Senin, 31 Agustus 2009

KHAWARIJ GAYA BARU (BAG.2, HAL.49-67)

DALIL-DALIL YANG MEMBENARKAN PENDAPAT KAMI:

Kami akan memulai menjawab pertanyaan yang diajukan oleh syaikh Al Albani --dengan tau-fiq Allah-- yang beliau katakan kami tak akan me-nemukan jawabannya, yaitu pertanyaan beliau, "Apa dalil kalian atas takwilan seperti ini?"
Kami jawab, "Sekalipun kami tidak setuju de-ngan bentuk soal beliau -karena telah kami jelas-kan bahwa pendapat kami ini sama sekali bukan takwil-, kami tetap menjawab pertanyaan beliau sebagai berikut :
Sesungguhnya yang membawa kami untuk membedakan antara seorang penguasa yang me-netapkan undang-undang selain syari’at Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mere-ka berhukum dengannya, dengan seorang pen-guasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih di antara rakyatnya dengan selain hukum Allah. Kami nyatakan penguasa pertama telah kafir keluar dari milah sementara penguasa kedua be-rada di antara dua kemungkinan ; kafir asghar atau kafir akbar. Kami membawa perkataan Ibnu Abbas kepada penguasa yang kedua. Kami katakan ada banyak alasan yang membawa kami untuk melakukan hal ini, di antaranya:

PERTAMA :
Dalil-dalil yang menegaskan bahwa tasyri’ selain dari Allah adalah kafir akbar.
Sesungguhnya nash-nash syari’at telah me-nunjukkan bahwa siapa yang menetapkan un-dang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum de-ngannya, ia telah melakukan kafir akbar yang mengeluarkannya dari milah, berdasar beberapa dalil berikut ini :

1. Di antaranya firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيـــــلاً
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di an-tara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan-lah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demi-kian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
[QS. An Nisa' :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan me-reka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya --sebagaimana dika-takan oleh Ibnu Qayyim--, "Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…" [A'lamul Muwaqi'in I/84].
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya kembalikanlah perseli-sihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan " Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir". Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir." [Tafsir Al Qur'an Al 'Adzim I/519].
Syaikh Muhammad bi Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan, "Perhatikanlah a-yat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata naki-rah yaitu "suatu perkara" dalam konteks syarat yaitu firman Allah "Jika kalian berselisih" yang menunjukkan keumuman…lalu perhatikanlah ba-gaimana Allah menjadikan hal ,ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir." [Risalatu Tahkimi Al Qawanin hal. 6-7].
Saya bertanya, "Apa yang dilakukan oleh para penetap undang-undang positif? Bukankah mere-ka mengembalikan seluruh perselisihan dan per-bedaan pendapat di antara mereka kepada selain kitabullah dan sunah Rasulullah?"

2. Di antaranya juga adalah firman Allah:

أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menye-satkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
[QS. An Nisa' :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhu-kum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim dalam A'lamul Muwaqi'in I/85 berkata, "Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa sia-pa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum ke-padanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka men-taatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah."
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini menga-takan dalam tafsirnya I/520, "Ini merupakan pe-ngingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisi-han ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Ya-hudi berkata, "Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad." Si shahabat Anshar berkata, " Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka'ab bin Al Asyraf." Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang mu-nafiq yang menampakkan keislaman mereka na-mun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur'an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini."
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi dalam Taisirul 'Azizil Hamid hal 554 mengatakan, "Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemu-dian berpaling kepada berhukum kepada selain Rasul shallallahu 'alaihi wa salam dalam persoa-lan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya."

3. Di antaranya juga adalah firman Allah;

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekat-nya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putu-san yang kamu berikan, dan mereka meneri-ma dengan sepenuhnya."
[QS. An Nisa': 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ib-rahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasu-lullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, de-ngan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521, "Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai ha-kim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
" Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehing-ga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pe-mutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasu-lullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, na-mun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan." [A'lamul Muwaqi'in I/86].

4. Firman Allah Ta'ala :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?"
[QS. Al Maidah :50].

Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahi-liyah yaitu perundang-undangan dan system jahili-yah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan system Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur'an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perun-dang-undangan yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hu-kum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para pene-tap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan le-bih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi da-lam ucapan mereka, sementara para penetap und-ang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau men-cari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
"Mereka itulah orang-orang kafir yang sebe-narnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan." [Risalatu tahkimil- Qawanin hal. 11-12].
Dalam tafsirnya II/68, Ibnu Katsir menjelas-kan ayat ini:
"Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemu-dian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan isti-lah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Se-bagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bang-sa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu se-kumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sum-ber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsu-nya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahu-lukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak berhu-kum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau-pun sedikit."
Saya mengajak syaikh Al Albani --beliau menuduh kami menyelisihi para salaf terdahulu dan pengikut sesudah mereka dari kalangan ulama tafsir, hadits dan fiqih--, saya mengajak beliau untuk memperhatikan apa yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir tentang hukum Tartar dan bagaimana beliau mensifati Alyasiq yang men-jadi undang-undang mereka. Bila syaikh sudah melakukan hal ini, syaikh Albani akan bisa me-ngatakan kepada kami perbedaan apa yang beliau temukan antara kaum Tartar yang dika-firkan oleh Ibnu Katsir ini dan beliau nyatakan wajib dipe-rangi, dengan para penguasa kita hari ini? Bu-kankah para penguaa kita hari ini menetapkan undang-undang dengan mengambil dari berbagai perundang-undangan Barat yang kafir? Mereka mewajibkan rakyat untuk taat dan tunduk kepada undang-undang mereka, tanpa terkecuali kecuali apa yang mereka namakan hukum ahwal syakh-siyah (nikah, cerai, rujuk-pent), itupun tak lepas dari kejahatan mereka, mereka memasukkan di dalamnya hukum-hukum mereka yang bertenta-ngan dengan Al Qur'an dan As Sunah.
Kami katakan tidak ada perbedaan antara Tar-tar dengan para penguasa kita hari ini, justru pa-ra penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'alamah syaikh Ahmad Syakir atas per-kataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Sebelum melanjutkan penjelasan lebih lanjut, saya ingin mengingatkan di sini bahwa ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasul-Nya, para ulama meng-kafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau ma-yoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan me-naburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mah-mud…"
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, "Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka me-nampakkan keislaman dan tidak termasuk pembe-rontak. Mereka bukanlah orang-orang yang me-nyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum mus-limin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzali-man, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya."
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masya=rakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku." [Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu' Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst].
Maksud dari disebutkannya peringatan ini ada-lah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menam-pakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat sya-hadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk me-nyatakan kekafiran mereka dan wajibnya me-merangi mereka, disebabkan karena mereka ber-hukum dengan Alyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan un-dang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Alyasiq kontemporer, sebagai-mana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].

5. Saya kembali ke pembahasan dalil-dalil ka-firnya menetapkan undang-undang positif. Di antara dalil yang menyatakan hal ini adalah firman Allah :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءٌ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menatpkan undang-undang) untuk mere-ka agama yang tidak diizinkan Allah?"
[QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat diri-nya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berka-ta dalam tafsirnya IV/112 ketika menafsirkan ayat ini, "Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa penghara-man bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak."

6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :

اِتَّـــخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمــــَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمـــَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mere-ka dalam penghalalan yang haram dan penghara-man yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan, "Mereka tidaklah menyembah mere-ka, namun jika para pendeta menghalalkan sesua-tu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya." Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A'yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits."
Hadits ini dihasankan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa VII/67, semen-tara sebagian ulama lain melemahkannya. Apa-pun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid (hal. 79) mengatakan tentang ayat ini, "Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah me-ngangkat orang tersebut sebagai rabb, sesemba-han dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…"

7. Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :

وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُـــمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu menta-ati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik."
[QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musy-rikin berkata kepada kaum muslimin,"Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah me-nurunkan ayat ini. [lihat Tafsir Ibnu Katsir II /172].
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, "Karena kalian berpaling dari perin-tah Allah dan syari’atnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan un-dang-undang selain-Nya atas syari’at-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah," Me-reka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..."
Tidak diragukan lagi mengikuti undang-un-dang positif yang menihilkan syari’at Allah meru-pakan sikap berpaling dari syari’at dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsir Adhwaul Bayan IV/91 saat menafsirkan firman Allah:

وَلاَ يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهِ أَحَدًا
"Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan."
[QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata, "Dipahami dari ayat ini "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan" bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pem-buat undang-undang selain apa yang disyari’at-kan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemaha-man ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,:

وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Dan janganlah kalian memakan hewan-he-wan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk ke-fasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-ka-wannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu terma-suk orang-orang musyrik."
[QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menye-lisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-pera-turan) yang menyelisihi syari’at Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat, "Bukankah Aku telah memerintahkan kepa-da kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesung-guhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61]."

8. Telah menjadi ijma' ulama bahwa mene-tapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang ter-sebut merupakan kafir akbar yang menge-luarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah XIII/128 setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Alyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
"Barang siapa meninggalkan syari’at yang te-lah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah man-sukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas sya-riat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperboleh-kan mengikuti selain dineul Islam atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Se-sungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}. [Majmu' Fatawa XXVIII/524].
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa XXVIII/267, "Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati keha-lalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepa-katan ulama."
Saya bertanya, "Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharam-kan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan menger-ti betul akan hal ini, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan III /400 dalam menafsirkan firman Allah, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia ber-sumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musy-rik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin."
Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujta-hidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasa-nya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membo-lehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari pengua-sa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin." [Al Islam wa Audha'una Al Qanuniyah hal. 60].
Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang telah disebutkan menjelas-kan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetap-kan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuh-kan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.

Minggu, 30 Agustus 2009

KHAWARIJ GAYA BARU (BAG.1, HAL. 1-49)

Abu Isra' Al Asyuthi
MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, me-minta pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan perbuatan kami. Barang sia-pa diberi petunjuk oleh Allah, maka tak seorang pun mampu menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tak seorang pun mampu memberinya petunjuk. Saya bersaksi se-sungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad ٍShalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepa-da beliau dan para shahabat.
Amma ba’du…….
Sesungguhnya Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani adalah salah seorang ulama kontempo-rer. Tak seorangpun mengingkari keutamaan be-liau selain orang yang mendustakan atau arogan. Syaikh hafidzahullah telah mengabdikan dirinya untuk hadits Rasulullah dan bekerja keras untuk menyebarkan sunah, memberantas bid'ah serta menyebarkan ilmu salaf di tengah umat. Kami berdoa semoga Allah Ta’ala membalas semua jasa beliau dengan sebaik-baik balasan.
Namun Allah enggan untuk menjadikan seo-rang manusia selain para rasul-Nya sebagai seo-rang yang maksum. Syaikh adalah manusia juga, beliau kadang benar dan kadang salah. Orang yang mengikuti tulisan-tulisan dan kaset-kaset syaikh tentu akan menemukan ada juga kesala-han atau ketergelinciran di dalamnya.
Kami, Alhamdulillah, bukanlah orang-orang yang mencari-cari ketergelinciran orang, membe-sar-besarkannya dan banyak menyebut-nyebut-nya. Karena itu, bukan termasuk kebiasaan kami mencari ketergelinciran-ketergelinciran tersebut. Tetapi bila kami mendapati ketergelinciran dalam pelajaran atau pembahasan kami, kami berpaling dari kesalahan yang kami dapatkan dan kami beramal dengan yang benar. Barangkali kami mengingatkan kesalahan tersebut dalam sebagian majlis kami dengan bahasa yang baik dan metode yang santun, bukan meributkan dan menyebar luaskannya.
Dalam beberapa masa belakangan ini, saya mendengar sebuah kaset syaikh Hafidzahullah. Saya melihat menjadi kewajiban dari ilmu kami untuk segera mendiskusikan sebagian isi kaset beliau dengan diskusi yang tenang, di mana Allah mengetahui bahwa saya tidak mempunyai mak-sud selain menerangkan dan mencari kebenaran.
Kaset yang dimaksud berjudul "Min Manhajil Khawarij" (Manhaj Khawarij). Kaset ini telah direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri "Silsilatu Al Huda wa An Nuur" sebagaimana disebutkan dalam kata pengantarnya.
Dalam kaset ini, syaikh membahas peristiwa yang terjadi di Mesir dan Al Jazair dan menolak sikap keluar dari ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin hari ini, dan beliau memberi fatwa dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan hal ini.
Saudara pembaca yang budiman, tulisan yang ada di hadapan anda ini memuat dua persoalan, barangkali keduanya adalah persoalan terpenting yang disebutkan syaikh dalam kasetnya.
Persoalan pertama adalah masalah keluar (melawan) penguasa kafir. Syaikh berpendapat tidak boleh melawan penguasa hari ini sekalipun mereka jelas-jelas telah kafir.
Persoalan kedua adalah persoalan yang ber-kaitan dengan mengkafirkan penguasa yang me-netapkan undang-undang positif untuk rakyat tanpa berlandaskan kepada (hukum) Allah dan penguasa yang mewajibkan rakyat untuk berhu-kum kepada undang-undang positif. Syaikh ber-pendapat penguasa seperti ini tepat untuk dikenai apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, "Kufrun duna kufrin " (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam).
Dalam tulisan ini pembaca akan menemukan diskusi ilmiah terhadap dua persoalan ini dan penjelasan tentang pendapat yang benar dalam kedua masalah ini. Kemudian saya lampirkan juga beberapa halaman lain seputar tema-tema lain yang terpisah-pisah namun masih ada kaitannya dengan dua permasalahan di atas.
Sebenarnya hal yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini adalah bahwa saya mendapati perbincangan seputar permasalahan-permasala-han ini menjadi ciri umum dari pembicaraan dan majlis syaikh. Sekiranya persoalannya sekedar sekali majlis saja di mana syaikh mengutarakan pendapatnya, tentulah persoalannya remeh. Na-mun kami mendapati syaikh selama bertahun-tahun telah berbicara seputar dua permasalahan di atas dengan menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan beliau sebagai orang-orang bodoh dan tergesa-gesa, dengan memakai ungka-pan-ungkapan pedas dan kasar. Sebaliknya kami tidak mendapati ungkapan yang pedas dan kasar ini beliau tujukan kepada pihak yang lain, yaitu para penguasa sekuler yang merupakan faktor terbesar terjadinya bencana dalam diri umat ini dengan kejahatan mereka menjauhkan umat ini dari kitab Rabbnya dan sunah Nabinya Shallalahu 'alaihi Wa Salam, dan kejahatan mereka memak-sa umat ini untuk berjalan sesuai keinginan Barat yang kafir dan ridha dengan program-program Yahudi dan Nasrani.
Telah kami lihat di antara pengaruh dari metode syaikh ini, banyak pemuda-pemuda yang mengikuti syaikh dan metode beliau, melihat para penguasa sekuler yang merubah syari’at Allah sebagai ulil amri (penguasa) yang wajib kita dengar dan kita taati dan bahwa keluar dari ketaatan kepada mereka layaknya keluar dari penguasa-penguasa umat Islam masa awal dahulu. Sebaliknya, kami melihat mereka melihat saudara-saudara mereka yang memusuhi pengua-sa tadi layaknya Khawarij ahli bid'ah, tidak layak disikapi selain dengan celaan dan cercaan, bah-kan barangkali sebagian berpendapat lebih jauh lagi dengan meminta penguasa memusuhi mere-ka dan lain sebagainya.
Berangkat dari sini, saya memberanikan diri untuk menulis lembaran-lembaran ini meskipun harus melewati kesulitan yang berat, karena saya tak pernah sekalipun menginginkan mengambil sikap membantah atau menentang syaikh Nashi-rudin, namun kebenaran yang diajarkan oleh dien kami menyatakan kebenaran lebih kami cintai melebihi para ulama dan masayikh kami serta seluruh umat manusia.
Dalam kesempatan ini saya ingin menerang-kan bahwa ketika kami berbeda pendapat dengan syaikh dalam sebagian persoalan ilmiah, kami berlepas diri kepada Allah Ta'ala dari orang-orang yang memusuhi syaikh dan membenci beliau disebabkan beliau berpegang teguh dengan As Sunah dan membela aqidah yang benar. Kami memohon kepada Allah semoga perbedaan kami dengan beliau tetap berada dalam koridor ahlu sunah wal jama'ah, ahlul haq wal 'adl, mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan Rasulullah dan para shahabatnya. Semoga Allah tidak menjadikan dalam hati kami kebencian ke-pada orang-orang mukmin. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Dan sebagai penutup dari pem-bicaraan kami," Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam."
Abu Isra' Al Asyuthi
Sabtu Sore, 11 Sya'ban 1417 H/21 Desember 1996 M.




PASAL I
MASALAH KELUAR DARI PENGUASA KAFIR

Ini adalah masalah pertama yang ingin kami bicarakan. Dalam awal kaset yang tersebut di atas, syaikh ditanya tentang peristiwa yang terjadi di Aljazair dan pandangan syari’at dalam masalah tersebut. Beliau menjawab pertanyaan ini dengan pertama kali menyebutkan perkataan ulama," Maa buniya 'ala Fasidin fahuwa faasidun " (apa yang dibangun di atas landasan yang rusak maka hasilnya tetap rusak)." Beliau membuat contoh; sholat tanpa thaharah, maka ini bukan sholat (yang sah).
Kemudian beliau berkata, "Kami selalu dan se-lamanya menyebutkan bahwa keluar terhadap para penguasa walaupun mereka telah pasti ke-kufurannya, keluar dari mereka hukumnya sama sekali (mutlak) tidak disyari’atkan. Dikarenakan kalaupun keluar ini merupakan suatu keharusan, ia harus berlandaskan syari’at sebagaimana sholat yang kami sebutkan tadi ; harus berlandaskan thaharah, yaitu wudhu'. Kami berdalil dalam masalah seperti ini dengan firman Allah seperti :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
" Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah." [QS. Al Ahzab ;21].

Sesungguhnya periode yang dilalui kaum muslimin hari ini dengan berkuasanya para penguasa, taruhlah kekafiran mereka itu telah nyata sebagaimana kekafiran orang-orang musy-rik secara sempurna. Taruhlah kita menerima hal ini, kami katakan, "Sesungguhnya kondisi dimana kaum muslimin saat ini hidup dibawah kekuasaan para penguasa --taruhlah kita katakan "para penguasa kafir" meminjam istilah jama'ah takfir secara lafal, bukan secara maknanya, karena dalam masalah ini ada pembahasan rinci yang su-dah terkenal-- maka kami katakan, "Sesungguh-nya kehidupan kaum muslimin hari ini di bawah kekuasaan para penguasa tadi tidak jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Rasulullah dan para shahabat yang disebut oleh para ulama dengan periode Makkah. Beliau telah hidup di bawah kekuasaan para thaghut kafir musyrik yang te-rang-terangan menolak untuk menerima dakwah dan mengatakan kalimatul haq Laa Ilaaha Illa Allah, bahkan paman beliau sendiri Abu Thalib di akhir hayatnya mengatakan," Kalaulah tidak kare-na takut kaumku akan mencercaku, tentulah aku akan mengucapkannya sehingga engkau tenang."

Mereka telah jelas-jelas kafir dan menentang dakwah Rasul, namun beliau hidup di bawah kekuasaan dan pemerintahan mereka, beliau ti-dak berbicara kepada mereka kecuali mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya. Lalu datanglah periode Madinah, lalu turunlah hukum-hukum syar’i seca-ra terus menerus. Dimulailah perang antara umat Islam dengan kaum musyrikin sebagaimana dise-butkan dalam buku-buku sirah nabawiyah.
Adapun pada periode pertama, periode Makkah, sama sekali tidak ada keluar (dari pe-nguasa kafir) sebagaimana banyak dilakukan umat Islam hari ini di negara yang bukan negara Islam. Keluar seperti ini tidak berada diatas petunjuk Rasul yang kita diperintahkan untuk mengambil suri tauladan dari beliau, khususnya lagi dalam ayat di atas:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah." [QS. Al Ahzab ;21].
Selesai perkataan syaikh Nashirudin Al Albani tentang tidak disyari’atkannya keluar dari para penguasa sekalipun mereka telah jelas-jelas kafir.

Sebagai catatan atas pendapat beliau, dengan prihatin kami katakan,"Perkataan syaikh ini ber-tentangan dengan nash-nash syariah baik Al- Qur'an, Sunah Rasulullah maupun ijma' salaf umat ini. Penjelasannya sebagai berikut :

1. Perkataan beliau menyelisihi nash-nash syariah :

a. Karena Allah telah memerintahkan dalam banyak ayat dalam Al Qur'an untuk memerangi orang-orang kafir :
Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ

"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kesyirikan dan kekafiran) dan supaya dien semata-mata menjadi milik Allah..."
[QS. Al Anfal :39].
Dan firman-Nya :

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ
"Maka perangilah orang-orang musyrik di ma-napun kalian menemukan mereka." [QS. At Taubah :5].
Dan firman-Nya :

فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَأَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
"Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafi-ran karena sesungguhnya mereka tidak ada perjanjian lagi (dengan kalian) supaya mereka mau berhenti."[Qs. At Taubah :12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya memerin-tahkan untuk memerangi orang-orang kafir, se-dangkan para penguasa adalah kafir, maka bagai-mana keluar dari mereka dan memerangi mereka hukumnya sama sekali tidak disyari’atkan seba-gaimana syaikh ungkapkan?

b. Lalu di mana posisi syaikh terhadap hadits-hadits yang menashkan untuk memerangi para penguasa jika mereka telah kafir :
• Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Sha-mit,"Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara baiat yang beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar dan ta'at baik dalam kea-daan sukarela maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas penguasa yang men-dahulukan kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah kalian merebut urusan (kepe-mimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika kalian melihat kufur yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari sisi Allah." [HR. Bukhari 7055,7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].
• Hadits Ummu Salamah secara marfu',"Akan ada para umara' yang kalian ketahui lalu ka-lian ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa me-ngingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah) orang yang ridha dan mengikuti." Mereka bertanya," Apakah tidak kami perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab,"Tidak, selama mereka masih sho-lat." [Muslim 1853, abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad VI/302,305,321].
• Hadits Auf bin Malik,"Ditanyakan,"Ya Rasu-lullah, bolehkah kami melawan mereka dengan pedang?" Beliau menjawab," Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian." [Muslim 1855. Ahmad VI/24, Darimi II/324].
Bukankah hadits-hadits ini merupakan nash-nash qah'i disyari’atkannya keluar dengan pedang dari para penguasa jika mereka kafir dan keluar dari hukum syar’i yang hanif? Bukankah kondisi yang disyari’atkan oleh Rasulullah kepada kita untuk keluar dari para penguasa adalah kondisi yang dikatakan oleh syaikh sebagai keluar dari para penguasa sama sekali tidak disyari’atkan?
Kemudian kami bertanya kepada syaikh," Bukankah kafirnya seorang penguasa merupa-kan sebuah kemungkaran?" Kami tak ragu lagi bahwa jawaban beliau pasti ya, sebuah kemung-karan. Bahkan merupakan kemungkaran terbesar. Kalau memang demikian, maka kami katakan Rasul kita telah memerintahkan kita untuk meng-hapus kemungkaran. Beliau bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran ; jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, kalau tidak sanggup hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, kalau masih tetap tidak sanggup maka hendaklah ia merubahnya dengan ha-tinya dan itulah iman yang paling lemah."
[Muslim 49, Abu Daud 1140,4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah 1275, 4013, Nasai VIII/111-112, Ahmad III/54 dari hadits Abu Sa'id al Khudriy].
Kalau demikian halnya, maka kami menuntut berdasar syari’at agar kemungkaran penguasa ini yaitu kekufurannya, dihilangkan. Jika kekafiran-nya tidak bisa ditahan kecuali dengan memerangi dan keluar darinya dengan pedang, maka hal itu-lah yang wajib dikerjakan. Imam Al Qarafi dalam Al Dzakhirah III/387 ketika membahas sebab-sebab jihad, mengatakan :
"Sebab pertama : dan ini dijadikan patokan dasar wajibnya jihad, yaitu untuk mengilangkan kemungkaran kekafiran. Karena kekafiran merupa-kan kemungkaran yang paling besar. Barang siapa mengetahui kemungkaran dan mampu untuk menghilangkannya, wajib baginya untuk menghilangkannya."

2. Perkataan syaikh bertentangan dengan ijma' ulama dari kalangan salafush sholih dan ulama sesudah mereka. Di bawah ini saya nukilkan sebagian perkataan mereka yang menunjukkan hal ini :

a. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, "Para ulama telah ijma' (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid'ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau kha-lifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak?." Ibnu Hajar berkata," Pernyataan beliau tentang adanya ijma' ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid'ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid'ah yang jelas-jelas membawa kepada keka-firan yang nyata."

b. Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/132 juga menyatakan,"Kesimpulannya seorang khalifah di-pecat berdasar ijma' kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut."

c. Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan," Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya."

d. Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Sha-hih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh,"Jika terjadi kekafiran atau merubah syari’at atau bid'ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan men-jatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang ma-ka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi' (berbuat bid'ah) tidak wajib menjatuh-kannya kecuali jika mereka memperkirakan mam-pu melakukan hal itu…"

e. Imam Ibnu Katsir setelah menyebutkan Alyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata,"Undang-undang ini bagi anak keturunan-nya akhirnya menjadi sebuah perundang-unda-ngan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah dan Sunah Rasu-lullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masalah yang sedikit maupun banyak." [Tafsir Al Qur'anil 'Adzim II/68].

f. Imam Asy Syaukani setelah berbicara ten-tang orang yang berhukum kepada selain syari’at Allah, beliau berkata," Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah keharu-san sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti." [Ad Dawa-ul 'Ajil Fi Daf'il 'Aduwwi al Shoil hal. 25].

g. Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al Kafi (I/463) mengatakan,"Al Umari al 'abid --yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab] bertanya kepada imam Malik bin Anas,"Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?" Imam Malik menjawab, "Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit." Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,"Jawaban Imam Malik ini sekalipun ber-kenaan dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang musyrik dan mencakup amar makruf nahi mung-kar. Seakan-akan beliau berkata siapa mengeta-hui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak menimpakan kehi-naan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…".
Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama yang menyatakan adanya ijma' keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah kafir ini menjelaskan kesalahan pendapat syaikh Al Albani yang menyatakan tidak disyari’atkannya keluar dari penguasa yang kafir.
Sebagaimana orang yang memperhatikan soal yang diajukan kepada Imam Malik mendapati bahwa si penanya tidak menanyakan bolehnya memerangi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi bertanya tentang boleh-nya tidak terlibat dalam memerangi mereka. Jika kita telah mengetahui bahwa penanya adalah Abdullah bin Abdul Azizi Al Umari, seorang ulama yang zuhud, tsiqah, seorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana dise-butkan dalam Tahdzibu Tahdzib III/196-197. Saya katakan kalau kita telah mengetahui hal ini, kita akan memahami jawaban karena memang bentuk soalnya seperti ini. Al Umari al 'abid telah memahami betul bahwa memerangi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah di-syari’atkan bahkan wajib. Tapi ia menanyakan apakah ada rukhshah (keringanan) yang membo-lehkan tidak memerangi mereka? Ternya-ta jawaban Imam Malik jeli juga, beliau mengem-balikan masalah ini kepada banyak dan sedikitnya jumlah, artinya kepada kemampuan. Maksudnya, siapa mempunyai kemampuan maka ia harus me-merangi mereka, sedang yang tidak mempunyai kemampuan tidak mengapa jika ia tidak meme-rangi mereka.
Dalam penjelasan imam Ibnu Abdil Barr terhadap perkataan imam Malik, imam darul hijrah, juga terkandung sebuah kupasan yang sangat baik yaitu perkataan beliau,"…maka ia boleh meninggalkan…" Beliau tidak mengatakan ,"…Wajib baginya meninggalkan…" ini menunjuk-kan bahwa kemampuan bukanlah syarat sahnya perang, melainkan sekedar syarat wajibnya pe-rang. Siapa tidak mempunyai kemampuan maka tidak ada dosa atasnya jika ia memaksakan dirinya berjihad, bahkan sekalipun ia mengetahui ia tidak mampu meraih kemenangan atas musuh, selama hal itu masih mengandung maslahat syar’iyah seperti menanamkan ketakutan di hati musuh dan membangkitkan keberanian dalam diri kaum muslimin atau maslahat lain.

3. Adapun alasan yang diajukan oleh syaikh bahwa kondisi umat Islam saat ini di bawah para penguasa tadi adalah seperti kondisi Nabi pada fase Makkah, sedang Rasulullah tidak memerangi orang-orang kafir selama di Makkah ! Setiap orang tentu akan sangat heran, bagaimana seorang ulama yang giat dalam masalah ilmu dan tahqiq seperti syaikh bisa beralasan dengan alasan yang ganjil ini.

Tak diragukan lagi bahwa syaikh tentu menge-tahui bahwa dien ini telah sempurna, nikmat Allah telah sempurna dan bahwasanya hukum-hu-kum pada fase Makkah telah dihapus pada fase Madinah. Di antaranya ; jihad dilarang pada fase Makkah lalu diwajibkan pada fase Madinah. Kita diminta untuk melaksanakan urusan Rasulullah yang paling akhir. Ajaran yang ada pada saat Rasulullah wafat, itulah dien sampai hari kiamat nanti. Tak boleh bagi seorangpun untuk meniada-kan hukum yang telah jelas dari Rasululah de-ngan alasan kita berada dalam suatu kondisi yang mirip dengan fase Makkah.
Kalau alasan ini benar, tentulah amat benar pula orang yang mengatakan,"Kita tidak akan mengeluarkan zakat dan mengerjakan shaum karena kita berada dalam kondisi yang mirip dengan fase Makkah, karena zakat dan shaum baru diwajibkan saat fase Madinah.”
Yang lebih mengherankan lagi, syaikh Al-Albani telah mengatakan hal yang kami katakan ini, dalam sebuah kaset beliau yang berjudul "Hamas dan Ahlu Sunah di Khan Yunus", ka-set ini telah direkam dengan tanggal 8 Muharram 1414 H dengan nomor 747/1 dari serial Silsilatu Al huda wa Al nuur, sebagaimana disebutkan di awal kaset tersebut. Dalam kaset tersebut beliau syaikh ditanya tentang seseorang yang datang dari Khan Yunus," Saudara-saudara kami di sana mengatakan, "Kami meyakini apa yang dinama-kan dengan masyarakat Makkah ; sabar dan dakwah…" Tapi penanya berkata, "Khan Yunus, seluruh penduduknya beragama Islam. Kadang-kadang mereka terpaksa harus menghilangkan kemungkaran dengan tangan. Apakah boleh bagi kami merubah kemungkaran dengan tangan …?"
Syaikh menjawab, "Pertama. Dari pertanyaan anda tadi keluar sebuah kata yang saya kira tidak anda sengaja. Dengan kata lain, lisan anda men-dahului keinginan mereka. Saya tidak mengira mereka bermaksud dengan kandungan kata tadi. Anda katakan --seingat saya-- mereka mengang-gap diri mereka berada pada fase Makkah. Kami mendengar dari sebagian orang bahwa mereka mengganggap diri mereka dalam fase Makkah akibat kondisi dan intimidasi yang mereka terima. Ini sungguh suatu kesesatan yang nyata. Karena bila seorang muslim menganggap dirinya berada dalam fase Makkah, maknanya ia bebas dari hu-kum-hukum yang telah jelas-jelas wajib dikerja-kan atau ditinggalkan menurut para ulama kaum muslimin. Hal ini selamanya tak akan dikatakan oleh seorang muslim. Menurut persangkaan saya, hal yang membuat mereka mengatakan demikian apalagi meyakini maknanya adalah perasaan me-reka bahwa mereka tidak mampu untuk melaksa-nakan banyak atau sedikit dari hukum-hukum syar’i. Realita sesungguhnya yang menyebabkan mereka melakukan hal ini adalah ketidak menger-tian mereka terhadap Islam dan kaedah-kaedah ilmiah Islam yang memungkinkan seorang muslim untuk mensikapi kondisi kehidupan masanya tan-pa harus merasa berada dalam fase Makkah atau seperti dalam fase Makkah."
Lalu syaikh kembali menjawab pertanyaan ta-di, yang intinya bolehnya merubah kemungkaran dengan tangan tak memerlukan izin lagi setelah adanya sabda Rasulullah :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكـــَرًا فَلـْيُغَـيِّرْهُ بِيَدِهِ
"Siapa di antara kalian melihat suatu kemung-karan, maka jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya."

Namun wajib hukumnya mempehatikan timba-ngan mashalih dan mafasid (untung dan rugi), sehingga tidak boleh merubah kemungkaran de-ngan tangan dan lisan jika akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang dirubah.
Perkataan beliau ini sangat kuat, yang seperti ini adalah pendapat beliau yang lain yang ditulis oleh pengarang buku "Hayatul Al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanaul 'Ulama' 'Alaihi" (Kehi-dupan syaikh Al-Albani, pengaruhnya dan pujian ulama kepada beliau). Dalam buku tersebut I/396, sebagai jawaban syaikh atas sebuah perta-nyaan tentang bertahap dalam menyampaikan syariah, beliau syaikh menjawab," Islam telah sampai kepada kita secara sempurna dan paripurna, maka tidak boleh menerapkan seba-giannya dengan meninggalkan sebagian lainnya atau memilih-milih yang sesuai dengan kondisi dan melalaikan yang tidak sesuai dengan kondisi jika masih mungkin untuk diterapkan. Sesung-guhnya Islam yang hari ini ada di hadapan kita berbeda dengan Islam sebelum turunnya firman Allah;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لـــَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لـــَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينـــًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan dien kalian untuk kalian, dan Aku sempurnakan untuk kalian nikmat-Ku dan Aku telah ridha Islam sebagai dien kalian." [QS. Al Maidah :3].
Islam yang hari ini ada di hadapan kita telah sempurna tak ada kekurangan di dalamya baik secara perealisasian maupun hukumnya. Setiap ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal dan tidak mustahil untuk direalisasikan, akan tetapi sesuai dan sebagai perelaisasian dari kaedah yang diringkas oleh ayat :

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertaqwalah kepada Allah sesuai ke-mampuan kalian."

Jadi, hukum dasarnya adalah beramal dan merealisasikan syariah secara sempurna sesuai kemampuan. Itulah yang ditegaskan oleh hadits Rasulullah :

مَا أَمَرْتُكُمْ مِنْ شَيْئٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ
"Apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah."
Maksud dari penjelasan syaikh Albani --dan kami Alhamdulillah, tidak mengatakan kecuali seperti apa yang beliau katakan -- bahwasanya Islam telah sempurna, nikmat telah sempurna. Di antara yang secara yakin kita ketahui bahwa syari’at telah sampai pada perintah terakhir wajibnya jihad, dan di antara jihad adalah keluar dari para penguasa jika telah nampak dari diri mereka kekafiran yang jelas terang-terang ada dalilnya dari sisi Allah. Wallahu A'lam.

4. Bahkan kami tambahkan dari uraian di atas bahwa taruhlah masih ada syubhat atas telah kafirnya para penguasa yang menetapkan perundang-undangan positif untuk manusia tanpa izin dari Allah, maka syubhat ini tetap tak bisa menjadi penghalang dari memerangi mereka.

Hal ini dikarenakan mereka menentang penega-kan hukum-hukum Allah. Telah terjadi ijma' ula-ma’ bahwa setiap kelompok yang mempunyai ke-kuatan, yang menentang dari sebuah syariah saja dari syariah-syariah yang dhahir dan mutawatir, maka wajib hukumnya memerangi kelompok ter-sebut meskipun mereka tetap mengakui syariah tersebut dan tidak mengingkarinya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam banyak tem-pat dalam Majmu' Fatawa beliau.
Di antaranya adalah perkataan beliau ketika ditanya tentang memerangi bangsa Tartar," Se-tiap kelompok yang menolak untuk komitmen dengan sebuah syariah dari syariah Islam yang dhahir mutawatir seperti kaum tersebut (Tartar) dan selainnya, maka wajib hukumnya memerangi mereka sampai mereka kembali komitmen de-ngan syari’at-syari’at Islam, sekalipun mereka ma-sih mengucapkan syahadat dan komitmen dengan sebagian syari’at Islam.
Sebagaimana Abu Bakar dan para shahabat memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama setelah mereka setelah terjadinya dialog antara Abu Bakar dengan Umar. Maka para shahabat telah bersepakat untuk berperang demi menjaga hak-hak Islam, sebagai pengamalan Al Qur'an dan As Sunah. Demikian juga telah tetap dari Rasulullah sepuluh sanad: hadits tentang Khawarij. Beliau memberitahukan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruk makhluk, sekalipun beliau menyebutkan," Sholat kalian akan remeh bila dibandingkan sholat mereka, dan shaum kalian akan remeh bila diban-dingkan shaum mereka."
Dengan ini diketahui bahwa sekedar berpe-gang teguh dengan Islam tanpa disertai komit-men kepada syari’at-syari’atnya tidak menggu-gurkan dari sikap memerangi mereka. Perang wajib ditegakkan sampai seluruh dien menjadi hak Allah, dan sampai fitnah tidak ada lagi. Kapan saja dien itu untuk selain Allah maka perang hukumnya wajib. Maka kelompok mana saja me-nolak mengerjakan sebagian shalat yang wajib, atau shaum atau haji atau untuk komitmen de-ngan pengharaman darah, harta, khamar dan judi atau menikahi perempuan mahramnya atau me-nolak untuk komitmen dengan jihad melawan orang-orang kafir atau mengambil jizayah dari ahlu kitab dan kewajiban serta larangan dien lainnya --di mana tak ada udzur pada seorangpun untuk mengingkarinya dan meninggalkannya, bahkan orang yang mengingkarinya telah kafir-- maka kelompok yang menolak ini diperangi seka-lipun masih mengakui syari’at ini. Ini adalah se-suatu perkara yang aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama." [Majmu' Fatawa XXVIII/502-503].

Beliau juga menyatakan," Dien adalah keta-atan. Bila sebagian dien untuk Allah dan sebagian lainnya untuk selain Allah, maka wajiblah perang sampai seluruh dien menjadi hak Allah." [Majmu' Fatawa XXVIII/544].

Apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam ini juga menjadi pendapat para ulama selain beliau :

(a). Imam Nawawi telah menyebutkan dalam syarh atas hadits Abu Hurairah tentang diskusi Abu Bakar dengan Umar, beliau berkata," Dalam hadits ini disebutkan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat atau me-ngerjakan sholat atau kewajiban-kewajiban Islam lainnya baik sedikit ataupun banyak, berdasar perkataan beliau Radhiyallahu 'anhu, "Kalau me-reka tidak membayarkan kepadaku tali ikat unta …" [Syarhu Shahih Muslim II/212].
(b) Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Al Araby dalam Ahkamul Qur'an II/596 ketika berbicara tentang ayat perang dalam suat Al Maidah, beliau menga-takan," Jika ditanyakan bagaimana ayat ini juga mengenai kaum muslimin padahal Allah telah menyatakan ;"Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya", padahal itu adalah sifat orang kafir?" Kami kata-kan memerangi itu bisa berwujud I'tiqad (keya-kinan) yang rusak, kadang juga berwujud mak-siat. Allah akan membalas sesuai jenisnya, seba-gaimana firman Allah ," Maka jika mereka tidak mau bertaubat maka umumkanlah bahwa Allah dan rasul-Nya memerangi mereka." Jika dikata-kan ayat ini tentang orang yang menghalalka riba,. kami jawab," Ya, memang, dan bagi setiap orang yang melakukannya, Sesunguhnya umat ini telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan maksiat maka ia diperangi sebagaimana kalau penduduk sebuah negeri bersepakat untuk mela-kukan riba atau meninggalkan sholat Jum'at dan jama'ah."

(c) Ibnu Qudamah dalam Al Kafi I/127 menga-takan," Adzan itu disyari’atkan untuk sholat lima waktu, bukan untuk sholat lainnya. Ia termasuk fardhu kifayah, karena termasuk bagian dari syiar-syiar Islam yang nampak seperti jihad. Jika penduduk suatu negeri sepakat untuk meninggal-kannya maka mereka diperangi."
(d) Ibnu Khuwaiz Mandad berkata," Jika pen-duduk suatu negeri berkecimpung dengan riba sebagai bentuk penghalalan, maka mereka men-jadi murtad dan hukum atas mereka seperti hu-kum orang yang murtad. Jika mereka tidak meng-halalkan riba, imam boleh memerangi mereka. Bukankah Allah telah mengizinkan hal itu, seba-gaimana firman-Nya," Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya." [Al Jami' li Ahkamil Qur'an lil Qurthubi III/364].

(e) Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jamiul Ulum wal Hikam hal. 73 berkata," Jika telah masuk Islam, lalu melaksanakan sholat dan zakat serta menjalankan syari’at-syari’at Islam, maka ia mem-punyai hak yang sama dengan hak seorang muslim lainnya dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban muslim lainnya. Jika me-ninggalkan salah satu dari rukun-rukun, jika mere-ka sebuah kelompok maka mereka dipe-rangi…"
Saya katakan," Jika kelompok yang mempu-nyai kekuatan diperangi hanya karena ia menolak satu saja dari syari’at Islam, maka para penguasa hari ini mereka telah menolak kebanyakan sya-ri’at Islam. Kalau tidak, hendaklah syaikh menga-takan kepada kami apakah para penguasa kita hari ini melaksanakan dengan konskuen jihad me-lawan orang-orang kafir? Apakah mereka melaksa-nakan dengan konskuen jizyah dari orang-orang ahlul kitab? Apakah mereka kon-skuen dengan pengharaman zina? Apakah mereka konskuen dengan hukum-hukum qishash, hudud dan diyat? Apakah, apakah, apakah…?
Orang yang meneliti kondisi para penguasa pada saat sekarang ini mendapati mereka telah menolak sebagian besar syari’at Islam. Sikap me-reka yang paling baik sekedar mengatakan kami mengakui syari’at-syari’at ini dan tidak mengigka-rinya. Namun pengakuan mereka ini tidak meng-halangi untuk memerangi mereka sebagaimana telah diterangkan oleh syaikhul Islam. Maka bagaimana jika para penguasa tadi sejak awal tidak mengakui kebanyakan syari’at Islam yang dhahir dan mutawatir? Sebagai contoh, kita me-ngetahui secara yakin para penguasa tidak me-ngakui hukum-hukum tentang ahlu dzimah yang disebutkan oleh kitabullah dan sunah Rasululah dan mereka mengatakan tidak ada perbedaan antara seorang muslim dan nasrani, semuanya di hadapan hukum negara sama. Mereka mengata-kan jizyah itu telah kadaluwarsa, faham kewarga negaraan telah menggusur pemahaman tentang ahlu dzimah, sebagaimana sebagian penguasa hari ini mensifati hukum hudud dengan tuduhan tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan kema-juan zaman. Dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Oleh Karena itu kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyari’at-kannya keluar dari para penguasa pendosa ter-sebut, yang tidak saja membuang syari’at Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum dengan hukum-hukum berhala. Tetapi mereka juga me-merangi para da'i dengan membunuh, menyiksa, menyeret mereka ke tempat-tempat penjagalan keji yang mereka namakan pengadilan militer. Mereka tidak mempunyai tujuan selain membera-ngus para da'iI yang akan menegakkan syari’at Allah dan berhukum dengan kitabullah di muka bumi ini.
Kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyari’atkannya memerangi pa-ra penguasa tersebut dengan catatan menjaga rambu-rambu syari’at seperti menimbang masla-hat dan mafsadat serta konskuen dengan hukum-hukum syari’at dalam masalah jihad. Wallahu A'lam.



PASAL II
PERSOALAN KUFUR TASYRI'


Syaikh dalam kaset yang disebutkan di atas telah ditanya mengenai pendapat Ibnu Abbas da-lam menafsirkan firman Allah :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."
[QS. Al Maidah :44].
Si penanya, semoga Allah memberinya petun-juk, mengatakan, "Mereka mentakwil (yang dia maksudkan adalah mujahidin yang ia sebut seba-gai Khawarij Gaya Baru) tafsir dari pendapat Ibnu Abbas dalam firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir ",
Secara sopan bahwasanya Ibnu Abbas tidak memaksudkan dengan pendapatnya ini orang-orang yang (demikian dalam kaset) menandingi hukum-hukum Allah dan syari’atnya dengan mem-buat hukum-hukum sendiri, menetapkan perun-dang-undangan yang menandingi syari’at Allah. Akan tetapi maksud dari Ibnu Abbas adalah penguasa yang mengganti system pemerintahan seperti dari syura dan khilafah menjadi kerajaan dan seterusnya…"
Syaikh menjawab, "Takwil yang lucu ini sama sekali tidak memberi mereka faedah, karena tak-wil mereka ini tak lebih dari sekedar takwil-takwil mereka yang lainnya. Kami katakan kepada mere-ka," Apa dalil kalian dalam menakwilkan dengan takwilan ini? Mereka pasti tak bisa menjawab. Ini masalah pertama.
Kedua. Ayat yang ditafsiri oleh Abdullah Ibnu Abbas dengan pendapatnya yang terkenal ini "Dan barang siapa tidak memutuskan perkara de-ngan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir," dengan apa para ulama tafsir menafsirkannya, perdebatan ini akan kembali ke masalah pertama. Para ulama tafsir telah bersepakat bahwa kufur itu ada dua ; kufur I'tiqad (keya-kinan) dan kufur amal.
Tentang ayat ini mereka mengatakan barang siapa tidak mengamalkan hukum yang diturunkan Allah maka ia berada dalam salah satu dari dua kondisi ; boleh jadi ia tidak mengamalkan hukum Allah karena mengkafirinya, maka ia termasuk penduduk neraka yang kekal di dalamnya. Atau boleh jadi ia mengikuti hawa nafsunya, bukan ka-rena keyakinannya (kufur dengan hukum Allah), namun sekedar mempraktekan hukum manusia seperti orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Islam, maka dalam hal ini tidak termasuk kufur I'tiqadi.
Sebagaimana juga orang-orang muslim yang di dalamnya ada orang yang berinteraksi dengan riba, orang yang berzina, penjudi dan seterusnya. Mereka itu tidak bisa dikatakan kafir dalam artian murtad, jika mereka masih mengimani penghara-man hal-hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, para ulama tafsir dalam ayat ini telah menjelas-kan dengan penjelasan yang berlawanan dengan takwil mereka (mujahidin yang disebut khawarij gaya baru). Mereka mengatakan hukum Allah, jika tidak dipraktekkan dengan dasar aqidahnya, maka ia telah kafir dan jika tidak dipraktekkan, namun ia masih mengimaninya hanya saja mere-mehkan pelaksanaanya maka ini kufur 'amali.
Dengan demikian, mereka ini menyelisihi kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi para pengikut mereka dari kalangan ulama tafsir, fiqih dan hadits. Dengan demikian, mereka telah me-nyelisihi firqah najiyah."
Selesai pembicaraan syaikh Albani dengan teks lengkap. Dalam penjelasannya ini, syaikh te-lah menghukumi --sebagaimana anda lihat-- o-rang yang tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini dengan vonis mereka menyelisihi firqah najiyah, artinya menyelisihi ahlu sunah wal jama'ah.
Saya katakan sesungguhnya kebenaran yang kami yakini, bahwasanya pendapat Ibnu Abbas dalam persoalan ini tidak mungkin dimaksudkan terhadap para penguasa hari ini yang menying-kirkan syari’at Islam untuk menjadi hukum yang berlaku atas hamba-hamba Allah dan mereka menggantinya dengan hukum-hukum buatan ma-nusia, mereka mewajibkan rakyat untuk tunduk dan berhukum dengannya. Sesungguhnya mak-sud dari perkataan beliau "kufrun duna kufrin" adalah seorang qadhi dan amir yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk mene-tapkan hukum di antara manusia dalam satu atau lebih kasus dengan selain hukum Allah, namun dalam hatinya ia masih mengakui bahwa dengan hal itu ia telah berbuat maksiat.
Ketika kami mengatakan hal ini, kami sama sekali tidak mendatangkan pendapat yang baru. Kami meyakini bahwa pendapat ini adalah panda-pat yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i yang lurus dan merupakan pendapat para ulama salaf dan ulama sesudah mereka. Hanya saja sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan syaikh Albani yang kata beliau kita tak akan bisa menja-wabnya, yaitu,"Apa dalil kalian dalam mentakwil seperti ini?" Saya katakan sebelum menjawab pertanyaan beliau ini, saya melihat sebaiknya saya beri tiga pengantar :

Pengantar Pertama :

Dalam pembicaraannya, Syaikh telah berpedo-man dengan riwayat Ibnu Abbas dalam menafsir-kan firman Allah :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." [QS. Al Maidah :44].
Ibnu Abbas mengatakan, "Kufrun duna kufrin' atau," Bukan kufur yang kalian maksudkan."
Saya katakan ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum de-ngan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Kare-na itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada pen-jelasan rinci yang sudah terkenal.
1. Imam Waki' meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41," menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi' al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma'mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata," Ibnu Abbas telah ditanya menge-nai firman Allah," "Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Beliau menjawab, "Cukuplah hal itu menjadikannya kafir."
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki', yaitu Hasan bin Abi Rabi' al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja'd al 'Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya, "Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq." Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibu Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya, "Sha-duq."
Dengan sanad imam Waki' pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun de-ngan lafal, "Dengan hal itu ia telah kafir." Ibnu Thawus berkata, "Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya." Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa me-rincinya, sementara tambahan "Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya " bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.
2. Memang benar, ada tambahan yang dinis-bahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Tha-bari (12053) menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki' ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma'mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,"

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan per-kara dengan hukum Allah maka mereka itu-lah orang-orang yang kafir."
Ibnu Abbas berkata," Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, ki-tab-kitab dan rasul-rasul-Nya."
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki'. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya ke-cuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu waki' adalh Sufyan bin waki' bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312," Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil ha-dits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dima-suki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.'
Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan ke-pada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinis-bahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukan-lah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, ter-lebih Waki' dalam Akhbarul Qudhat telah meriwa-yatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demi-kian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A'lam.
3. Al Hakim [II/313] telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata," Ibnu Abbas berkata, "Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksud-kan. Ia bukanlah kekufuran yang me-ngeluarkan dari millah.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Maksudnya adalah Kufur duna kufrin."
Al Hakim mengatakan, "Ini adalah hadits yang sanadnya shahih." Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan da-lam tafsir Ibn Katsir [II/62] dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah," "Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir."
Beliau berkata, "Bukan kekufuran yang mere-ka maksudkan."
Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ah-mad bin Hanbal dan Yahya bin Ma'in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu 'Ady menyebut-kannya dalam Al Kamil fi Dhu'afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al 'Uqaily dalam Al Dhu'afa al Kabir [IV/238].
Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al 'Ijli dan Ibnu Sa'ad. Imam Bukhari dan muslim meri-wayatkan darinya secara mutaba'ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan per-kataannya, "Saya akan mendatangi 90 istriku pa-da malam hari ini…" Beliau telah meriwayatkan-nya dengan nomor (5224) dengan mutaba'ah Ib-nu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara muta-ba'ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tem-pat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas," Mu'awiyah berkata kepadaku, "Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…" Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba'ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata, "Haditsnya ditulis." [Tahdzibu Thadzib VI/25]. Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba'ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba'ah sehingga ditolak?
Saya katakan, hadits ini di antara hadits-ha-dits yang setahu kami tidak ada mutaba'ahya. Da-lam diri saya ada keraguan tentang keshahihan-nya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahih-kan hadits, semoga Allah merahmati beliau.
4. Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia ber-kata, "jika ia juhud (ingkar) terha-dap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa menga-kuinya na-mun tidak berhukum dengan-nya maka ia adalah dholim dan fasiq."
Sanad ini munqathi' (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun seba-gian besar ulama melemahkannya.
Saya katakan, dengan demikian apa yang di-nisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hu-kum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan "dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya", meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, pendapat yang diriwayat-kan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan, dite-rima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seo-rang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.


Pengantar kedua:

Atsar Ibnu Abbas bukanlah satu-satunya pen-dapat dalam masalah ini

Syaikh Al Albani telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pen-dapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.

• Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya'qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang uang suap, maka beliau menja-wab,"Harta haram." Keduanya bertanya," Ba-gaimana jika oleh penguasa?" Beliau menja-wab, "Itulah kekafiran." Kemudian beliau membaca ayat ini:
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas-'ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.[Tahdzibu Tahdzib VI/240, VI/41-42,III/497-498,II/380].

• Abu Ya'la dalam musnadnya (5266) meriwa-yatkan dari Masruq, "Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas'ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya, "Apakah harta haram itu?" Be-liau menjawab,"Uang suap." Laki-laki tersebut bertanya lagi, "Bagaimana kalau dalam masa-lah hukum." Beliau menjawab,"Itu adalah ke-kufuran." kemudian beliau membaca ayat:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir."

• Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki' dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al 'Aliyah II/250, beliau menisbah-kannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A'dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al 'Aliyah, "Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya'la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…"

Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsa-mi dalam Majmauz Zawaid IV/199. Beliau berka-ta," Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, sementara guru Abu Ya'la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui." Syaikh Habibur Rahman Al A'dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al 'Aliyah II/250 berkata sebagai jawaban atas per-nyataan imam Al Haitsami, "Jika ia tidak menge-tahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbaha-ya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba'ah dari Syu'bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Bai-haqi, sementara Muhammad bin Utsman mempu-nyai mutaba'ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…"
Saya katakan, "Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya'la dari perkataan Abu Ya'la," Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar," kalau tidak maka syaikh Al A'dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bah-wa riwayat yang bersambung adalah telah men-ceritakan kepadaku Muhammad telah menceri-takan kepadaku Utsman bin Umar." Muhaqiq Musnad Abu Ya'la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata, "Utsman bin Umar adalah Al Abdi." [lihat Musnad Abu Ya'la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad IX/173-174]. Saya katakan, "Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah." [Tahdzibu Tahdzib IV/92-93].
Ath Thabrani dalam Al Mu'jamu Al Kabir [IX/229 no. 9100] meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas'ud ia berkata, "Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia." Al Haitsami dalam Majma' [IV/199] berkata, "Para perawinya perawi kitab ash shahih."
Waki' dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayat-kannya dengan lafal, "Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang ha-ram di antara kalian."
Saya katakan, "Atsar dari Ibnu Mas'ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang per-tama sekedar uang haram, sementara yang ke-dua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :

Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan seca-ra mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.

Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur'an II/433 berkata, "Ibnu Mas'ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran."
Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madariju As Salikin I/336-337, di mana beliau mengatakan, "Ibnu Abbas berkata," Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepa-da Allah dan hari akhir." Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhu-kum dengan hukum Allah karena juhud (menging-kari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupa-kan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan mak-na meninggalkan berhukum dengan seluruh kan-dungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertenta-ngan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluar-kan dari milah."
Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan patokan oleh pendapat syaikh Al Albani bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpenda-pat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu menga-takan hal itu. Wallahu A'lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sen-diri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata "kafir" tersebut mengan-dung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum de-ngan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui per-buatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.
Namun kami tetap mengatakan atsar ini ada-lah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syari’at Islam menjadi satu-satunya syari’at yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas. Ini akan kita bicarakan sebentar lagi secara rinci, dengan izin Allah.



Pengantar Ketiga :

Yang kami katakan bukanlah ta'wil

Kami katakan, "Ketika kami membedakan an-tara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang se-lain Allah, dan kami membawa pendapat Ibnu Abbas untuk makna al qadha' (memutuskan per-kara), bukan untuk masalah tasyri' (menetapkan undang-undang), pendapat yang kami pegangi ini bukanlah takwil sebagaimana dituduhkan oleh syaikh --semoga Allah mengampuni kita dan beliau-- namun justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memu-tuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha', sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus IV/98. Secara istilah Al Qur'an, terkadang bermakna al qadha' sebagaimana firman Allah:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ الهُل
"Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah."
[QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:

وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحــُكَّامِ
"Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim."
[QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur'an bermakna qadar (taqdir), itulah yang disebut para ulama dengan istilah hukum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّى يَأْذَنَ لِيْ أَبِيْ أَوْ يَحْكـــــُمَ اللهُ لِيْ وَهُوَ خَيْرَ الْحـــَاكِمِيْنَ
"Sebab itu aku tidak akan meninggalkan nege-ri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepa-daku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya.."
[QS. Yusuf :80].
Terkadang bermakna tasyri', itulah yang dise-but oleh para ulama dengan istilah hukum syar’i, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

إِنَّ الهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
"Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki."
[QS. Al Maidah:1].
[Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul 'Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah II/658].
Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan fir-man Allah:
"Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." [QS. Al Maidah: 44].
Ketika kami mengatakan bahwa "al hukmu" yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas adalah al qadha' dan bukan makna tasyri', maka kami sama sekali tidak menakwil. Karena takwil yang dimak-sud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah kami memalingkan lafal ini dari dhahirnya? Ataukah kami kembalikan kepa-da makna asalnya yaitu al qadha?
Bahkan saya mendapati perkataan Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa mak-na al hukmu kepada makna al qadha' secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat ath Thabrani dalam Al Mu'jamu Al Kabir X/226 no. 10621, dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata, "Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menja-wab, "Anda mencela saya padahal saya mempu-nyai tiga sifat ; Saya membaca satu ayat Al- Qur'an lalu saya ingin agar manusia bisa mema-hami maknanya sebagaimana saya memahami-nya, saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut."
Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IX/284 berkata, "Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih." Saya katakan, "Bukti (kebenaran yang saya sampaikan ini) adalah perkataan beliau "seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslin-min" serta perkataan beliau "padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasala-hanku kepadanya". Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha' secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai bebera-pa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil. Walla-hu A'lam.

Kamis, 27 Agustus 2009

JAWABAN TUNTAS ATAS SYUBHAT SEPUTAR JIHAD (BAG.2 HABIS)

LIHATLAH DAGANGAN DAGANGAN YANG MENGGIURKAN INI :

“ Tidaklah seseorang terluka dijalan Allah – dan Allah Maha Tahu siapa yang terluka dijalan Allah – melainkan datang pada hari kiamat dalam kondisi lukanya mengucur, warnanya warna darah sedang baunya wangi kesturi” Muttafaqun ‘alaihi. Apakah anda menyangka bahwa jika anda terluka saat anda berjihad (??!!) di negaramu di tengah kitab-kitabmu, atau di tengah daganganmu, sekolahmu atau kampusmu, Apakah kamu menyangka bahwa dirimu mencapai derajat MUQATIL (petempur) di medan peperangan ???!!!!! Padahal pahala ini saat JIHAD FARDHU KIFAYAH lantas Bagaimana saat FARDHU ‘AIN ??!!
“ Barang siapa berpuasa sehari Fii Sabilillah, akan Allah jauhkan wajahnya dari api Neraka sejauh tujuh puluh musim gugur (tahun) “ Muttafaqun ‘alaihi. Pahala ini hanyalah di MEDAN JIHAD saja. Lantas apakah anda berani LANCANG mengatakan bahwa puasamu disini mendapatkan pahala yang sama atau lebih tinggi sebab anda memandang berpangku tanganmu dari medan medan perang itu lebih bermanfaat bagi kaum muslimin dan lebih membuat ridho Rabbul ‘alamin???!!!
“. . . Barang siapa meluncurkan satu anak panah di jalan Allah maka ia sebanding pahala memerdekakan seorang budak . . . HR. Ahmad,Tirmidzi dengan sanad Shahih. Maka betapa besarnya pahala sebutir tembakan pistol sebagaimana memerdekakan seorang budak. Padahal “ Siapa yang memerdekakan seorang budak muslim maka akan Allah merdekakan dirinya dengan sejumlah anggota badan budak tersebut dari Neraka . . . “. Muttafaqun ‘alihi
“ . . . Barangsiapa meluncurkan satu anak panah Fii Sabilillah lalu mencapai musuh atau tidak maka ia mendapatkan pahala sebagaimana memerdekakan seorang budak. Dan siapa memerdekakan budak muslim maka akan menjadi tebusannya di Neraka, satu anggota tubuh dengan satu anggota tubuh”. HR Nasa’I dengan sanad Shahih. Maka sekedar meluncurkan saja mendapatkan pahala sekalipun tidak mencapai sasaran lantas apakah studimu itu mendapatkan jaminan pahala entah anda lulus atau tidak??!!!
“ . . . Sesungguhnya dengan satu anak panah Allah memasukkan tiga orang ke Jannah : Pembuatnya yang meniatkan kebaikan ketika membuat, yang meluncurkannya, dan yang menyerahkannya . . . “. Hadits Shahih riwayat Abu Daud. Apakah anda mendapati pahala seperti itu di sekolah sekolah, kampus kampus atau profesi apapun???!!!
“ Barangsiapa memelihara seekor kuda dijalan Allah karena iman kepada Allah dan membenarkan janjinya maka kenyangnya kuda itu, puasnya minum, kotoran dan kencingnya dalam timbangan kebaikan pada hari kiamat” HR Bukhari. Lantas apakah anda memandang bahwa bensin mobilmu, olienya, mesinnya itu dalam timbangan kebaikanmu padahal anda berada di sini, di negeri anda sebagaimana pahala pahala yang engkau harapkan di dalam perang??!!
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam ditanya tentang pahala Ribath beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “ Barang siapa ribath semalam, demi menjaga kaum muslimin ia mendapatkan pahala orang orang dibelakangnya yang melakukan shoum dan Sholat”. Rijalnya tsiqah dan dengan sanad Jayyid (bagus) menurut Thabrani.
“ Ribath sehari semalam lebih baik dari puasa dan berdiri shalat selama sebulan . . . “. HR Muslim. Bahkan yang lebih utama lagi dari ini :
“ Barang siapa ribath semalam di jalan Allah mendapatkan pahala sebagaimana seribu malam yang dilalui dengan shiam dan shalat” Disyahkan oleh hakim dan disepakati oleh Dzahabi. Bahkan yang lebih utama dari ini, “ Berdiri sesat Fii Sabilillah lebih baik dari Shalat di malam lailatul Qadr di Hajar Aswad. Riwayat Ibnu Hibban, Hadits Hasan. Padahal malam Lailatul Qadr itu lebih baik dari 1000 bulan lantas apakah anda masih menyangka bahwa studimu untuk ujian di malam Lailatul Qadr itu lebih baik dari melakukan Ibadah pada malam tersebut? Kemudian di malam itu kemanakah anda pergi? Apakah anda berkutat di meja belajarmu ataukah anda pergi ke suatu masjid untuk menghidupkan Lailatul Qadr ???!!!
Akan tetapi Ribath semalam - tidak diragukan lagi – itu lebih baik dari malam Lailatul Qadr di Hajar Aswad, Apakah anda berani LANCANG mengatakan pahala ini dengan Ribath mu!!! Dibangku sekolah ???!!!
Maukah kalian kuberitahukan suatu malam yang lebih utama dari malam Lailatul Qadr ?? (yaitu)” seorang yang berjaga – jaga didaerah menakutkan, yang barang kali ia tidak kembali lagi kepada keluarganya”. Diriwayatkan Hakim, Baihaqy, Hadits menurut Syarat Bukhari




PENGIKUT BELIAU Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam DENGAN SETIA

8 . Kenapa mesti berperang? Karena para sahabat seluruhnya –mereka itu lebih faqih dari pada kita dan lebih rakus terhadap kebaikan dari pada kita– adalah orang orang yang sangat tamak terhadap peperangan. Bahkan mereka jika tidak mendapati sarana yang dapat menyampaikan mereka ke medan perang maka merekapun berlinangan air mata. Maka jadilah perang itu maksud utama sebelum mengumpulkan harta untuk jihad. Kita pun tidak boleh lupa bahwa jihad pada masa mereka adalah fardlu kifayah.
Para sahabat berulang ulang melantunkan,” Kami adalah orang–orang yang berbaiat kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam selama hidup di kandung badan”. HR Bukhari. Adapun kita maka bahasa keadaan kita menyatakan; kami adalah orang orang yang berbaiat kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atas omongan selama hayat di kandung badan, atas kisah kisah dan periwayatan, atas masuk perkuliahan atas mencari anak perempuan selama hayat di kandung badan.
Apakah setiap orang di kalangan sahabat mendambakan mati syahid (syahadah) di jalan Allah ataukah SYAHADAH (baca IJAZAH) Ekonomi, atau Geographi atau Kedokteran ? Padahal Syahadah (mati Syahid) tidak akan datang melainkan dengan usaha mencari carinya,” Mencari terbunuh atau maut sebagaimana yang disangka”. HR Muslim. Ataukah SYAHADAH (baca IJAZAH) universitas sudah menjadi syahadah fii Sabilillah dengan makna lebih khusus?!
Lihatlah kepada Haji Wada’ ! Di sana terdapat lebih dari 10.000 shahabat dengan perkiraan minimal sedangkan yang dikubur di Baqi sekitar 250 shahabat saja atau kurang lantas di mana sisanya??!! Akan kau lihat minimal mereka berada di bumi Jihad. Silahkan buka sendiri kitab kitab Biografi. Maka yang terkubur di Baqi’ amatlah sedikit dibanding jumlah total sahabat. Akan kau lihat shahabat shahabat pilihan telah keluar menuju ROMAHORMUZ, KHAWARIZM, INDIA, CHINA, DAN AFRIKA UTARA . . .
Lihatlah pada Perang Tabuk! Ketika jihad berubah menjadi Fardhu ‘ain dengan adanya ISTINFAR (mobilisasi umum) dari imam atas seluruh manusia lihat berapa orang mukmin yang tertinggal tidak berangkat ? !! TIGA ORANG SAJA dari 30.000 pasukan. Jika anda mau rugi jadilah saja dari kelompok tiga orang itu. ! ! !
Kemudian bandingkan antara mereka dengan kita.! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berangkat keluar lantaran sekedar mendengar bahwa romawi sedang melakukan konspirasi jahat terhadap Beliau. Padahal saat itu adalah masa masa yang sangat sulit. Dan orang orang yang menangis yang tidak mendapatkan kendaraan yang mengangkut, mereka datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (supaya diberangkatkan, pent-) lantas di manakah kalian wahai orang orang yang menangis pada hari ini! ! ! ??? Di manakah orang yang bersegera mempertahankan negeri negeri kaum muslimin yang diancam oleh Amerika atau benar benar telah digempur olehnya atau negeri negeri yang diancam oleh Rusia ??
Apakah dengan mendermakan hartanya lantas menjadikan Shahabat Usman Radhiyallahu ‘anhu tidak perlu lagi untuk keluar sendiri dengan jiwanya pada perang yang sulit ini!!!??
Contoh contoh dari kehidupan para shahabat jauh untuk bisa dibilang. Percayalah pada saya
Inilah Ubadah bin Shomit Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Muqauqis Mesir penguasa bangsa Qibthy” . . . Tiada seorangpun dari kami melainkan ia berdoa kepada Rabbnya setiap pagi dan petang untuk dikaruniai mati Syahid dan agar tidak dikembalikan ke negerinya atau kampung halamannya ataupun kepada keluarganya dan anak anaknya. Tidak ada seorangpun dari kami yang masih mempunyai OBSESI dibelakangnya. Masing masing dari kami telah menitipkan keluarga dan anak anaknya kepada Rabbnya, adapun OBSESI kami hanyalah apa yang ada di depan kami”. Dari kitab Futuh Misr wa Akhbariha.
Bahkan sebelum ini, telah terjadi pembantaian dahsyat terhadap para Qurra’ (penghafal Qur’an). Mereka adalah shahabat shahabat pilihan dan bukannya shahabat jelata – padahal memang tidak ada jelata di antara mereka - . Dan itu terjadi pada peperangan Riddah sampai sampai para Shahabat khawatir hilangnya Qur’an !!!. Jadi para shahabat pilihan semua adalah para PETEMPUR bukannya orang orang STUDY saja. Adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berpandangan dengan solusi militer untuk melumpuhkan golongan murtadin sedang mayoritas shahabat dipelopori Umar Radhiyallahu ‘anhu menginginkan langkah awal dalam bentuk solusi damai dengan menda’wahi mereka, karena berharap menjaga keuntungan da’wah dari lenyapnya. Dan sejarah membuktikan kebenaran pendapaat Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu padahal Beliau sendirian!!!
Bukankah sebagian Anshar berkata :” Yaa Rasulullah . . . !! Kami tidak akan mengatakan kepadamu sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa Alaihi sallam: “Berangkatlah engkau dengan Rabbmu sendiri dan berperanglah kalian berdua sesungguhnya kami adalah orang yang duduk disini saja” Bukankah Sa’ad bin Ubadah berkata : “ Demi yang Jiwaku berada ditanganNya !!. Seandainya engkau perintahkan kepada kami untuk mengarungi lautan pastilah kami akan mengarunginya….”. Dalam riwayat Ibnu Mardawaih :” . . . Maka sambunglah tali kepada siapa yang kau suka dan putuslah tali kepada siapa saja yang kau suka, Musuhilah siapa saja yang engkau suka dan berdamailah kepada siap saja yang engkau suka. Ambillah dari harta kami sesukamu”.
Sebelum ini, Ja’far Radhiyallahu ‘anhu mengambil dua sayap untuk berterbangan di Jannah. Apakah hal itu lantaran ia mempelajari atau mengajarkan EKONOMI lalu dapat memberikan manfaat pada kaum muslimin !!!”Aku melihat Ja’far bin Abi Thalib sebagai malaikat yang beterbangan di Jannah, mempunyai dua sayap untuk terbang ke mana ia suka yang ujung ujungnya berlumuran darah” HR Thabrani dengan dua sanad, salah satunya Hasan. Dalam satu riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada Putranya :” Selamat atasmu wahai Abdullah bin Ja’far , ayahmu terbang bersama malaikat di langit” Ja’far Radhiyallahu ‘anhu dialah orang yang berkata :”Betapa indahnya Jannah dan betapa dekatnya. Ia Sangat indah lagi sejuk minumannya”
Bukankah ‘Ammar berperang pada Shiffin ketika BERUMUR 90 tahun! ! Ia berkata ;” Siapa yang senang dipeluk bidadari maka hendaklah ia maju diantara dua pasukan dengan penuh harap pahala” HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih. Dan sebelumnya pada perang Yamamah, Ibnu Umar menceritakan kepada kita ;” Aku melihat Ammar pada perang Yamamah diatas sebuah batu dengan menonjolkan diri ia berteriak; Wahai segenap kaum muslimin apakah kalian hendak lari dari Jannah!!??? Aku adalah Ammar bin Yasir kemarilah kepadaku! Sedang aku melihat telinganya telah terpotong dengan tergantung sedang ia tetap bertempur dengan dahsyatnya” . HR Ibnu Saad.
Bukankah Tsabits bin Qais bertahanuth (siap-siap mati) pada perang Yamamah seraya berkata ;” Tidaklah demikian kami berbuat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Amatlah buruk kebiasaan yang kalian contohkan kepada rekan rekan kalian”. Riwayat Bukhari, lalu iapun bertempur sampai gugur.
Bukankah Abu Sofyan Radhiyallahu ‘anhu mengobarkan semangat perang padahal telah berumur 70 tahun ??!!
Bukankah sebagian besar wilayah Uni Sofyet ditaklukkan pada Zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Utsman, Gerangan apakah yang mendorong mereka?? : Perjalanan yang dekat ataukah piknik yang menyenangkan??!! Tidak, Demi Allah ia hanyalah sebuah sikap mendengar dan taat kepada Rabbul ‘alamin dan Rasulnya Al-Amin, serta kerinduan kepada Jannatun Na’im. Inilah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu bertahan selam 7 bulan di depan Romahurmuz sedangkan salju mennutupi seluruh wilayah. Demikian pula Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu bertahan selam 2 tahun di Kabul sedangkan salju menutupi daerah tersebut pada sebagian besar musim dingin.
Bukankah Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu anhu tetep bersemangat mendapat fadhilah jihad kendati dua matanya buta dengan menjaga barang-barang logistik dan memegang panji…?! Disebutkan oleh Qurthuby dalam tafsirnya 8/151
Bukankah Yaman (ayah sahabat Hudzaifah) dan Tsabit bin Qais Radhiyallahu ‘anhu bertempur di Uhud kendati keduanya telah lanjut usia, dan kendati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keduanya uzur dan menempatkan keduanya bersama wanita di barisan belakang pasukan?
Dan berapa kalikah Umar bertekad untuk turut keluar perang lalu ditahan oleh para sahabat demi khilafah padahal jihad semasa mereka adalah fardhu kifayah.
Bukankah Abu Ubaidah mengisyaratkan sikap kurang mereka (terhadap jihad) ketika ia tulis surat kepada Umar di Madinah; “Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah maian-main dan sebdau gurau…..sampai firman-Nya..kenikmatan yang semu” lantas Umar keluar membawa suratnya dan dibacakan di atas mimbar seraya berkata: “ Wahai sekalian penduduk Madinah! Abu Ubaidah menyindir kalian ataukah kepadaku? Cintailah jihad” Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarok dan sanadnya kuat.
Bukankah Khalid ibnul Walid memburu kematian terbunuh sebagaimana sangkaanya namun tidak jua terbunuh?! Lantas kenapa mesti takut?!Bukankah ia terangkan kepada dedengkot-dedengkot kekafiran, “Aku datang kepada kalian dengan membawa suatu kaum yang mencintai maut sebagaimana kalian mencintai hidup” lantas kenapa gerangan ayat telah berubah pada hari ini wahai mujahidin(!!) (di) universitas-universitas, rihlah-rihlah, seminar-seminar, pesta-pesat dan semua yang bersifat damai adem ayem yang tidak ada penumpahan darah?! Duhai kiranya kalian dapat mencapai kemenangan sekalipum dengan menggentarkan musuh?!
Inilah Amru bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu, seorang tua lanjut usia lagi pincang, ia tidak turut perang Badar karena kepincangannya. Maka tatkala perang Uhud, ia suruh anak-anaknya untuk membawanya turut keluar maka mereka memberinya alasan untuk tidak usah berperang. Lantas ia katakan pada mereka; “mustahil!! Kalian telah mencegahku dari jannah pada perang Badar dan kalian hendak mencegahku dari Uhud?!
Inilah Umeir bin Hammam memakan beberapa biji korma sebelum perang lalu berkata: “jika aku hidup hingga menghabiskan korma-korma ini sungguh merupakan kehidupan yang amat panjang! Lalu ia lemparkan korma yang ada padanya kemudian memerangi mereka hingga gugur” Diriwayatkan oleh Muslim
Imam Qurthuby mennyebutkan (8/150) bahwa Abu Tholhah membaca ayat: “Berangkatlah kalian berperang baik merasa ringan maupun berat” lalu ia katakan: “Wahai putra-putraku! Ambilkanlah persiapan perang untukku. Maka anak-anaknya mengatakan: “ Semoga Allah merahmatimu! Engkau telah berperang bersama Nabi sampai wafatnya, lalu bersama Abu Bakar sampai meninggalnya lalu bersama Umar sampai meninggalnya. Sedang kamilah yang berperang menggantimu”. Ia katakan “Tidak” berikanlah persiapan perang untukku” maka ia berperang di laut dan meninggal di lautan sehingga mereka tidak mendapati suatu pulau untuk menguburkannya melainkan setelah lewat tujuh hari maka mereka menguburkannya dengan tidak berubah kondisinya.
Dikatakan kepada Miqdad bin Aswad ketika ia siap-siap untuk perang; “Allah telah memaafkanmu” maka ia katakan; “Bahuuts telah mendorongku” yakni surat At Taubah. Sebab surat tersebut membahas kaum munafiqin dan membongkar borok mereka (disebutkan oleh Qurthuby).
Nabi Shallallahu ‘aalaihi wa sallam bertanya kepada sahabat usai salah satu peperangan: “Apakah kalian kehilangan seseorang” mereka menajwab “Tidak” maka beliau bersabda: “Akan tetapi aku kehilangan Julaibib” lantas mereka mencarinya dan ternyata ia telah gugur dan di sekitarnya terbunuh 7 orang musyrik. Maka beliau bersabda: “Ia berhasil membunuh 7 orang kemudian mereka membunuhnya! Orang ini dariku dan akupun darinya” lalu beliau letakkan di atas kedua lengannya….;lihat ! beliau tidak bersabda: “Ia telah menulis 7 buku…ataupun ia punya 7 kajian (pengajian) antara waktu maghrib dan Isya’!
Sedang yang lain dengan penampilan lusuh, mendengar Abu Musa Al ‘Asy’ary Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam : “Sesungguhnya pintu-pintu jannah di baawah naungan pedang” Lantas orang itu berkata: “Wahai Abu Musa benarkah anda mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda demikian? Ia jawab: “Ya” maka orang itu kembali ke rekan-rekannya lalu mengucapkan salam kepada mereka dan ia pecahkan sarung pedangnya lalu ia buang kemudian ia berjalan ke musuh dengan membawa pedangnya. Lalu ia tebaskan ke musuh hingga gugur” Riwayat Muslim
Milik Allah-lah permata para saahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik! Betapa cepatnya mereka memenuhi seruan dan betapa semangatnya mereka terhadap jihad! Duhai amat memalukan kita ini! Kita kumpulkan ratusan alasan dalam rangka menolak puluhan ayat dan hadits dan supaya kita masih bertanya-tanya dengan nada mengingkari: “Kenapa mesti berjihad?! Sedang seorang badui tadi sekedar mendengar satu ayat atau satu hadits saja lalu langsung keluar tanpa menoleh ke seorangpun
Inilah Mak-hul dari kalangan ulama’ tabi’ien. Ia menghadap qiblat lalu bersumpah 10 kali bahwa perang wajib atas kalian wahai kaum muslimin. Kemudian ia katakan: “Jika kalian mau, akan saya tambah lagi” yakni tambah sumpah. Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq 5/174
Inilah Said bin Musayyib Rohimahullah dari kalangan 7 fuqoha Madinah, ia berangkat perang dalam kondisi salah satu matanya telah buta. Lalu ditanyakan: “Sesungguhnya anda cacat” maka ia berkata: “Allah memerintahkan berangkat secara umum baik dengan ringan maupuin berat. Jika tidak memungkinkan lagi aku berperang maka aku turut memperbanyak jumlah dan menjaga perbekalan” Disebutkan oleh Qurthuby 8/151. Adapun kita malah menyarankan untuk memperbanyak jumlah di fakultas-fakultas syariah dan Azhar !
Bahkan jika engkau melihat biografi-biografi orang-orang dahulu, niscaya engkau akan dapati pertama kali yang disebutkan adalah “ia turut dalam seluruh peperangan” atau “ia tidak pernah absen dari satu perangpun” atau…maka keikutsertaan dalam peperangan menjadi suatu yang dibanggakan sedang absen dari perang itu sebagai celaan.
Demikianlah perjalanan jihad terus berlanjut bersama pengikut shahabat yang baik seperti Ulama lagi Mujahid, Asad bin Furat, Qutaibah bin Muslim Al-Bahily, Muhammad bin Qasim sang Penakluk China dan Uqbah bin Nafi’ ketika berbicara di hadapan lautan;” Demi Allah seandainya aku tahu bahwa di sebarangmu ada negeri pastilah aku akan memeranginya Fii Sabilillah”. Ia melihat ke langit seraya berkata ;” Yaaa Rabb kalaulah bukan karena laut ini niscaya aku akan pergi ke negeri negeri untuk berjihad di JalanMu”. Rujuk Al Kamil karangan Ibnu Atsir.
Kemudian kejayaan tetap berlanjut bersama orang orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Di manakah kita dengan Shalahuddin (Penakluk Perang Salib di Al Quds), Qutuz (Penakluk Tartar di Mesir), Muhammad Fatih (penakluk Konstantin) dan Sulaiman Al Halby (pembunuh Clepper, Penjajah Inggris di Syiria). Demikianlah yang terjadi di perang Yarmuk, Qadisiyah, Khitthin, Maladzkur dan Ainu Jalut.
Lha kenapa TIDAK !!! Sedang Qudwah mereka semua adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terjun langsung dalam perang 27 atau 28 kali peperangan selama menetapnya di Madinah selama 10 tahun, Yakni dengan rata rata 3 kali perang dalam setahun. Belum lagi sariyah sariyah (Regu Patroli Militer) yang tidak disertai oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Apakah engkau dapat menulis satu buku saja dalam masa 10 tahun ??? Kemudian apakah Ensiklopedi Islam -apapun namananya- dapat menandingi efek dari seperempat perang saja di hati musuh ? ? ?!!!. Dan anda JANGAN SAMPAI LUPA kalau Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu tidaklah menjalankan haji melainkan hanya sekali disaat seluruh hidupnya terisi dengan Jihad dalam artian PERANG.
Dan seluruh Ghazwah (peperangan yang diterjuni oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) ini adalah setelah beliau melewati umur 50 tahun dan Beliau terjun pada perang Tabuk melewati usia 60 tahun. Duhai betapa RUGINYA engkau wahai pemuda BERUMUR 20-30 tahun! !
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam-lah yang telah bersabda ;” Sunggguh sungguh aku gugur di jalan Allah lebih aku cintai dari pada aku memiliki penduduk kota dan Desa”. Sanadnya Hasan. Lantas apakah KEDUDUKAN orang yang meninggal biasa ditengah upayanya untuk unggul di FAKULTASNYA itu sama dengan orang yang meninggal karena GUGUR DI JALAN ALLAH!!!.
Beliaulah yang telah bersabda ;” Sungguh aku sangat mendambakan dapat berperang di jalan Allah lalu terbunuh kemudian berperang lalu terbunuh, kemudian berperang lalu terbunuh. . . Muttafaqun ‘alaihi
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berangan angan turut gugur sebagai Syuhada bersama shahabat shahabatnya di perang Uhud. “ Demi Allah sungguh aku mendambakan aku dibunuh dengan cara licik beserta shahabat shahabatku di pertahanan gunung”. HR Hakim. Dia mensyahkannya menurut syarat muslim, Disepakati oleh Dzahabi dan hadits hasan . Sedang engkau MALAH LARI dari dibunuh dengan alasan I’DAD UNTUK PERANG BESAR !!!??. Duhai sekiranya kamu itu betul betul melakukan persiapan untuk PERANG !!!.Namun yang terjadi engkau hanyalah melakukan PERSIAPAN UNTUK NIKAH !!! Manakah lebih berbahaya lenyapnya wahyu (dengan gugurnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pent-) Ataukah MANFAATMU YANG SEMU itu pada kaum muslimin???
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lah yang menyampaikan kabar gembira;”Perang akan terus berlanjut semenjak Allah mengutusku hingga akhir ummatku memerangi DAJJAL. Tidak dapat digugurkan oleh kelaliman orang yang lalim ataupun oleh keadilan orang yang adil”. Dalam sanadnya ada perowi Majhul (tidak dikenal). Namun maknanya disepakati oleh para Fuqaha. Ataukah engkau MENAFSIRKAN PERANG disini dengan PERANG MEDIA, dan Majalah untuk mengetahui apa yang dibicarakan musuh musuh Islam kepada kita !!!
“Diin ini akan senantisa terus tegak, sekelompok dari kaum muslimin berperang karenanya hingga datang kiamat”. HR Muslim. Dalam suatu riwayat; “ Senantiasa akan ada sekelompok dari ummatku . . . yang BERPERANG . . .”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengatakan yang BERDISKUSI, BERUNDING atau BERDAGANG atau . . .
Jika kakekmu seekor Elang lantas bukan berarti kamu hari ini sebagai elang karena pewarisan.

9. Supaya Allah ta’ala mencintai kita dan tertawa kepada kita ;”Tiga orang yang Allah mencintai mereka, tertawa kepada mereka dan gembira kepada mereka yaitu : seorang ketika pasukan kocar kacir ia berperang di belakang mereka mengorbankan jiwanya karena Allah Azza wa Jalla. Ia terbunuh atau Allah menolongnya dan melindunginya lalu berfirman :”Lihatlah kepada hambaKu ini ia sabar terhadap dirinya karenaKu . . . HR Thabrani dengan sanad jayyid

10. Karena jihad menghindarkan kita dari kegundahan dan kegelisahan yang kita hidupi “Berjihadlah kalian di Jalan Allah sebab Jihad di jalan Allah adalah pintu dari pintu pintu Jannah, dengannya Allah menghindarkan rasa gundah dan gelisah”. Hadits shohih riwayat Ahmad dan Hakim.

11. Agar kita tidak menjadi seperti wanita. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha telah bertanya ;” Apakah wanita berkewajiban jihad? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Atas mereka kewajiban jihad namun tidak ada PERANG didalamnya, Haji dan Umrah”. Ibnu Majah dengan sanad Shahih.
Maka wanita mampu melakukan I’dad yang sifatnya ekonomi, sosialisasi dan media namun sedikit sekali yang mampu I’dad yang sifatnya perang bersenjata dan sejarah membuktikan !!!. Tidakkah kita MALU MENJADI seperti WANITA?
12. Kenapa Perang??? Agar mendapatkan penghasilan yang Thayyib. “ Sebaik baik kehidupan manusia bagi mereka adalah seorang laki-laki yang memegang kekang kudanya di Jalan Allah ia terbang diatas punggungnya setiap kali ia mendengar suara hiruk pikuk atau menakutkan ia terbang diatas kudanya mencari terbunuh atau maut yang ia sangka, atau seorang laki laki dalam Ghunaimah . . .”. HR Muslim. Dan dalam pendahuluan kitab telah berlalu hadits;” . . . dan Allah gelincirkan kepada mereka hati hati kaum dan Allah limpahkan rezki kepada mereka dari kaum itu hingga datangnya hari kiamat dan hingga tibanya janji Allah . . .”
Demikianlah para Fuqaha dan Ahli Hadits menashkan masalah ini. Dalam kitab Tamhid karangan Ibnu Abdil Bar 3/134 ;”. . . Ghanimah yang jatuh sebagai saham seseorang maka ia adalah miliknya. Dan itu Alhamdulillah temasuk pencaharian yang paling baik. Ia termasuk yang Allah halalkan untuk ummat ini dan Allah haramkan atas ummat sebelumnya”. Dalam Kitab Multaqa al Abhur karangan Halby hanafy 2/229 . “Pasal pencaharian yang paling afdhal adalah jihad kemudian niaga . . .”Semisal itu disebutkan dalam Bahrur Raiq 5/283, “ Berkata shahabat shahabat kami; pencaharian paling afdhal setelah jihad adalah niaga kemudian cocok tanam. Kemudian produksi/karya”. Dalam Hasyiah Bujairumi Syafi’I 2/166 ; “Pencaharian yang paling utama yakni setelah ghanimah adalah bercocok tanam, kemudian berkarya lalu berniaga”. Dalam Fathul Bari 6/98 ; “Dalam Hadits mengisyaratkan keutamaan tombak dan halalnya ghanimah untuk ummat ini serta bahwa rizqi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dijadikan pada ghanimah bukan pada pencaharian yang lain. Oleh karena sebagian ulama berkata : “ Sesungguhnya Ghanimah itu penghasilan yang paling Afdhal”. Namun dalam Juz 4/304 setelah menjelaskan tingkatan pencaharian yang utama ia tegaskan kembali :”Pekerjaan tangan yang diatas itu adalah penghasilan yang didapat dari harta kekayaan kuffar dengan cara Jihad dan ia merupakan penghasilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya ia merupakan seutama utama penghasilan karena didalamnya ada unsur meninggikan KALIMATULLAH dan menghinakan kalimat musuh musuhNya serta manfaat akherat”. Sebelumnya Nasa’I menyatakan dalam Sunan Kubra 3/48 ;” Barangkali Allah Azza wa Jalla mengawali pembicaraan dalam Fai dan Ghanimah dengan menyebutkan diri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena kedua hal tersebut merupakan penghasilan paling utama dan Allah tidak menisbahkan sedekah kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena sedekah merupakan sampah manusia “
Qurthuby menegaskan dalam menafsirkan surat Al Anfal (“Dan ketahuilah bahwasanya Ghanimah/rampasan perang itu….) dengan mengatakan: “;” Barangkali Allah Azza wa Jalla mengawali pembicaraan dalam Fai dan Ghanimah dengan menyebutkan diri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena kedua hal tersebut merupakan penghasilan paling utama dan Allah tidak menisbahkan sedekah kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena sedekah merupakan sampah manusia”.
Apakah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “dijadikan RIZKIKU DI BAWAH NAUNGAN TITEL BA (BECLAURUS)KU DAN IJASAH-IJASAHKU” ataukah Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Di bawah naungan TOMBAKku” ?! Benar asalnya, Jihad itu dalam rangka meninggikan Kalimatullah kemudian datanglah Ghanimah;” Barang siapa yang berperang demi kalimatullah yang tinggi maka dialah yang di jalan Allah”. Muttafaqun ‘alaihi

13. Agar supaya kita menjamin pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam kehidupan kita dan sepeninggal kita;” Tiga orang yang atas Allah berhak untuk menolong mereka yaitu Mujahid di Jalan Allah . . . HR Tirmidzi dan Ibnu Hibban sanadnya Hasan. Maka selama anda MEMANDANG POSISI anda itu LEBIH BAIK dari pada keluar berperang, Apakah anda melihat bahwa anda punya hak atas Allah untuk menolong anda, sebagaimana kewajiban Allah menolong Mujahid Fii Sabilillah!!!. “ Duta Allah ada tiga yaitu orang yang berperang, orang yang haji dan orang yang Umrah. Jika mereka memanjatkan doa kepadaNya akan Dia kabulkan dan jika minta ampun akan diampunkan”. Hadits Shahih riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah. Padahal ini terhadap orang yang berperang lantas bagaimana dengan orang yang mempertahankan negeri dari agresor
Zubair Radhiyallahu ‘anhu berwasiyat kepada putranya untuk melunasi hutangnya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir pada perang Jamal dengan mengatakan;” Mintalah tolong kepada Maula-ku”. Namun anaknya tidak mengenal lalu ia menanyakan tentang Maula-nya kepada Bapaknya , Siapa Maula-mu? Lalu Zubair memberitahu bahwa Maulanya adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Adalah utang Zubair berjumlah 2..200.000 maka putranya berdo’a kepada Maula Zubair setiap kali mendapatkan kesulitan. Maka Allah memberi kemudahan dengan terjual kebun miliknya dan ia lunasi hutangnya bahkan harta tersebut lebih sampai sampai putri-putrinya yang lebih dari seorang. Masing masing mengambil jatah 1.200.000. Lucunya salah seorang shahabat menanyakan tentang hutang Zubair belum lama selepas wafatnya maka anaknya mengatakan;” 100.000”, Ia sembunyikan jumlah sebenarnya lantas Shahabat tadi menganggap banyak bilangan tersebut seraya mengatakan : “ Saya tidak akan mengira hutang tersebut akan terlunasi” Rujuk kisah lengkapnya pada Bukhari 3129.
Tidakkah Hal ini menjadi motivasi kita untuk maju tanpa peduli???

14. Agar Supaya kita lulus dalam ujian Ilahi!!.”Allah berfirman :”Dan sungguh akan kami uji kalian sampai nyata bagi kami siapa yang berjihad diantara kalian dan shabar serta menguji hal ikhwal kalian” Surat Qital (perang). Seandainya Allah Azza wa Jalla berkehendak pastilah Allah akan memberikan kemenangan bagi RasulNya (seketika) akan tetapi kenapa tidak ??? Rabbul ‘alamin menjawab kita :”Sekiranya Allah menghendaki pastilah Allah membinasakan mereka akan tetapi agar supaya Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. Dan orang orang yang gugur di jalan Allah maka Allah tidak akan menyianyiakan amal mereka” Artinya :”Agar nampak orang yang jujur dan taat kepada perintah perintah Rabbul ‘alamin. Dari yang . .. . ??!!

15. Kenapa berperang ? ? ? Agar kita dinaungi oleh malaikat, dan agar ktia selamat dari fitnah Kubur, pekikan Sangkakala, Goncangan dahsyat hari kiamat, dan agar kita mempunyai Nur Cahaya pada hari Kiamat. Serta supaya kita memperoleh 7 hal : Ketika Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar wanita menangisi putranya karena gugur dalam peperangan Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;”kenapa anda menangis ?? Para malaikat senantiasa menaungi dengan sayap sayap mereka hingga ia diangkat naik” Muttafaqun ‘alaihi
Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kita tentang Murobith;”. . . Dan ia aman dari fitnah kubur”. HR Tirmidzi, hadits hasan. Dalam riwayat Muslim;” . . . Dan aman dari dua fitnah”.
“ Mereka (para shahabat) bertanya : “ Yaa Rasulullah kenapa orang orang mukmin mendapatkan fitnah di kuburnya kecuali orang yang syahid ? Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Cukuplah kelebatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah”. HR Nasa’I, Hadits Shahih.
Ataukah anda melihat fitnah di tengah bulan ujian di fakultasmu sudah cukup untuk menghindarkanmu dari fitnah kubur ???!!!
“Tidaklah orang syahid itu merasakan sakitnya terbunuh melainkan sebagaimana seorang kalian mendapati rasa cubitan”. Hadts Hasan Shahih riwayat Tirmidizi. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Jibril ‘alaihi sallam tentang ayat :”Dan ditiup sangkakala lalu tersungkurlah siapa yang ada di langit dan di bumi kecuali yang Allah kehendaki . . . “Siapakah gerangan orang orang yang Allah berkehendak untuk tidak membuat mereka tersungkur?? Jibril ‘alaihissalam menjawab ; Mereka adalah para syuhada Allah”. HR Hakim, ia berkata sanadnya Shahih. Dan disepakati oleh Dzahabi. Lantas apakah anda menjamin dapat SELAMAT dari TERKAPAR karena tiupan sangkakala, Wahai PELAJAR, PEKERJA, PEDAGANG, atau orang yang sibuk siap siap untuk NIKAH !!!??
“Barang siapa meluncurkan satu anak panah Fii Sabilillah maka ia mendapatkan Nur Cahaya di hari kiamat”. Riwayat Bazaar, hadits Hasan
“ Sesungguhnya orang yang syahid mendapatkan 7 hal disisi Rabbnya : Diampunkan dosanya diawal tetesan darahnya, ia melihat tempat tinggalnya di Jannah, dikenakan padanya hiasan Iman, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari kegoncangan besar, disematkan di atas kepalanya mahkota kemuliaan satu permata darinya lebih baik dari dunia seisinya, dikawinkan dengan 72 Bidadari dan dibolehkan memberi syafaat bagi 70 orang anggota keluarganya.HR Ahmad dengan sanad Shahih.

16. Agar supaya amal kita terus mengalir sepeninggal kita sebab amal orang yang ribath tidak akan ditutup. “ Setiap mayit ditutup amalnya melainkan orang yang ribath dijalan Allah, dikembangkan terus amalnya hingga hari kiamat . . .”. HR Abu daud, Tirmidzi, Hakim, dan hadits Shahih. “ . . .Dan jika ia meninggal maka akan dialirkan amalnya yang ia kerjakan dan dilimpahkan kepadanya rizqinya . . .”. HR Muslim 1913
“ Barangsiapa meninggal dalam keadaan ribath maka ia meninggal sebagai syahid, dihindarkan dari kedua fitnah kubur, dilimpahkan rizqinya dari Jannah setiap pagi dan petang dan dialirkan amalnya” HR Ibnu Majah, Hadits Shahih.

17. Agar supaya kita tidak dihisab sebab malaikat penjaga Jannah akan menayakan mereka:” Sudahkan kalian dihisab ?? Mereka menjawab : “Dengan apalagi kita mesti dihisab padahal pedang pedang kami berada diatas pundak pundak kami di jalan Allah” lalu dibukakanlah pintu Jannah bagi mereka dan mereka tinggal di sana selama 40 tahun sebelum dimasuki manusia”. HR Hakim, Ahmad dan Abu ‘awanah, hadits Shahih.
“ Jika Seluruh hamba berdiri untuk dihisab maka datanglah sebuah kaum yang meletakkan pedang pedang mereka diatas pundak mereka dalam keadaan mengucurkan darah lalu mereka berjejal di pintu Jannah. Maka dikatakan siapakah mereka itu? Dijawab :”Para Syuhada. Mereka itu hidup lagi diberi rizqi” Berkata Mundziri sanadnya jayyid sedang sebagian yang lain menganggap lemah sanadnya.

18. Agar supaya kita dapat memberikan syafaat kerabat kita dan kita dapat memberikan manfaat kepada kedua orang tua saat mereka menghajatkan bantuan kita. “. . . Dan ia dibolehkan memberi syafaaat kepada 70 orang anggota kerabatnya”. Sanadnya Shahih.

19. Agar supaya selamat dari api neraka, mencapai jannah yang paling tinggi lagi indah secepat mungkin sebelum manusia selain kita. Sebab jihad adalah JALAN TOL tercepat untuk mencapai itu. Bukankah Rabb kita berfirman :”Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang beriman jiwa dan harta mereka dengan diganti jannah bagi mereka, mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh”??? Jadi jannah itu sebagai imbalan YUQAATILUUN –mereka berperang- mereka membunuh atau terbunuh dan bukannya Jannah itu imbalan dari “MEREKA BELAJAR SEMALAMAN untuk menjadi RANGKING PERTAMA di fakultasnya”.
“ Tidaklah hati seorang terhinggapi rasa takut di Jalan Allah melainkan Allah haramkan api Neraka atasnya” Rijal Sanadnya Tsiqah, dan Hadits Hasan. Ataukah engkau berpandangan bahwa rasa takutmu di hari hari ujian karena sulitnya soal soal dapat menjamin DIHARAMKANNYA api Neraka atasmu?
“Allah menjamin siapa yang keluar di jalanNya, tiada yang mendorongnya selain untuk berjihad di jalanKu, Iman kepadaKu, dan membenarkan Rasul-rasulKu maka AKU jamin memasukkannya ke Jannah”. HR Muslim. Dalam suatu riwayat :”. . . maka siapa melakukan hal itu Allah jamin baginya Jannah jika terbunuh atau meninggal karena tenggelam atau terbakar atau dimangsa hewan buas”. Hadits Shahih.
“ . . . Tidaklah kalian suka Allah mengampuni kalian dan memasukkan kalian ke Jannah? Berperanglah di Jalan Allah . . . siapa berperang di Jalan Allah selama memerah susu onta wajib baginya jannah. HR Tirmidzi, Hadits hasan.
“ Apakah anda masih menyangka bahwa siapa yang BELAJAR selama memerah susu onta . . . !!!??? Lantas bagaimana anda mengatakan bahwa posisi anda sekarang ini LEBIH BAIK dari pada berperang ???!!! Suatu kali Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada shahabat shahabatnya “ bangkitlah dan berperanglah”, lalu seorang laki laki meluncurkan satu anak panah maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “telah wajib orang ini (mendapatkan Jannah) “. HR Ahmad dengan sanad hasan
Ketika seorang shahabat berbaiat kepada Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas segala perkara kecuali jihad dan zakat karena dia mengkhawatirkan dirinya akan lari dari medan perang maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :”Wahai Basyir ! TANPA JIHAD DAN SEDEKAH LANTAS DENGAN APA KAMU MAU MASUK JANNAH?”. Hadits Hassan.” Sesungguhnya pintu pintu Jannah di bawah naungan pedang”. HR Muslim dan Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan DI BAWAH NAUNGAN MEJA ARSITEK atau poliklinik atau ijazah dunia apapun ! Dan telah berlalu bahwa orang syahid mendapatkan 7 perkara :”. . . ia melihat tempat tinggalnya di Jannah . . . Mahkota kemuliaan . . . dikawinkan 72 bidadari . . . “ Sanadnya Shahih. Adapun PELAJAR disini lalu ia mati dan hidup -sebagaimana yang mereka katakan- hingga ia mampu mendapatkan satu HUURUNTHIIN (bidadari tanah)!! Bahkan Mujahidin memasuki Jannah sebelum yang lain dengan pasti dan tanpa dihisab sebagaimana yang lalu
“ Tidak ada suatu jiwa meninggal yang mendapatkan pahala di sisi Allah ia masih senang untuk kembali ke dunia, sekalipun ia mempunyai kekayaan dunia seisinya kecuali orang Syahid. Ia berangan angan kembali untuk terbunuh di dunia karena melihat keutamaan mati Syahid yang ia lihat”. HR Muslim. Maka tidak ada mahasiswa, pedagang, ahli ekonomi atau petani yang berangan angan untuk kembali ke dunia sebagaimana dhahirnya hadits. Lantas Bagaimana kita berani LANCANG mengatakan bahwa sesuatu selain jihad (perang) lebih baik darinya ???!!!
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menceritakan kepada para shahabat tentang para syuhada Mu’tah ;”Dan kedua matanya mencucurkan air mata”. Dalam suatu riwayat ;” Dan tidaklah mereka lebih senang untuk berada di tengah kita”. HR Bukhari. “Ketika ummu Haritsah khawatir kalau kalau putranya tidak berada di Jannah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apakah kamu sudah lupa? Apakah hanya ada satu Jannah? Sesungguhnya ia adalah Jannah yang banyak dan anakmu benar benar berada di Firdausil a’la”. HR Muslim.
Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Ketika saudara saudara kalian gugur, Allah menjadikan arwah mereka di leher burung hijau mendatangi sungai sungai Jannah, memakan buah buahannya dan bertengger di pelita pelita dari emas yang tergantung di Naungan Arsy. Ketika mereka mendapati makanan, minuman dan tempat tinggal mereka yang baik mereka mengatakan:”Siapakah yang menyampaikan berita kita kepada saudara saudara kita bahwa kita hidup di Jannah dengan limpahan rizqi, agar supaya mereka tidak menjauhi Jihad dan tidak meninggalkan perang?” Maka Allah berfirman :”Aku menyampaikan kepada mereka berita kalian”. Maka Allah menurunkan firmanNya :” Dan Janganlah engkau mengira orang yang gugur di jalan Allah itu mati namun mereka hidup di sisi Rabbnya, dengan limpahan rizqi”. HR Abu Daud, hadits Shahih.
“. . . Sesungguhnya di Jannah terdapat 100 tingkatan yang Allah siapkan untuk mujahidin di JalanNya, jarak antara dua tingkatan bagaikan jarak antara langit dan bumi . . . “. HR. Bukhari. Apakah anda BERANI mengatakan:” Bahwa orang orang sepertimu dari kalangan MAHASISWA EKONOMI, POLITIK, ATAU MEDIA (KOMUNIKASI) sama kedudukannya ??? Jadi bagaimana anda bisa mengatakan bahwa I’DAD SEMU yang ada pada anda sekarang itu lebih utama dari pada PERANG, TERBUNUH DAN MATI SYAHID ???!!!
“. . . Aku menjamin bagi orang yang beriman kepadaku (Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), masuk Islam dan berjihad di Jalan Allah dengan satu rumah di tepi Jannah, satu rumah di tengah jannah dan satu rumah lagi di kamar kamar Jannah yang paling tinggi. Barang siapa yang melakukan hal itu ia tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun tidak pula kejahatan silahkan ia meninggal dalam kondisi bagaimanapun”. HR Nasa’I, Ibnu Hibban, hadits Shahih.
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda ;” Semalam aku melihat 2 orang membawaku, ia naik ke pohon lalu memasukkanku ke sebuah tempat tinggal yang sangat indah lagi elok belum pernah aku melihat tempat tinggal seindah itu, kedua orang itu berkata kepadaku:” Adapun ini adalah tempat tinggal para Syuhada”. HR Bukhari. “ Para Syuhada berada di atas tepi sungai di pinggir Jannah di dalam kubah hijau, keluar kepada mereka rizqi dari Jannah setiap pagi dan petang”. HR Ahmad dan Hakim, Hadits Hasan.
“ Sungguh berangkat pagi pagi di Jalan Allah atau sore hari lebih baik dari Dunia dan seisinya . . . dan seandainya wanita penghuni Jannah menampakkan diri kepada penduduk bumi niscaya akan menerangi dengan cahaya antara keduanya dan memenuhinya dengan wewangian. Sungguh kain di atas kepalanya lebih baik dari pada dunia seisinya”. Muttafaqun ‘alahi
Setelah semua ini, apakah kamu masih memandang bahwa AMALMU apapun bentuknya itu LEBIH UTAMA dari pada Jihad (perang) ??? Jika engkau mengatakan YA. Ia lebih utama dari pada Jihad maka TUNJUKKAN DALILnya? Jika engkau mengatakan TIDAK maka apakah engkau melihat seorang berakal MENINGGALKAN sesuatu yang LEBIH UTAMA dengan memilih yang kurang utama??? Itu tidak lain hanyalah tipu daya Syaitan menjadikan nafilah sebagai faridhah dan menghiasi kebathilan sehingga ia menjadikan amal amalan ini sekalipun penting sederajat dengan perang dan mustahil terjadi!!!
Dan anda JANGAN LUPA bahwa di hadapan kita ada 2 persoalan, pertama : Hukum Jihad sekarang ini, kedua : Menjalankannya. Anda menjumpai Allah dengan tetap mengakui Faridhah yang telah diwajibkan atasmu namun engkau menyadari kekuranganmu dalam menerapkannya itu sungguh lebih RINGAN dari pada engkau menjumpai Allah dengan MENGINGKARI Faridhah yang telah diwajibkanNya, dibarengi tidak ada prakteknya sama sekali !!! Maka anda jangan mengumpulkan 2 KEBURUKAN yang kedua duanya PAHIT !!!

Catatan Penting :
Waspadalah dirimu dari dipermainkan oleh orang yang sedikit ilmu dengan mengatakan :” Adakalanya pada amal yang kurang utama ada kelebihan yang tidak didapati pada amal yang lebih Utama!! Bisa jadi tetap tinggal disini (dalam kondisi meninggalkan Jihad) lebih utama, hanya saja Mujahid tetap mendapatkan kebaikan kebaikan tersebut dari Allah Ta’ala”. Perhatikan ia mengawali percakapannya dengan kata kata ADAKALANYA yang sifatnya memberi kemungkinan ada. Kemudian seandainya anda cermati fadhilah fadhilah Jihad seluruhnya pastilah anda memastikan – jika anda memang obyektif – bahwa amalan kurang utama ini dalam pandangannya telah dikalahkan oleh Jihad dengan segala keutamaannya. Namun semoga Allah membinasakan hawa nafsu.

SYUBHAT: I’DAD IMANY SERTA MENYIBUKKAN DIRI DENGAN ILMU DAN MENGAJARKANNYA ITU LEBIH UTAMA ! ! !

Terhadap mereka yang beralasan dengan I’dad Imany, Tarbiyah, Pembinaan syar’I kaum muslimin supaya mereka dapat meninggalkan perang maka katakan kepada mereka :
Tidak ada satu peperanganpun yang dijalani kaum muslimin dahulu melainkan selalunya mereka lebih sedikit baik jumlah personal maupun peralatannya kecuali sekali saja yangmana mereka malah dikalahkan di sana, yaitu Perang HUNAIN!!!
Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berangkat menuju Tabuk melawan Negara Adi Daya saat itu dengan membawa kekuatan sebanding dengan kekuatan musuhnya ataukah ia curahkan harta semampunya kemudian keluar berangkat seluruhnya tanpa kecuali ???
Siapakah Amerika itu ? Dan Siapakah Rusia ? Manakah yang lebih besar, mereka ataukah Allah? Manakah yang lebih tinggi, pesawat pesawat mereka ataukah Allah? Bukankah Amerika dihinakan di hadapan Vietnam dan Somalia?? Bukankah Rusia dibuat gila di depan bangsa Afghan dan Chechnya? Pada hari dimana kita menggunakan minyak sebagai senjata bukankah itu membuat mereka menyungkurkan batang hidungnya ke tanah ? Akan tetapi kita –sangat disayangkan- terlalu berlebih lebihan dalam membesar-besarkan kekuatan musuh karena kita telah terjangkiti penyakit kangker ‘kalah mental’?!
Kita “tidaklah berperang karena mengandalkan peralatan, kekuatan maupun banyaknya jumlah personal. Kita tidaklah memerangi mereka melainkan dengan din ini yang Allah telah memulyakan kita dengannya” sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu.
Bukankah mereka (kaum muslimin) zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : kita tidak mampu menghadapi kaum murtaddin? Namun demikian toh tetap beliau kirim balatentara sebab memerangi mereka adalah fardhu ‘ain yang harus disegerakan dan tidak bisa diundur-undur atau dibuat santai. Dan Abu Bakar itulah, yang telah menulis surat kepada Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu sang komandan umum pasukan “Salam sejahtera atasmu, amma ba’du; Telah datang suratmu yang menyebutkan bala pasukan yang dihimpun oleh romawi. Sesungguhnya Allah ta’ala tidaklah menolong kita bersama NabiNya lantaran lengkapnya persenjataan maupun banyaknya jumlah personal pasukan. Dahulu kami pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang kami tidak disertai melainkan dua kuda saja dan kami hanyalah saling bergantian mengendarai onta dan kami pada perang Uhud bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang tidak ada bersama kami melainkan seekor kuda saja yang dikendarai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menolong kami dalam menghadapi orang orang yang menyelisihi kami. Ketahuilah manusia yang paling taat kepada Allah, adalah yang paling benci terhadap maksiat maka taatilah Allah dan perintahkan rekan rekanmu untuk taat kepadaNya. Sunnatullah tidak akan mengenal pada seorangpun, “Bukanlah dengan angan angan kalian dan tidak pula dengan angan angan ahlul kitab (namun) siapa yang berbuat kejahatan ia akan dibalas dengannya . . .”.
Ya, akan kembali terulang desas desus orang munafiqin dan tipu daya mereka. Mereka akan mengatakan dengan nada memperolok olok, “Apakah kamu akan memberi peluang Amerika untuk menyerang kita, kalian adalah orang orang tertipu” dan akan terulang pula jawaban dari partai Allah ;”Ingatlah ketika orang orang munafiqin dan yang dihatinya terdapat penyakit mengatakan :”Mereka telah tertipu oleh agamanya”. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Ya, Mereka mengatakan; orang orang itu telah tertipu oleh agamanya, mereka lontarkan ucapan itu pada perang Ahzab di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjanjikan kepada para shahabat harta perbendaharaan Kisra dan Kaisar. Mereka memperolok dengan mengatakan Muhammad memberikan kepada kalian janji padahal salah seorang kita saja tidak mampu lagi buang hajat (dikarenakan takutnya). “Maka katakan kepada mereka :”Akan kalian lihat di hari kami akan mengatakan Allahu Akbar runtuhlah Khaibar, Sesungguhnya jika kami telah tiba di pelataran suatu kaum maka amat buruklah pagi hari orang orang yang diberikan peringatan”.
Seandainya kita memang benar benar tidak mampu dan lemah memerangi musuh serta mengusirnya maka kewajiban kita berubah kepada I’dad melakukan persiapan dalam rangka mengusir musuh dan memeranginya sebab sarana yang kewajiban tidak akan sempurna kecuali mesti dengan sarana tersebut maka SARANA TERSEBUT MENJADI WAJIB PULA. Air itu jika tidak ada maka diharuskan tayamum, maka dari itu KOBARKANLAH semangat untuk perang sebab kelemahan dari perang tidak lantas MEMBOLEHKAN untuk MENINGGALKANNYA dengan pindah kepada ketaatan ketaatan lain.”Seandainya mereka ingin berangkat pastilah mereka akan melakukan persiapan . . .”.(QS At taubah) Jadi MENINGGALKAN I’DAD TERMASUK SIFAT ORANG MUNAFIQIN dan Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda :”Perangilah orang Musyrikin dengan harta dan jiwa kalian”. HR Abu Daud dengan sanad Shahih.
Amatlah jauh dan jauuh dari terwujud, Iman thok dapat berhadapan dengan bom bom ATOM selama kalian tidak mau mengambil sebab. Ya, IMAN dapat berdiri KOKOH lagi TEGAR tidak akan lembek jika kalian mengambil sarana bantuan dengan “dan PERSIAPKANLAH untuk MENGHADAPI mereka kekuatan apa saja yang kalian mampui . . .”(Al Anfal : 60). Bahkan termasuk bagian iman kepada Allah adalah engkau melaksanakan perintahnya lalu engkau ambil sebab sebab materi setelah itu engkau tawakal kepadaNya. Jika tidak maka engkau berdusta dalam dakwaanmu.
Amat sangat mustahil sebuah TARBIYAH SAJA –SEKALIPUN MEMANG SANGAT PENTING- DAPAT MEMBEBASKAN SEJENGKAL TANAH. Maka itu, tegakkanlah daulah Islam di hati kalian lalu ambillah sebab-sebab materi yang di situ akan tegak Daulah Islam di atas bumi kalian. Ini merupakan dua syarat yang mesti tidak bisa salah satu lepas dari yang lain. Dan “ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah diri mereka sendiri” (QS Ar Ro’d). Dan langkah perubahan pertama kali adalah MENINGGALKAN KEMAKSIATAN dan kemaksiatan PERTAMA kali kaum muslimin HARI INI yang mereka sangat remehkan adalah FARDHU ‘AINNYA JIHAD berperang. Tidaklah perkataan orang yang menyatakan :”TARBIYAH DULU SEBELUM JIHAD”, melainkan seperti perkataan orang yang menyatakan :”TARBIYAH DULU SEBELUM SHALAT”. Sedang jawabannya adalah satu :”Sesungguhnya SHALAT itu sendiri merupakan TARBIYAH, dan setiap perkara Diin masing masing mempunyai efeknya. Maka efek shalat tidaklah sebagaimana efek shiam, efek dzikir berbeda dengan efek zakat, demikian seterusnya. Sedangkan JIHAD termasuk JALAN TARBIYAH YANG PALING AGUNG dan TARBIYAH ITU bukanlah merupakan MARHALAH (fase) temporal yang ada titik finalnya yang di situ barulah PERANG DIMULAI. Tidak ada seorang berakalpun yang mengatakan hal ini. Sejarah membuktikan. Jadi TARBIYAH ITU SEBELUM, SEUSAI DAN DITENGAH PERANG. Ia akan terus ada sampai mati di tengah engkau mempraktekkan seluruh Fardhu-fardhu ‘ain.
Bukankah Abu Bakar As Shidiq Radhiyallahu ‘anhu mengarahkan bala tentara dari mantan kaum murtaddin selepas mereka kembali ke pangkuan Islam menuju Qadisiyah dan Yarmuk? sebab Perang akan melelehkan noda noda tersebut !!! ?? Ataukah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu kurang cerdas dan lemah pengalaman??? Apakah orang-orang itu benar benar telah ter-TASHFIYAH (pemurnian jiwa) dan ter-TARBIYAH ???!!! Benar, Abu Bakar melarang orang yang dikhawatirkan akan berkhianat namun kemudian mereka diijinkan oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhilafahannya.
Janganlah kalian mengatakan bahwa Masyarakat umum di atas hidayah (petunjuk) sebab para Fuqaha meNashkan berperang bersama setiap orang yang baik dan yang jahat. Jihad itu tetap berlangsung hingga hari Kiamat. Dan THOIFAH MANSHURAH (kelompok yang ditolong Allah) benar benar ada maka carilah mereka.
Janganlah kalian mengatakan KAMI MENGIKUTI petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dimana Beliau tinggal di Makkah selama 13 tahun melakukan TARBIYAH DAN PEMBINAAN kemudian barulah memulai perang. JANGANLAH KALIAN MENGATAKAN HAL ITU karena kami telah bosan dengannya. Apakah orang yang masih berakal akan mengatakan :”Oh tidak mengapa hari ini orang meninggalkan shiyam, haji, hijab wanita dan semua faridhah/kewajiban-kewajiban era Madinah sebab semua itu belum diwajibkan di Makkah sebagaimana perang juga belum diwajibkan di Mekah!! ataukah yang benar dikatakan bahwa kita diperintah berubudiyah dengan syareat yang ditinggal wafat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bukannya dengan apa yang diawali oleh beliau. Misalkanlah kita ambil sikap mengalah; namun bukankah telah berlalu pada kalian masa 13 tahun yang kalian gemborkan slogan TARBIYAH DAN TASHFIYYAH ataukah kalian sudah rubah gelombang kalian kepada ketegangan “40 tahun berputar-putar kebingungan di muka bumi”?! bahkan jadilah kita semenjak jatuhnya Andalusia, terus saja men-TARBIYAH, men-TASHFIYAH dan terus saja mengikuti kebosanan! Lantas kapan lagi kita akan berperang??! Allahu a’lam
Betapa kenyangnya mereka dari hadits yang mereka riwayatkan, yang tidak shahih sama sekali baik sanad maupun maknanya :”Kami kembali dari Jihad kecil menuju Jihad besar”, yang mereka maksudkan jihad melawan hawa nafsu atau dzikir dan semisalnya. Cukuplah sebagai kebathilannya bahwa Pengucapnya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mereka nisbahkah hadits tersebut kepada Beliau sama sekali tidak pernah duduk berpangku tangan dari perang, bahkan terjun langsung berperang selama menetapnya di Madinah dengan rata rata tiga kali perang setiap tahun, belum lagi sariyah sariyah. Demikianlah murid muridnya yang mulia seperti itu pula, mereka ter-Tarbiyah di atas Jihad berkelanjutan. Seandainya benar apa yang mereka ucapkan maka orang yang berakal akan memulai memikul beban ringan dahulu baru kemudian menginjak yang lebih besar lalu lebih besar lagi sehingga ia naik dari bawah ke atas. Jadi, mulailah kalian dengan jihad kecil –menurut pandangan kalian- baru kemudian yang lebih besar. Akan tetapi kita katakan bahwa Jihad pedang dan jihad Nafsu tidaklah saling menTarbiyah satu sama lain karena masing masing dari Islam dan tidak boleh yang ini ditinggalkan lantaran beralasan sibuk dengan yang itu, sebagaimana mempelajari ilmu ilmu yang fardhu ‘ain tidak boleh ditinggalkan karena alasan sedang melakukan Tarbiyatun Nafs.
Sekiranya kita ingin mengajari manusia tentang semua perkara-perkara agama yang kecil dan yang besar niscaya pikiran kita tak akan pernah diam dan tidak akan seorang kita dapat tidur sepenuh kedua matanya ataupun bersantai-santai dengan obrolan sore atau majlis di pagi hari saling mengkaji sesuatu yang hukumnya tak lebih dari mandub misalnya. Kemudian, mengajar itu tugas sekelompok yang berangkat dari setiap golongan untuk tafaquh fiddiin, Sekiranya taklim-mu itu fardhu ‘ain niscaya anda tidak boleh membuang buang waktu panjang hanya sekedar untuk mengetahui bagaiman tatacara mengalihkan selendang dalam shalat istisqa’, misalnya. Karena semisal ini masuk perkara nomor 2 di depan persoalan persoalan penting lagi besar. Apakah Rabb kita berfirman : “Mengapakah tidak berangkat seluruh kaum muslimin untuk Tafaquh Fiddiin” Ataukah Dia berfirman:”Mengapa tidak berangkat dari setiap kelompok, segolongan saja. . . “ Jadi pada asalnya MANUSIA SELURUHNYA BERANGKAT PERANG DAN TETAPLAH TINGGAL SEKELOMPOK SAJA. Seluruh kaum muslimin keluar untuk satu TUGAS POKOK yaitu JIHAD – padahal jihad waktu itu adalah Fardhu kifayah- akan tetapi tetaplah ada yang tinggal sekelompok bertafaquh Fiddiin. Adapun hari ini semua timbangan telah TERBALIK. Dan jadilah alasan terpenting orang orang yang suka MENGGEMBOSI “ Kami sedang MENUNTUT ILMU UNTUK DISEBARKAN” entah ilmu duniawi ataupun akherat. Bandingkan ini dengan hadits ;”Akan senantiasa terus ada sekelompok dari ummat ku . . . yang berperang hingga yang paling akhir memerangi Dajjal. . . “. YAITU KELOMPOK SEDIKIT ITULAH YANG BERJIHAD. Maka jadilah kamu dari kelompok ini.
Tidakkah ilmu dhorury (yang penting) pada kaum salaf melainkan beberapa kalimat sedang di era kita jadilah ilmu sampai berjilid-jilid yang orang faqih saja hingga dibuatnya bingung. Dan Allah ta’ala tidaklah mewajibkan atas kita untuk menguasai seluruh kitab berjilid-jilid ini secara fardhu ‘ain (atas setiap individu). Akan tetapi ulama’-ulama’ kita –semoga Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah membuat kaidah-kaidah dan meletakkan dasar-dasar agar supaya kita dapat penerangan dan tidak sesat. Maka termasuk kedunguan, manakala kita tersibukkan dengan tiang-tiang penerangan dan cahaya daripada berlalu di jalan, yaitu jalan Islam yang puncaknya adalah jihad perang. Berapa kali terjadi hal menyedihkan dimana masing-masing kita yang dipandang sebagai seorang ‘alim , dambaan umat ini namun -sangat disayangkan- ia sebagai faktor kepedihan lantaran tindakannya menggembosi mujahidin yang keluar berjihad di jalan Allah.
Berapa kali terjadi hal yang menyedihkan, salah seorang mereka yang tersohor dan mempunyai banyak kajian dalam sepekan, jika engkau bertanya kepadanya: apa hukum jihad pada hari ini? Ia akan mengerutkan muka! Seakan engkau menanyakan kepadanya tentang persoalan pelik yang dipertentangkan banyak dalil-dalil dan pendapat-pendapat para ulama’. Jikalau ia memang benar-benar tidak tahu hukumnya, maka silahkan bahas! Dan jikalau ia benar-benar takut untuk menyampaikan fatwa maka semoga Allah merahmati ulama’-ulama’ kita dahulu yang berani menerangkan al haq yang tidak takut karena Allah celaan orang yang mencela!
Kemudian manakah antara keduanya yang lebih urgen dalam pandanganmu? Ilmumu, tulisan-tulisanmu, kitab-kitabmu, makalah-makalahmu, khutbah-khutbahmu dan ceramah-ceramahmu …ataukah wahyu?! Inilah dia orang yang diturunkan wahyu kepadannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendambakan untuk terbunuh berkali-kali! Dan sendainya beliau terbunuh niscaya akan lenyaplah wahyu, jadi mana antara keduanya yang lebih membahayakan lenyapnya?! “Sungguh aku mendambakan dapat berperang di jalan Allah lalu terbunuh kemudian berperang lalu terbunuh kemudian berperang lalu terbunuh….”muttafaq ‘alaih. Okelah misalkan saja anda meninggal sekarang, apakah kaum muslimin lantas merasa kerugian sebagaimana ruginya kaum muslimin lantaran terbunuhnya orang yang mendapatkan wahyu?!
Janganlah engkau tergelincirkan oleh syaithan lalu engkau mengatakan: Apakah kita mendorong manusia untuk jihad? Sedang mereka tidak tahu bagaimana mereka sholat? Bukankah Rasulmu Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah teladanmu? Ayo jawablah aku: “ketika seorang laki-laki mendatangi beliau untuk masuk Islam. Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya: “Pergilah ke Madinah dan belajarlah ilmu yang bermanfaat…pelajarilah urusan-urusan agamamu…belajarlah syarat-syarat dan rukun-rukun sholat..? Tidak! Akan tetapi mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian berperang. Bahkan orang itu sendiri yang bertanya-tanya: “sekalipun saya belum melakukan sholat untuk Allah satu kalipun?!! Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya”. Maka tatkala orang itu gugur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia beramal sedikit namun diganjari yang banyak” Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan hadits tersebut Hasan. Adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beritahukan kepadaku tentang seseorang yang masuk jannah padahal belum sholat sekalipun?! Kemudian ia berkata: “Dia adalah Amru bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad shahih menurut Ibnu Ishaq. Maka apakah orang ini dan semisalnya telah ter-TARBIYAH dan ter-TASHFIYYAH dalam artian yang kalian anggap itu ataukah ‘Hukum-hukum telah berubah dengan perubahan zaman’?
Hal ini jelas disebutkan dalam kitab-kitab fiqih; bahwa orang-orang kuffar jika menyerbu suatu wilayah kota yang terdapat di sana orang-orang yang masih jahil tak berilmu, mereka tidak tahu (tata cara) sholat, manakah yang lebih penting dahulu, berjihad memerangi kuffar ataukah ta’lim mengajari orang-orang itu? Dan selama di sana bumi-bumi Islam diduduki oleh Kuffar maka jihad adalah fardhu ‘ain atas setiap orang yang mampu. Dan jika tidak mampu maka mesti I’dad (training) militer. Apakah anda mendengar tentang seseorang yang dikatakan padanya: “Kemarilah! Jannah berada antara kamu dengan tengkuk lehermu kemudian anda akan rehat bersenang-senang”. Lalu orang itu mengatakan: “Tidak mau! Saya ingin jalan ‘belajar ilmu syar’I yang panjang lagi terjal! Kemudian seusai ini, ia tidak tahu apakah ilmunya diterima ataukah ia dicampakkan bersama-sama ilmunya di neraka lantaran riya’nya misalkan….Apakah orang ini jujur? Jawablah kalian! Lantas apa artinya kita meninggalkan jalan yang dekat dengan memilih jalan yang panjang melainkan karena riya’ dan dusta semata?!
Semoga Allah merahmati Umair ibnu Hammam Radhiyallahu ‘anhu di hari ia mencampakkan kormanya seraya berkata: “sesungguhnya itu merupakan kehidupan yang panjang!....”Riwayat Muslim. Ataukah anda lebih bijak darinya dan lebih bersemangat terhadap dinullah serta lebih tahu maslahat ummat?! Ataukah tetapnya hidupmu itu lebih bermanfaat bagi ummat daripada hidupnya dia?!!!
Bagaimanapun jua yang mereka katakan: “Duduklah kamu, belilah kitab-kitab dan senanglah berada di pustaka ilmu”, maka katakan kepada mereka: “Akan tetapi Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan diberikan jannah kepada mereka”

SYUBHAT: TIDAK BERANGKATNYA ULAMA SEDANG KAMU DI MEDAN SENDIRIAN!

Katakan kepada mereka: “Cukuplah bagi kita bahwa Allah ta’ala berfirman kepada makhluq pilihanNya: “Maka berperanglah kamu di jalan Allah. Tidaklah engkau dibebani melainkan kepada dirimu sendiri” Demikian inilah para Ghuroba’ (orang-orang terasing). Berkata imam Qurthuby dalam menjelaskan ayat ini: “Sebagai perintah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpaling dari orang-orang munafiq dan bersungguh-sungguh dalam berperang di jalan Alah jikalau tidak ada satupun orang yang menolongnya untuk itu”
Okelah misalkan salah seorang yang engkau sebut mereka sebagai ulama’ tidak berangkat ….dan tidaklah mungkin hal itu! Lantas apakah engkau akan meninggalkan sholat dan puasa jika mereka meninggalkannya?! Bukankah tidak mendatangi jama’ah sholat Shubuh termasuk tanda-tanda kemunafikan? Lihatlah pada hari ini berapa banyak di antara mereka –di negeri kita sendiri-mempunyai sifat tersebut! Ataukah engkau juga akan meninggalkan jam’ah sholat Shubuh lantaran mereka meninggalkannya?
Mereka-mereka yang terpengaruh dengan sikap berpangku tangannya sebagian ulama besar dan menyangka bahwa ulama’-ulama’ besar yang tersohor tersebut tidaklah duduk berpangku tangan melainkan karena mereka tahu kemaslahatan. Seandainya mereka mencermati perkara yang sebenarnya pastilah mereka akan dapati ulama’ tersebut sama sekali berbeda dengan yang disangka. Mereka itu, kami katakan kepada mereka: “ Tidaklah menjadi kemestian sikap berpangku tangannya ulama terrsohor itu dari jihad akibat pengetahuannya terhadap kemaslahatan. Ketika merenungi Kitabullah ta’ala, kita dapati bahwa diantara orang-orang pilihan (para sahabat) –semoga Allah meridhoi mereka dan menjadikan mereka ridho- ada saja yang mendapat teguran Allah karena lambannya dari berjihad. Maka jika dari kalangan orang-orang pilihan, baik-baik lagi suci itu saja ada yang terjangkiti penyakit ini, yaitu penyakit lamban dari memenuhi seruan jihad, lantas bagaimana kita menyangka orang-orang pilihan kita hari ini bahwa mereka berpangku tangan dari jihad adalah lantaran maslahat? Allah ta’ala dalam surat Al Anfal berfirman yang ditujukan kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peserta perang Badar dimana mereka itu manusia-manusia pilihan Radhiyallahu ‘anhum: “Sebagaimana Robbmu mengeluarkanmu dari rumahmu dengan benar. Dan sungguh sekelompok orang-orang beriman benar-benar tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang al Haq setelah sebelumnya jelas seakan-akan mereka digiring menuju kematian sedang mereka melihatnya” Sifat ini datang kepada manusia pilihan –Radhiyallahu ‘anhum- yakni pasukan Badar. Maka bukan hal yang tidak mungkin penyakit tersebut menimpa kita. Inilah Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu –haditsnya terdapat pada Bukhari Muslim- mengatakan pada perang Tabuk : “Aku tidak turut berangkat padahal belum pernah kondisi saya semudah daripada hari itu. Tidaklah saya mempunyai dua kendaraan tunggangan melainkan pada perang itu saja. Saya katakan: “Hari ini akau akan siap-siap lalu berlalulah hari itu sedang aku belumlah mempersiapkan apapun”. Jadi manusia itu ya manusia yang ditarik-tarik oleh rasa berat ke bumi. Orang tadi siapakah dia?!! Dia adalah dari golongan pertama masuk Islam! Bahkan salah satu yang turut menyatakan bai’at Aqobah Kubro pernuh berkah yang darinyalah Daulah Islam di Madinah Munawwaroh beranjak. Ia tertinggal tanpa ada udzur.
Diantara yang disebutkan pada haditsnya yang panjang bahwa mereka berjumlah tiga orang sebagaimana dalam Kitabullah “ Dan atas tiga orang yang tidak berangkat”. Riwayat-riwayat dalam siroh menyebutkan bahwa pasukan yang keluar ke Tabuk berjumlah 30.000 personil. Berapa sih bilangan tiga dari 30.000? sebuah angka yang tidak akan disebut hari ini. Seandainya kita bertanya kepada orang militer siapapun atau komandan pasukan. Kita katakan kepadanya: “Jika ada tiga pesonilmu dari 30.000 tidak turut berangkat?” sebuah angka yang tidak akan dihitung. Akan tetapi karena besarnya dosa, Allah Azza wa Jalla turunkan dari atas tujuh langit Al Qur’an yang akan dibaca hingga hari Kiamat berkenaan hisab mereka. Yang menguatkan pernyataan kami adalah bahwa jihad pada hari ini wajib secara fardhu ‘ain atas umat dan bisa jadi gugur karena kelemahan. Ketika seorang membaca Al Qur’an, ia akan terheran-heran terjadap sikap berpangku tangannya kebanyakan manusia. Apakah mereka tidak membaca Al Qur’an ataukah mereka membaca namun tidak mentadabburinya?!
Jika telah nyata bagimu akan wajibnya perang maka tidak ada jalan menghindarinya! Kembalilah ke alinea “Kenapa berperang?”, niscaya kamu dapati bahwa para ulama’ itu sedikit dan yang mau beramal nyata diantara mereka lebih sedikit dan yang berjihad lebih sedikit lagi serta yang bersabar lebih sedikit lagi. Jadi mujahidin itu sedikit dari yang sedikit dari yang sedikit.
Seakan-akan kita lupa wasiat Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian menjadi orang-orang yang suka mengekor…” Hadits Hasan Gharib sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi. Dan kita lupa prinsip, “Kenalilah kebenaran engkau akan mengenal orang-orangnya”. Maka jam’aah itu bersama kebenaran sekalipun engkau sendiri. Hukum syar’ie telah jelas. Jauh dan jauh berbeda antara kita dengan para saaahabat. Engkau lihat seorang mereka segera saja memecahkan pelindung pedangnya dan tidak lagi memakai kata-kata ‘semoga, barangkali’ dan berikutnya !dari kata-kata yang melemahkan dari jihad. Engkau lihat mereka langsung berlomba-lomba menuju pertempuran.
Apakah Allah memasang kita sebagai hakim manusia. Barangkali belum terwujud pada mereka manaath (standar terkena hukum) yang berupa kelonggaran atau…atau…. Apakah anda dapat memastikan bahwa ulama’ tersebut mendapatkan kemudahan jalan keluar namun mereka tidak mau keluar? Sesungguhnya jumhur (mayoritas) ulama berpendapat jika saling bertentangan fatwa sahabat dengan riwayatnya maka lebih didahulukan riwayatnya daripada fatwaanya berbeda dengan kalangan Hanafy. Lantas bagaimana jika saling bertentangan fatwa seorang ‘alim dengan perbuatannya? Kemudian apakah kamu telah meminta fatwa kepada mereka lalu engkau lihat mereka berpendapat tidak wajibnya jihad ataukah engkau lihat perbuatan mereka. Yang barangkali saja seorang mereka dilarang dari memiliki pasport atau barangkali dia dari kalangan yang “Tidaklah berdosa atas orang buta, pincang, orang sakit....”
Apakah terputusnya Abu Hamid Al Ghozali dari peperangan salib (karena menyendiri beribadah di Baitul Maqdis, pent) merupakan sifat baik dalam kehidupannya ataukah yang ada adalah sebuah tanda tanya??!!
Ketika sebagian orang mengingkari orang yang terjun menyerang ke tengah barisan pasukan sendirian dan berhujjah dengan ayat; “Dan janganlah kalian campakkan diri kalian kepada kebinasaan” maka bangkitlah Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu. Ia luruskan pemahaman mereka dan ia bimbing mereka bahwa maksud kebinasaan tersebut adalah tidak mau berinfaq di jalan Allah dan bukannya dalam berjihad. Ia bantah mereka: “Maka berperanglah di jalan Allah. Tidaklah dibebankan melainkan kewajiban dirimu sendiri”.
Apakah bangsa Tartar mau hengkang kalaulah bukan lantaran (ba’dallah) para ulama yang mengobarkan semangat jihad. Demikian pula pasukan salib dan ‘Ubaiidiyyun (perintis dinasti fathimiyyah yang difatwakan kafir oleh para ulama’ Mesir)
Bukankah keluar berjihad para Fuqoha sahabat dan tabi’in? Semoga Allah meramati Sa’id bin Musayyib, Asad bin Furat, Ibnul Mubarok, Bukhari. Mereka adalah para ulama sekaligus mujahidin di saat jihad hukumnya fardhu kifayah. Semoga Allah merahmati Umar Mukhtar, Qossam dan…..Jadi ilmu itu dengan dipraktekkan bukan hanya sekedar dihapal. Kalaulah tidak niscaya iblis itu ulama’ besar.
Dusta kalian! Tidak, sekali-kali ucapan itu tidak akan dilontarkan oleh seorang ulama’! Seorang ‘alim tidak akan dapat menggugurkan faridhah jihad yang akan langgeng hingga hari Kiamat berdasarkan nash hadits. Adapun orang yang mencampakkan senjata dengan alasan politik itu mengeraskan hati, maka ingatkan orang itu bahwa kebanyakan sahabat telah berpendapat supaya pasukan Usamah bin Zaid (yang dikirim Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya, pent) agar dibubarkan dulu saja dan supaya terkonsentrasi pada persoalan kaum murtaddin. Dan ternyata tidak ada yang teguh selain Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan dialah yang benar sendirian. Kemudian seluruh sahabat beralih kepada pendapatnya yang benar itu. Janganlah kalian mengatakan: “Kami tidak ada kemampuan”! sebab kewajiban kalian saat lemah adalah I’dad. Lantas kenapa kalian terus saja melancarkan perang mulut saja. Sedang orang baik di kalangan kita sekedar menulis tentang ‘fadhilah-fadhilah jihad’ atau maenulis sebuah makalah atau menyampaikan sebuah ceramah.
Seakan-akan lantaran banyaknya talbis (pengkaburan) syetan-syetan manusia dan jin sehingga manusia pada zuhud terhadap jihad berperang. Namun demikian “Senantiasa akan terus ada sekelompok dari umatku yang menang….MEREKA BERPERANG…” maka jadilah anda dari kelompok tersebut. Dan jika anda tidak menjadi bagian mereka maka janganlah anda menggembosi mereka sehingga anda akan menghimpun dua keburukan!. Dan jangan lupa bahwa dosa itu ketika tidak ada udzur. Sedang kita menghukumi dhohirnya dan Allah yang akan mengurusi batin. Yang jelas, bagaimanapun juga sebuah masyarakat itu tidak akan pernah kosong dari adanya ulama su’ (jahat).

Jika Mereka Mengatakan : Bayangkan Jika Semua Keluar Berperang, Siapakah Yang Akan Tinggal di Sini. Hal ini Tidak lain Kecuali Tindakan Ngawur! Maka Katakan Pada Mereka :

Jalan para Nabi tidak ada yang istilah ngawur!! Apakah para sahabat itu disebut orang-orang yang bertindak ngawur dan gegabah?! Seandainya anda keluar, saya keluar, Fulan keluar,….seterusnya niscaya akan tercapai kecukupan dan kita kan menang. Akan tetapi kita bertingkah seperti orang-orang munafiq yang suka menyampaikan alasan-alasan; “Dan datang orang-orang badui yang minta uzur supaya diizinkan untuk tidak berangkat”
Syubhatmu tidak lain seperti syubhat orang yang menentang hukuman had pencurian. “Bayangkan kalau hukuman had diterapkan pasti kamu akan melihat manusia berjalan tanpa tangan semua”!? Jika hukuman had diterapkan maka apakah masih akan ada pencuri satupun? Demikianlah seandainya keluar orang-orang sampai batas-batas kecukupan dan menutupi kebutuhan niscaya kita tak butuh lagi manusia lainya. Dan jangan sampai lupa bahwa kebinasaan itu pada sikap tidak mau berinfaq untuk jihad dan bukannya pada tindakan berjihad.
Jika adzan Maghrib dikumandangkan lalu kita bersegera menuju sholat apakah kita lantas sebagai orang-orang yang tergesa-gesa atau bertindak ngawur?! Lha bagaimana sedangkan Kitab, Sunnah dan nash-nash ulama’ menyeru semenjak jatuhnya Andalusia: “Hayyya ‘Alal Jihaad”? akan tetapi di manakah gerangan ‘Pahlawan Thoriq’ yang menyambut seruan?!
Demikianlah sikap para ulama jahat mencampakkan dalil-dalil, menghapusnya dengan satu atau dua kalimat dari alasan-alasan buruk, tuli lagi bisu. Sehingga membuka kelonggaran bagi orang-orang yang gampang memperolok-olok hukum-hukum syari’at, yakni kelonggaran bagi mereka untuk menggambarkan mujahidin sebagai sekelompok anak jalanan yang dikatakan pada mereka : “Ayoo anak-anak muda!! …lalu semua langsung menyambut dengan segera: “Okk, kita jalan!” seperti team sepak bola anak-anak. Padahal gambaran ini sama persis dengan bunyi hadits “..setiap kali mendengar suara menakutkan atau hiruk pikuk ia langsung terbang ke sana….” HR Muslim . lantas pernahkah kalian terbang –sekalipun hanya sekali- ke satu pertempuran diantara pertempuran-pertempuran yang ada.

Jika mereka mengatakan: Akan tetapi jihad dengan harta pada hari ini lebih penting daripada jihad dengan jiwa, maka cukuplah kita berjihad dengan harta kita saja ! Maka katakan pada mereka :

Bahkan jihad dengan jiwa lah yang lebih penting dengan dalil “ Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan digantikan jannah bagi mereka” Allah memulai dulu dengan jiwa dalam pembelian ini dimana ayat-ayat lain dimulai dengan harta sebelum jiwa. Sebab harta mendahului jihad dengan jiwa sekedar temporal sesaat. Maka anda tidak akan dapat sampai ke bumi jihad tanpa harta (pesawat, kendaraan, onta….)dan tidak ragu bahwa sebaik-baik jihad adalah orang yang berangkat jihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak ada yang kembali pulang sebagimana dalam sebuah hadits.
Realita berbicara; bahwasanya kita tetap butuh personal lelaki. Seandainya jihad fardhu kifayah niscaya anda bolehlah mencukupkan dengan harta. Adapun ketika jihad fardhu ‘ain maka, “Berangkatlah kalian berperang dengan rasa ringan maupun berat” dan “Jika kalian tidak mau juga berangkat berperang pastilah Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan pedih”. Ketika jihad telah fardhu ‘ain maka boleh didahulukan daripada sholat menurut tiga madzhab kecuali kalangan Hanbali. Jadi menyerahkan harta tidak mencukupi dari menjalankan kewajiban jihad dengan jiwa sebagaimana membayar sejumlah harta supaya mewakilkan puasanya itu tidak dapat melepaskannya dari tanggungan puasa sendiri ataupun untuk menggantikan sholat fulan. Sebab jihad jika telah fardhu ‘ain maka sudah tidak ada lagi perbedaan sama sekali dengan faridhoh-faridhoh lainya seperti sholat dan shiyam…serta lainnya.
Kendati mereka berkutat dengan segala ‘macam jihad’ selain jihad perang. Namun apakah anda melihat mereka bersedekah dengan seluruh hartanya atau setengahnya. Ataukah mereka mengharap-harapkan pahala yang lebih banyak kepada Allah dengan 1/10 dari gaji mereka (yang diinfaqkan). Namun untuk 9/10 mereka simpan dan belanjakan kepada keluarganya serta untuk bagian begadang mereka tak terlupakan kemudian mereka mengatakan: “Kami wahai manusia adalah juga mujahidin..mujahidin..mujahidin!!!.

Jika mereka mengatakan kepadamu: “Akan tetapi kami telah banyak memberi manfaat dengan kerja kami disini . Orang ini mendapat hidayah, yang ini telah beriltizam, sedang itu memanjangkan jenggotnya, adapun perempuan telah berhijab. Kebaikan datang dan kaum muslimin senantiasa masih baik dan masih banyak kebaikan di tengah mereka!!!?? Lantas APA FAEDAH YANG KALIAN AMBIL dari PERANG SEKARANG INI??? Kalian ini, apakah yang telah kalian ambil faedahnya?? Melainkan hanya BENCANA DEMI BENCANA dan KETERPURUKAN BEBERAPA TAHUN KE BELAKANG?? Mana HASIL HASIL PERANG?

Katakan kepada mereka CUKUPLAH BAGI KAMI bahwa kami mengambil faedah dari PERANG adalah RIDHO ALLAH kepada kami. Cukuplah bagi kami bahwa kami MENTAATI RABB KAMI dalam hal yang telah DITITAHKAN kepada kami!!! Demikianlah kaum munafiqin dahulu mengatakan. Mereka mengatakan setelah perang Raji’ : “ Duhai celakalah mereka (para Shahabat yang terbantai di Raji’) terfitnah yang binasa begitu saja!! Tidaklah mereka tinggal di tengah keluarganya tidak pula mereka dapat menunaikan misi teman mereka (Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).
Mereka akan mengatakan: “Tidaklah meraka (mujahidin) selamat tidak pula mereka dapat MELENYAPKAN KEKUFURAN yang mereka perangi dan tidak pula mereka DAPAT MENEGAKKAN DAULAH ISLAM. . . !!! “ Dan diantara manusia ada saja yang perkataannya membuat kamu terkagum kagum . … “ (QS Al Baqoroh)
Cukuplah bahwa Mujahidin dimana saja mereka berada senantiasa menumbuhkan pada ummat perasaan IZZAH setelah sebelumnya TERTIMPA KALAH MENTAL !!! Bagaimana tidak ? ? Sedangkan Beruang Rusia TIDAK MAMPU MENGALAHKAN BANGSA AFGHAN padahal prosentase kemiskinan mencapai 90 %. Adakah sebuah PARLEMEN –apapun parlemen itu- dengan kekuatannya dapat MENGUSIR RUSIA dari negeri negeri kaum muslimin???
Apakah boleh diUCAPKAN : “ Apasih FAEDAH yang diambil ALI Radhiyallahu ‘anhu dalam MEMERANGI Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu ? Bolehkah diucapkan: Apa faedah yang mereka ambil dari UHUD dan dari BILAATHUSSYUHADA ??? Bolehkah diucapkan: “Apa faedah yang kita ambil dari perintahMu Yaaa Rabbanaa??”
Berapa banyak orang bodoh, yang mengatakan seperti burung BEO ; “ Tidaklah Jihad Afghan usai hingga Mujahidin saling berperang sendiri antar mereka”. Berapa banyak mereka orang bodoh itu !!! Jika engkau mau, katakan saja sekalian: mereka adalah para AGEN yang BUSUK!! Seandainya engkau mengeluarkan zakat hartamu kepada Fulan lalu orang itu MURTAD dan memerangi Islam dengan harta tersebut. Apakah lantas kamu total TIDAK MAU BERZAKAT ? Ataukah yang kamu CELA orang orang yang menyelewengkan???
Yang terjadi itu tidak lain hanyalah bagian dari sunnah kauniyah Allah Ta’ala sebab ketika tangan mereka satu Allah kalahkan lewat tangan mereka pasukan Rusia. Maka ketika mereka telah berselisih maka lemah dan hilanglah kekuatan mereka. Jadi dengan bersatu kita akan MENANG dan dengan perpecahan kita akan DIKALAHKAN. Mustahil namanya JIHAD dapat mengakibatkan perselisihan kaum muslimin!!! Orang yang Obyektif lagi adil akan mencela perselisihan mereka sekarang ini dan ia tidak akan mencela JIHAD yang berjalan selama 13 TAHUN.
Kemudian bukankah telah murtad salah seorang penulis wahyu; ABDULLAH BIN ABI SARRAH? Apakah lantas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dicela lantaran Beliau menjadikan orang tersebut sebagai penulis wahyu sebelumnya!!?? Kemudian wahai kalian dan kalian !! Apa yang telah kalian persembahkan untuk DIIN ini ?? Tidakkah yang dipersembahkan oleh mereka yang tetap tinggal di Makkah setelah hijrahnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam selain malah menyakiti diri mereka sendiri dan ; “ Jihad Utama adalah kalimat Haq dihadapan penguasa LALIM”. HR Ahmad, Hadits Shahih.
Berapa banyak mereka, orang orang PERMUKAAN itu yang mencukupkan diri dengan adanya pemuda yang bisa menjauhi wanita atau yang lain telah memelihara jenggot atau seorang pemudi yang telah berhijab atau permainan islami yang mengganti permainan yang tidak islami atau CD Permainan anak anak islami sebagai ganti yang tidak islami atau dengan adanya majalah dinding di Masjid atau Ma’had Tahfidul Qur’an sebagai ganti kafe kafe malam yang tersebar atau media rusak yang menyebarkan kebobrokan yang merata di seluruh negeri .
Berapa banyak mereka orang-orang PERMUKAAN yang sibuk melakukan ISHLAH (perbaikan) parsial namun LALAI dari yang LEBIH besar dan lebih penting !!!?? Bahkan betapa ‘dalamnya ‘PERMUKAAN orang yang bahagia lantaran dapat memberi makan seorang yang tidak makan selama 2 pekan padahal disampingnya ada orang tenggelam yang teriak minta-minta tolong kepada manusia :”Selamatkan aku , selamatkan aku”. Duhai betapa bagusnya Keberhasilan karya yang diciptakannya. Betapa DALAMNYA permukaan orang yang gembira lantaran sekedar dapat membangun sebuah masjid atau dapat menyampaikan sebuah ceramah di radio atau diperkenankan baginya menulis suatu makalah di pojok Koran pemerintah?! Namun tidak pernah terpikir olehnya persoalan-persoalan besar.
Janganlah kau putus ekor ular lalu engkau lepaskan, jika engkau seorang pemberani maka ikutkan kepala setelah ekornya
Adapun orang yang tidak mampu memotong kepala maka ia berkewajiban melakukan I’dad persiapan untuk dapat memotong kepala bukan malah ter-SIBUK-kan dengan memotong ekor. Lantas bagaiman halnya dengan orang yang MALAH sibuk melakukan I’DAD UNTUK SEKEDAR MEMOTONG EKOR !!! Kemudian setelah semua I’dad ini ia merasa cukup dengan ekornya saja, “ Dan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik baiknya”(QS Al Kahfi).
Katakan kepadaku, lantas bagaimana halnya dengan orang yang tidak pernah berpikir sekalipun dalam hal I’dad untuk memotong ekor, sedangkan orientasinya hanya I’dad untuk ZUWAJ (nikah) dengan HUURUN THIIN (bidadari tanah) daripada HURUN’IN (bidadari Jannah) – kalo misalkan ungkapan ini boleh-!!
Apakah buku buku agama yang menyerbu pasaran itu bertambah atau berkurang ? Apakah orang orang yang disebut sebagai para Da’I semakin bertambah atau berkurang ? Apakah ceramah ceramah, khotbah khotbah, seminar seminar dengan kaset kasetnya itu bertambah ataukah berkurang ?? Sebaliknya, kerusakan dan perusakan apakah semakin bertambah ataukah berkurang? Lebih detailnya, Manakah yang lebih besar prosentasenya : semakin mendekatnya manusia kepada Diin ataukah semakin menjauh ?? Lantas apalah artinya kalau begitu, berada diatas satu manhaj yang mana realita menyeru! “Wahai Manhaj, Sesungguhnya engkau tidak akan menyampaikan kepada target sasaran??” Sedangkan kitabullah menyerunya ;” Berangkatlah kalian untuk berperang baik merasa ringan maupun berat . . . “ Jadi apakah obat kalian itu MUJARAB menyembuhkan ataukah malah MEMBIUS orang???
Berapa banyak sudah orang orang yang kami tidak dapat lagi mengendalikan sepak terjang mereka kendati mereka telah aktif di Masjid semenjak kecilnya. Kami kehilangan kendali mereka lantaran dahsyatnya kekuatan kebobrokan dan kurangnya atau lemahnya daya kebaikan, yakni sikap kurangnya dalam mengambil puncak tertinggi perkara Diin ini.!!! Benaar ! kami telah kehilangan kendali mereka sedang contohnya banyak sekali maka tanyakanlah orang yang berpengalaman :
Jika telah berada diatas yang haram maka tidak ada lagi artinya panjangnya shalat malam
Dan bukan hal yang tersembunyi bahwa pemerintah yang paling toleran saja telah meletakkan garis merah. Mereka (pemerintah) ijinkan rakyat jelata untuk bergerak sesukanya sebelum mencapai batas garis merah tersebut sampai jika mereka telah mendekatinya mereka akan menelan pukulan pemerintah sebelum mereka sampai. Subhanallah ! Memang beberapa kaum (harokah yang tidak berjihad,pent) belum mau mengambil Ibrah dari sejarah sehingga engkau lihat mereka bersikeras ingin mengulang kembali putaran Zaman hingga mereka menelan pukulan yang bisa jadi sebagai babak akhir kebinasaan !!
Tinggal satu pertanyaan yang terlontar ;” Apakah tindakan bijaksana, kita berusaha mencurahkan sekuat tenaga untuk sekedar mencapai ke Garis Merah saja ATAUKAH MEMBEDOL TOTAL garis merah tersebut sampai akar akarnya ??! Apakah kalian benar-benar percaya bahwa “arsitek bangunan” itu dapat melenyapkannya??? Atau kisah kisah dan riwayat riwayat dapat memupuskannya ??? Lantas bagaimana kalian ini memutuskan ?!! bagaimanapun kamu berbuat lalu berbuat maka toh generasi awal mereka telah mendahului semenjak puluhan tahun lalu. Mereka angkat syiar AL-JIHAD SABILUNA (Jihad adalah jalan kami). Namun tidak pernah mempraktekkannya melainkan hanya sedikit. Jika engkau mau, katakan saja ; “memang generasi awal mereka telah banyak mempraktekkannya, namun lihat di manakah mereka sekarang ??!!” Terpenjara, terusir atau diblokade, semoga Allah membebaskan mereka dan menunjukkan kita dan mereka kepada jalan yang lurus.
Permisalanmu sekarang ini -betapapun kamu telah menTARBIYAH, mendidik, mengajar, mengarang dan melakukan amar ma’ruf nahi Munkar serta mengadakan proyek proyek sosial-. Permisalanmu tidak lain hanyalah seperti seorang dokter yang pandai lagi Juru Da’wah, Aktifis lagi di dengar kata katanya yang dijebloskan ke penjara secara Dholim. Lalu ia melihat di dalam penjara seorang buta huruf yang tidak tahu apa apa lalu ia ajari orang tersebut–sebab inilah yang dapat ia lakukan sekarang- maka setelah lewat 10 tahun dikatakan padanya, silahkan anda keluar ! ia mengatakan ;” Tidak, Saya masih melakukan I’dad. Telah ku ajari orang ini sampai ia menjadi dokter yang juga Da’I dan esok akan datang kepada kami lebih banyak lagi para pesakitan yang akan kita ajari hingga kita sampai pada tingkatan standar I’dad lalu kitapun dapat mengeluarkan seluruh pesakitan dari penjara???!!!
Yaa! Siasat omongan kita seperti orang dungu ini -padahal ia seorang DOKTER-. Seandainya ia benar benar jujur mestilah dia akan mengajarkan mereka bagaimana perang atau sarana sarana yang tercurah ke persoalan perang. Bukan bagaimana Tajwidul Qur’an atau bahasa Arab sebagai bahasa pengantar - dengan tetap menyadari akan pentingnya Tajwid dan Bahasa Arab-. Namun ketika telah usai dari I’dad ini. Lantas ‘kemarilah kalian menguasai seluruh Ilmu-ilmu syar’I yang hanya setingkat fardhu kifayah’. Silahkan buka Sirah para Salaf !!! Mereka dulu mengajarkan peperangan peperangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan sariyah sariyahnya sebagaimana mereka mengajarkan surat Al-Qur’an. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Zainal Abidin, Ali bin Husain Rahimahullah (seperti tersebut dalam AlJami’ Li Akhlaaqi rawi karangan Khatib Baghdadi II/195).
Benar, inilah kondisi aktifis baik mereka. Tidak henti-hentinya mengulang-ulang: “Kami tidak punya job (beramal islami, pent) selain apa yang ada pada kami sekarang ini! Kepada orang-orang itu, katakanlah tanpa segan-segan lagi : “Benar kalian. Kalian lebih baik daripada orang yang sama sekali tidak punya orientasi baik di tempatnya maupun kepada soal perang yang memang sama sekali tidak beramal untuk Islam. Akan tetapi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan kepada kita tentang THOIFAH MANSHUROH (kelompok yang akan ditolong Allah) bahwa sifatnya dalah YUQOOTILUUN (mereka berperang). Sudahkah engkau cari mereka?. Betapapun lapangan-lapangan yang kalian beramal di dalamnya, maka lihatlah, apakah tercurah ke lapangan ‘YUQOTILUUN’ atau benar-benar ‘YU’IDDUUN’ (mereka I’dad) untuk perang dan bukannya untuk nikah, pesta ataupun …..
Sesungguhnya kaum muslimin yang berdosa lantaran mereka tidak mau hijrah dari Mekkah sebelum ditaklukkan dari tangan kesyirikan. Mereka-mereka itu mampu untuk berdakwah secara lemah lembut dan pelan-pelan lewat penyebaran buku-buku, kaset-kaset, ceramah-seramah persis seperti yang diperbuat oleh madrasah (baca: harokah dan jama’ah) “Menahan Diri” pada hari ini!!! Kendati ulama sepakat –tak ada perselisihan sama sekali- bahwa jihad perang hari ini paling tidak beralih menjadi fardhu ‘ain lantaran belum sampai kecukupan.
Okelah anda boleh mengatakan : “Sesungguhnya saya di sini dapat memberi faedah dan beramal untuk Islam” seandainya hasilnya selevel dengan berbagai kejadian. Anda berhak lah mengklaim hal itu selama Robbmu yang telah engkau pasrahkan dirimu kepada-Nya tidak mewajibkan kepadamu selainnya. Dan anda tidak boleh mengatakan : “Saya berkewajiban untuk berbuat dan saya tidak akan melihat hasilnya”, sebab orang yang memerangi musuhnya yang dipersenjatai lengkap hanya dengan pisaunya kemudian mengatakan : “Saya akan berbuat dan tidak akan peduli dengan hasil yang buruk”. Tidak ragu lagi orang ini tidak paham Islam karena ia tidak mau mengambil sebab sebab yang diperintahkan Allah kepadanya. Berbeda dengan MUQOTIL (petempur) di jalan Allah yang menjalankan apa yang Allah ta’ala perintahkan dengan mengambil sebab sebab semampu dia “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian mampui”, Kemudian ia maju berperang lalu terbunuh atau tidak memperoleh hasil yang ia harapkan, maka orang ini meraih pahalanya sekalipun tidak menuai hasilnya di Dunia –disertai adanya keikhlasan- sebagai mana yang terjadi pada pasukan pemanah gunung Uhud yang tetap bertahan akan tetapi mereka tidak sempat melihat hasil amal mereka dan terbunuh. Beberapa banyak orang yang perlu dikasihani, yang mengatakan : “ Berperanglah dengan pedang di Era bom atom dan jangan menanti nanti atau melihat hasil !!!, kecuali JIKA MEMANG SAMA SEKALI TIDAK MAMPU melainkan dengan WASILAH itu”.
Maka selama kita diperintahkan untuk hijrah dan berJIHAD maka tidak ada artinya perkataanmu, “ Saya dapat memberi faedah kepada negaraku di sini”. Baca : “ APAKAH MEMBERI MINUM ORANG HAJI dan memakmurkan MASJIDIL HARAM kalian samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berjihad di jalanNya. TIDAK SAMA mereka DI SISI Allah dan Allah tidak menunjuki kaum yang Dhalim”. Kemudian amal islami yang engkau lakukan di sini dapat engkau lakukan di negeri Islami tersebut –kalao memang ada_baik belajar maupun mengajar. Bahkan Negeri Islam tersebut –jika ada - ungguh sangat membutuhkan kepada orang orang sepertimu entah kamu berprofesi sebagai dokter atau Farmasi atau ahli kimia . . .. Sangat lebih menghajatkan dari pada negerimu sendiri. Jika “MEKKAH” KERING kerontang maka kamu harus beralih ke Madinah dan Realita menguatkan hal itu.
Allah Rabb kita menuntut kita ber-Ubudiyah dengan Syare’at yang ditinggal wafat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bukan dengan Syare’at awal kali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus sebagai Rasul. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat dalam kondisi mendorong pengiriman pasukan Usamah !!! Lihatlah pula Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bertekad menuju Thaif (diawal da’wah) ketika telah tidak ada lagi harapan dengan Makkah, kemudian beralih lagi ke Madinah sedang kamu MASIH SAJA BERADA DI KOTAMU !!!
Jika kita menjalankan apa yang Allah ta’ala perintahkan kepada kita lantas kita tidak mendapatkan hasil di sana maka kita katakan : “Janganlah kalian putus asa selama kalian tetap mempraktekkan perintah Allah untuk berangkat perang. Sungguh peperangan salib telah berlangsung selama 90 tahun sedangkan Al-Aqsha terkunci tiada Shalat DIDALAMNYA. Kaum Qaramithah (sekte agama syiah) mencabut hajar aswad dari tempatnya selama 41 tahun sampai sampai seorang Qaramithah mengatakan : “Dimanakah BURUNG ABABIL ?”. Demikian pula pada masa kita, para ahli meyakinkan bahwa perang di Chechnya tidak lebih dari tiga hari. Dan sebelum mereka, telah bersikap tegar penduduk BOSNIA yang terkucilkan . Mereka berhadapan bukan didepan SERBIA namun dihadapan KONSPIRASI seluruh dunia atasnya. Sebelum mereka dan mereka, telah wafat HAMZAH Radhiyallahu anhu sedang ia belum melihat Daulah Islamiyah. Telah meninggal Waraqah bin Naufal sedang ia belum melihat kejayaan Nabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Telah meninggal mereka yang meninggal di Najasy dan mereka belum melihat tersebarnya Islam. Akan tetapi mereka semua tidaklah goncang sebab mereka menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Adapun “Aku akan berperang dengan pisau saja di Era Atom kemudian aku mengatakan : Tidak usah menunggu hasil” Maka jangan seperti itu sebab ini hanyalah kedustaan dan talbis (tipuan) !!!.

Jika mereka mengatakan : “Saya tidak mau keluar kalau harus meninggalkan negeri Syam karena keutamaan negeri Syam, keutamaan ribath disana, dan berita gembira Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang terjaganya Syam dari Fitnah. Dan beramal untuk Palestina lebih baik dan lebih utama dari pada selain Palestina !!!

Maka katakan kepada mereka : “Akan tetapi para Shahabat mau meninggalkan Makkah dan Madinah -apalagi sekedar Negeri Syam- untuk ber Perang di Jalan Allah. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengepung Romahormuz selama 4 bulan dalam sesaljuan. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk SALAFUSSHALIH. “Setiap kali mendengar suara menakutkan atau hiruk pikuk (adanya musuh) ia terbang kesana . . .” HR Muslim. Kemudian bahwa sifat THOIFAH MANSHUROH adalah “ . . . YUQAATILUUN (mereka berperang) . . .” lantas apakah kalian ini BERPERANG?, bahkan apakah kalian dengan kerja yang kalian lakukan di sini SEDANG BERRIBATH ??? dan apakah RIBATH itu ??!!! Apakah kalian sekarang ini benar benar di BAITUL MAQDIS ataukah di daerah-daerah sekelilingnya saja !!?? kalau begitu tidak mustahil Turki juga termasuk sekeliling BAITUL MAQDIS?! Dan saya hampir dapat memastikan, seandainya salah seorang kalian dapat kemudahan kontrak kerja di sebuah negara kaya pastilah ia akan TALAQ negeri Syam 3 KALI. Dan alasan kalian –saat itu- bahwa kalian akan mengumpulkan harta untuk PERSIAPAN DI JALAN ALLAH. . . !. Cobalah RENUNGKAN.
Kamu BENAR, bahwa Palestina lebih baik dan lebih utama dari yang lain !!! Bahwa memerangi yahudi lebih utama daripada memerangi Rusia, misalnya. Akan tetapi yang Allah kehendaki dari kita adalah MEMERANGI MEREKA, sedang kalian menghendaki MENGARANG BUKU YANG MENJELASKAN SEJARAH PALESTINA !!! Allah menginginkan kita untuk berangkat PERANG sedangkan kalian ingin MERASA BERAT TINGGAL DI BUMI !!!. Dan supaya kalian menipu masyarakat jelata, kalian mengatakan : “Kami bekerja untuk Palestina !”
Wahai para pengabdi PALESTINA, beritahukanlah kepadaku !!! Seandainya musuh menyerbu suatu negeri bukankah wajib menurut Ijma’ untuk bangkit memerangi mereka dan mengusirnya ??!!! Jadi KEWAJIBAN adalah ber PERANG. Jika kita lemah maka WAJIBLAH I’DAD untuk kewajiban (perang) ini.
Ketika Syaikh Abdullah Azzam Rahimahullah ditanya : “Bagaimana anda meninggalkan Palestina sedangkan anda adalah putra PALESTINA dan anda malah berperang di Afghanistan? Beliau menjawab : “Masjidmu jika roboh, Apakah kamu lantas meninggalkan shalat sampai masjidmu itu dibangun dulu ataukah kamu pergi dan shalat di Masjid lain ???” Bosnia, Chechnya, Kashmir . . …(Iraq, Moro, Indonesia dan mana saja terhadap Kuffar dan Thoghut,pent) Kapan saja masjidmu diperbaiki atau kapan saja kamu mampu memperbaikinya sendiri maka saat itu kamu silahkan kembali. Apakah perang di Palestina lancar ??? Sesungguhnya pemerintahan pemerintahan yang ada berusaha keras untuk mencegahnya. Seandainya betul-betul telah dibuka front peperangan yang sebenarnya terhadap Yahudi PASTILAH akan kami katakan kepada mereka : “Benar kalian ! Demi Allah, di sini lebih utama daripada di tempat lain. Akan tetapi apakah pedang dapat ditandingi dengan tongkat ? Apakah kita akan menandingi RPG (senjata peluncur roket) hanya dengan batu ???!!
Ya, seandainya memang sama sekali tidak ada Front Islam apapun di suatu tempat di muka bumi dan kita ingin membuka beberapa Jabhah (front-front perang) di beberapa negri terjajah maka yang paling utama –tak ragu lagi- adalah Baitul Maqdis. Akan tetapi jika kita mampu (perang) di tempat lain, apakah lantas kita meninggalkan perang (di tempat lain) dengan alasan I’dad (bersiap) membuka Front Islam di Batul Maqdis? Bagaimanakah?! Dengan sekedar menulis buku-buku dan meluncurkan CD yang menerangkan sejarah Palestina?! DEMIKIANKAH PALESTINA AKAN DIBEBASKAN? Ataukah pergi ke “Madinah” untuk melakukan I’dad kemudian kembali lagi ke “Mekkah” untuk menaklukkannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul mulia kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?!
Apakah Robb kita berfirman : “Janganlah kalian berperang di belahan bumi manapun sampai terbebaskannya Palestina? Apakah saudara perempuanmu Yordania atau Palestina itu lebih penting (!!) daripada perempuan Bosnia atau Tajikistan atau Afghanistan? Kalian ini –kendati ada jeritan muslimah-muslimah- menggembar-gemborkan –minimal dengan bahasa keadaan kalian-: “Kami bekerja untuk Palestina”! Bahkan saya hampir memastikan bahwa kalian wahai para pengabdi Palestina : Hingga seandainya di buka Front peperangan Islam yang jelas Benderanya di Palestina pastilah kalian akan tetap tinggal di negeri-negri kalian dan ALASAN KALIAN MASING-MASING : “Kami mendukung Front perang dalam bidang media dan harta (saja!!, pent). Saya katakan : “Beritahukan pada kami ! Kalian…kalian sendiri, apa yang kalian kerjakan sebelum ada kemudahan “jihad omongan dan kecapekan” menurut ungkapan kalian di hari-hari ini? Kalian di manakah kalian sebelum ada kemudahan menyokong Intifadhoh melalui jalur-jalur (resmi) pemerintah? Tak diragukan, kalian berada dipelukan istri-istri kalian? Atau sedang ‘I’dad’ siap-siap untuk duduk dipelukan istri kalian! Maaf saja, Kebenaran lebih berhak untuk dinyatakan!!
Saat pecahnya perang aku tak mau mencoba (keberanian) diriku, dan saat kekalahan akupun seperti menjangan
Aku Kobarkan semangat perang pada kesatria-kesatria kaumku, dan saat pertempuran aku berlindung di balik punggung mereka (saja)
Bagiku tekad yang dapat membelah air dan memecahkan dua butir telur berturut-turut
Itulah kelebihan para kesatria, orang sepertiku musuhnya lari duluan sebelum pertempuran??!!
Jika kalian benar-benar jujur niscaya kalian akan ridho dengan dunia sedikit ala kadarnya lalu kalian infaqkan selebihnya ke pintu-pintu jihad yang kalian sangka itu. Barangkali kalian memandang diri kalian sebagai orang-orang bijak, yang bekerja untuk jangka panjang, jadi tak mengapa kalian begadangan, jalan-jalan ke perkebunan dan club-club untuk bersantai-santai dan mencari hiburan dari penatnya “JIHAD”. Adapun Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, maka mereka adalah orang-orang sedikit gegabah/tergesa-gesa ataukah “ZAMAN MEREKA LAIN DENGAN ZAMAN KITA”!!!
Sebagian mereka menganggap dirinya seperti ‘Sholahuddin’ yang melakukan persiapan untuk memerangi kaum salibis. Dan tahukah kamu bahwa I’dadnya Sholahudin semuanya tercurah di medan-medan perang : belajar memanah, (kalo sekarang) tank-tank, pesawat-pesawat….sedang I’DAD KALIAN TERCURAH DI SAKU-SAKU BAJU DAN ‘KURS UANG’! Bandingkan saja antara kehidupannya dengan kehidupan kalian. (Perjuangan) Palestina kalian dengan omongan, begadangan dan fhoto-fhoto sedangkan (perjuangan) Palestina dia dengan luka-luka dan kerja keras siang dan malam !!
Rujuk ulang tema “Zaman mereka beda dengan zaman kita” supaya engkau dapat melihat apakah I’dadmu di negrimu yang kamu sangka demi Palestina itu dibenarkan Syari’at ataukah kamu benar-benar tertipu!. Rujuk ulang tema “Perbaikan-perbaikan parsial” dan “Kenapa Jihad”??

Jika mereka mengatakan : “Barangkali mereka (mujahidin) adalah para agent ! jadi kita tidak lagi dapat membedakan mana yang benar-benar mujahid dengan agent. Maka yang terbaik bagi kita adalah Uzlah (mengucilkan diri) daripada hijrah?! Dan tidak ada jihad tanpa ijin seorang Amir yang menghimpun kaum muslimin!

Maka katakan kepada mereka : “Tuduhan-tuduhan selama kalian tak mengadakan bukti-bukti maka orang-orang yang melontarkan hanyalah pendakwa saja”.
Dengan ucapan kalian ini, kalian telah meruntuhkan ilmu jarh wa ta’dil semuanya. Kemudian banyak di kalangan orang-orang yang suka menggembosi dari para ulama’-ulama’ penguasa –sekaligus penghalang dakwah-, mereka menjejali (istana) penguasa yang dzalim dan mencari-carikan udzur untuknya. Padahal kesesatannya jelas. Lantas kenapakah kalian tidak menimbang (baca:menilai) dengan neraca sama terhadap orang yang lahiriyahnya baik dari kalangan mereka yang berperang sedang mereka jelas-jelas di atas haq.
Sebaliknya engkau lihat mereka jika ada seorang yang mengkafirkan penguasa maka mereka membelanya, mempertahankannya dengan kata-kata dan menyatakannya sebagai PENGUASA YANG BUDIMAN?!. Lantas jika sebuah jama’ah Islam yang berperang di suatu tempat dianggap baik-bersih, engkau lihat mereka menyebarkan kedustaan-kedustaan radio kafir dan mereka besar-besarkan (kesalahan) sebiji supaya menjadi satu kubah. Apakah seperti ini pantas bagi orang-orang yang bersikap OBYEKTIF?!
Sesuai ungkapan mereka :

Ia sebagai singa terhadapku Namun dalam peperangan ia burung unta
Amat menjijikkanlah meraka itu.

Jika engkau meragukan sebuah Front maka silahkan mencari Front lain untuk berperang dan ia ada berdasarkan Nash Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jadi CARILAH BENDERA YANG BENAR dan jangan engkau BOLEHKAN dirimu DUDUK BERPANGKU TANGAN di rumahmu MENYEBARKAN KERAGU-RAGUAN seperti orang MUNAFIQIN. Engkau berkata : “Mereka telah tertipu oleh agamanya”.
Sudahkah engkau benar benar berusaha –sekalipun dengan bertanya- untuk mengetahui berita berita mujahidin dan tempat mereka ataukah engkau mencukupkan diri dengan berita yang disebarkan oleh KANTOR KANTOR berita KAFIR atau agen agennya??? Apakah sikap ini pantas bagi ORANG ISLAM ??!! Dimanakah anda dengan situs situs mereka sekalipun lewaat INTERNET ??
Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallamlah yang menyampaikan berita gembira kepada kita :”Diin ini akan senantiasa tegak. Yang akan berperang diatasnya sekelompok dari kaum muslimin hingga tibanya hari kiamat”. HR Muslim. Dalam suatu riwayat :”Senantiasa ada sekelompok dari Ummatku . . . YUQOOTILUUN (mereka berperang) . ..”. Sudahkah engkau mencari TAHU sebagaimana engkau mencari tahu peluang kerja yang akan mengumpulkan harta di suatu negara teluk atau sebagaimana engkau mencari tahu perdagangan menguntungkan yang ditawarkan kepadamu di suatu majalah atau mencari tahu tentang orang yang meminang anak perempuanmu??? Percayalah kepadaku, Saya tidak melihat kebanyakan dari kita yang peduli dengan hal ini kecuali yang dirahmati Allah. Barangkali demi hal itu semua engkau tanya berhari hari dan berbulan bulan sampai engkau condong kepada salah satunya.
Kemudian sudah maklum bahwa perang dahsyat antara Romawi dan Persia selalu terjadi. Lantas apakah mungkin bagi seorang berakal mengatakan : “Bahwasanya kaum muslimin tatkala mendahului menyerang Romawi pada perang Mu’tah, mereka adalah agen agen Persia. Sedangkan yang ada hanyalah bertemunya kepentingan sama. Jadi peperanganmu terhadap Romawi –yang itu wajb atas ummat- adalah memang MENGGEMBIRAKAN Persia. Akan tetapi setelah melewati berbagai peperangan yang mereka usai dengan Romawi maka mulailah mereka memerangi Persia. Jadi bertemunya kepentingan kepentingan sama tanpa adanya kesepakatan bukan berarti menjalin hubungan atau agen. Persoalan ini jelas tidak ada samarnya. Saya pernah tantang orang yang menyangka Mujahidin sebagai agen, supaya dia mendatangkan satu dalilpun melainkan hanya beraikan dakwaan omong kosong yang berlaku pada orang jelata”. !!
Dan seakan akan saya melihat mereka akan menuduh Shalahuddin sebagai agen pada hari hari PERANG SALIB kendati telah jelas benderanya dan alasannya itu-itu juga; “Hari hari ini adalah masa penuh Fitnah. Kebenaran tidak diketahui. Siapa tahu barangkali Shalahuddin agen yang bekerja bagi Timur atau bagi kaum Salibis sendiri dan dari mana anda dapat memastikan pengobaran semangat perangnya dan peperangannya bukan demi pangkat, jabatan dan kekuasaan!!!?? Khususnya usahanya memecah kesatuan kaum musimin dan mencerai beraikan upaya mereka dengan tindakannya menghabisi Bani Fathimiyah yang muslim itu !!! (padahal fatwa seluruh ulama’ Sunnah mereka adalah Murtaddin, pent-)
Beritakanlah kepadaku, Wahai orang orang berakal dengan apa kalian akan MENJAWAB ??? apakah kalian akan minta menyingkir ataukah kalian akan mengangkat suara kalian untuk mendukung Shalahuddin dan mencela bani Fathimiyah yang mendakwa-kan kezindiqan yang dianggap sebagai kaum muslimin dikalangan orang orang AWAM atau agen !!!
Silahkan anda baca perkataan para Ulama tentang Hijrah supaya anda TAHU bahwa hijrah itu sebagai fase yang mendahului Uzlah yang disangka itu -sedang saya tidak melihatnya melainkan hanyalah UZLAH (menyingkir) dari KEBENARAN dan menolongnya-
1. Fathul Bari VI/308 Daarul Ma’rifah : “Maka tidak wajib Hijrah dari suatu negri yang ditaklukkan kaum muslimin. Adapun sebelum ditaklukkan negeri maka kaum muslimin yang ada di situ pada salah satu dari tiga kondisi; yaitu pertama, mampu hijrah darinya. Ia tidak mampu Id-haruddin dan tidak pula mampu MENJALANKAN KEWAJIBAN kewajibannya maka hijrah darinya wajib. Kedua; mampu namun ia dapat Id-haruddin dan menjalankan kewajiban kewajibannya maka hukumnya Mustahab (dianjurkan) demi memperbanyak dan menolong kaum muslimin di sana serta memerangi orang kuffar dan aman dari penghianatan mereka. Juga terhindar dari melihat kemungkaran ditengah mereka. Ketiga, lemah lantaran ada udzur karena tertawan, sakit, atau lainnya maka ia boleh menetap dan jika ia memaksakan diri keluar maka ia diganjar pahala “. Pada juz VII/229 :” Ibnu Umar telah menerangkan secara jelas maksud hadits yang diriwayatkan oleh Isma’ily dengan lafadz : hijrah kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terputus setelah fathul Makkah dan Hijrah tidak terputus selama ada orang Kuffar yang diperangi. Yakni selama didunia ada kekufuran, Jadi Hijrah wajib darinya atas siapa yang masuk Islam dan khawatir terfitnah pada agamnya. Dipahami bahwa seandainya ditakdirkan di dunia akan tetep ada negeri KAFIR maka HIJRAH tidak akan PUTUS , Lantaran terputus yang mewajibkannya. Wallahu a’lam”.
2. Fathul Bari juz VI/122 Daarul Fikri : “Berkata Khitoby dan yang lain; Dahulunya Hijrah wajib pada awal Islam atas orang yang masuk Islam karena sedikitnya kaum muslimin di Madinah dan perlunya mereka untuk berkumpul maka ketika Allah taklukkan Makkah, manusia masuk ke Diinullah secara bergelombang maka gugurlah kewajiban Hijrah ke Madinah dan tetaplah kewajiban Jihad dan niat atas orang yang menjalankannya atau datang khusus kepadanya.” Selesai perkataan beliau.
Dan juga hikmah wajibnya hijrah bagi orang yang masuk Islam supaya selamat dari siksaan (gangguan) keluarganya yang kafir. Mereka menyiksa orang yang masuk Islam sampai mau keluar dari Diinnya. Tentang mereka turunlah ayat : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan mendholimi diri mereka sendiri, Malaikat berkata : “Dalam keadaan apa kalian ini? Mereka berkata : Kami adalah orang yang tertindas di bumi , Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa hijrah ke sana ?”. Hijrah ini hukumnya tetap berlaku bagi siapa yang masuk Islam di negara kafir dan mampu keluar darinya. Nasa’I telah meriwayatkan : “Allah tidak menerima amalan dari seorang Musyrik setelah ia masuk islam atau ia memisahkan diri dari kaum Musyrikin” Ini dipahami atas orang yang tidak aman terhadap Diinnya.
Pada Juz VII/631: “. . . Kami mengunjungi ‘Aisyah . .. lalu kami menanyakan kepadanya tentang Hijrah ? Ia berkata : “Tidak ada hijrah pada hari ini. Dulu kaum mukminin salah seorang mereka lari menyelamatkan Diinnya kepada Allah ta’ala dan RasulNya karena takut terfitnah atasnya. Adapun pada hari ini Allah telah memenangkan Islam. Dan pada hari ini orang menyembah Allah dimana saja ia suka akan tetapi tetap jihad dan Niat”.
Mengenai Hadits :”Hijrah tidak terputus selama Kuffar diperangi” Rijal sanadnya Tsiqah, Berkata Ibnu Nuhas dalam Tahdzib Masyariqul Aswaq hal 83 :” Hadits tersebut menunjukkan wajibnya Jihad dan bukan wajibnya Hijrah. Maknanya setiap yang beriman dan berjihad memerangi Kuffar maka ia tergolongkan kepada kaum Muhajirin dalam keutamaan sekalipun ia tidak hijrah meninggalkan negerinya “!!
Dalam Nasa’I dan Ibnu Hibban :” . . . selama musuh diperangi” Pada Thabrani : “ Sesungguhya hijrah tidak terputus selama ada jihad”. Rijal sanadnya Tsiqah sebagaimana dikatakan Haytsami. Terang sekali jawaban Shoodiqul Masduq Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika ditanya salah seorang Shahabat :”. . Hijrah apa yang paling utama ? Beliau jawab : “Jihad” , Shahabat itu bertanya : “Apa itu Jihad? Beliau menjawab : “engkau memerangi orang kafir jika menjumpai mereka”. Shahabat tadi bertanya :”Lantas jihad apa yang paling utama? Beliau menjawab : “Siapa yang terlukai kudanya dan tertumpahkan darahnya “. HR Ahmad, hadits shahih
3. Fathul Bari XIV/ 535 Daarul Fikry , Bab Siapa benci dari turut memperbanyak jumlah . . . no 7085 : “. . . bahwa beberapa orang kaum muslimin mereka bersama orang Musyrikin memperbanyak jumlah kaum musyrikin dalam menghadapi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam . . . lalu Allah menurunkan ayat :“Sesungguhnya orangorang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan mendholimi diri mereka sendiri, Malaikat berkata : “Dalam keadaan apa kalian ini? Mereka berkata : Kami adalah orang yang tertindas di Bumi , Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa hijrah kesana ? Mereka tempat tinggalnya Jahannam dan ia seburuk buruk tempat kembali”
Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah :”Didalamnya terdapat penyalahan terhadap orang yang menetap ditengah ahli maksiat dengan pilihannya sendiri bukan karena maksud yang dibenarkan seperti mengingkari mereka misalnya atau harapan menyelematkan muslim dari binasa. Orang yang mampu beralih meninggalkan mereka tidak mendapatkan udzur. Sebagaimana yang terjadi pada mereka yang masuk islam dan dicegah dari hijrah oleh keluarganya yang musyrik kemudian mereka keluar bersama kaum musyrikin bukan untuk maksud memerangi kaum muslimin Namun untuk menampakkan jumlah mereka yang banyak di mata kaum muslimin. Maka terjadilah hukuman bagi mereka lantaran itu”.
Pada juz IX/141 no 4596 seputar turunnya ayat diatas :”Said bin Jubair menyimpulkan dari ayat ini WAJIBNYA HIJRAH dari negeri yang dilakukan kemaksiatan padanya”. Sebab disana ada unsur memperbanyak Jumlah. Pada Juz XIV/500 DaarulFikri kitab Fitan :”Dari hadits ini diambil anjuran hijrah dari negeri yang terjadi penampakan fitnah disana sebab ia merupakan sebab terjadinya fitnah . . . Berkata Ibnu Wahb : “Dari Malik, ditingglkan negeri yang dilakukan kemungkaran secara terang terangan di dalamnya dan hal itu telah dilakukan oleh sekelompok kaum salaf”. Pada Juz XIV/563 , Kitabul Fitan : “Telah disaksikan . . .Negeri diantara negeri kaum muslimin yang diserbu oleh orang kuffar lalu mereka membabatkan pedang kepada penduduknya. Hal itu pernah terjadi dari Khawarij dulu kemudian QARAMITHAH kemudian TARTAR akhir akhir ini dan Allahlah tempat minta tolong . . . Adapun siapa yang memerintah (kebajikan) dan melarang (kemungkaran) maka mereka adalah orang mukmin sebenarnya. Allah tidak akan mengirim adzab atas mereka bahkan Allah akan menolak adzab dari mereka. Hal itu dikuatkan oleh firman Allah ta’ala : “ dan tidaklah Kami membinasakan negeri negeri melainkan penduduknya dholim . . “ MENUNJUKKAN ATAS PERATAAN ADZAB BAGI SIAPA YANG TIDAK MENCEGAH KEMUNGKARAN SEKALIPUN DIA TIDAK MELAKUKANNYA. Firman Alah ta’ala : Maka janganlah kalian duduk bersama mereka sampai mereka mengalihkan pembicaraan kepada yang lain. (jika tidak mau) berarti kalian seperti mereka” . dari ayat ini dapat diambil pelajaran disyareatkannya lari dari orang kafir dan orang orang dholim sebab tetap tinggal bersama mereka termasuk tindakan mencampakan diri pada kebinasan. Ini jika dia tidak menyokong mereka dan tidak pula ridho terhadap perbuatan mereka. Jika ia menyokong atau ridha maka ia termasuk mereka. Ini dikuatkan oleh perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk seger a keluar meninggalkan negeri Tsamud . . . Dengan hadits terdapat peringatan dan ancaman keras bagi siapa yang DIAM DARI MENCEGAH (KEMUNGKARAN) lantas bagaimana halnya dengan ORANG YANG BASA BASI CARI MUKA ??? Bagaimana dengan orang yang RIDHO ?? dan bagaimana dengan ORANG YANG MENYOKONG ??? Kita memohon keselamatan pada Allah “. Saya katakan : “ini hanyalah lantaran sekedar nampaknya kemaksiatan, lantas bagaimana jika hukum-hukum Allah dilenyapkan? Bahkan engkau dipaksa bermaksiat kepada Allah dari yang kecil hingga yang besar”. Abu Darda’ rodhiyallahu ‘anhu telah meninggalkan Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu di Syam ketika ia menyelisihi satu satu hadits. Disebutkan ia tidak tinggal bersamanya.
4. Dalam Mughnil Muhtaj karangan Syarbiny ;: “….Muslim yang tinggal di Darul Harby jika ia dapat idh-haruddin disebabkan posisinya sebagai orang yang ditaati kaumnya atau karena marganya yang melindunginya sedang dia tidak khawatir fitnah terhadap dinnya, maka dia dianjurkan hijrah ke Darul Islam supaya ia tidak turut memperbanyak jumlah mereka….sedang tidak wajibnya dikarenakan ia mampu idh-haruddin”.

Berikut ini silahkan anda simak perkataan para ulama’ BERKENAAN IJIN AMIR :
1. Dalam Mughni IX/166 : “Persoalan jihad dipasrahkan kepada Imam (Kholifah) dan ijtihadnya dan wajib atas rakyat menaatinya dalam kebijakannya tentang hal itu…Masing-masing kaum memerangi orang-orang disekitarnya melainkan jika pada sebagian tempat belum memenuhi orangnya maka dialihkan satu kaum lain kepada mereka…JIKA IMAM (KHOLIFAH) TIADA MAKA JIHAD TIDAK BOLEH DITUNDA SEBAB MASLAHAT JIHAD AKAN LENYAP DENGAN MENGUNDURKANNYA….jika Imam mengirim pasukan dan mengangkat atas mereka seorang komandan lalu ia meninggal atau terbunuh maka pasukan boleh mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir sebagaimana yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pasukan Mu’tah….”
Dalam juz IX/174 : “Jika musuh datang maka jihad berubah menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Maka wajib atas seluruh manusia sehingga tidak boleh seorangpun meninggalkannya. Jika telah tetap persoalan ini maka mereka tidak boleh keluar melainkan dengan ijin Amir. Sebab persoalan persang dipasrahkan kepadanya dan dailah yang lebih tahu tentang banyak sedikitnya jumlah personal musuh….maka selayaknya dikembalikan kepada pendapatnya sebab itu lebih hati-hati bagi kaum muslimin. Kecuali jika berhalangan minta ijin disebabkan SERANGAN SURPRISE dari musuh sehingga tidak wajib minta ijin kepadanya sebab maslahat…oleh karenanya kuffar menyerang gembalaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepergok oleh Salamah bin Akwa’..lalu ia perangi mereka..maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya seraya bersabda: “Sebaik-baik pasukan infantri kita adalah Salamah bin Akwa’” jadi jika tidak ada Imam (Kholifah) di sana dan sekelompok beraksi seperti perbuatan Salamah rodhiyallahu ‘anhu tersebut maka itu lebih boleh lagi . wallahu a’lam
2. Dalam Kasyful Qina’ karangan Buhuti III/73 : “Dan tidak boleh berperang melainkan seijin Amir sebab ia lebih tahu perang dan persoalan perang dipasrahkan kepadanya…kecuali jika datang tiba-tiba kepada mereka musuh menyerang yang dikhawatirkan maka berhenti ijin sebab hajat membutuhkan kepadanya disebabkan mengundurkannya akan ada madhorot. DAN SAAT ITU TIDAK BOLEH SEORANGPUN UNTUK BERPANGKU TANGAN TIDAK TURUT PERANG kecuali orang yang dibutuhkan tidak berangkat demi menjaga tempat, keluarga dan harta serta siapa yang tidak ada kekuatan untuk keluar, orang yang dicegah imam dan siapa yang tidak mendapatkan peluang yang mereka khawatirkan akan lenyap jika dibiarkan saja peluang tersebut supaya minta ijin dulu kepada amir maka mereka boleh keluar tanpa ijinnya supaya kesempatan tersebut tidak hilang begitu saja. Dan dikarenakan jika musuh tiba maka jihad menjadi fardhu ‘ain sehingga tidak seorangpun yang boleh untuk tidak berangkat” beliau mengambil dalil dengan kisah Salamah bin Akwa’ rodhiyallahu ’anh.
3. Dalam Mughni Muhtaj IV/220 : “Makhruh berperang tanpa ijin Imam (Kholifah) atau wakilnya demi kesopanan kepadanya dan karena ia lebih tahu daripada yang lain tentang kemaslahatan jihad…catatan: Bulqiny mengecualikan dari hukum makhruh dengan beberapa kondisi: PERTAMA, maksud (yang ditarget) akan hilang lantaran pergi untuk minta ijin dulu, KEDUA; jika Imam menggugurkan perang. Dia beserta tentaranya lebih perhatian kepada urusan-urusan dunia sebagaimana yang disaksikan. KETIGA; jika berprediksi kuat seandainya harus minta ijin dulu, ia bakal tidak dijinkan…” saya katakan: hukum ini saat jihad fadhu kifayah sebab ia berupa serangan invansi lantas bagaimana saat fardhu ‘ain? Coba anda renungkan.
4. Berkata Ibnu Nuhhas dalam ringkasan tahdzib Masyari’ul Asy-waq Fie Fadho-ilil Jihad hal; 367 “Dikecualikan dari hukum makhruh (yakni jihad tanpa ijin Kholifah, pent) beberapa kondisi sebagai berikut: PERTAMA jika seseorang atau sekelompok orang minta ijin untuk berjihad lantas maksud yang ditarget lenyap. Sebab jihad adalah kondisi mendesak yang tidak menunggu-nunggu untuk diundur atau proses minta ijin. KEDUA ; jika Imam menggugurkan jihad dan ia beserta tentaranya lebih perhatian kepada dunia seperti yang dilihat di masa-masa ini dan di semua tempat. Maka tidak makhruh jihad tanpa ijin Imam sebab Imam menggugurkan jihad sedang mujahidin menjalankan kewajiban yang digugurkan. KETIGA; jika ada orang yang ingin berjihad, ia tak kuasa minta ijin sebab ia tahu sekiranya minta ijin bakalan tidak dijinkan. Berkata Ibnu Qudamah: “Jika Imam tiada maka jihad tidak boleh diundurkan sebab maslahat jihad akan lenyap dengan mengundurkannya”.
5. Syaukani dalam Nailul Author VIII/31 : “Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam; Jihad akan tetep berlangsung …...sampai akhir bunyi hadits; sebagai dalil bahwa jihad akan senantiasa berlaku selama eksisnya Islam dan kaum muslimin hingga munculnya Dajjal”
Ibnu Hajar dalam Fathul Baary VI/144: “Bab “Jihad terus berlangsung bersama orang baik dan fajir (pendosa)” berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kuda tertulis kebaikan di ubun-ubunnya hingga hari kiamat”…dalam hadits tersebut terdapat motivasi/dorongan mencintai perang di atas kuda, juga terdapat berita gembira dengan tetap eksisnya Islam dan pemeluknya hingga hari kiamat. Sebab dari konsekwensi eksisnya jihad adalah eksisnya mujahidin, sedangkan mereka adalah kaum muslimin. Ia seperti bunyi hadits yang lain; “Senantiasa ada Thoifah (kelompok) dari umatku yang berperang di atas alHaq”….”
6. Dalam Bada-I’ Shonaa-I’ karangan Kasany VII/98 ; “Adapun jika Nafiir (seruan perang/mobilisasi secara umum) merata seperti musuh menyerang suatu negri maka jihad fardhu ‘ain atas tiap-tiap individu dari kaum muslimin yang mampu berdasarkan firman Allah ta’ala : “Berangkatlah kalian berperang dengan merasa ringan maupun berat”….keluar… tanpa ijin orang tua sebab hak kedua orang tua kalah dalam persoalan-persoalan fardhu ‘ain seperti shoum, sholat….” Apakah Amir perlu dimintai ijin dalam fardhu sholat, maka dipahami pula bahwa jika jihad telah FARDHU ‘AIN maka hukumnya seperti itu pula.
Dan seandainya seorang khalifah Abbasiyyah tidak memberikan ijin bagi Shalahuddin ( disaat terjadi serbuan kaum Shalibis, pent-), Apakah lantas secara syar’I ia wajib mendengar ??? Ini terhadap Khalifah yang lemah kekuasaannya lantas bagaimana jika kholifah memang tidak ada wujudnya seperti keadaan kita ini ??? Jadi, bedakan antara adanya Khalifah dan mau jihadnya sehingga harus mengambil pendapatnya dan antara adanya khalifah dengan tidak mau jihadnya serta antara kondisi sama sekali tidak ada khalifah. Dua kondisi ini kembali kepada masing masing keduanya sebagaimana yang telah jelas. Dan anda jangan sampai lupa dengan Thaifah Manshurah yang berperang. Carilah kelompok tersebut sebab ia eksis setiap zaman, sebagaimana Nash hadits.

Jika mereka mengatakan : “ Akan tetapi jika kami keluar ke suatu tempat ini untuk I’dad, kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami setelah itu. Kami tidak tahu kemana kami akan pergi dan siapa yang akan kami perangi. Barangkali kami keluar untuk perang namun kami tidak memperoleh Mati Syahid. Jadi siapa yang menjamin kami hal itu. Dan boleh jadi setelah itu kami tidak bisa kembali ke negeri kami ??

Maka katakanlah; tempat tempat yang selayaknya dibebaskan amatlah banyak sedang JABHAH (front perang) tidak akan dibuka kecuali dengan orang orang yang telah berI’dad dan terlatih. Dan anda tidak pergi untuk I’dad dan berlatih sampai dibukanya dulu suatu Front. Jadi kita jatuh pada saatu masalah berputar putar : “sekali kali kami tidak akan keluar sampai dibukanya sebuah front dan FRONT tidak akan DIBUKA sampai keluarnya orang orang semisalmu dan terlatih, Lantas KAPAN JABHAH ITU AKAN DIBUKA ???!!
Apakah Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan jaminan kepada Shahabatnya sampai mereka mau keluar ataukah mereka adalah orang orang yang : “Setiap kali mendengar suara hiruk pikuk atau menakutkan ia terbang kesana . . .”. HR Muslim . Perhatikan kata : “MENDENGAR” dan bukannya bersabda : “Memeriksa dulu, meneliti, mengkaji secara cermat, memasukkan kemusykilan kemusykilan atau mengambil sumpah tegas . . . “.
Cukuplah bagimu engkau hidup di suatu negeri yang menerapkan Syari’at Islam secara total kendati engkau mesti makan batu dengan mereka !! Pokoknya, anda jangan buru buru, tanya dan mencari tahulah JANGAN SAMPAI SYAITHAN MEMPERMAINKANMU. Jika engkau jujur pada Allah maka Allahpun akan membenarkan kejujuranmu. Sejarah membuktikan.
Cukuplah bagimu bahwa : “ Barangsiapa melangkahkan kaki dijalan Allah lalu meninggal atau terbunuh atau dilemparkan oleh kudanya atau untanya ataupun disengat binatang berbisa atau meninggal di atas kasurnya, meninggal dengan cara apapun yang Allah kehendaki maka ia Syahid dan ia mendapatkan Jannah” HR Abu daud, Hakim. Hadits Hasan. “Siapa memohon kepada Allah Mati syahid dengan jujur maka Allah akan sampaikan ia kepada kedudukan para Syuhada sekalipun meninggal di atas kasurnya”. HR Muslim . Pada satu riwayat Muslim :” Barang siapa minta Mati Syahid dengan jujur akan diberikannya sekalipun ia tidak mendapatkannya” Maka jangan sampai engkau diperdaya oleh orang yang mengatakan kepadamu :” Apakah kamu dapat menjamin akan gugur di sana dalam keadaan Ribath atau mati Syahid !!?? Allah telah menjamin Jannah bagi Mujahid “jika terbunuh ataupun meninggal lantaran tenggelam atau terbakar atau dimangsa binatang buas”. HR Nasa’I dan Ahmad, hadits shahih.
“ Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla . . . lalu tersungkur dari binatang tunggangannya dan meninggal maka telah tetap pahalanya di sisi Allah ataupun ia tersengat oleh binatang maka telah tetap pahalanya di sisi Allah. Atau ia meninggal biasa maka telah tetap pahalanya disisi Allah . . . “ Hadits dinyatakan shahih oleh Hakim dan disepakati oleh Dzahaby . Khalid Radhiyallahu ‘anhu telah berusaha ke arah itu namun toh juga tidak mendapatkannya.

Jika mereka mengatakan : “ akan tetapi kami melihat ditengah barisan Mujahidin terdapat bermacam macam kesalahan ?? !!!

Maka nyatakan kepada mereka : “Pada asalnya jihad itu wajib bagi ummaat secara keseluruhan bukan hanya orang khususnya saja. Sedangkan kesalahan itu, tidak ada satu masyarakatpun yang lepas darinya, sekalipun itu dalam barisan orang orang yang rajin Shalat jama’ah di masjid. Apakah anda lantas mengahapuskan shalat jama’ah lantaran adanya suatu kesalahan di sebagian Jama’ah Shalat. Apakah boleh dinyatakan : “ Tinggalkanlah amal shaleh dulu sebelum engkau bersih dari keburukan yang ada pada dirimu. Ataukah dikatakan “Tetapkanlah Al-haq yang sudah ada dan lepaskanlah yang bathil ?
Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa manusia terkadang menghimpun keimanan dan kesesatan pada satu masa bersamaan. Maka kita mencintainya lantaran kebaikan yang ada padanya dan membencinya jika didapati pada dirinya kemaksiatan. Ingatlah peristiwa di mana Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mencerca peminum khamr tatkala dihadapkan untuk dijilid dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi alas an :” Jangan kalian melaknatnya !! Demi Allah saya tidak mengetahui selain ia mencintai Allah dan RasulNya. HR Bukhari. Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berlepas diri dari tindakan Khalid Radhiyallahu ‘anhu tatkala membunuh beberapa kaum yang tidak dapat mengungkapkan keislamannya secara baik lalu mereka berkata : Soba’na “(yang maksudnya; kami telah masuk Islam) lalu Khalid Radhiyallahu ‘anhu membunuh mereka. Maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yaa Allah sesungguhnya aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang diperbuat Khalid (HR Bukhari). Namun demikian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas mengucilkannya.
Bukankah demikian ini petunjuk Islam dalam berinteraksi terhadap orang-orang, lantas mengapakah kita menakar dengan dua timbangan.

Jika mereka mengatakan : “Sesungguhnya ayah-ayah kami dan ibu-ibu kami tidak memperbolehkan kami dan istri-istri kami akan tinggal sendirian?

Maka nyatakan kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Tidak boleh seorangpun dimintai ijin dalam menjalankan salah satu kewajiban fardhu ‘ain. Adakah engkau minta ijin kepada istri atau ayah atau ibu untuk sholat atau puasa? Maka jika jihad beralih menjadi fardhu ‘ain, tinggalkan untuk mereka bekalan secukupnya lalu kamu berangkat pergi, sebab perkaranya lebih penting dan berbahaya.
Inilah Nabimu Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabari kita tentang tipudaya syaithon dalam perkara fardhu kifayah: “Sesungguhnya syaithon duduk menghalangi anak Adam di jalan Islam. Syaithon katakan kepadanya: Engkau masuk Islam dan meninggalkan agamamu dan agama leluhurmu?! Lalu orang tersebut menyelesihinya dan masuk Islam maka diampuni baginya. Lalu syaithon duduk menghalanginya di jalan hijrah seraya mengatakan : engkau hijrah dan meninggalkan bumi dan langitmu?! Maka orang tersebut menyelesihinya dan iapun hijrah. Lalu syaithon duduk menghalanginya di jalan jihad dengan mengatakan padanya: Engkau berjihad yaitu mengorbankan jiwa dan harta lalu engkau berperang dan terbunuh lalu istrimu dinikahi oleh orang dan hartamu dibagi-bagi?! Maka orang tersebut mendurhakainya dan iapun berjihad. Lantas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan itu semua lalu meninggal maka wajib atas Allah memasukkannya ke jannah atau ia terbunuh maka wajib atas Allah memasukkannya ke jannah. Jika tenggelam maka wajib atas Allah memasukkannya ke jannah” Hadits Shohih.
Jadi kemenangan Islam adalah sesuatu termahal yang kita cita-citakan dan bukannya istri sebagai cita-cita yang paling mahal supaya kita tidak termasuk orang-orang yang mengatakan : “Kami tersibukkan oleh harta dan keluarga kami…”. Jika mereka mengatakan : “Apa yang engkau tinggalkan untuk mereka?” Maka cukuplah bagimu mengatakan : “Saya tinggalkan untuk mereka Allah da Rasul-Nya” dan ingatlah kisah Zubair Radhiyallahu ‘anhu dan pelunasan hutangnya.
Silahkan anda simak perkataan-perkataan ulama berikut ini TENTANG IJIN KEDUA ORANG TUA:
1. Al Mughni IX/171 : “Masalah:…dan jika ia terkena perintah jihad maka tiada ijin bagi keduanya. Demikian pula semua faridhoh tiada ketaatan pada kedua orang tua untuk meninggalkannya. Yakni, jika wajib atas dirinya berjihad maka ijin kedua orang tua tidak dianggap. Sebab jihad menjadi fardhu ‘ain dan meninggalkannya maksiyat. Tidak ada ketaatan bagi seorangpun dalam bermaksiat kepada Allah. Demikian pula setiap yang wajib seperti haji, sholat berjama’ah, menghadiri sholat jum’ah, safar untuk mencari ilmu yang wajib. Berkata Auza’y : “Tiada ketaatan bagi kedua orang tua dalam meninggalkan faridhoh-faridhoh, sholat jum’ah, haji dan perang sebab semua adalah ibadah yang telah wajib secara individu kepadanya maka tidak dianggap ijin kedua orang tua di situ seperti halnya sholat”
2. Dalam Bada-I’ Shona-I’ VII/98 : “Adapun jika nafiir (seruan jihad secara umum) merata seperti musuh menyerang suatu negri maka jihad fardhu ‘ain yang ditetapkan atas tiap-tiap individu dari kaum muslimin yang mampu berdasarkan firma Allah ta’ala: “Berangkatlah berperang dengan merasa ringan dan berat”…boleh keluar....tanpa ijin…sebab hak orangtua kalah dalam persoalan fardhu-fardhu ‘ain seperti shoum dan sholat….” Sedangkan negri-negri kaum muslimin itu satu sebagaimana yang dikenal.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimyyah : “Jika musuh masuk negri Islam maka tidak diragukan lagi wajib menolak musuh tersebut atas yang terdekat dan terdekatnya lagi. Sebab negri-negri kaum muslimin semuanya seperti satu negri. Bahwa wajib berangkat perang ke sana tanpa ijin orangtua atau orang yang menghutangi”.
Jika mereka mengatakan : “Ibumu menangisimu! Maka katakan pada ibumu :
“Ibunda…ananda telah terpanggil oleh agamaku untuk berjihad dan berkorban
Ibunda, sesungguhnya ananda pergi demi keabadian, sekali kali ananda tak kan bimbang dan ragu-ragu lagi
Ibunda, janganlah tangisi ananda jika ananda gugur dalam keadaan membujur
Katakanlah pada ibumu :
Ibunda, jika basah linangan air matamu atau teringat kembali perjumpaan
Terekam kembali kenangan-kenangan indah dan isak tangismu tak tertahankan lagi
Maka tegarlah ibunda dengan kesabaran sesaat kemudian panjatkanlah do’a…

“Katakanlah : jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya serta tempat tinggal yang kamu senangi lebih kamu cintai daripada Allah, RasulNya dan jihad di jalanNya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak menunjuki kaum yang zalim” (QS At Taubah : 24)

Penutup :

Jika mereka mengatakan kepadamu : “Setelah semua ini, kami tetep juga belum terpuaskan dan yakin”. Maka katakan pada mereka : “Tidaklah engkau dapat menunjuki orang buta dari kesesatannya”(Ayat). Tidak dengan Al Kitab kalian mendapat penerangan, tidak pula dengan Sunnah kalian mendapat petunjuk, tidak pula kepada aqwal para ulama’ kalian condong dan tidak pula dengan sejarah kalian ambil ibrah, lantas dengan ucapan apa lagi kalian akan beriman?...”Maka tinggalkanlah mereka tenggelam dalam permainannya” (ayat). Ataukah setelah semua keterangan yang gamblang ini kalian mengatakan –sekalipun dengan bahasa keadaan kalian : Akidah kalian ada kerusakan!!?
Maaf, sekali lagi mohon maaf dan tambahkanlah 1000 maaf…maafkalah aku yaa Akhi fillah, wahai kekasihku. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai kebaikan untukmu. Aku suka kamu mendapatkan jannah bahkan jannah yang paling tinggi. Saya cinta umat kita kembali sebagaimana dulu pada zaman Khulafa’ Rasyidin. Aku mengkhawatirkan dirimu dari syubhat-syubhat orang-orang yang suka menyelewengkan. Saya ingin engkau realistis bukan berkhayal, seperti Sa’ad, Sa’id, Ubadah, Abu Ubaidaah, Salman, Ammar –semoga Allah meridhoi mereka dan mereka ridho kepadaNya-…engkau adalah keturunan mereka sedang mereka adalah leluhurmu.
Kemarilah kita terang-terangan : Jika ada seorang dokter terpercaya memberitahukanmu adanya penyakit kangker di tubuhmu. Apakah kamu bersegera meluncurkan CD yang menerangkan tentang Palestina ataukah engkau rajin mengkaji suatu ilmu ataukah menyelesaikan studimu untuk meraih ijazah farmasi ataukah engkau segera bangkit untuk meraih syahadah (Ijasah) Akhirat?
Dimanakah fiqhul Aulawiyaat (prioritas amal) yang kita hafal? Dimanakah fiqhul muwazanat (perbandingan) yang kita teriakan? Ada dua orang, salah seorangnya ; ketika mendengar jihad fardhu ‘ain, ia pergi memastikannya di kitab-kitab dan kepada masyayikh dan…sedang satunya lagi; pada waktu yang sama ia telah berjanji dengan kenalan-kenalannya untuk main sepak bola pagi-pagi hari sebagai dzikir shobah hingga terbitnya matahari lalu mereka sholat dhuha akan tetapi di atas bola. Seandainya engkau ingatkan, niscaya akan mengatakan: masing-masing kita berada di Tsughur (tapal pertahanan)!! Padahal ia sendiri masih bingung dengan hukum jihad hari ini. Jika ia berkata : “Sesungguhnya saya yakin jihad itu fardhu” maka katakan padanya : “Apakah demikian ini I’dad itu?
Yang membuat geli sekaligus nangis bahwa orang-orang tadi yang bermain bola sama-sama dari satu waktu ke waktu tidaklah mereka bertambah dekat kepada Allah –berdasar yang nampak- dan kita diperintah untuk melihat lahirnya sedang Allah yang mengurusi batin.
Jika para penyeleweng nash tiada kuasa lagi setelah semua penjelasan ini, lalu mulailah mereka membisikkan was-was mereka supaya dapat menggembosimu dari perang. Maka bacakanlah kepada mereka dengan tartil surat Al Anfal kemudian surat Taubah lalu PERAANG

“Akan tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka maka Allah melemahkan semangat mereka dan dikatakan : duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk tinggal berpangku tangan”
“Sesungguhnya pada itu terdapat peringatan bagi siapa yang masih punya hati atau mendengar dengan seksama sedang dia menyaksikan”
“Dan barangsiapa tidak Allah jadikan baginya cahaya maka sekali-kali ia tidak akan punya cahaya”

DITERJEMAHKAN DARI KITAB QOOLUU FA QUL ‘ANIL JIHAD
Ditulis oleh
Harits Abdus Salam Al Mishry