha illallôh. Jika mereka sudah mengatakannya, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya dan perhitungannya kepada Alloh.” Kemudian beliau membaca: Inamâ Anta Mudzakkir.. Lasta ‘Alaihim bimushothir.” (Tidak lain dirimu adalah pemberi peringatan, kamu tidak berkuasa atas mereka.)
Perdamaian sendiri adalah salah satu cabang dari hukum asal ini. Itu merupakan perkara yang datang belakangan yang dilakukan sesuai dengan nilai masla-hatnya bagi dîn (agama).
- Oleh karena itu, Asy-Syâfi‘î berkata dalam Al-Umm: “Karena asal kewajiban adalah memerangi orang-orang musyrik sampai mereka beriman atau memberikan jizyah.” Di bagian lain beliau mengatakan, “Memerangi mereka sampai masuk Islam adalah kewajiban jika memang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mere-ka.”
- Ibnu Qudâmah berkata di dalam Al-Mughnî: “Minimal yang beliau lakukan adalah sekali dalam setahun –maksudnya jihad—sebab jizyah itu wajib dibayar setiap tahun atas ahlu dzimmah, jizyah ini sebagai ganti dari pertolongan yang diberikan; demikian juga dengan jihad, ia wajib dilakukan setahun sekali kecuali bagi orang yang berudzur seperti jika kaum muslimin masih lemah dalam hal jumlah personel dan logistik, atau sedang menunggu bantuan yang sedang ditunggu, atau jalan menuju mereka terdapat penghalang atau…dst.” Dari sini bisa difahami bahwa pada asalnya hubungan dengan orang kafir adalah senantiasa perang, bukan senantiasa damai.
Sesungguhnya syari‘at mengharamkan darah kaum muslimin dan haram menodai kehormatan mereka atau menghalalkan harta mereka, atau menimpakan marabahaya kepada mereka dengan bentuk apapun, baik secara langsung maupun tidak, kecuali bila didasari dengan tuntutan syar‘I berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: nyawa dibalas nyawa, orang sudah menikah kemudian berzina dan yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama‘ah.” Tiga kondisi dalam hadits inilah yang menjadikan darah kaum muslimin halal, walaupun masih ada perselisihan pendapat di kalangan para fuqoha’ mengenai apakah hadits ini untuk membatasi atau sebagai permisa-lan saja.
Hanya saja, untuk non muslim hukum asalnya tidak haram, tapi sebaliknya; asalnya adalah halal. Maka orang kafir itu halal darah, harta dan kehormatannya –artinya untuk dijadikan tawanan—. Darah, harta dan kehorma-tannya serta menimpakan bahaya kepadanya tidaklah haram kecuali bila ada hukum yang muncul kemudian seperti terjalinnya ikatan janji, adanya jaminan (dzimmah) dan jaminan keamanan. Adapun kaum wanita, anak kecil, orang tua dan orang yang tidak turut menjadi pasukan perang (bukan kelompok militer atau rakyat sipil dalam istilah kita, penerj.) dan bukan orang yang membantu peperangan maka hukum asalnya adalah terlindungi, karena ada nash khusus yang berlaku atas mereka.
PEMBAHASAN KEDUA:
STATUS AMERIKA DENGAN KAUM MUSLIMIN
Status Amerika dengan kaum muslimin tidak akan keluar dari tiga kondisi yang masing-masing mesti diterangkan terlebih dahulu sebelum menyimpulkan hukum pada kasus-kasus yang ada.
Status pertama: Ia menjadi negeri damai (tidak ada peperangan) dengan kaum muslimin secara umum.
Status kedua: Ia menjadi negeri harbi (yang berstatus memerangi) kaum muslimin secara umum.
Status ketiga: Ia menjadi negeri yang menyandang dua status di atas sekaligus, artinya ia adalah negara harbi terhadap sebagian kaum muslimin dan negara damai dengan sebagian kaum muslimin yang lain. Status dia sebagai negara damai dengan sebagian kaum muslimin yang lain tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya yang akan kita terangkan sebentar lagi.
Sebelum saya terangkan yang benar tentang posisi Amerika dari ketiga kondisi tadi, saya mesti terangkan dulu sesuatu yang menunjukkan dengan pasti terhadap apa yang akan saya pilih nantinya kaitannya dengan status dari negara thoghut ini:
Di antara yang tidak diragukan lagi oleh seorang muslim yang berakal serta mengesakan Alloh Ta‘ala, dan tidak akan dibantah sekalipun oleh orang kafir yang menyimpang, bahwa Amerika adalah induk kejahatan dan kerusakan. Sampai-sampai sebagian penulis Amerika sendiri menyebutnya sebagai “Syetan terbesar”. Maka Amerika ditinjau dari perang yang ia lakukan melawan Alloh serta kekufurannya terhadap-Nya serta penyebarluasan kekufu-ran ini, ia telah menyandang cacat yang parah. Hal ditempuh dengan menyebarkan ediologi kufur tersebut secara halus yaitu menyebarkan kerusakan dan kelakuan-kelakuan hina di muka bumi, memerangi agama Alloh melalui jalur informasinya yang jahat di mana itulah yang berada di balik lahirnya kerusakan di seluruh penjuru dunia, Amerika adalah produksen terbesar dari film-film berbau kufur dan pemikiran menyimpang. Demikian juga dengan dekadensi moral yang kotor, Amerika adalah negara terbesar ditinjau dari jumlah chanel-chanel yang mena-yangkan adegan sex serta situs-situs porno di semua media informasi yang ada.
Amerika juga merupakan perusahaan terbesar yang mengekspor minuman keras dan rokok di seluruh dunia. Di saat yang sama, Amerika memusnahkan hasil-hasil pertanian yang melebihi kuota produksi dengan cara membakar atau menenggelamkannya di lautan demi melindungi perekonomian dan harga hasil-hasil pertanian. Meskipun, di sana ada jutaan orang mati kelaparan di India, benua Afrika dan Asia. Peradaban uang macam ini pembaca budiman???
Mengenai penyebaran kekufuran melalui kekerasan dan hegemoni militer, maka silahkan bicara sepuasnya mengenai pembunuhan dan pembantaian bangsa-bangsa tanpa alasan yang benar apapun selain karena ingin untuk tetap menjadi yang tertinggi, suka berkuasa serta dalam rangka memaksakan ediologi dan prinsip-prinsip kufur.
Anehnya, Amerika sendiri lebih cepat daripada angin dalam pembangunan pabrik-pabrik senjata pemusnah masal. Bahkan, Amerika memproduksi sebuah bom yang kepentingannya hanya untuk membunuh manusia, bukan makhluk hidup lainnya, serta untuk menumpas pilar-pilar peradaban berkembang –syetanpun tidak melakukan tindakan sekeji ini—, ia telah bunuh jutaan manusia, sejak orang-orang Jepang, orang-orang Hindu Merah, orang-orang Vietnam..dan…dan…dan.., pokoknya yang termasuk keturunan dari sekte dan agama mereka.
Adapun dari keturunan agama dan millah kita –kaum muslimin—yang merupakan target utama baginya, maka merupakan buruan di tengah burung puyuh, dan di sinilah tali pengikat si burung unta.
Oleh karena itu, berangkat dari apa yang sudah saya paparkan tadi, jelaslah posisi Amerika terhadap kaum muslimin: apakah kondisi yang damai ataukah yang berstatus memerangi (harbi).
Di kepulauan Maluku (Indonesia), ribuan kaum muslimin dibantai oleh orang-orang Kristen meskipun jumlah orang Kristen yang tidak sebanding banyaknya dengan kaum muslimin. Namun, semua ini terjadi karena adanya bantuan Amerika yang diberikan kepada orang-orang Kristen Indonesia!
Di Bosnia Herzegovina, puluhan ribu orang terbantai di tangan orang-orang Kristen, juga dengan bantuan Amerika..! kuburan-kuburan masal menjadi saksi bisu akan hal itu...
Di Iraq , sebanyak satu juta lebih anak-anak terbunuh disebabkan serangan udara armada militer Amerika terhadap Irak serta pemberlakuan embargonya yang dzalim terhadap Irak selama sepuluh tahun. Belum lagi anak-anak dan orang-orang tua yang mati lantaran penyakit yang ditinggalkan akibat bekas peperangan.
Di Palestina, bicaralah sepuas Anda, berapa saja para saudara-saudara kita orang Palestina yang mati, berapa saja ikhwah Libanon di Libanon melalui tangan kaum yahudi…juga dengan bantuan senjata dan biaya dari Amerika, belum lagi berbicara bantuan pasukan dari Amerika dalam banyak kejadian!
Di Somalia, kejahatan Amerika sangat-sangat jelas di masa-masa penanaman sisa-sisa pabrik nuklir yang dilarang diproduksi negara manapun..!belum lagi pencaplokan terhadap emas mentah dari Somalia. Belum lagi jumlah orang yang mati di tangan militer Amerika, di mana telah terbunuh lebih dari tiga belas ribu muslim dalam barisan Farh ‘Aidid, ini masih ditambah lagi dengan direnggutnya kehormatan mereka.
Di Ethiopia, di Eritrea, di Filiphina, di Kashmir, di Sahara Maroko, di Aljazair, di…di…di…
Terakhir yang terjadi di Afghanistan, yaitu persekutuan lebih dari seratus negara…dan penghimpunan senjata pemusnah yang tidak pernah terbetik dalam hati manusia manapun yang menyebabkan terjadinya penghancuran total terhadap sebuah negara tak bersenjata! Yang cukup dihadapi satu saja dari negara-negara yang bersekutu tadi!
Tetapi, semua ini memang perang terhadap Islam dan kaum muslimin secara umum…setiap hari Amerika memberi kabar gembira kepada dunia bahwa mereka masih menguasai kawasan udara Afghan dan mereka masih memegang kekuasaan di sana! Ini mengingatkanku kepada seseorang yang berhasil melukis udara di atas samudera dan lautan, kemudian ia berbangga dengan lukisan itu!
Ringkasnya, tidak ada satu permasalahan Islam dan kaum musliminpun melainkan Amerika turut campur memberikan wasiat kepada Islam, memaksakan intervensi militer atau diplomasinya dalam rangka menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Sebagai contoh memalukan yang sisa-sisanya masih saja menempel di dalam benak kita adalah yang terjadi di Kuwait; siapakah yang ikut campur menyelesaikan permasalahan?! Apakah Islam dan kaum muslimin? Bukan! Bukan! Tak lain adalah si pemelihara kekufuran dan keangkaramurkaan, yang menjadi sembahan semua negara di dunia…
Maka mulailah si jelek Amerika itu bersekutu dengan kurang lebih 37 negara serta sekitar 500.000 tentara atau mungkin lebih untuk mengusir Irak dari Kuwait. Dan, perangpun dimulai dengan meluluhlantakkan kaum muslimin…
Sementara itu –yang menyedihkan—, banyak dari kalangan kaum muslimin bertasbih dengan memuji Amerika, kata mereka: “Jika Bush datang, tidurlah di halaman rumah.” Tidak pernah terlintas dalam benak mereka ketika mereka mengulang-ulang kata-kata kufur ini bahwa sudah sejak kapan yahudi menjajah Palestina serta bertengger di atas hati saudara-saudara kita di sana…
Lantas kenapa Amerika tidak bersekutu dengan tiga puluh tujuh negara untuk mengusir yahudi dari Palesti-na..?! Benar-benar, sebuah kepolosan dan kelalaian yang sedang dialami kaum muslimin hari ini kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh.
Inilah si tukang jagal jelek, Sharon, aktor pembantaian di Shabra dan Shatila. Setali tiga uang, Radovan Karadich dan rekannya yang menjadi dua pahlawan drama penyembelihan di Bosnia dan Herzegovina. Apa yang sudah dilakukan Amerika kepada para penjahat itu yang telah meluluhlantakkan kaum muslimin seluluh-luluhnya? Apakah seratus negara sudah bekerja sama untuk membasmi mereka..? Apakah mereka melancarkan perang sedemikian sengit dengan nama perang melawan “terorisme”? Apakah negara-negara Arab membantu mereka untuk itu? Ataukah mereka cukup menggelar mahkamah palsu bagi negara-negara dunia, Mahkamah Lahoi?
Ceritanya akan lain ketika yang menjadi pemimpin perang dari kaum muslimin dan yang terbunuh dari orang-orang kafir, seluruh dunia kafir memerintahkan perang, ini masih dibantu lagi oleh negara-negara Arab..!!
Betapa banyak negara yang hari ini berkumpul di Pakistan..? Apa sebenarnya yang ada di balik gudang senjata militer sekarang sedang bertengger di tanah airnya..?! berapa sudah jumlah bangsa Afghan yang tak bersenjata dan tidak berdosa itu terbunuh dengan klaim bahwa mereka sedang memburu Syaikh Usâmah bin Ladin…?!, sebab dia telah membunuh beberapa gelintir orang dari Bani Ashfar bermata biru (baca: Amerika), beberapa gelintir orang-orang najis yang tidak sebanding jika disejajarkan dengan penyembelihan kaum muslimin yang dikomandoi Amerika..!
Kenapa bangsa Serbia tidak diembargo supaya mereka juga merasakan kelaparan dan kemiskinan sampai si penjahat itu menyerahkan diri sebagaimana bangsa-bangsa muslim diembargo sampai mereka mati kelaparan..?!
Kenapa bangsa Sharon itu tidak diembargo dan agar ia merasakan apa yang telah dirasakan bangsa-bangsa Islam sampai ia menyerahkan diri kepada pengadilan palsu itu..?! mengapa…?…mengapa…? Apakah setelah ini kita masih harus bersabar? Apakah kami masih harus mengkontrol perasaan kami? Bukankah kita juga manusia, kita juga memiliki perasaan?
Belum berbicara mengenai tuntutan iman yang memerintahkan kita untuk terbakar demi agama dan saudara-saudara kita..mengapa ketika emosi kita dipancing hingga bergolak kemudian kita disuruh diam? mengapa agama kita diperangi di tengah diamnya bangsa muslim arab yang konon menakutkan itu..?
Mengapakah para pemimpin kaum muslimin di setiap jengkal bumi tidak bergerak dan melaksanakan perintah Alloh jika memang ia memiliki hati, memasang telinga dan ia bisa menyaksikan.?
Biarlah kita diam karena kita cukup menyaksikan orang yang berkhidmad dan menjadi pembela agama ini! Mengapa agama kita diperangi sejak ratusan tahun kemudian kita diperintah untuk tertunduk saja dan tidak menolongnya..?!
Apakah setelah kejahatan dan kelakuan Amerika ini kita masih memerlukan dalil yang menetapkan bahwa Amerika adalah negara yang memerangi Islam dan kaum muslimin..?! tidak cukupkan pernyataan thoghut Bush bahwa ini adalah perang salib?
Apakah kita masih memerlukan pembelaan terhadap mereka untuk melegitimasi kata-kata mereka bahwa mereka tidak sengaja dan kata-kata perang salib si Bush itu keluar lantaran kemarahan spontan sebagaimana legitimasi yang diberikan salah seorang syaikh, ia mengatakan: “Kami mencoba mencari udzur buat kalian dari besarnya ledakan serta berusaha untuk menyaring kemarahan sebuah bangsa, akan tetapi semua kata-kata kalian, bahkan aksi-aksi kalian terus beruntun dengan cara yang sama dan memutus semua praduga. Terburu-buru melakukan balasan adalah pembantaian hakiki terhada Amerika serta ujian hakiki terhadap nilai dan kedudukannya.”
Setelah semua kejadian dan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan betapa rendahnya Amerika dan rakyatnya di atas imperium mereka, kedunguan mereka, kesombongan dan keangkuhan mereka, kekotoran dan mesumnya kehidupan hewani mereka yang sebagian hewan saja mungkin merasa jijik untuk jadi seperti itu, saya katakan: Apakah kita masih perlu untuk berkomentar tentang mereka seperti yang dilontarkan sebagian syaikh tadi?
“Sebuah bangsa yang mayoritas –katanya—masih beriman akan adanya tuhan, bangsa yang telah membelanjakan hartanya untuk pengguliran proyek-proyek sosial yang tidak pernah dilakukan bangsa lain di dunia…maka kami meyakini bahwa bangsa Amerika –secara global—memiliki sifat baik yang menjadikannya sebagai negara barat yang paling dekat dengan kita dan paling layak kalau kita suka mereka mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat..!?” Maha Suci Engkau Ya Alloh, ini adalah kebohongan besar.
Sesungguhnya di antara nikmat Alloh adalah menjadi-kan pimpinan dari persekongkolan kufur ini adalah Amerika si Bani Ashfar, sehingga Alloh pilahkan antara yang jelek dan yang baik. Alloh Ta‘ala berfirman: “Alloh sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman di atas keadaan yang sekarang sedang kalian alami (bercampur dengan orang munafik) sampai Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Alloh sekali-kali tidak akan memperlihatkan perkara yang ghoib kepada kalian, akan tetapi Dia memilih dari rosul-Nya yang Dia kehendaki. Maka berimanlah kepada Alloh dan rosul-Nya, jika kalian beriman dan bertakwa maka, niscaya kalian mendapatkan pahala yang besar.”
Dan supaya jalan ini menjadi jelas serta tidak samar lagi bagi siapapun yang menghendaki kebenaran serta ingin mengetahui secara yakin bahwa Amerika adalah negara harbi, tidak diragukan lagi.
Ringkasnya, pangkal kerusakan akidah dan dekadensi moral, kezaliman yang kelewat batas dan permusuhan yang merajalela di kebanyakan masyarakat hari ini adalah Amerika. Dari sini nampak secara jelas dan gamblang peperangan Amerika menentang Alloh Jalla wa ‘Alâ, maka tidak ada lagi kelemah lembutan dan akal sehat, tidak ada lagi agama dan kemuliaan bagi mereka, tidak ada yang namanya proyek-proyek sosial atau yang lain seperti klaim sebagian tokoh kebangkitan Islam…
Maka kami tidak suka terhadap bangsa kafir Amerika selain kami tunggu Alloh timpakan adzab dari sisi-Nya atau melalui tangan-tangan kami..!! Sedangkan yang benar, yang tidak perlu diperdebatkan lagi, bahwa itu adalah perang melawan kaum mukminin secara umum…
Senin, 30 November 2009
Senin, 09 November 2009
Syubhat Seputar Jihad (Bag. 2, hal.30 -38)
PEMBAHASAN KETIGA:
JENIS DAN SYARAT-SYARAT JIHAD SERTA PERSIAPAN (I’DÂD) KE ARAH SANA.
• Jihad ada dua macam: Jihad Tholab (ofensive) dan jihad Difâ‘ (Defensive).
Jihad tholab, yaitu mencari dan memerangi musuh di negerinya.
Sedangkan jihad difâ‘ yaitu memerangi musuh yang menyerang kaum mukminin terlebih dahulu.
• Dalil tentang jihad tholab:
Firman Alloh Ta‘ala:
“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka lepaskanlah me-reka. Sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenya-yang.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Di sini, Alloh yang Mahabenar memerintahkan untuk berperang, mengintai dan mengepung mereka. Ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat muhkam yang turun akhir-akhir serta tidak ter-manshûkh. Dan di atas hal itulah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan, demikian juga dengan para shahabat yang menyertai beliau dan orang-orang sepeninggalnya sampai Alloh Ta‘ala taklukkan belahan bumi bagian timur dan barat bagi mereka.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintahkan agar memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka terlindungilah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka kepada Alloh Ta‘ala.”
Dan di dalam hadits Buroidah yang diriwayatkan Muslim disebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang amir pada pasukan atau sariyahnya, beliau memberi wasiat khusus kepadanya agar bertakwa kepada Alloh dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Alloh, perangilah siapa saja yang kafir kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulul, jangan mengkhianati janji, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua. Dan jika kamu berjumpa dengan orang kafir, ajaklah mereka kepada tiga hal:…dst.”Al-Hadits.
Ini adalah nash-nash yang jelas dan gamblang mengenai keluar dalam rangka memerangi musuh serta sengaja menyerbu mereka di negerinya. Inilah yang disebut jihad tholabi.
• Adapun jihad difâ‘î, dalilnya adalah:
Firman Alloh Ta‘ala :
“Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan musuh dalam keadaan perang maka janganlah kalian lari ke belakang.”
Dan firman Alloh Ta‘ala:
“Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang yang memerangi kalian.”
Dan firman Alloh Ta‘ala:
“Maka barangsiapa memusuhi kalian, lawanlah dengan permusuhan yang sama seperti ia memusuhi kalian.”
Di sini adalah perang dalam rangka melawan serangan musuh yang terlebih dahulu menyerang.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullôh mengatakan, “Adapun jihad defensif, maka ia adalah bentuk melawan paling besar terhadap serangan kepada kehormatan dan agama. Hukumnya adalah wajib secara ijmak. Musuh yang menyerang di mana ia merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Maka tidak lagi disyaratkan satu syaratpun di sana tetapi melawan semampunya.”
Dari keterangan tadi, engkau tahu bahwa siapa yang mengingkari bahwasanya jihad ofensive itu termasuk bagian dari ajaran Islam sebagaimana orang-orang yang mengatakan bahwasanya Islam tidak berperang selain bersifat defensive dan bersifat menolak kezaliman saja, berarti ia mendustakan ayat-ayat serta hadits-hadits tadi dan yang semisal. Padahal Alloh Ta‘ala berfirman: “Tidaklah menentang ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.”
Dan barangsiapa yang bersikap serampangan dalam menakwilkan apa yang telah terjadi pada masa para pendahulu kita yang sholeh yaitu jihad tholab dan mengatakan bahwa itu adalah perang melawan kezaliman, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh. Kalau ia sudah mengerti akan nash-nash atau menguasai ilmu tentangnya, maka berarti ia telah berpaling darinya serta bertindak sembarangan dalam mentakwil-takwil-kannya.
• Jihad adalah fardhu kifayah dan berubah menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa kondisi:
- Ibnu Qudamah berkata, “Makna fardhu kifayah adalah jika tidak cukup dilaksanakan sebagian orang maka semua manusia berdosa, dan jika sudah cukup dilaksanakan sebagian orang maka gugurlah dosa dari yang lain. Perintah itu pertama kali ditujukan mengenai semua orang sebagai sebuah kewajiban yang fardhu ‘ain, kemudian di bagian akhirnya terjadi perbedaan; sebab fardhu kifayah itu gugur dengan dilakukannya oleh sebagian orang, sementara fardhu ain tidak gugur dari siapapun meski yang lain telah melaksanakan.”
- Kemudian beliau berkata lagi mengenai dalil bahwa-sanya jihad hukumnya adalah fardhu kifayah: “Bagi kami adalah firman Alloh Ta‘ala “Tidaklah sama antara orang yang duduk dari kalangan kaum mukminin yang tidak beruzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan nyawa mereka. Alloh lebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan dengan pahala yang baik.” dan ini menunjukkan bahwa orang yang duduk tidaklah berdosa dengan sudah berjihadnya orang lain. Alloh Ta‘ala juga berfirman: “Tidak seharusnya kaum mukminin semuanya pergi berperang, mengapa tidak ada dari masing-masing golongan satu kelompok yang pergi untuk memahami (agama)…” karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus sariyah-sariyah sementara beliau serta segenap shahabatnya tidak berangkat.
- Kemudian Ibnu Qudâmah berkata lagi, “Dan jihad berubah menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi: Pertama, ketika dua pasukan bertemu dan dua barisan berhadapan, maka haram bagi siapa yang turut serta di dalamnya untuk melarikan diri dan kondisi seperti itu adalah fardhu ain berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang beriman, jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah dan ingatlah Alloh banyak-banyak agar kalian beruntung. Dan taatilah Alloh dan rosul-Nya dan jangan saling bertengkar sehingga kalian gagal dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.” dan firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang. Dan barangsiapa pada hari itu mundur ke belakang menghindari mereka, kecuali orang yang berbelok untuk taktik perang atau bergabung dengan kelompok lain, maka ia kembali dengan kemarahan dari Alloh.” Kedua: Apabila orang-orang kafir datang menduduki sebuah negeri, maka fardhu ain bagi penduduknya untuk memerangi dan mengusir mereka. Ketiga, jika imam memerintahkan untuk perang kepada satu kaum, maka wajib bagi mereka untuk keluar perang bersamanya. Berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang beriman, mengapakah jika dikatakan kepada kalian, berperanglah di jalan Alloh, kalian merasa berat (condong) kepada dunia?” (At-Taubah: 38) satu ayat dan setelahnya. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika kalian diminta berperang, berperanglah.”
Dalil kondisi kedua adalah sama dengan dalil kondisi pertama, [“…jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah…”] dan [“…jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang…”] sebab datangnya orang-orang kafir di sebuah negeri kaum muslimin adalah seperti bertemunya dua pasukan dan dua barisan.
• Syarat-Syarat Wajibnya Jihad
Syarat-syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah: “Syarat wajib jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya serta adanya biaya.” Ketujuh syarat ini ditambah dengan izin dari kedua orang tua dan orang yang berhutang kepada orang yang dihutangi. Disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah.
Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah. Jika berubah menjadi fardhu ain, sebagian dari ketujuh syarat ini tidak berlaku dan hanya tersisa lima syarat dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain: Islam, baligh, berakal, lelaki –selain mereka yang menganggap ini bukan termasuk syarat—dan selamat dari marabahaya. Tidak disyaratkan adanya biaya jika musuh sudah menduduki negeri-negeri, atau jika jarak musuh tidak sampai jarak qoshor menurut salah satu pendapat.
• Apakah Maksud I‘dâd Îmânî (persiapan iman) ?
Maksudnya adalah dua jenis I‘dad, I‘dad materi dan I‘dad iman. Tidak boleh mencukupkan diri pada salah satu bentuk I‘dad saja.
Adapun I‘dad materi: maka itulah yang diisyaratkan dalam ayat surat Al-Anfâl, Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu dan dari kuda yang tertambat, supaya kalian menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian serta musuh selain mereka; kalian tidak mengetahui mereka namun kami mengetahuinya. Dan apa saja yang kalian infakkan di jalan Alloh…dst.” (Al-Anfâl: 60). Terdapat sebuah riwayat marfû‘ yang menafsirkan makna ayat ini di mana riwayat itu tidak lagi menyisakan tempat untuk mentakwil-takwilkan atau membawanya kepada makna selain yang dimaksud sebenarnya; Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Âmir ia berkata, Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membaca ayat ini kemudian bersabda, “Ketahuilah, kekuatan adalah melempar.” Sebanyak tiga kali.
Maka tidak boleh membawa ayat ini kepada makna I‘dad imani dan tarbiyah. Sedangkan I‘dad materi sendiri mencakup persiapan personal, persenjataan dan harta. Ayat tadi menyebutkan senjata dan harta secara jelas, dan menyebutkan personal secara tersirat. Sudah ada perintah untuk menyiapkan personal dalam ayat-ayat lain, seperti firman Alloh Ta‘ala:
“Hai Nabi, bakarlah semangat orang-orang beriman untuk berperang…”
dan firman Alloh Ta‘ala:
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir..”
dan seperti firman Alloh Ta‘ala:
“Hai orang-orang beriman, jadilah kalian penolong-penolong Alloh...”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Jika jihad tidak bisa dilakukan karena masih dalam kondisi lemah, maka wajib melakukan persiapan (I‘dâd) dengan menyiapkan kekuatan dan tali kuda yang tertambat. Dan Alloh telah jadikan adanya persiapan seperti ini sebagai bukti kejujuran iman serta sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik di dalam firman-Nya:
“Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk. Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Di sini, Alloh Swt menerangkan bahwa persiapan kekuatan yang tidak dilakukan oleh kaum munafikin adalah disebabkan sebuah penistaan qodariyah dari Alloh Ta‘ala terhadap mereka. Sedangkan ini adalah rahmat dari Alloh Ta‘ala terhadap kaum mukminin yang jujur, sebab kalau toh kaum munafikin itu ikut keluar bersama mereka, maka mereka hanya akan mendatangkan kerusakan dan berbagai fitnah, terlebih lagi sebagian kaum mukminin berprasangka baik terhadap kaum munafikin tersebut. “…sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”, sehingga dari sinilah akan muncul kerusakan besar. Ini kaitannya dengan I‘dad materiil.
Adapun I‘dad Îmânî (tarbiyah), juga tidak bisa diabaikan. I‘dad ini sangat bercabang seiring dengan jumlah cabang keimanan, baik yang lahir maupun yang batin, secara ilmu maupun amal. Dan I‘dad ini memiliki pengaruh langsung terhadap datangnya kemenangan maupun kehinaan yang qodariyah. Hanya yang penting, di sana ada beberapa hal yang harus diingat-ingat terkait dengan I‘dad, yaitu:
• Ayat I‘dad yang tercantum dalam surat Al-Anfal jangan sampai dibawa kepada makna tarbiyah. Sebab sudah ada riwayat secara marfû‘ yang menafsirkannya di mana itu mematahkan pentakwilan maknanya. Adapun tarbiyah, ia memiliki dalil lain. Yang lebih buruk dari ini adalah yang membatasi I‘dad hanya kepada I‘dad iman saja tanpa menganggap I‘dad materiil. Maka yang seperti ini ia telah mendustakan ayat-ayat Alloh.
• Jangan sampai tarbiyah menjadi perantara untuk duduk dari jihad. Khususnya jihad yang hukumnya fardhu ‘ain.
Inilah beberapa hal-hal terpenting yang harus diingat-ingat kiatannya dengan tarbiyah.
JENIS DAN SYARAT-SYARAT JIHAD SERTA PERSIAPAN (I’DÂD) KE ARAH SANA.
• Jihad ada dua macam: Jihad Tholab (ofensive) dan jihad Difâ‘ (Defensive).
Jihad tholab, yaitu mencari dan memerangi musuh di negerinya.
Sedangkan jihad difâ‘ yaitu memerangi musuh yang menyerang kaum mukminin terlebih dahulu.
• Dalil tentang jihad tholab:
Firman Alloh Ta‘ala:
“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka lepaskanlah me-reka. Sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenya-yang.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Di sini, Alloh yang Mahabenar memerintahkan untuk berperang, mengintai dan mengepung mereka. Ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat muhkam yang turun akhir-akhir serta tidak ter-manshûkh. Dan di atas hal itulah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan, demikian juga dengan para shahabat yang menyertai beliau dan orang-orang sepeninggalnya sampai Alloh Ta‘ala taklukkan belahan bumi bagian timur dan barat bagi mereka.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintahkan agar memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka terlindungilah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka kepada Alloh Ta‘ala.”
Dan di dalam hadits Buroidah yang diriwayatkan Muslim disebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang amir pada pasukan atau sariyahnya, beliau memberi wasiat khusus kepadanya agar bertakwa kepada Alloh dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Alloh, perangilah siapa saja yang kafir kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulul, jangan mengkhianati janji, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua. Dan jika kamu berjumpa dengan orang kafir, ajaklah mereka kepada tiga hal:…dst.”Al-Hadits.
Ini adalah nash-nash yang jelas dan gamblang mengenai keluar dalam rangka memerangi musuh serta sengaja menyerbu mereka di negerinya. Inilah yang disebut jihad tholabi.
• Adapun jihad difâ‘î, dalilnya adalah:
Firman Alloh Ta‘ala :
“Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan musuh dalam keadaan perang maka janganlah kalian lari ke belakang.”
Dan firman Alloh Ta‘ala:
“Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang yang memerangi kalian.”
Dan firman Alloh Ta‘ala:
“Maka barangsiapa memusuhi kalian, lawanlah dengan permusuhan yang sama seperti ia memusuhi kalian.”
Di sini adalah perang dalam rangka melawan serangan musuh yang terlebih dahulu menyerang.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullôh mengatakan, “Adapun jihad defensif, maka ia adalah bentuk melawan paling besar terhadap serangan kepada kehormatan dan agama. Hukumnya adalah wajib secara ijmak. Musuh yang menyerang di mana ia merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Maka tidak lagi disyaratkan satu syaratpun di sana tetapi melawan semampunya.”
Dari keterangan tadi, engkau tahu bahwa siapa yang mengingkari bahwasanya jihad ofensive itu termasuk bagian dari ajaran Islam sebagaimana orang-orang yang mengatakan bahwasanya Islam tidak berperang selain bersifat defensive dan bersifat menolak kezaliman saja, berarti ia mendustakan ayat-ayat serta hadits-hadits tadi dan yang semisal. Padahal Alloh Ta‘ala berfirman: “Tidaklah menentang ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.”
Dan barangsiapa yang bersikap serampangan dalam menakwilkan apa yang telah terjadi pada masa para pendahulu kita yang sholeh yaitu jihad tholab dan mengatakan bahwa itu adalah perang melawan kezaliman, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh. Kalau ia sudah mengerti akan nash-nash atau menguasai ilmu tentangnya, maka berarti ia telah berpaling darinya serta bertindak sembarangan dalam mentakwil-takwil-kannya.
• Jihad adalah fardhu kifayah dan berubah menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa kondisi:
- Ibnu Qudamah berkata, “Makna fardhu kifayah adalah jika tidak cukup dilaksanakan sebagian orang maka semua manusia berdosa, dan jika sudah cukup dilaksanakan sebagian orang maka gugurlah dosa dari yang lain. Perintah itu pertama kali ditujukan mengenai semua orang sebagai sebuah kewajiban yang fardhu ‘ain, kemudian di bagian akhirnya terjadi perbedaan; sebab fardhu kifayah itu gugur dengan dilakukannya oleh sebagian orang, sementara fardhu ain tidak gugur dari siapapun meski yang lain telah melaksanakan.”
- Kemudian beliau berkata lagi mengenai dalil bahwa-sanya jihad hukumnya adalah fardhu kifayah: “Bagi kami adalah firman Alloh Ta‘ala “Tidaklah sama antara orang yang duduk dari kalangan kaum mukminin yang tidak beruzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan nyawa mereka. Alloh lebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan dengan pahala yang baik.” dan ini menunjukkan bahwa orang yang duduk tidaklah berdosa dengan sudah berjihadnya orang lain. Alloh Ta‘ala juga berfirman: “Tidak seharusnya kaum mukminin semuanya pergi berperang, mengapa tidak ada dari masing-masing golongan satu kelompok yang pergi untuk memahami (agama)…” karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus sariyah-sariyah sementara beliau serta segenap shahabatnya tidak berangkat.
- Kemudian Ibnu Qudâmah berkata lagi, “Dan jihad berubah menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi: Pertama, ketika dua pasukan bertemu dan dua barisan berhadapan, maka haram bagi siapa yang turut serta di dalamnya untuk melarikan diri dan kondisi seperti itu adalah fardhu ain berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang beriman, jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah dan ingatlah Alloh banyak-banyak agar kalian beruntung. Dan taatilah Alloh dan rosul-Nya dan jangan saling bertengkar sehingga kalian gagal dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.” dan firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang. Dan barangsiapa pada hari itu mundur ke belakang menghindari mereka, kecuali orang yang berbelok untuk taktik perang atau bergabung dengan kelompok lain, maka ia kembali dengan kemarahan dari Alloh.” Kedua: Apabila orang-orang kafir datang menduduki sebuah negeri, maka fardhu ain bagi penduduknya untuk memerangi dan mengusir mereka. Ketiga, jika imam memerintahkan untuk perang kepada satu kaum, maka wajib bagi mereka untuk keluar perang bersamanya. Berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “Hai orang-orang beriman, mengapakah jika dikatakan kepada kalian, berperanglah di jalan Alloh, kalian merasa berat (condong) kepada dunia?” (At-Taubah: 38) satu ayat dan setelahnya. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika kalian diminta berperang, berperanglah.”
Dalil kondisi kedua adalah sama dengan dalil kondisi pertama, [“…jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah…”] dan [“…jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang…”] sebab datangnya orang-orang kafir di sebuah negeri kaum muslimin adalah seperti bertemunya dua pasukan dan dua barisan.
• Syarat-Syarat Wajibnya Jihad
Syarat-syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah: “Syarat wajib jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya serta adanya biaya.” Ketujuh syarat ini ditambah dengan izin dari kedua orang tua dan orang yang berhutang kepada orang yang dihutangi. Disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah.
Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah. Jika berubah menjadi fardhu ain, sebagian dari ketujuh syarat ini tidak berlaku dan hanya tersisa lima syarat dalam jihad yang hukumnya fardhu ‘ain: Islam, baligh, berakal, lelaki –selain mereka yang menganggap ini bukan termasuk syarat—dan selamat dari marabahaya. Tidak disyaratkan adanya biaya jika musuh sudah menduduki negeri-negeri, atau jika jarak musuh tidak sampai jarak qoshor menurut salah satu pendapat.
• Apakah Maksud I‘dâd Îmânî (persiapan iman) ?
Maksudnya adalah dua jenis I‘dad, I‘dad materi dan I‘dad iman. Tidak boleh mencukupkan diri pada salah satu bentuk I‘dad saja.
Adapun I‘dad materi: maka itulah yang diisyaratkan dalam ayat surat Al-Anfâl, Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu dan dari kuda yang tertambat, supaya kalian menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian serta musuh selain mereka; kalian tidak mengetahui mereka namun kami mengetahuinya. Dan apa saja yang kalian infakkan di jalan Alloh…dst.” (Al-Anfâl: 60). Terdapat sebuah riwayat marfû‘ yang menafsirkan makna ayat ini di mana riwayat itu tidak lagi menyisakan tempat untuk mentakwil-takwilkan atau membawanya kepada makna selain yang dimaksud sebenarnya; Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Âmir ia berkata, Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membaca ayat ini kemudian bersabda, “Ketahuilah, kekuatan adalah melempar.” Sebanyak tiga kali.
Maka tidak boleh membawa ayat ini kepada makna I‘dad imani dan tarbiyah. Sedangkan I‘dad materi sendiri mencakup persiapan personal, persenjataan dan harta. Ayat tadi menyebutkan senjata dan harta secara jelas, dan menyebutkan personal secara tersirat. Sudah ada perintah untuk menyiapkan personal dalam ayat-ayat lain, seperti firman Alloh Ta‘ala:
“Hai Nabi, bakarlah semangat orang-orang beriman untuk berperang…”
dan firman Alloh Ta‘ala:
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir..”
dan seperti firman Alloh Ta‘ala:
“Hai orang-orang beriman, jadilah kalian penolong-penolong Alloh...”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Jika jihad tidak bisa dilakukan karena masih dalam kondisi lemah, maka wajib melakukan persiapan (I‘dâd) dengan menyiapkan kekuatan dan tali kuda yang tertambat. Dan Alloh telah jadikan adanya persiapan seperti ini sebagai bukti kejujuran iman serta sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik di dalam firman-Nya:
“Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk. Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Di sini, Alloh Swt menerangkan bahwa persiapan kekuatan yang tidak dilakukan oleh kaum munafikin adalah disebabkan sebuah penistaan qodariyah dari Alloh Ta‘ala terhadap mereka. Sedangkan ini adalah rahmat dari Alloh Ta‘ala terhadap kaum mukminin yang jujur, sebab kalau toh kaum munafikin itu ikut keluar bersama mereka, maka mereka hanya akan mendatangkan kerusakan dan berbagai fitnah, terlebih lagi sebagian kaum mukminin berprasangka baik terhadap kaum munafikin tersebut. “…sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”, sehingga dari sinilah akan muncul kerusakan besar. Ini kaitannya dengan I‘dad materiil.
Adapun I‘dad Îmânî (tarbiyah), juga tidak bisa diabaikan. I‘dad ini sangat bercabang seiring dengan jumlah cabang keimanan, baik yang lahir maupun yang batin, secara ilmu maupun amal. Dan I‘dad ini memiliki pengaruh langsung terhadap datangnya kemenangan maupun kehinaan yang qodariyah. Hanya yang penting, di sana ada beberapa hal yang harus diingat-ingat terkait dengan I‘dad, yaitu:
• Ayat I‘dad yang tercantum dalam surat Al-Anfal jangan sampai dibawa kepada makna tarbiyah. Sebab sudah ada riwayat secara marfû‘ yang menafsirkannya di mana itu mematahkan pentakwilan maknanya. Adapun tarbiyah, ia memiliki dalil lain. Yang lebih buruk dari ini adalah yang membatasi I‘dad hanya kepada I‘dad iman saja tanpa menganggap I‘dad materiil. Maka yang seperti ini ia telah mendustakan ayat-ayat Alloh.
• Jangan sampai tarbiyah menjadi perantara untuk duduk dari jihad. Khususnya jihad yang hukumnya fardhu ‘ain.
Inilah beberapa hal-hal terpenting yang harus diingat-ingat kiatannya dengan tarbiyah.
Sabtu, 07 November 2009
Syubhat Seputar Jihad (Bag. 1, hal. 1-30)
Penulis: Ibnu Qudâmah An-Najdî
MUKADDIMAH
Segala puji milik Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampun kepada-Nya dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan nafsu serta keburukan perbuatan kami. Barangsiapa Alloh beri petunjuk, tidak ada satupun yang bisa menyesatkannya; dan siapa yang Dia sesatkan, tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. Aku berksaksi tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh; satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa dan jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
“Wahai manusia, bertakwalah kepada robb kalian yang telah mencipatakan kalian diri jiwa yang satu, dan mencipatakan dari sana isterinya dan dari keduanya Alloh perkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungas silaturrohmi. Sesung-guhnya Alloh selalu mengawasi kamu.”
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang lurus. Alloh akan perbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa taat kepada Alloh dan rosul-Nya maka sungguh ia telah berhasil dengan keberhasilan yang besar.”
Sesungguhnya perkataan terbenar adalah kitab Alloh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru, setiap yang baru adalah bid‘ah, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka.
KATA PENGANTAR
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai serta tempat tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada hal lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Alloh serta kemenangan yang dekat. Dan berilah kabar gembira orang-orang beriman.”
“Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim. Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Alloh. Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Robb mereka memberi kabar gembira kepada mereka dengan rahmat dan keridhoan dari-Nya serta surga, di sana mereka memiliki kesenangan yang kekal. Mereka abadi di sana buat selamanya, sesungguhnya Alloh memiliki pahala besar di sisi-Nya.”
dan berfirman:
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
Benar, membakar semangat (tahrîdh) untuk berperang di jalan Alloh Azza wa Jalla serta dalam rangka meninggikan kalimat-Nya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, khususnya di zaman sekarang; zaman kehinaan dan cinta dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian sebagaimana orang yang makan mengeroyok nampannya.” Ada yang betanya, “Apakah karena kami sedikit waktu itu?” beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak, namun kalian adalah buih seperti buih air, dan Alloh benar-benar akan mencabut rasa takut musuh terhadap kalian dan benar-benar akan mencampakkan perasaan ‘wahn’ dalam hati kalian.” Ada yang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Cinta dunia dan benci mati.”
Sesungguhnya pembantaian, pengusiran dan penghinaan yang terjadi terhadap kamu muslimin di setiap tempat, sebabnya tidak lain dan tidak bukan karena mereka jauh dari Alloh serta meninggalkan jihad di jalan-Nya dan cinta serta ridho terhadap dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Apabila kalian saling berjual beli dengan system ‘Inah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan cocok tanam dan kalian tinggalkan jihad, Alloh akan timpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Memperhatikan bahwa kita perlu menggerakkan akar jihad yang terpendam dalam hati kita, serta dalam rangka membantah syubhat-syubhat para mukhodzdzilûn (orang-orang yang kerjanya memperlemah semangat orang) yaitu orang-orang yang hanya berpangku tangan (qô‘idûn)dari jihad serta orang-orang munafik, maka kami bekerja menyusun risalah ini segera. Kami berharap tujuan kami itu bisa terealisir tanpa ada cacat yang fatal. Risalah ini saya bagi kepada tiga pasal dan pembahasan. Kita memohon taufiq dan kelurusan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, dan agar menjadikan perkara ini bermanfaat bagi kaum muslimin serta menjadikan amal usaha kita ikhlas karena wajah-Nya yang mulia, dan menerima amal sholeh kita serta mengampuni yang buruk, sesungguhnya Dialah yang mampu dan berkuasa atas hal itu. Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga serta para shahabatnya.
PASAL PERTAMA
PEMBAHASAN KE SATU: DEFINISI JIHAD, KEUTAMAAN SERTA DORONGAN UNTUK MELAKSANAKANNYA
Definisi jihad
• Ibnu Mandzur berkata: “Wa Jâhadal ‘Aduwwu mujâhadatan wa jihâdan, artinya: qôtalahû (meme-ranginya) dan berjihad di jalan Alloh. Di dalam hadits disebutkan: “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tinggallah jihad dan niat.”
Al-Jihad (di sini) artinya: Memerangi musuh; yaitu berusaha sekuat tenaga dan mencurahkan segala potensi dan kemampuan baik berupa kata-kata maupun aksi (tindakan).
Sedangkan yang dimaksud niat adalah: “Mengikhlaskan amal karena Alloh; artinya tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah, sebab sekarang kota itu telah berubah menjadi negara Islam, yang ada tinggal ikhlas dalam jihad dan memerangi orang-orang kafir.
Sedangkan jihad maknanya adalah berusaha keras dan mencurahkan segala kemampuan dalam rangka perang, bisa dilakukan juga dengan lisan atau apa saja yang ia mampu.” Selesai perkataan Ibnu Mandzûr.
• Adapun pengertian jihad secara syar‘i adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka mening-gikan kalimat Alloh serta bahu membahu dalam hal itu, sebagaimana yang ditafsirkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di dalam sebuah riwayat yang dibawakan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dari ‘Amrû bin ‘Abasah ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?” beliau bersabda, “Hatimu pasrah kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin selamat dari (gangguan) lidah dan tanganmu.” Ia berkata lagi, “Bagaimanakah Islam yang paling sempurna?” beliau bersabda, “Iman.” Ia berkata, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari berbangkit setelah kematian.” Ia berkata lagi, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Hijroh.” Ia bertanya, “Apakah hijroh itu?” beliau bersabda, “Engkau jauhi keburukan.” Ia berkata, “Hijroh bagaimana yang paling utama?” beliau bersabda, “Jihad.” Ia bertanya, “Apakah jihad itu?” beliau bersabda, “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau bertemu dengan mereka.” Ia berkata, “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Siapa saja yang kuda terbaiknya terluka dan darahnya tertumpah.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kemudian dua amal yang keduanya merupakan amalan terbaik kecuali kalau ada yang melakukan yang semisal; hajji mabrur dan umroh.”
Dengan tafsiran tentang jihad seperti tertera dalam hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di atas inilah para ulama Islam menafsirkan jihad:
- Ibnu Hajar Rahimahullôh berkata (mengenai definisi jihad): “Mencurahkan semua kemampuan dalam rangka memerangi orang-orang kafir.”
- Al-Qosthalânî Rahimahullôh berkata, “Memerangi orang-orang kafir untuk membela Islam dan untuk mening-gikan kalimat Alloh.”
- Al-Kasânî Rahimahullôh berkata: “Dalam kebiasaan penggunaan istilah syara‘, jihad dipakai untuk makna mencurahkan semua potensi dan kekuatan dengan membunuh (perang) di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla baik dengan jiwa, harta, lisan dan lain sebagainya ataupun menforsir tenaga dalam hal itu.”
- Penulis Ad-Durrul Mukhtâr berkata, “Mengajak kepada agama yang benar serta memerangi orang yang tidak mau menerimanya.”
Terkadang, jihad di dalam nash-nash syar‘i digunakan untuk selain makna memerangi orang-orang kafir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mujâhid adalah yang berjihad melawan nafsunya dalam rangka taat kepada Alloh, dan muhâjir adalah yang meninggalkan semua yang Alloh larang.” Demikian juga sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang yang meminta izin kepada beliau ikut berjihad, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” ia berkata, “Masih.” Beliau bersabda, “Berjihadlah untuk keduanya.”
Hanyasaja, lafadz jihad jika disebut secara mutlak maka maksudnya adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ dan tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir kecuali bila ada qorînah (bukti pendukung) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan itu sebagaimana yang terdapat dalam dua hadits tadi.
- Ibnu Rusyd berkata di dalam Muqoddimât-nya (I/ 369): “Dan jihad pedang adalah memerangi orang-orang musyrik demi dîn (agama). Maka siapa saja yang melelahkan dirinya karena Alloh berarti ia telah berjihad di jalan-Nya. Hanya saja, jika kata jihad disebut secara mutlak, maka maknanya tidak dibawa kecuali kepada makna berjihad melawan orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam, atau memberikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa jihad jika disebut secara mutlak tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir adalah sebagai berikut:
1. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Datang seorang lelaki kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad.” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya.” Beliau bersabda lagi, “Mampukah salah seorang dari kalian apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk ke masjidmu kemudian sholat dan tidak pernah berhenti dan puasa serta tidak berbuka?” ia berkata, “Siapa yang mampu melakukannya.” Abu Huroiroh berkata, “Sesungguhnya kuda seorang mujahid benar-benar akan terus ditulis kebaikan-kebaikan sepanjang masa hidupnya.” HR. Bukhori – Muslim. Bukti yang ditunjukkan hadits ini terhadap makna jihad sangatlah jelas; sholat dan puasa termasuk jihad melawan hawa nafsu, meskipun demikian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tidak temukan amalan yang menyamai jihad.” sehingga ini menunjukkan bahwa yang dimaksud jihad apabila disebut secara mutlak adalah berjihad melawan orang-orang kafir, bukan melawan hawa nafsu.
2. Dari Abû Sa‘îd Al-Khudhrî ra ia berkata: Dikatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia paling baik?” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Para shahabat mengatakan, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Orang mukmin yang berada di lembah-lembah, ia bertakwa kepada Alloh dan menjauhi kejahatan manusia.” HR. Bukhori dan Muslim. Orang yang bertakwa kepada Alloh di satu lembah itu berjihad terhadap nafsunya, bersamaan dengan itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membawa makna jihad kepada artian memerangi orang-orang kafir.
3. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, menegakkan sholat dan puasa di bulan Romadhon, maka menjadi hak Alloh memasukkannya ke dalam surga; ia berjihad di jalan Alloh, atau duduk di tanah di mana ia dilahirkan.” para shahabat mengatakan, “Apakah tidak kita beri kabar kembira kepada manusia wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, Alloh siapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, antara kedua derajat seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Alloh, mintalah surga firdaus, sesungguhnya itu adalah tengah dan puncaknya surga, dan di atasnya terdapat Arsy Ar-Rohman, dan darisanalah sungai-sungai surga mengalir.” HR. Ahmad dan Bukhori.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang duduk di tanah kelahirannya bukan sebagai mujahid, padahal ia berjihad terhadap hawa nafsunya dengan cara sholat dan berpuasa serta jihad nafs lainnya dalam rangka memikul beban-beban syar‘i.
Dan semua ayat dan hadits yang menunjukkan keuta-maan-keutamaan jihad, maka arti jihad tersebut adalah jihad yang benar-benar jihad yaitu memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ, dan tidak dibawa kepada makna jihad melawan hawa nafsu. Demikian juga para ulama Islam dari kalangan muhaditsin dan fuqoha; jika mereka membuat bab jihad dalam buku-buku mereka maka yang dimaksud adalah jihad melawan orang-orang kafir dalam artian perang, bukan berjihad melawan hawa nafsu.
• Satu hal yang mesti diperhatikan: Jihad melawan nafsu bukanlah jihad terbesar secara mutlak sebagaimana dakwaan orang-orang Tasawwuf dan orang-orang yang mengaku berilmu yang mereka menarik-narik manusia untuk tidak usah berjihad yang sebenarnya. Mengenai hadits yang berbunyi: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar…”maka ini adalah hadits dho‘if, hadits yang tidak shohih; Al-Baihaqi, Al-Iroqi serta As-Suyuthi mendho‘ifkannya, Al-Albani juga mendho‘ifkannya di dalam Dho‘îful Jâmi‘ Ash-Shoghîr, demikian juga dengan ulama lainnya –rahimahumulloh–.
Amîrul Mukminîn fil Hadîts, Al-Hâfidz Ibnu Hajar, mengatakan di dalam Tasdîdul Qous bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan dan sebebarnya itu adalah dari kata-kata Ibrôhîm bin ‘Ablah –dari kalangan Tâbi‘i `t-Tâbi‘în—; Al-Iroqi berkata dalam Takhrij hadits-hadits Al-Ihyâ’: “Dirawayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad dho‘if dari Jâbir.
Bukti yang cukup untuk menunjukan bahwa hadits di atas tidak benar adalah bahwa yang mengucapkannya (kalau memang itu hadits Nabi) yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –di mana mereka menisbatkan hadits tadi kepada beliau— tidaklah sedikitpun duduk berpangku tangan dari berperang. Tetapi beliau langsung terjun berperang selama beliau berada di Madinah sekitar tiga kali tiap tahunnya, belum lagi berbicara sariyah-sariyah. Demikian juga dengan murid-murid beliau; mereka terdidik dengan jihad yang terus sambung menyambung. Seandainya yang mereka katakan tadi benar, maka orang yang berakal akan memulai dengan latihan menanggung yang kecil-kecil dulu kemudian baru yang besar, setelah itu yang lebih besar. Jadi dia meningkat dari yang paling rendah dulu hingga yang paling tinggi. Maka, mulailah dari jihad terkecil –menurut kalian tadi—kemudian baru yang besar. Akan tetapi kami katakan sesungguhnya jihad pedang dan jihad melawan hawa nafsu tidaklah saling berdampak satu sama lain, kedua-duanya tetaplah bagian dari Islam dan salah satu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk dengan satunya lagi sebagaimana belajar ilmu yang fardhu ain tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sedang mentarbiyah diri.
Hadits (dho‘îf) tadi juga menyelisihi firman Alloh Ta‘âlâ:
“Tidaklah sama antara orang-orang yang hanya duduk dari kalangan mukminin yang tidak memiliki uzur dan orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh lebih utamakan orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan pahala yang baik. Dan Alloh lebihkan para mujahid di atas orang-orang yang duduk berupa pahala besar.” (An-Nisa’: 95)
Menyebut perang melawan orang-orang kafir sebagai jihad kecil juga tidak ditunjukkan oleh satu dalilpun dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lagi pula, orang yang berjihad terhadap hawa nafsu dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla yaitu memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut dalam memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya ia bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Alloh. Maka menjadikan jihad nafsu sebagai alat legitimasi termasuk kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin dari berjihad melawan musuh-musuh mereka.
Inilah Sayyidah Aisyah ra, beliau bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah wanita memiliki kewajiban berjihad?” beliau bersabda, “Mereka memiliki kewajiban jihad yang tidak ada unsur perangnya; hajji dan umroh.” Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Huzaimah. Sedangkan di dalam riwayat Bukhôrî disebutkan: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Jadi, ‘Âisyah memahami bahwa jihad adalah perang. Dan, apa gerangan yang dimaksud para shahabat yang mulia itu ketika mereka mengatakan kalimat mereka yang cukup masyhur:
نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدَا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِيْنَا أَبَداً
Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Muhammad
Untuk berjihad selama kami masih hidup
Apakah mereka memiliki maksud lain selain jihad bermakna perang?!
Dengan kata lain: Sesungguhnya orang meninggalkan perbuatan-perbuatan haram disebut sebagai orang yang berpuasa karena ia puasa dari perkara-perkara haram, akan tetapi apakah maknanya ia sudah mendapatkan kompensasi untuk tidak melaksanakan puasa yang sebenarnya yaitu puasa Romadhon?! Padahal, robb kita berfirman:
“Diwajibkan atas kalian berperang…” sebagaimana Dia berfirman: “Diwajibkan atas kalian berpuasa…”
“…Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan mengkufuri sebagian yang lain.”?
Sebagian orang bersikeras untuk mengkaburkan makna jihad ini mengatakan, “Kami juga sedang berjihad ini!!” mereka bertujuan untuk membenarkan sikap duduk mereka dari perang. Lalu ketika engkau lihat dalam kehidupannya, ternyata mereka bekerja sebagai pegawai untuk menghidupi keluarganya, yang satu lagi sebagai pedagang, yang itu sebagai karyawan, yang ini sebagai petani, yang lain mengajar di kuliyah syariah atau kedokteran atau ekonomi atau ilmu politik atau…semuanya menganggap dirinya sebagai mujahid dan boleh duduk dari perang…! Benar, mereka menganggap dirinya sebagai mujahid sementara di negerinya ia makan minum dan mengajar atau bekerja. Bahkan, yang lain tanpa malu-malu menganggap bahwa apa yang ia lakukan sekarang lebih baik daripada perang itu sendiri! Dan orang-orang yang rusak pemikirannya serta suka menyimpangkan makna itu mesti diterangkan lagi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sejarah para tabi‘in yang mengikuti para pendahulunya dengan kebaikan.
Seandainya urusannya adalah seperti yang mereka anggap, Alloh Swt dan nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, tidak akan mendorong untuk itu, tidak akan ada keterangan mengenai kewajiban dan keharusan berperang, tidak ada pengobaran semangat terhadap kaum muslimin untuk perang dengan menyebutkan pahala para mujahidin dan para syuhada, tidak akan ada ancaman yang keras serta janji akan mendapatkan hukuman dan siksa yang pedih bagi orang yang tidak ikut serta dalam berjihad.
Keutamaan Jihad
• Jihad di Jalan Alloh ‘Azza wa Jalla adalah amalan terbaik setelah Iman kepada Alloh Ta‘ala.
Di dalam Ash-Shohîhain disebutkan dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya , “Amal apakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh dan rosul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Berjihad di jalan Alloh.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Hajji mabrur.”
Hadits ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kedua orang tua yang harus dilayani dengan baik, atau orang yang kedua orangtuanya telah memberi izin, atau dalam kondisi ketika jihad menjadi fardhu ain; karena sesungguhnya dalam kondisi seperti itu, jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua. Wallôhu A‘lam.
Dan dari Ma‘iz ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ditanya tentang amalan terbaik, beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh saja kemudian jihad, kemudian hajji mabrur itu melebihi semua amalan seperti antara tempat terbitnya matahari dan tempat tenggelamnya.” HR. Ahmad, rijalnya adalah rijal shohîh. Untuk Ma‘iz sendiri adalah seorang shohabat yang cukup masyhur, ia tidak memakai nasab.
Makna sabda beliau: “..melebihi semua amalan.” Artinya semua amalan setelah iman dan jihad; sebelumnya telah disebutkan bahwa amalan terbaik adalah iman dan jihad.
Masih dalam Ash-Shohihain dari Abu Dzar ra ia berkata, aku bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Iman kepada Alloh dan berjihad di jalan-Nya.” Ia berkata, “Budak apakah yang paling mahal?” beliau bersabda, “Yang paling mahal bagi pemiliknya dan paling mahal harganya.” Al-Hadits.
• Jihad Lebih Baik Daripada Memberi Minum Orang Hajji Dan Memakmurkan Masjidil Haram
Dari An-Nu‘man bin Basyir ra ia berkata: Aku berada di sisi mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka ada seorang yang mengatakan, “Aku tidak akan peduli, aku tidak akan mengerjakan amalan setelah Islam selain memakmurkan Masjidil Harôm.” Yang lain mengatakan, “Tidak, tapi jihad fi sabilillah itu lebih baik daripada apa yang kau katakan.” Maka Umar bin Khothob membentak mereka seraya mengatakan, “Jangan mengangkat suara di sisi mimbar Rosululloh di hari Jum‘at, ketika aku sholat jumat, aku masuk menemui beliau dan menanyakan apa yang barusan kalian perselisihkan, akhirnya Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan: “Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim.” HR. Muslim.
• Jihad Lebih Baik Daripada Ber‘Uzlah Dan Sibuk Beribadah
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dengan isnadnya dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kuberitahu kalian tentang orang yang paling baik kedudukannya? (Yaitu) lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Alloh. Maukan kalian kuberitahu tentang orang paling baik kedudukannya setelah itu? Lelaki yang beruzlah dengan menggembalakan kambingnya, ia menegakkan sholat dan menunaikan zakat serta beribadah kepada Alloh, tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.” Muslim serta yang lain juga meriwayatkan hadits seperti ini, lafadznya ada Insyâ Allôh.
Dan dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Seorang lelaki dari shahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah lembah yang di sana terdapat sebuah mata air tawar kemudian ia berkata, “Seandainya saja aku menjauhi manusia dan tinggal di lembah ini, aku tidak akan melakukannya sampai aku minta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka ia menceritakan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan lakukan itu, sebab posisi salah seorang dari kalian di jalan Alloh lebih baik daripada sholat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun. Apakah kalian tidak suka kalau Alloh mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah? Berperanglah di jalan Alloh, barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja (fawâqo nâqoh), ia pasti masuk surga.” HR. Tirmizi dan dia berkata: Hadits hasan; juga oleh Al-Baihaqi di dalam As-Sunan dan Al-Hâkim, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Muslim.
Kalimat: Fawâqo nâqoh; Al-Jauhari dan yang lainnya mengatakan, artinya adalah waktu memerah antara dua puting susu; sebab biasanya ia diperah lalu dibiarkan sesaat yang ditetek oleh anak unta agar susunya mengumpul banyak lalu diperah. Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah antara ketika engkau letakkan tanganmu dan ketika engkau angkat dari puting ketika engkau sedang memerah susu.
• Puncak Islam Adalah Jihad Di Jalan Alloh Ta’ala
Dari Mu‘adz bin Jabal ra ia berkata: Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” HR. Hakim seperti ini secara ringkas, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Bukhori Muslim. Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi yang panjang. Demikian juga Tirmizi, ia menshohihkannya, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah dan lain-lain.
Thobaroni juga meriwayatkannya dalam Al-Kabîr melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdir Rohim dari Abdul Malik dari Al-Qosim dari Fadholah bin Ubaidillah ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam itu ada tiga bait: bawah, atas dan tengah. Adapun yang bawah adalah Islam; semua kaum muslimin memasukinya, tidak ada seorangpun dari mereka yang kau tanya melainkan mengatakan: Saya seorang muslim. Adapun yang atas maka amalan mereka bertingkat-tingkat, sebagian lebih baik daripada sebagian yang lain. Adapun pertengahan yang paling atas adalah jihad di jalan Alloh, tidak ada yang bisa mendapatkanya selain orang yang paling utama di antara mereka.”
• Tidak Ada Seorangpun Bisa Melakukan Amalan Yang Menyamai Jihad Fi Sabilillah
Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Dikatakan, “Wahai Rosululloh, apakah yang bisa menyamai jihad di jalan Alloh?” beliau bersabda, “Engkau tidak akan bisa melakukannya.” Maka para shahabat terus mengulang pertanyaannya hingga dua atau tiga kali semuanya beliau jawab, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda, “Perumpaan mujahid di jalan Alloh itu seperti orang yang berpuasa dan sholat serta taat (qônit) terhadap ayat-ayat Alloh. Ia tidak pernah berhenti dari sholat dan puasanya sampai si mujahid fi sabilillah tersebut pulang.” HR. Bukhori dan Muslim. An-Nawawi berkata, “Makna Qônit di sini adalah orang yang taat.”
• Keutamaan Memompa Semangat (Tahrîdh) Kaum Mukminin Untuk Berjihad Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan bakarlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Semoga Alloh menolak keganasan orang-orang kafir, dan Alloh itu lebih besar kekuatan dan siksa (Nya).”
Alloh Ta‘ala berfirman: “Hai Nabi, bakarlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dari kalian berjumlah dua puluh orang yang sabar, akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada dari kalian seratus, akan mengalahkan seribu dari orang-orang kafir dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak faham.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku-tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Hingga akhir surat.
Ayat-ayat mengenai tahrîdh Alloh Ta‘ala kepada para hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya, serta motivasi terhadap mereka untuk memperoleh pahala yang ada di sisi-Nya lantaran jihad sangatlah banyak.
1. Ibnu Majah mengeluarkan, demikian juga Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Shifatul Jannah serta Al-Bazzar dan Ibnu Hibban di dalam Shohîh-nya, dari Kuraib, bahwasanya ia mendengar Usâmah bin Zaid ra mengatakan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak adakah yang mau bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terbayangkan. Sungguh, demi Robb Ka‘bah, surga itu adalah cahaya yang berkilauan, tumbuh-tumbuhan wangi yang bergoyang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir berturutan buah-buahan yang matang, isteri-isteri elok dan cantik, perhiasan-perhiasan yang banyak, tempat dalam keabadian, di negeri keselamatan, buah-buahan dan hijau-hijauan, kegembiraan, kenikmatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat mengatakan, “Ya, wahai Rosululloh, kami bersegara ke sana.” Maka beliau mengatakan, “Katakanlah: Insyâ Allôh.” Para shahabat mengatakan, “Insyâ Allôh.” Kemudian beliau menyebutkan tentang jihad dan memotivasi kepadanya.
2. Ibnu Majah menyebutkan lagi dari Ali secara mauqûf, ia berkata, “Barangsiapa memompa semangat saudaranya untuk berjihad, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya; dan setiap langkah ia dalam rangka itu seperti ibadah satu tahun.”
• Keutamaan Menolong Mujahidin, Menyiapkan Perbekalan Atau Yang Lain, Memberi Makanan, Membantu, Mengantarkannya Ketika Hendak Pergi Dan Mengucapkan Selamat Jalan Kepadanya
Imam Ahmad meriwayatkan dan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Hakim serta yang lain dari jalur ‘Abdullôh bin Muhammad bin ‘Uqoil dari ‘Abdullôh bin Sahl bin Hanif bahwasanya Sahl menceritakan kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menolong seorang mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang, atau membantu seorang budak makâtib untuk membebas keterbudakkannya, Alloh akan nauingi ia dalam naungannya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.”
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dari ‘Umar bin Zaroroh, Telah bercerita kepada kami Al-Musayyib bin Syuraik dari Bakr bin Fadholah dari Maimun bin Mahron dari Ibnu Abbas ia berkata, “Barangsiapa yang membawa dan tinggal bersama kuda di jalan Alloh, ditulis baginya seperti pahala orang yang keluar dengan membawa harta dan nyawanya dalam keadaan sabar selama kuda itu masih hidup. Dan barangsiapa yang memberikan pedang di jalan Alloh, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa lidah yang panjang seraya mengatakan di hadapan semua makhluk: ‘Ketahuilah, aku adalah pedangnya fulan bin fulan. Aku terus berjihad untuknya hingga hari kiamat.’ Dan barangsiapa yang memberikan baju di jalan Alloh Ta‘ala, ia akan diberi baju dari surga yang akan digantikan kepadanya setiap hari seperti di dunia.”
Dan dari Umar bin Khothob ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memayungi kepala orang yang berperang, Alloh akan naungi ia di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti itu sampai ia mati atau pulang. Dan barangsiapa yang membangun masjid di mana di dalamnya disebut nama Alloh, Alloh akan bangunkan baginya rumah di jannah.” (HR. Ibnu Abî Syaibah, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya, Al-Baihaqî dan Syaikhnya; Al-Hakim, ia mengatakan: “Shohîhul Isnâd.”
• Keutamaan Berinfak Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Al-Qurthubi dan yang lain mengatakan, “Maknanya: Siapakah yang mau berinfak di jalan Alloh sehingga nantinya Alloh akan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda?”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Dan Alloh melipatkan gandakan pahala bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.”
Ibnu Umar berkata, “Ketika turun [“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh…”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah untuk umatku.” Maka turunlah [“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah buat umatku.” Maka turunlah [“Sesungguhnya pahala orang-orang sabar itu dilipat gandakan tanpa terhitung.”] HR. Imam Abu Bakar bin Al-Mundzir di dalam Tafsirnya, juga Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya, dan Al-Baihaqi di dalam Asy-Syu‘ab, dan lain lain.
Dari Khuraim bin Fâtik ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berinfak sekali di jalan Alloh, ditulis baginya tujuh ratus kali lipat.” (HR. Tirmizi, beliau meng-hasan-kannya, dan An-Nasa’i, Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya dan Al-Hâkim, beliau berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Menyiapkan Perbekalan Pasukan Perang Di Jalan Alloh Serta Menjaga Keluarga Mereka, Serta Tentang Orang Yang Diminta Keluarga Mujahid Kemudian Berkhianat
Dari Abu Sa‘id Al-Khudri ra bahwasnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus kepada Bani Lihyan, agar setiap dua orang ada satu yang keluar dan pahalanya akan diperoleh oleh mereka berdua. Di dalam lafadz lain: “Hendaknya setiap dua orang, ada satu orang yang keluar.” Kemudian beliau bersabda kepada yang tidak berangkat, “Siapasaja di antara kalian yang meninggalkan kebaikan pada keluarga dan harta orang yang keluar berperang, maka ia mendapatkan setengah pahala orang yang keluar.” HR. Muslim.
Imam Abu Bakar bin Al-Munzir berkata: Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa kewajiban jihad gugur dari manusia jika sudah ada yang melaksanakannya secara cukup di antara mereka.
Dan dari Zaid bin Khôlid Al-Juhannî ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, sungguh ia telah berperang. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan pada keluarga orang yang berperang, sungguh ia telah berperang.” HR. Bukhori dan Muslim.
Masih dari Khôlid ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala dia; tidak dikurangi dari pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahala seperti dia tanpa mengurangi pahala orang yang berperang itu sedikitpun.” HR. Tirmizî dan Nasa’î, Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya.
Dan dari Zaid bin Tsabit ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan kebaikan dan berinfak kepada keluarga orang yang berperang, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya.” HR. Thobaroni di dalam Al-Ausath, rijalnya adalah rijal shohih.
• Keutamaan Rasa Takut Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
- Di dalam Shohîh Muslim dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû bin Al-‘Âsh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada suatu peperangan atau sariyah yang dijalankan di jalan Alloh kemudian mereka selamat atau mendapatkan hasil, melainkan telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu peperangan atau satu sariyah yang mereka pulang tidak membawa ghanimah atau merasa ketakutan, atau terkena musibah, kecuali disempurnakan pahala mereka.”
Sabda beliau: “Takhfaqu.” (Dengan kho’ mu‘jamah, fâ’ dan qôf lagi) artinya adalah: Pulang tanpa membawa ghanimah. Dikatakan: Akhfaqol Ghôzî, jika ia berperang dan tidak memperoleh ghanimah dan kemenangan.
• Keutamaan Ribâth (Berjaga-Jaga Di Perbatasan) Di Jalan Alloh Ta‘âla Dan Keutamaan Orang Yang Bermalam Dalam Keadaan Beribath
Alloh Ta‘ala berfirman:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“…Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan beribathlah serta bertakwalah kepada Alloh agar kalian beruntung.”
Mubarok bin Fadholah mengatakan, aku mendengar Al-Hasan ketika membaca ayat ini: Ishbirû wa shôbirû (Ali Imron: 200, penerj.) ia mengatakan, “Mereka diperintahkan agar terus bersabar menghadapi orang-orang kafir sampai mereka bosan sendiri dengan agama mereka.” Adalah Muhammad bin Ka‘b Al-Qurodzi mengatakan tentang ayat ini, “Beribathlah kalian terhadap musuh-Ku dan musuh kalian sampai ia meninggalkan agamanya menuju agama kalian.”
Dari Sahl bin Sa‘d ra bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ribath satu hari di jalan Allh leih baik daripada dunia seisinya. Dan tempat cemeti salah seorang dari kalian di jannah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dan yang lain)
Sabda beliau dalam hadits di atas serta yang semisal: “…lebih baik daripada dunia seisinya…” Ada yang mengatakan bahwa memang seperti itulah maknanya. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah: Ketaatan ini lebih baik daripada dunia seisinya kalau manusia itu memilikinya dan menginfakkanya di dalam ketaatan kepada Alloh Ta‘âlâ.” Disebutkan oleh Al-Qôdhî ‘Iyâdh di dalam Syarah Muslim.
• Keutamaan Berjaga Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
Di dalam Shohîh Bukhôrî dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian. Jika ia diberi ia ridho dan jika tidak diberi ia marah. Celaka dan kembali sakitlah ia dan jika tertusuk duri tidak bisa lagi dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Alloh, kusut masai rambutnya, berdebu kakinya; jika ia sedang dalam berjaga, ia berjaga, jika ia di garis belakang ia berada di garis belakang, jika ia minta izin tidak diberi izin, jika ia minta tolong tidak diberi pertolongan.”
Dan dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû ra ia berkata, “Sungguh aku bermalam dalam keadaan berjaga dan ketakutan di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus hewan tunggangan.” HR. Ibnul Mubârok melalui jalur Ibnu Lahî‘ah, hadits ini adalah mauqûf.
Ketahuilah, bahwa berjaga di jalan Alloh Ta‘ala termasuk taqorrub terbesar dan ketaatan paling tinggi. Ini juga merupakan salah satu bentuk ribath paling utama. Dan siapa saja yang menjaga kaum muslimin di tempat yang dikhawatirkan musuh akan menyerang mereka, maka ia adalah orang yang beribath (murôbith), namun tidak sebaliknya; orang yang berjaga di jalan Alloh itu mendapatkan pahala orang yang beribath serta masih banyak keutamaan baginya, di antaranya adalah: neraka tidak akan menyentuh mata yang berjaga di jalan Alloh selama-lamanya.
Dari Ibnu ‘Abbâs ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang bermalam karena berjaga di jalan Alloh.” HR. Tirmizi dan ia berkata, hadîts hasan.
Dan dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang tercungkil di jalan Alloh dan mata yang berjaga di jalan Alloh serta mata yang menangis karena takut kepada Alloh.” HR. Al-Hâkim dari jalur ‘Umar bin Rôsyid Al-Yamâmî dan Ia berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Luka Di Jalan Alloh Ta‘ala
Dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Tidaklah seorang terluka di jalan Alloh –dan Alloh lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya— kecuali ia datang pada hari kiamat sedangkan lukanya mengucur; warnanya warna darah, aromanya aroma misik.” Dalam redaksi lain, “Setiap luka yang dialami seorang muslim di jalan Alloh, pada hari kiamat kelak ia seperti apa adanya ketika ia tertikam; ia masih mengalirkan darah, warnanya warna darah dan aromanya aroma misik.” HR. Bukhori dan Muslim, lafadznya adalah milik Muslim. Sedangkan kata Al-Kalmu (dengan kâf fathah dan lâm sukun) artinya adalah luka. Sedangkan Al-‘Arfu (dengan ‘ain fathah dan rô’ sukun) artinya adalah Aroma. Sedangkan sabda beliau: “Yats‘abu…” (dengan tsâ sukun, ‘ain fathah dan diakhiri dengan bâ’) maknanya adalah mengucur sebagaimana terdapat dalam riwayat lain. Ibnu Daqîq Al-‘Îd berkata di dalam Syarh Al-‘Umdah, “Datangnya luka pada hari kiamat bersamaan dengan mengalirnya darah terdapat dua hal: Pertama, sebagai saksi atas lukanya. Kedua, menampakkan kemuliaannya kepada para penduduk mahsyar yang menyaksikan terhadap aroma misik dan kesaksian akan kebaikan yang ada di sana.”
Dan dari Mu‘adz bin Jabal ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja, maka sungguh wajib baginya surga. Dan siapa yang memohon dengan jujur agar terbunuh kepada Alloh kemudian ia mati atau benar- benar terbunuh, maka sesungguhnya bagi dia pahala syahid. Dan barangsiapa yang terluka di jalan Alloh atau terkena satu marabahaya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang paling deras, warnanya adalah warna za‘farôn dan aromanya adalah aroma misik. Dan barangsiapa yang keluar bisul di jalan Alloh, maka ia akan mengenakan cincin para syuhada.” Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan isnâd hasan, sedangkan lafadz adalah milik dia. Diriwayatkan juga oleh Tirmizi dan ia berkata, Hadits hasan shohih, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah.
Dan ketahuilah bahwa orang yang terluka di jalan Alloh tidaklah merasakan sakit dari luka tersebut sebagaimana dirasakan oleh orang lain. Terdapat sebuah hadits shohih yang menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh tidak merasa pedih di saat mati kecuali hanya seperti gigitan semut. Jika ini adalah keadaan orang yang terbunuh, maka bagaimana dengan orang yang tidak sampai terbunuh, yaitu hanya terluka. Ini adalah fakta, tidak akan ditentang kecuali orang yang belum pernah membuktikannya.
Berita tentang orang yang terluka tadi tidak terlalu sulit diakal, karena kemarahan dan emosi jika telah mencapai titik klimaks dan menguasai perasaan seseorang, ia akan mendapatkan kedahsyatan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam dirinya dan tak banyak peduli terhadap hal yang tidak mengenakkan dan tidak merasakan rasa sakit, padahal sebelum itu ia tidak merasakannya. Bahkan, antara dua orang yang berkelahi tak jarang hingga mengakibatkan kepala salah satunya pecah yang menyakitkan serta luka yang parah namun ia tidak merasakan hal itu kecuali setelah selesai dari kejadian yang baru saja ia alami; masing-masing membela diri dan tidak ingin mati. Lantas, bagaimana dengan orang yang kemarahannya meledak karena Alloh serta mengeluarkan nyawanya kepada Alloh dan bercita-cita mendapatkan kesyahidan di sisi-Nya; ia menganggap apa yang menimpa dirinya justeru termasuk anugerah dari Alloh, dengan kekuatan cahaya imannya ia menyaksikan apa yang Alloh sediakan bagi para syuhada dan orang-orang yang terluka di jalan-Nya yaitu keutamaan besar, sebagai sebuah pandangan yang hakiki, bukan sekedar ilmu.
• Keutamaan Melempar di Jalan Alloh Ta‘ala dan Dosa Orang yang pernah Mempelajari lalu Meninggalkannya.
Perlu diketahui, belajar melempar –dengan niat berjihad di jalan Alloh Ta‘ala—, mengajarkan dan berlomba-lomba dalam melempar merupakan perkara yang dianjurkan dan didorong oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Melempar ini memiliki banyak keutamaan.
Di antaranya: Alloh Ta‘ala memerintahkan untuk me-lempar sebagai persiapan jihad di jalan Alloh Ta‘ala. Alloh Ta‘ala berfirman:
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…”
Berdasarkan ayat mulia ini sebagian ulama berpendapat bahwa melempar itu wajib hukumnya, sebab maksud keku-atan di sini adalah melempar sebagaimana disebutkan da-lam hadits Shohîh Muslim.
Dari ‘Uqbah bin ‘Âmir ra ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda—saat itu beliau di atas mimbar—, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…” ketahuilah, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar.”
Hadits lain adalah riwayat Bukhori dan lainnya dari Salamah bin Al-Akwa‘ ra ia berkata: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati satu kaum yang sedang berlomba memanah, beliaupun bersabda, “Melemparlah hai Bani Isma‘il, sesungguhnya ayah kalian adalah jago melempar. Melemparlah, aku bersama Bani Fulan.” Maka salah satu kelompok tadi menahan tangannya. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak melempar?” kata mereka, “Wahai Rosululloh, bagaimana kami melempar sementara engkau bersama mereka?” maka beliaupun bersabda, “Melemparlah, sekarang aku bersama kalian semua.”
PEMBAHASAN KEDUA:
RINGKASAN TAHAPAN DISYARI’ATKANNYA JIHAD
Tadinya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diperin-tahkan untuk memberi maaf dan memberi ampun serta menahan diri dari orang-orang musyrik selama beliau berada di Mekkah. Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-otang yang tiada takut akan hari-hari Alloh.”
Dan dari Ibnu Abbâs ra bahwasanya ‘Abdurrohman bin ‘Auf serta bebepara shahabat datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika masih di Mekkah, mereka mengatakan, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ketika kami dulu masih musyrik, kami merasa mulia; mengapa setelah kami beriman justeru kita menjadi hina?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian berperang…”
Setelah itu, Alloh mengizinkan kaum muslimin untuk berjihad namun belum sampai mewajibkannya atas mereka. Hal itu dengan firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi lantaran mereka dizalimi.”
Dan ini merupakan ayat yang paling pertama turun mengenai perang sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra.
Tahapan selanjutnya Alloh Ta‘ala mewajibkan kepada mereka untuk memerangi orang yang memerangi mereka namun tidak boleh memerangi orang yang tidak memerangi. Hal itu seperti dalam fase yang Alloh firman-kan: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak me-merangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Alloh tidak memberimu jalan bagimu (untuk memerangi dan menawan) mereka.”hingga firman-Nya: “Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepadamu serta menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kalian temui mereka. Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk membunuh dan menawan) mereka.”
Sedangkan tahapan terakhir adalah fase memerangi kaum musyrikin secara total; baik yang memerangi kita atau yang tidak dan memerangi mereka di negeri mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama semuanya menjadi milik Alloh. Pada tahapan inilah hukum jihad berakhir, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia pada fase ini. Mengenai fase ini pulalah ayat pedang turun yaitu firman Alloh Ta‘ala:
“Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian…”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Di dalam hadits shohih disebutkan sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh, perangilah orang yang kufur kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulûl, jangan berlaku khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua…”
Imam Ibnul Qoyyim meringkaskan fase-fase di atas dalam kata-kata beliau: “Tadinya diharamkan, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan kepada orang yang memulai memerangi terlebih dahulu, kemudian diperintahkan terhadap semua kaum musyrikin…”
MUKADDIMAH
Segala puji milik Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampun kepada-Nya dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan nafsu serta keburukan perbuatan kami. Barangsiapa Alloh beri petunjuk, tidak ada satupun yang bisa menyesatkannya; dan siapa yang Dia sesatkan, tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. Aku berksaksi tidak ada ilâh (yang haq) selain Alloh; satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa dan jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
“Wahai manusia, bertakwalah kepada robb kalian yang telah mencipatakan kalian diri jiwa yang satu, dan mencipatakan dari sana isterinya dan dari keduanya Alloh perkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungas silaturrohmi. Sesung-guhnya Alloh selalu mengawasi kamu.”
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang lurus. Alloh akan perbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa taat kepada Alloh dan rosul-Nya maka sungguh ia telah berhasil dengan keberhasilan yang besar.”
Sesungguhnya perkataan terbenar adalah kitab Alloh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru, setiap yang baru adalah bid‘ah, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka.
KATA PENGANTAR
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai serta tempat tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada hal lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Alloh serta kemenangan yang dekat. Dan berilah kabar gembira orang-orang beriman.”
“Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim. Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Alloh. Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Robb mereka memberi kabar gembira kepada mereka dengan rahmat dan keridhoan dari-Nya serta surga, di sana mereka memiliki kesenangan yang kekal. Mereka abadi di sana buat selamanya, sesungguhnya Alloh memiliki pahala besar di sisi-Nya.”
dan berfirman:
“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
Benar, membakar semangat (tahrîdh) untuk berperang di jalan Alloh Azza wa Jalla serta dalam rangka meninggikan kalimat-Nya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, khususnya di zaman sekarang; zaman kehinaan dan cinta dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian sebagaimana orang yang makan mengeroyok nampannya.” Ada yang betanya, “Apakah karena kami sedikit waktu itu?” beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak, namun kalian adalah buih seperti buih air, dan Alloh benar-benar akan mencabut rasa takut musuh terhadap kalian dan benar-benar akan mencampakkan perasaan ‘wahn’ dalam hati kalian.” Ada yang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Cinta dunia dan benci mati.”
Sesungguhnya pembantaian, pengusiran dan penghinaan yang terjadi terhadap kamu muslimin di setiap tempat, sebabnya tidak lain dan tidak bukan karena mereka jauh dari Alloh serta meninggalkan jihad di jalan-Nya dan cinta serta ridho terhadap dunia.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Apabila kalian saling berjual beli dengan system ‘Inah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan cocok tanam dan kalian tinggalkan jihad, Alloh akan timpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Memperhatikan bahwa kita perlu menggerakkan akar jihad yang terpendam dalam hati kita, serta dalam rangka membantah syubhat-syubhat para mukhodzdzilûn (orang-orang yang kerjanya memperlemah semangat orang) yaitu orang-orang yang hanya berpangku tangan (qô‘idûn)dari jihad serta orang-orang munafik, maka kami bekerja menyusun risalah ini segera. Kami berharap tujuan kami itu bisa terealisir tanpa ada cacat yang fatal. Risalah ini saya bagi kepada tiga pasal dan pembahasan. Kita memohon taufiq dan kelurusan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, dan agar menjadikan perkara ini bermanfaat bagi kaum muslimin serta menjadikan amal usaha kita ikhlas karena wajah-Nya yang mulia, dan menerima amal sholeh kita serta mengampuni yang buruk, sesungguhnya Dialah yang mampu dan berkuasa atas hal itu. Semoga sholawat dan salam tercurah selalu kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga serta para shahabatnya.
PASAL PERTAMA
PEMBAHASAN KE SATU: DEFINISI JIHAD, KEUTAMAAN SERTA DORONGAN UNTUK MELAKSANAKANNYA
Definisi jihad
• Ibnu Mandzur berkata: “Wa Jâhadal ‘Aduwwu mujâhadatan wa jihâdan, artinya: qôtalahû (meme-ranginya) dan berjihad di jalan Alloh. Di dalam hadits disebutkan: “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tinggallah jihad dan niat.”
Al-Jihad (di sini) artinya: Memerangi musuh; yaitu berusaha sekuat tenaga dan mencurahkan segala potensi dan kemampuan baik berupa kata-kata maupun aksi (tindakan).
Sedangkan yang dimaksud niat adalah: “Mengikhlaskan amal karena Alloh; artinya tidak ada hijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah, sebab sekarang kota itu telah berubah menjadi negara Islam, yang ada tinggal ikhlas dalam jihad dan memerangi orang-orang kafir.
Sedangkan jihad maknanya adalah berusaha keras dan mencurahkan segala kemampuan dalam rangka perang, bisa dilakukan juga dengan lisan atau apa saja yang ia mampu.” Selesai perkataan Ibnu Mandzûr.
• Adapun pengertian jihad secara syar‘i adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka mening-gikan kalimat Alloh serta bahu membahu dalam hal itu, sebagaimana yang ditafsirkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di dalam sebuah riwayat yang dibawakan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dari ‘Amrû bin ‘Abasah ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?” beliau bersabda, “Hatimu pasrah kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin selamat dari (gangguan) lidah dan tanganmu.” Ia berkata lagi, “Bagaimanakah Islam yang paling sempurna?” beliau bersabda, “Iman.” Ia berkata, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari berbangkit setelah kematian.” Ia berkata lagi, “Iman bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Hijroh.” Ia bertanya, “Apakah hijroh itu?” beliau bersabda, “Engkau jauhi keburukan.” Ia berkata, “Hijroh bagaimana yang paling utama?” beliau bersabda, “Jihad.” Ia bertanya, “Apakah jihad itu?” beliau bersabda, “Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau bertemu dengan mereka.” Ia berkata, “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Siapa saja yang kuda terbaiknya terluka dan darahnya tertumpah.” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kemudian dua amal yang keduanya merupakan amalan terbaik kecuali kalau ada yang melakukan yang semisal; hajji mabrur dan umroh.”
Dengan tafsiran tentang jihad seperti tertera dalam hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di atas inilah para ulama Islam menafsirkan jihad:
- Ibnu Hajar Rahimahullôh berkata (mengenai definisi jihad): “Mencurahkan semua kemampuan dalam rangka memerangi orang-orang kafir.”
- Al-Qosthalânî Rahimahullôh berkata, “Memerangi orang-orang kafir untuk membela Islam dan untuk mening-gikan kalimat Alloh.”
- Al-Kasânî Rahimahullôh berkata: “Dalam kebiasaan penggunaan istilah syara‘, jihad dipakai untuk makna mencurahkan semua potensi dan kekuatan dengan membunuh (perang) di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla baik dengan jiwa, harta, lisan dan lain sebagainya ataupun menforsir tenaga dalam hal itu.”
- Penulis Ad-Durrul Mukhtâr berkata, “Mengajak kepada agama yang benar serta memerangi orang yang tidak mau menerimanya.”
Terkadang, jihad di dalam nash-nash syar‘i digunakan untuk selain makna memerangi orang-orang kafir. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mujâhid adalah yang berjihad melawan nafsunya dalam rangka taat kepada Alloh, dan muhâjir adalah yang meninggalkan semua yang Alloh larang.” Demikian juga sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang yang meminta izin kepada beliau ikut berjihad, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” ia berkata, “Masih.” Beliau bersabda, “Berjihadlah untuk keduanya.”
Hanyasaja, lafadz jihad jika disebut secara mutlak maka maksudnya adalah memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ dan tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir kecuali bila ada qorînah (bukti pendukung) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan itu sebagaimana yang terdapat dalam dua hadits tadi.
- Ibnu Rusyd berkata di dalam Muqoddimât-nya (I/ 369): “Dan jihad pedang adalah memerangi orang-orang musyrik demi dîn (agama). Maka siapa saja yang melelahkan dirinya karena Alloh berarti ia telah berjihad di jalan-Nya. Hanya saja, jika kata jihad disebut secara mutlak, maka maknanya tidak dibawa kecuali kepada makna berjihad melawan orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam, atau memberikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa jihad jika disebut secara mutlak tidak dibawa kepada makna selain memerangi orang-orang kafir adalah sebagai berikut:
1. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Datang seorang lelaki kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad.” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya.” Beliau bersabda lagi, “Mampukah salah seorang dari kalian apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk ke masjidmu kemudian sholat dan tidak pernah berhenti dan puasa serta tidak berbuka?” ia berkata, “Siapa yang mampu melakukannya.” Abu Huroiroh berkata, “Sesungguhnya kuda seorang mujahid benar-benar akan terus ditulis kebaikan-kebaikan sepanjang masa hidupnya.” HR. Bukhori – Muslim. Bukti yang ditunjukkan hadits ini terhadap makna jihad sangatlah jelas; sholat dan puasa termasuk jihad melawan hawa nafsu, meskipun demikian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tidak temukan amalan yang menyamai jihad.” sehingga ini menunjukkan bahwa yang dimaksud jihad apabila disebut secara mutlak adalah berjihad melawan orang-orang kafir, bukan melawan hawa nafsu.
2. Dari Abû Sa‘îd Al-Khudhrî ra ia berkata: Dikatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia paling baik?” Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Para shahabat mengatakan, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Orang mukmin yang berada di lembah-lembah, ia bertakwa kepada Alloh dan menjauhi kejahatan manusia.” HR. Bukhori dan Muslim. Orang yang bertakwa kepada Alloh di satu lembah itu berjihad terhadap nafsunya, bersamaan dengan itu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membawa makna jihad kepada artian memerangi orang-orang kafir.
3. Dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, menegakkan sholat dan puasa di bulan Romadhon, maka menjadi hak Alloh memasukkannya ke dalam surga; ia berjihad di jalan Alloh, atau duduk di tanah di mana ia dilahirkan.” para shahabat mengatakan, “Apakah tidak kita beri kabar kembira kepada manusia wahai Rosululloh?” beliau bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, Alloh siapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya, antara kedua derajat seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Alloh, mintalah surga firdaus, sesungguhnya itu adalah tengah dan puncaknya surga, dan di atasnya terdapat Arsy Ar-Rohman, dan darisanalah sungai-sungai surga mengalir.” HR. Ahmad dan Bukhori.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyebut orang yang duduk di tanah kelahirannya bukan sebagai mujahid, padahal ia berjihad terhadap hawa nafsunya dengan cara sholat dan berpuasa serta jihad nafs lainnya dalam rangka memikul beban-beban syar‘i.
Dan semua ayat dan hadits yang menunjukkan keuta-maan-keutamaan jihad, maka arti jihad tersebut adalah jihad yang benar-benar jihad yaitu memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Alloh Ta‘âlâ, dan tidak dibawa kepada makna jihad melawan hawa nafsu. Demikian juga para ulama Islam dari kalangan muhaditsin dan fuqoha; jika mereka membuat bab jihad dalam buku-buku mereka maka yang dimaksud adalah jihad melawan orang-orang kafir dalam artian perang, bukan berjihad melawan hawa nafsu.
• Satu hal yang mesti diperhatikan: Jihad melawan nafsu bukanlah jihad terbesar secara mutlak sebagaimana dakwaan orang-orang Tasawwuf dan orang-orang yang mengaku berilmu yang mereka menarik-narik manusia untuk tidak usah berjihad yang sebenarnya. Mengenai hadits yang berbunyi: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar…”maka ini adalah hadits dho‘if, hadits yang tidak shohih; Al-Baihaqi, Al-Iroqi serta As-Suyuthi mendho‘ifkannya, Al-Albani juga mendho‘ifkannya di dalam Dho‘îful Jâmi‘ Ash-Shoghîr, demikian juga dengan ulama lainnya –rahimahumulloh–.
Amîrul Mukminîn fil Hadîts, Al-Hâfidz Ibnu Hajar, mengatakan di dalam Tasdîdul Qous bahwa hadits tersebut masyhur dibicarakan dan sebebarnya itu adalah dari kata-kata Ibrôhîm bin ‘Ablah –dari kalangan Tâbi‘i `t-Tâbi‘în—; Al-Iroqi berkata dalam Takhrij hadits-hadits Al-Ihyâ’: “Dirawayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad dho‘if dari Jâbir.
Bukti yang cukup untuk menunjukan bahwa hadits di atas tidak benar adalah bahwa yang mengucapkannya (kalau memang itu hadits Nabi) yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –di mana mereka menisbatkan hadits tadi kepada beliau— tidaklah sedikitpun duduk berpangku tangan dari berperang. Tetapi beliau langsung terjun berperang selama beliau berada di Madinah sekitar tiga kali tiap tahunnya, belum lagi berbicara sariyah-sariyah. Demikian juga dengan murid-murid beliau; mereka terdidik dengan jihad yang terus sambung menyambung. Seandainya yang mereka katakan tadi benar, maka orang yang berakal akan memulai dengan latihan menanggung yang kecil-kecil dulu kemudian baru yang besar, setelah itu yang lebih besar. Jadi dia meningkat dari yang paling rendah dulu hingga yang paling tinggi. Maka, mulailah dari jihad terkecil –menurut kalian tadi—kemudian baru yang besar. Akan tetapi kami katakan sesungguhnya jihad pedang dan jihad melawan hawa nafsu tidaklah saling berdampak satu sama lain, kedua-duanya tetaplah bagian dari Islam dan salah satu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sibuk dengan satunya lagi sebagaimana belajar ilmu yang fardhu ain tidak boleh ditinggalkan dengan alasan sedang mentarbiyah diri.
Hadits (dho‘îf) tadi juga menyelisihi firman Alloh Ta‘âlâ:
“Tidaklah sama antara orang-orang yang hanya duduk dari kalangan mukminin yang tidak memiliki uzur dan orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwanya. Alloh lebih utamakan orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan pahala yang baik. Dan Alloh lebihkan para mujahid di atas orang-orang yang duduk berupa pahala besar.” (An-Nisa’: 95)
Menyebut perang melawan orang-orang kafir sebagai jihad kecil juga tidak ditunjukkan oleh satu dalilpun dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lagi pula, orang yang berjihad terhadap hawa nafsu dengan sungguh-sungguh sampai berhasil menaklukkannya pasti akan bersegera untuk melaksanakan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla yaitu memerangi orang-orang kafir. Sedangkan orang yang tidak ikut dalam memerangi orang-orang kafir, pada dasarnya ia bukanlah orang yang berjihad melawan hawa nafsu dalam rangka melaksanakan perintah Alloh. Maka menjadikan jihad nafsu sebagai alat legitimasi termasuk kilah syetan yang ujung-ujungnya akan memalingkan kaum muslimin dari berjihad melawan musuh-musuh mereka.
Inilah Sayyidah Aisyah ra, beliau bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah wanita memiliki kewajiban berjihad?” beliau bersabda, “Mereka memiliki kewajiban jihad yang tidak ada unsur perangnya; hajji dan umroh.” Isnadnya shohih, riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Huzaimah. Sedangkan di dalam riwayat Bukhôrî disebutkan: “Kami melihat jihad adalah sebaik-baik amalan, lantas mengapa kami (kaum wanita) tidak berjihad?” Jadi, ‘Âisyah memahami bahwa jihad adalah perang. Dan, apa gerangan yang dimaksud para shahabat yang mulia itu ketika mereka mengatakan kalimat mereka yang cukup masyhur:
نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدَا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِيْنَا أَبَداً
Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Muhammad
Untuk berjihad selama kami masih hidup
Apakah mereka memiliki maksud lain selain jihad bermakna perang?!
Dengan kata lain: Sesungguhnya orang meninggalkan perbuatan-perbuatan haram disebut sebagai orang yang berpuasa karena ia puasa dari perkara-perkara haram, akan tetapi apakah maknanya ia sudah mendapatkan kompensasi untuk tidak melaksanakan puasa yang sebenarnya yaitu puasa Romadhon?! Padahal, robb kita berfirman:
“Diwajibkan atas kalian berperang…” sebagaimana Dia berfirman: “Diwajibkan atas kalian berpuasa…”
“…Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan mengkufuri sebagian yang lain.”?
Sebagian orang bersikeras untuk mengkaburkan makna jihad ini mengatakan, “Kami juga sedang berjihad ini!!” mereka bertujuan untuk membenarkan sikap duduk mereka dari perang. Lalu ketika engkau lihat dalam kehidupannya, ternyata mereka bekerja sebagai pegawai untuk menghidupi keluarganya, yang satu lagi sebagai pedagang, yang itu sebagai karyawan, yang ini sebagai petani, yang lain mengajar di kuliyah syariah atau kedokteran atau ekonomi atau ilmu politik atau…semuanya menganggap dirinya sebagai mujahid dan boleh duduk dari perang…! Benar, mereka menganggap dirinya sebagai mujahid sementara di negerinya ia makan minum dan mengajar atau bekerja. Bahkan, yang lain tanpa malu-malu menganggap bahwa apa yang ia lakukan sekarang lebih baik daripada perang itu sendiri! Dan orang-orang yang rusak pemikirannya serta suka menyimpangkan makna itu mesti diterangkan lagi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sejarah para tabi‘in yang mengikuti para pendahulunya dengan kebaikan.
Seandainya urusannya adalah seperti yang mereka anggap, Alloh Swt dan nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, tidak akan mendorong untuk itu, tidak akan ada keterangan mengenai kewajiban dan keharusan berperang, tidak ada pengobaran semangat terhadap kaum muslimin untuk perang dengan menyebutkan pahala para mujahidin dan para syuhada, tidak akan ada ancaman yang keras serta janji akan mendapatkan hukuman dan siksa yang pedih bagi orang yang tidak ikut serta dalam berjihad.
Keutamaan Jihad
• Jihad di Jalan Alloh ‘Azza wa Jalla adalah amalan terbaik setelah Iman kepada Alloh Ta‘ala.
Di dalam Ash-Shohîhain disebutkan dari Abu Huroiroh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya , “Amal apakah yang paling utama?” beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh dan rosul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Berjihad di jalan Alloh.” Dikatakan, “Kemudian apa?” beliau bersabda, “Hajji mabrur.”
Hadits ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kedua orang tua yang harus dilayani dengan baik, atau orang yang kedua orangtuanya telah memberi izin, atau dalam kondisi ketika jihad menjadi fardhu ain; karena sesungguhnya dalam kondisi seperti itu, jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua. Wallôhu A‘lam.
Dan dari Ma‘iz ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau ditanya tentang amalan terbaik, beliau bersabda, “Beriman kepada Alloh saja kemudian jihad, kemudian hajji mabrur itu melebihi semua amalan seperti antara tempat terbitnya matahari dan tempat tenggelamnya.” HR. Ahmad, rijalnya adalah rijal shohîh. Untuk Ma‘iz sendiri adalah seorang shohabat yang cukup masyhur, ia tidak memakai nasab.
Makna sabda beliau: “..melebihi semua amalan.” Artinya semua amalan setelah iman dan jihad; sebelumnya telah disebutkan bahwa amalan terbaik adalah iman dan jihad.
Masih dalam Ash-Shohihain dari Abu Dzar ra ia berkata, aku bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Iman kepada Alloh dan berjihad di jalan-Nya.” Ia berkata, “Budak apakah yang paling mahal?” beliau bersabda, “Yang paling mahal bagi pemiliknya dan paling mahal harganya.” Al-Hadits.
• Jihad Lebih Baik Daripada Memberi Minum Orang Hajji Dan Memakmurkan Masjidil Haram
Dari An-Nu‘man bin Basyir ra ia berkata: Aku berada di sisi mimbar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka ada seorang yang mengatakan, “Aku tidak akan peduli, aku tidak akan mengerjakan amalan setelah Islam selain memakmurkan Masjidil Harôm.” Yang lain mengatakan, “Tidak, tapi jihad fi sabilillah itu lebih baik daripada apa yang kau katakan.” Maka Umar bin Khothob membentak mereka seraya mengatakan, “Jangan mengangkat suara di sisi mimbar Rosululloh di hari Jum‘at, ketika aku sholat jumat, aku masuk menemui beliau dan menanyakan apa yang barusan kalian perselisihkan, akhirnya Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan: “Apakah kalian menganggap orang-orang yang memberi minum kepara orang-orang yang mengerjakan hajji dan mengurus Masjidil Haram sama seperti orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir serta berjihad di jalan Alloh? Mereka itu tidak sama di sisi Alloh. Dan Alloh tidak memberi petunjuk orang-orang dzalim.” HR. Muslim.
• Jihad Lebih Baik Daripada Ber‘Uzlah Dan Sibuk Beribadah
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dengan isnadnya dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kuberitahu kalian tentang orang yang paling baik kedudukannya? (Yaitu) lelaki yang memegang tali kekang kudanya di jalan Alloh. Maukan kalian kuberitahu tentang orang paling baik kedudukannya setelah itu? Lelaki yang beruzlah dengan menggembalakan kambingnya, ia menegakkan sholat dan menunaikan zakat serta beribadah kepada Alloh, tidak menyekutukan-Nya sedikitpun.” Muslim serta yang lain juga meriwayatkan hadits seperti ini, lafadznya ada Insyâ Allôh.
Dan dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Seorang lelaki dari shahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah lembah yang di sana terdapat sebuah mata air tawar kemudian ia berkata, “Seandainya saja aku menjauhi manusia dan tinggal di lembah ini, aku tidak akan melakukannya sampai aku minta izin kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka ia menceritakan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan lakukan itu, sebab posisi salah seorang dari kalian di jalan Alloh lebih baik daripada sholat dia di rumahnya selama tujuh puluh tahun. Apakah kalian tidak suka kalau Alloh mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah? Berperanglah di jalan Alloh, barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja (fawâqo nâqoh), ia pasti masuk surga.” HR. Tirmizi dan dia berkata: Hadits hasan; juga oleh Al-Baihaqi di dalam As-Sunan dan Al-Hâkim, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Muslim.
Kalimat: Fawâqo nâqoh; Al-Jauhari dan yang lainnya mengatakan, artinya adalah waktu memerah antara dua puting susu; sebab biasanya ia diperah lalu dibiarkan sesaat yang ditetek oleh anak unta agar susunya mengumpul banyak lalu diperah. Ada juga yang mengatakan, maksudnya adalah antara ketika engkau letakkan tanganmu dan ketika engkau angkat dari puting ketika engkau sedang memerah susu.
• Puncak Islam Adalah Jihad Di Jalan Alloh Ta’ala
Dari Mu‘adz bin Jabal ra ia berkata: Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” HR. Hakim seperti ini secara ringkas, ia mengatakan: Shohih menurut syarat Bukhori Muslim. Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi yang panjang. Demikian juga Tirmizi, ia menshohihkannya, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah dan lain-lain.
Thobaroni juga meriwayatkannya dalam Al-Kabîr melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdir Rohim dari Abdul Malik dari Al-Qosim dari Fadholah bin Ubaidillah ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam itu ada tiga bait: bawah, atas dan tengah. Adapun yang bawah adalah Islam; semua kaum muslimin memasukinya, tidak ada seorangpun dari mereka yang kau tanya melainkan mengatakan: Saya seorang muslim. Adapun yang atas maka amalan mereka bertingkat-tingkat, sebagian lebih baik daripada sebagian yang lain. Adapun pertengahan yang paling atas adalah jihad di jalan Alloh, tidak ada yang bisa mendapatkanya selain orang yang paling utama di antara mereka.”
• Tidak Ada Seorangpun Bisa Melakukan Amalan Yang Menyamai Jihad Fi Sabilillah
Dari Abu Huroiroh ra ia berkata: Dikatakan, “Wahai Rosululloh, apakah yang bisa menyamai jihad di jalan Alloh?” beliau bersabda, “Engkau tidak akan bisa melakukannya.” Maka para shahabat terus mengulang pertanyaannya hingga dua atau tiga kali semuanya beliau jawab, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda, “Perumpaan mujahid di jalan Alloh itu seperti orang yang berpuasa dan sholat serta taat (qônit) terhadap ayat-ayat Alloh. Ia tidak pernah berhenti dari sholat dan puasanya sampai si mujahid fi sabilillah tersebut pulang.” HR. Bukhori dan Muslim. An-Nawawi berkata, “Makna Qônit di sini adalah orang yang taat.”
• Keutamaan Memompa Semangat (Tahrîdh) Kaum Mukminin Untuk Berjihad Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan bakarlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Semoga Alloh menolak keganasan orang-orang kafir, dan Alloh itu lebih besar kekuatan dan siksa (Nya).”
Alloh Ta‘ala berfirman: “Hai Nabi, bakarlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dari kalian berjumlah dua puluh orang yang sabar, akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada dari kalian seratus, akan mengalahkan seribu dari orang-orang kafir dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak faham.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Hai orang-orang beriman, maukah Ku-tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Hingga akhir surat.
Ayat-ayat mengenai tahrîdh Alloh Ta‘ala kepada para hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya, serta motivasi terhadap mereka untuk memperoleh pahala yang ada di sisi-Nya lantaran jihad sangatlah banyak.
1. Ibnu Majah mengeluarkan, demikian juga Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Shifatul Jannah serta Al-Bazzar dan Ibnu Hibban di dalam Shohîh-nya, dari Kuraib, bahwasanya ia mendengar Usâmah bin Zaid ra mengatakan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak adakah yang mau bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terbayangkan. Sungguh, demi Robb Ka‘bah, surga itu adalah cahaya yang berkilauan, tumbuh-tumbuhan wangi yang bergoyang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir berturutan buah-buahan yang matang, isteri-isteri elok dan cantik, perhiasan-perhiasan yang banyak, tempat dalam keabadian, di negeri keselamatan, buah-buahan dan hijau-hijauan, kegembiraan, kenikmatan di tempat yang tinggi dan indah.” Para shahabat mengatakan, “Ya, wahai Rosululloh, kami bersegara ke sana.” Maka beliau mengatakan, “Katakanlah: Insyâ Allôh.” Para shahabat mengatakan, “Insyâ Allôh.” Kemudian beliau menyebutkan tentang jihad dan memotivasi kepadanya.
2. Ibnu Majah menyebutkan lagi dari Ali secara mauqûf, ia berkata, “Barangsiapa memompa semangat saudaranya untuk berjihad, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya; dan setiap langkah ia dalam rangka itu seperti ibadah satu tahun.”
• Keutamaan Menolong Mujahidin, Menyiapkan Perbekalan Atau Yang Lain, Memberi Makanan, Membantu, Mengantarkannya Ketika Hendak Pergi Dan Mengucapkan Selamat Jalan Kepadanya
Imam Ahmad meriwayatkan dan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Hakim serta yang lain dari jalur ‘Abdullôh bin Muhammad bin ‘Uqoil dari ‘Abdullôh bin Sahl bin Hanif bahwasanya Sahl menceritakan kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menolong seorang mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang, atau membantu seorang budak makâtib untuk membebas keterbudakkannya, Alloh akan nauingi ia dalam naungannya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.”
Ibnu ‘Asâkir mengeluarkan dari ‘Umar bin Zaroroh, Telah bercerita kepada kami Al-Musayyib bin Syuraik dari Bakr bin Fadholah dari Maimun bin Mahron dari Ibnu Abbas ia berkata, “Barangsiapa yang membawa dan tinggal bersama kuda di jalan Alloh, ditulis baginya seperti pahala orang yang keluar dengan membawa harta dan nyawanya dalam keadaan sabar selama kuda itu masih hidup. Dan barangsiapa yang memberikan pedang di jalan Alloh, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa lidah yang panjang seraya mengatakan di hadapan semua makhluk: ‘Ketahuilah, aku adalah pedangnya fulan bin fulan. Aku terus berjihad untuknya hingga hari kiamat.’ Dan barangsiapa yang memberikan baju di jalan Alloh Ta‘ala, ia akan diberi baju dari surga yang akan digantikan kepadanya setiap hari seperti di dunia.”
Dan dari Umar bin Khothob ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memayungi kepala orang yang berperang, Alloh akan naungi ia di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti itu sampai ia mati atau pulang. Dan barangsiapa yang membangun masjid di mana di dalamnya disebut nama Alloh, Alloh akan bangunkan baginya rumah di jannah.” (HR. Ibnu Abî Syaibah, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya, Al-Baihaqî dan Syaikhnya; Al-Hakim, ia mengatakan: “Shohîhul Isnâd.”
• Keutamaan Berinfak Di Jalan Alloh
Alloh Ta‘ala berfirman:
“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Al-Qurthubi dan yang lain mengatakan, “Maknanya: Siapakah yang mau berinfak di jalan Alloh sehingga nantinya Alloh akan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda?”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Dan Alloh melipatkan gandakan pahala bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.”
Ibnu Umar berkata, “Ketika turun [“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh…”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah untuk umatku.” Maka turunlah [“Siapa yang mau memberi pinjaman kepad Alloh dengan pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipat gandakannya pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Robbku, tambahkanlah buat umatku.” Maka turunlah [“Sesungguhnya pahala orang-orang sabar itu dilipat gandakan tanpa terhitung.”] HR. Imam Abu Bakar bin Al-Mundzir di dalam Tafsirnya, juga Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya, dan Al-Baihaqi di dalam Asy-Syu‘ab, dan lain lain.
Dari Khuraim bin Fâtik ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang berinfak sekali di jalan Alloh, ditulis baginya tujuh ratus kali lipat.” (HR. Tirmizi, beliau meng-hasan-kannya, dan An-Nasa’i, Ibnu Hibbân dalam Shohîh-nya dan Al-Hâkim, beliau berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Menyiapkan Perbekalan Pasukan Perang Di Jalan Alloh Serta Menjaga Keluarga Mereka, Serta Tentang Orang Yang Diminta Keluarga Mujahid Kemudian Berkhianat
Dari Abu Sa‘id Al-Khudri ra bahwasnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus kepada Bani Lihyan, agar setiap dua orang ada satu yang keluar dan pahalanya akan diperoleh oleh mereka berdua. Di dalam lafadz lain: “Hendaknya setiap dua orang, ada satu orang yang keluar.” Kemudian beliau bersabda kepada yang tidak berangkat, “Siapasaja di antara kalian yang meninggalkan kebaikan pada keluarga dan harta orang yang keluar berperang, maka ia mendapatkan setengah pahala orang yang keluar.” HR. Muslim.
Imam Abu Bakar bin Al-Munzir berkata: Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa kewajiban jihad gugur dari manusia jika sudah ada yang melaksanakannya secara cukup di antara mereka.
Dan dari Zaid bin Khôlid Al-Juhannî ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, sungguh ia telah berperang. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan pada keluarga orang yang berperang, sungguh ia telah berperang.” HR. Bukhori dan Muslim.
Masih dari Khôlid ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala dia; tidak dikurangi dari pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, ia mendapatkan pahala seperti dia tanpa mengurangi pahala orang yang berperang itu sedikitpun.” HR. Tirmizî dan Nasa’î, Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân di dalam Shohîhnya.
Dan dari Zaid bin Tsabit ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyiapkan bekal orang yang berperang di jalan Alloh, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya. Dan barangsiapa meninggalkan kebaikan kebaikan dan berinfak kepada keluarga orang yang berperang, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya.” HR. Thobaroni di dalam Al-Ausath, rijalnya adalah rijal shohih.
• Keutamaan Rasa Takut Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
- Di dalam Shohîh Muslim dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû bin Al-‘Âsh ra ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada suatu peperangan atau sariyah yang dijalankan di jalan Alloh kemudian mereka selamat atau mendapatkan hasil, melainkan telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Dan tidaklah satu peperangan atau satu sariyah yang mereka pulang tidak membawa ghanimah atau merasa ketakutan, atau terkena musibah, kecuali disempurnakan pahala mereka.”
Sabda beliau: “Takhfaqu.” (Dengan kho’ mu‘jamah, fâ’ dan qôf lagi) artinya adalah: Pulang tanpa membawa ghanimah. Dikatakan: Akhfaqol Ghôzî, jika ia berperang dan tidak memperoleh ghanimah dan kemenangan.
• Keutamaan Ribâth (Berjaga-Jaga Di Perbatasan) Di Jalan Alloh Ta‘âla Dan Keutamaan Orang Yang Bermalam Dalam Keadaan Beribath
Alloh Ta‘ala berfirman:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“…Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan beribathlah serta bertakwalah kepada Alloh agar kalian beruntung.”
Mubarok bin Fadholah mengatakan, aku mendengar Al-Hasan ketika membaca ayat ini: Ishbirû wa shôbirû (Ali Imron: 200, penerj.) ia mengatakan, “Mereka diperintahkan agar terus bersabar menghadapi orang-orang kafir sampai mereka bosan sendiri dengan agama mereka.” Adalah Muhammad bin Ka‘b Al-Qurodzi mengatakan tentang ayat ini, “Beribathlah kalian terhadap musuh-Ku dan musuh kalian sampai ia meninggalkan agamanya menuju agama kalian.”
Dari Sahl bin Sa‘d ra bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ribath satu hari di jalan Allh leih baik daripada dunia seisinya. Dan tempat cemeti salah seorang dari kalian di jannah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR. Bukhori dan yang lain)
Sabda beliau dalam hadits di atas serta yang semisal: “…lebih baik daripada dunia seisinya…” Ada yang mengatakan bahwa memang seperti itulah maknanya. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah: Ketaatan ini lebih baik daripada dunia seisinya kalau manusia itu memilikinya dan menginfakkanya di dalam ketaatan kepada Alloh Ta‘âlâ.” Disebutkan oleh Al-Qôdhî ‘Iyâdh di dalam Syarah Muslim.
• Keutamaan Berjaga Di Jalan Alloh Ta‘âlâ
Di dalam Shohîh Bukhôrî dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian. Jika ia diberi ia ridho dan jika tidak diberi ia marah. Celaka dan kembali sakitlah ia dan jika tertusuk duri tidak bisa lagi dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Alloh, kusut masai rambutnya, berdebu kakinya; jika ia sedang dalam berjaga, ia berjaga, jika ia di garis belakang ia berada di garis belakang, jika ia minta izin tidak diberi izin, jika ia minta tolong tidak diberi pertolongan.”
Dan dari ‘Abdullôh bin ‘Amrû ra ia berkata, “Sungguh aku bermalam dalam keadaan berjaga dan ketakutan di jalan Alloh ‘Azza wa Jalla lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus hewan tunggangan.” HR. Ibnul Mubârok melalui jalur Ibnu Lahî‘ah, hadits ini adalah mauqûf.
Ketahuilah, bahwa berjaga di jalan Alloh Ta‘ala termasuk taqorrub terbesar dan ketaatan paling tinggi. Ini juga merupakan salah satu bentuk ribath paling utama. Dan siapa saja yang menjaga kaum muslimin di tempat yang dikhawatirkan musuh akan menyerang mereka, maka ia adalah orang yang beribath (murôbith), namun tidak sebaliknya; orang yang berjaga di jalan Alloh itu mendapatkan pahala orang yang beribath serta masih banyak keutamaan baginya, di antaranya adalah: neraka tidak akan menyentuh mata yang berjaga di jalan Alloh selama-lamanya.
Dari Ibnu ‘Abbâs ra ia berkata, Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang bermalam karena berjaga di jalan Alloh.” HR. Tirmizi dan ia berkata, hadîts hasan.
Dan dari Abu Huroiroh ra bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang tercungkil di jalan Alloh dan mata yang berjaga di jalan Alloh serta mata yang menangis karena takut kepada Alloh.” HR. Al-Hâkim dari jalur ‘Umar bin Rôsyid Al-Yamâmî dan Ia berkata, Shohîhul Isnâd.
• Keutamaan Luka Di Jalan Alloh Ta‘ala
Dari Abu Huroiroh ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Tidaklah seorang terluka di jalan Alloh –dan Alloh lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya— kecuali ia datang pada hari kiamat sedangkan lukanya mengucur; warnanya warna darah, aromanya aroma misik.” Dalam redaksi lain, “Setiap luka yang dialami seorang muslim di jalan Alloh, pada hari kiamat kelak ia seperti apa adanya ketika ia tertikam; ia masih mengalirkan darah, warnanya warna darah dan aromanya aroma misik.” HR. Bukhori dan Muslim, lafadznya adalah milik Muslim. Sedangkan kata Al-Kalmu (dengan kâf fathah dan lâm sukun) artinya adalah luka. Sedangkan Al-‘Arfu (dengan ‘ain fathah dan rô’ sukun) artinya adalah Aroma. Sedangkan sabda beliau: “Yats‘abu…” (dengan tsâ sukun, ‘ain fathah dan diakhiri dengan bâ’) maknanya adalah mengucur sebagaimana terdapat dalam riwayat lain. Ibnu Daqîq Al-‘Îd berkata di dalam Syarh Al-‘Umdah, “Datangnya luka pada hari kiamat bersamaan dengan mengalirnya darah terdapat dua hal: Pertama, sebagai saksi atas lukanya. Kedua, menampakkan kemuliaannya kepada para penduduk mahsyar yang menyaksikan terhadap aroma misik dan kesaksian akan kebaikan yang ada di sana.”
Dan dari Mu‘adz bin Jabal ra dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang berperang di jalan Alloh sebentar saja, maka sungguh wajib baginya surga. Dan siapa yang memohon dengan jujur agar terbunuh kepada Alloh kemudian ia mati atau benar- benar terbunuh, maka sesungguhnya bagi dia pahala syahid. Dan barangsiapa yang terluka di jalan Alloh atau terkena satu marabahaya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang paling deras, warnanya adalah warna za‘farôn dan aromanya adalah aroma misik. Dan barangsiapa yang keluar bisul di jalan Alloh, maka ia akan mengenakan cincin para syuhada.” Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan isnâd hasan, sedangkan lafadz adalah milik dia. Diriwayatkan juga oleh Tirmizi dan ia berkata, Hadits hasan shohih, dan An-Nasa’i serta Ibnu Majah.
Dan ketahuilah bahwa orang yang terluka di jalan Alloh tidaklah merasakan sakit dari luka tersebut sebagaimana dirasakan oleh orang lain. Terdapat sebuah hadits shohih yang menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh tidak merasa pedih di saat mati kecuali hanya seperti gigitan semut. Jika ini adalah keadaan orang yang terbunuh, maka bagaimana dengan orang yang tidak sampai terbunuh, yaitu hanya terluka. Ini adalah fakta, tidak akan ditentang kecuali orang yang belum pernah membuktikannya.
Berita tentang orang yang terluka tadi tidak terlalu sulit diakal, karena kemarahan dan emosi jika telah mencapai titik klimaks dan menguasai perasaan seseorang, ia akan mendapatkan kedahsyatan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam dirinya dan tak banyak peduli terhadap hal yang tidak mengenakkan dan tidak merasakan rasa sakit, padahal sebelum itu ia tidak merasakannya. Bahkan, antara dua orang yang berkelahi tak jarang hingga mengakibatkan kepala salah satunya pecah yang menyakitkan serta luka yang parah namun ia tidak merasakan hal itu kecuali setelah selesai dari kejadian yang baru saja ia alami; masing-masing membela diri dan tidak ingin mati. Lantas, bagaimana dengan orang yang kemarahannya meledak karena Alloh serta mengeluarkan nyawanya kepada Alloh dan bercita-cita mendapatkan kesyahidan di sisi-Nya; ia menganggap apa yang menimpa dirinya justeru termasuk anugerah dari Alloh, dengan kekuatan cahaya imannya ia menyaksikan apa yang Alloh sediakan bagi para syuhada dan orang-orang yang terluka di jalan-Nya yaitu keutamaan besar, sebagai sebuah pandangan yang hakiki, bukan sekedar ilmu.
• Keutamaan Melempar di Jalan Alloh Ta‘ala dan Dosa Orang yang pernah Mempelajari lalu Meninggalkannya.
Perlu diketahui, belajar melempar –dengan niat berjihad di jalan Alloh Ta‘ala—, mengajarkan dan berlomba-lomba dalam melempar merupakan perkara yang dianjurkan dan didorong oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Melempar ini memiliki banyak keutamaan.
Di antaranya: Alloh Ta‘ala memerintahkan untuk me-lempar sebagai persiapan jihad di jalan Alloh Ta‘ala. Alloh Ta‘ala berfirman:
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…”
Berdasarkan ayat mulia ini sebagian ulama berpendapat bahwa melempar itu wajib hukumnya, sebab maksud keku-atan di sini adalah melempar sebagaimana disebutkan da-lam hadits Shohîh Muslim.
Dari ‘Uqbah bin ‘Âmir ra ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda—saat itu beliau di atas mimbar—, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu…” ketahuilah, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar, kekuatan adalah melempar.”
Hadits lain adalah riwayat Bukhori dan lainnya dari Salamah bin Al-Akwa‘ ra ia berkata: Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewati satu kaum yang sedang berlomba memanah, beliaupun bersabda, “Melemparlah hai Bani Isma‘il, sesungguhnya ayah kalian adalah jago melempar. Melemparlah, aku bersama Bani Fulan.” Maka salah satu kelompok tadi menahan tangannya. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak melempar?” kata mereka, “Wahai Rosululloh, bagaimana kami melempar sementara engkau bersama mereka?” maka beliaupun bersabda, “Melemparlah, sekarang aku bersama kalian semua.”
PEMBAHASAN KEDUA:
RINGKASAN TAHAPAN DISYARI’ATKANNYA JIHAD
Tadinya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diperin-tahkan untuk memberi maaf dan memberi ampun serta menahan diri dari orang-orang musyrik selama beliau berada di Mekkah. Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya.”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-otang yang tiada takut akan hari-hari Alloh.”
Dan dari Ibnu Abbâs ra bahwasanya ‘Abdurrohman bin ‘Auf serta bebepara shahabat datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika masih di Mekkah, mereka mengatakan, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ketika kami dulu masih musyrik, kami merasa mulia; mengapa setelah kami beriman justeru kita menjadi hina?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian berperang…”
Setelah itu, Alloh mengizinkan kaum muslimin untuk berjihad namun belum sampai mewajibkannya atas mereka. Hal itu dengan firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi lantaran mereka dizalimi.”
Dan ini merupakan ayat yang paling pertama turun mengenai perang sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra.
Tahapan selanjutnya Alloh Ta‘ala mewajibkan kepada mereka untuk memerangi orang yang memerangi mereka namun tidak boleh memerangi orang yang tidak memerangi. Hal itu seperti dalam fase yang Alloh firman-kan: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak me-merangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Alloh tidak memberimu jalan bagimu (untuk memerangi dan menawan) mereka.”hingga firman-Nya: “Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepadamu serta menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kalian temui mereka. Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk membunuh dan menawan) mereka.”
Sedangkan tahapan terakhir adalah fase memerangi kaum musyrikin secara total; baik yang memerangi kita atau yang tidak dan memerangi mereka di negeri mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama semuanya menjadi milik Alloh. Pada tahapan inilah hukum jihad berakhir, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia pada fase ini. Mengenai fase ini pulalah ayat pedang turun yaitu firman Alloh Ta‘ala:
“Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian…”
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
Di dalam hadits shohih disebutkan sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh, perangilah orang yang kufur kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulûl, jangan berlaku khianat, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua…”
Imam Ibnul Qoyyim meringkaskan fase-fase di atas dalam kata-kata beliau: “Tadinya diharamkan, kemudian diizinkan, kemudian diperintahkan kepada orang yang memulai memerangi terlebih dahulu, kemudian diperintahkan terhadap semua kaum musyrikin…”
Langganan:
Postingan (Atom)