Selasa, 12 Mei 2009

HUKUM INTEL (mata-mata)

Penulis :
Syekh Abdul Mun’im Musthofa Halimah
Abu Bashir Al-Tharthusi


إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرَيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ.
وَبَعْدُ:
Ketahuilah ! Barangsiapa memata-matai rahasia-rahasia dan keadaan (informasi intern) kaum muslimin, terkhusus lagi memata-matai (menginteli rahasia dan informasi) para mujahidin untuk diserahkan kepada musuh-musuhnya dari orang-orang kafir durjana, --- baik mereka kafir asli ataukah kafir murtad---, maka ia telah menjadi kafir seperti mereka, ia telah memberikan loyalitas terbesar (al-muwalat al-kubra) kepada mereka yang mengeluarkannya dari Islam. Hukumnya, ia dibunuh dalam kondisi kafir.
Allah Ta’ala berfirman :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ {8} يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ {9}

Di antara manusia ada yang mengatakan:"Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. Al Baqoroh : 8 - 9).
Termasuk penipuan mereka kepada orang-orang mukmin adalah mereka menampakkan – amalan – Islam, mereka mengatakan bahwa mereka adalah mukmin, kemudian mereka menginteli para mujahidin untuk kepentingan musuh-musuh mereka dari kalangan Thoghut dan orang-orang kafir durjana lainnya.
Allah Ta’ala befirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ {12}

“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang “. (QS. 49:12)

Ditinjau dari faktor pendorongnya, tajassus (memata-matai) terbagi menjadi dua :

- Pertama - : Tajassus Khusus, yaitu tajasus yang didorong oleh faktor berlebih-lebihan dan senang mencari-cari tahu rahasia orang lain. Tujuan si pelaku adalah bisa bersenang-senang – dalam majlisnya baik majlis khusus maupun umum – dengan berbicara panjang lebar membeberkan kehormatan dan rahasia orang lain, dan membanggakan diri karena merasa memiliki data-data dan bukti yang menunjukkan kebenaran klaim dan ucapannya. Oleh karena itu, larangan berbuat tajassus disusul dengan larangan berbuat ghibah (menggunjing), karena ghibah adalah hasil yang pasti dari tajasus. Setiap orang yang melakukan tajasus, pasti akan berbuat ghibah terhadap orang lain.

- Kedua - : Tajassus umum, yaitu memberikan informasi dan memberikan laporan kepada Thoghut dzolim dan selain mereka dari kalangan orang-orang kafir dan musyrik. Perbuatan ini termasuk bentuk al-muwalah “Loyalitas“. Ini merupakan bentuk tajassus yang paling besar dosanya. Perbuatan ini termasuk kufur akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam – menjadikannya murtad -.

Adapun ayat-ayat yang menerangkan larangan tajassus mencakup kedua bentuk tajasus : - tajasus khusus dan tajasus umum. Bentuk tajassus yang umum itu lebih dilarang daripada yang khusus. Maka berhati-hatilah !.

Dalam hadits shahih, Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا

“ Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah pembicaraan yang paling bohong. Dan janganlah melakukan tajassus, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah saling membenci. Dan jadilah kalian bersaudara “. (HR. Bukhori ).

مَنْ أَكَلَ بِمُسْلِمٍ أَكْلَةً فَإِنَّ اللهَ يُطْعِمُهُ مِثْلَهَا مِنْ جَهَنَّمَ، وَمَنْ كُسِيَ ثَوْباً بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ فَإِنَّ اللهَ  يَكْسُوهُ مِنْ جَهَنَّمَ، وَمَنْ قَامَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ مَقَامَ رِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ فَإِنَّ اللهَ يَقُومُ مَقَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“ Barangsiapa yang memakan satu suap makanan dari hasil (mendzalimi, termasuk menginteli) seorang muslim,, Allah akan memberinya makanan yang serupa dari neraka jahannam.
Dan barangsiapa memakai selembar pakaian dari hasil (mendzalimi, termasuk menginteli) seorang muslim, Allah akan memberinya pakaian dari neraka Jahannam.
Barangsiapa bersikap riya’ dan sum’ah – menperdengarkan amalnya – kepada orang mukmin, maka Allah mendirikan ia pada tempat riya’ dan sum’ah pada hari kiamat “. (Hadits Shohid, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no 179. dan Shohih Sunan Abi Dawud no. 4084 ).
Dalam hadits di atas terdapat ancaman terhadap orang-orang yang memberikan laporan tentang kondisi, tempat dan pergerakan kaum muslimin kepada para Thoghut dzolim,…demi sedikit imbalan ---cukup untuk makan dan pakaian--- yang dilemparkan oleh Thaghut kepada mereka, sebagai imbalan atas setiap laporan yang mereka tulis tentang kaum muslimin. Sungguh ….. Alangkah banyaknya jiwa yang lemah seperti ini bercokol di negeri kita, orang-orang yang menjual agama dan akhiratnya dengan dunia orang lain !.
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيْثِ قَوْمٍ وَهُمْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنَيْهِ الآنِكُ

“ Barangsiapa mencuri-curi dengar pembicaraan suatu kaum padahal kaum itu tidak menyukainya, maka dituangkan pada telinga orang yang mencuri-curi dengar itu, cairan Al Anik “. (Hadits Shohih. Dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no. 883). Yang dimaksud dengan Al Anik adalah “ Cairan timah putih “. Ini – siksaan – bagi orang yang mencuri-curi dengar karena suka berlebih-lebihan dan kekanak-kanakan. Lantas bagaimana dengan orang yang mencuri-curi dengar untuk menginteli untuk kepentingan musuh-musuh kaum muslimin dari orang-orang kafir dan musyrik ??!.
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam besabda :

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتَهُمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتَهُمْ يَتَّبِعُ اللهُُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحُهُ فِي بَيْتِهِ
“ Wahai orang yang yang beriman hanya di bibir saja, dan tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian meng-ghibah kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari (meneliti) aurot (rahasia) mereka, karena sesungguhnya siapa saja yang meneliti aurot mereka, maka Allah akan menmbongkar aurotnya, dan siapa saja yang diteliti aurotnya oleh Allah maka akan disingkap-Nya di dalam rumahnya “. (Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4083).
Orang yang mencari-cari rahasia kaum muslimin dan menginteli mereka untuk kepentingan para thoghut kafir, lebih layak untuk munafik dan kehilangan iman dari hatinya. Maka, menginteli rahasia-rahasia dan masalah-masalah intern kaum muslimin untuk kepentingan musuh- orang-orang Islam dari kalangan kaum musyrik durjana, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang munafik yang rendah yang telah tenggelam dalam kemunafikan dan penipuan !.
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ حَمَى مُؤْمِناً مِنْ مُنَافِقٍ بَعَثَ اللهُ مُلْكاً يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، وَمَنْ رَمَى مُسْلِماً بِشَيْءٍ يُِريْدُ شَيْنَهُ بِهِ حَبَسَهُ اللهُ عَلَى جُسْرِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

“ Barangsiapa yang menjaga seorang mukmin dari orang munafik, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk menjaga dagingnya besok pada hari kiamat dari – jilatan - api Jahannam. Dan barangsiapa menuduh seorang muslim dengan sesuatu tuduhan dengan tujuan mencelanya, Allah akan menahan dia di atas jembatan Jahannam sampai ia keluar dari yang dikatakan “. (Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4086 ).
Ini dalam menuduh seorang muslim dengan suatu tuduhan untuk mencelanya. Lalu bagaimana dengan orang yang menuduh seorang muslim dengan tujuan untuk dibunuh atau dipenjara di dalam penjara-penjara para Thoghut dzolim itu ???!
Salamah bin Al Akwa’ radiyallahu 'anhu berkata : “Sesungguhnya ada seorang mata-mata orang musyrik yang datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dia menginteli selama dalam perjalanan, kemudian duduk disisi para shahabat Rosul, kemudian ia menyelinap. Maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Cari dan bunuhlah dia“. Salamah bin Al Akwa’ berkata : “ Aku dahului para shahabat kemudian aku bunuh mata-mata tersebut, dan aku ambil sSalabnya – barang rampasan pribadi – dan Rosulullah memberikan salab itu kepadaku “. (Muttafaqun ‘Alaih ).
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan untuk membunuh seorang wanita yang membawa surat Hatib bin Abi Balta’ah yang hendak diberikan kepada orang-orang kafir Quraiys pada masa Fatuh Makkah – kemenangan di Makkah -, tanpa memberinya tenggang waktu untuk bertaubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih yang diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqos, beliau berkata : “ Ketika hari Futuh Makkah, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan keamanan kepada seluruh manusia kecuali empat orang laki-laki dan dua orang perempuan “. ( Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan An Nasa’I, no. 3791).
Diantara dua perempuan yang tidak diampuni tersebut adalah perempuan yang telah membawakan surat Hatib kepada orang kafir Quraiys, namanya Sarah.
Imam Sahnun berkata : “ Jika ada orang Islam yang mengirim surat – untuk membocorkan rahasia kaum muslimin - kepada ahlul harbi maka ia dibunuh tanpa dimintai taubat, dan harta-bendanya untuk ahli warisnya “.
Dalam kitab Al Mustakhrojah Ibnul Qosim berkata tentang Jasus : “ Jasus itu dibunuh dan tidak dimintai taubat, kedudukan dia seperti orang Zindiq “. ( Disebutkan dalam Kitab Aqdhiyatur Rosul Shollallallahu ‘alaihi wasallam, karya Muhammad bin Faroj, hal 191 ).
Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu' Al Fatawa 28/109 : “ Imam Malik dan sebagian pengikut imam Ahmad berpendapat boleh membunuh Jasus – intel/mata-mata – “.
Jasus itu dibunuh di atas kekafiran dan ridah (dianggap kafir dan murtad), tidak di atas dasar lainnya, Wallahu A’lam .

SYUBHAT DAN BANTAHAN :

Ada seorang yang mengatakan : “ Sesunguhnya Hatib bin Abi Balta’ah telah mengirim surat kepada orang kafir Quraiys, dia menyampaikan rahasia penyerangan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersama tentara Islam pada Futuh Makkah. Ini adalah termasuk perbuatan Tajassus dan loyalitas. Akan tetapi Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan Hatib bin Abi Balta’ah, dan tidak pula memerintahkan untuk membunuhnya. Maka bagaimana kita bisa mensingkronkan antara kedua pendapat itu ?
Saya –pengarang- jawab :
Perbuatan yang dilakukan oleh Hatib bin Abi Balta’ah adalah kekufuran. Akan tetapi Hatib tidak dikafirkan disebabkan ada beberapa Mawani’ – faktor penghalang- yang menghalangi jatuhnya vonis kafir atas dirinya. Insya Allah, penjelasannya akan kami terangkan nanti
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh Hatib itu termasuk kekufuran dan nifaq akbar. Itu berdasarkan kepada perkataan Umar bin Khottob rhodhiyallahu ‘anhu di depan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang disebutkan dalam kitab Shohihain : “ Wahai Rosulallah ! Hatib telah berkhisanat kepada Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin. Biarkanlah aku memenggal batang leher orang munafik ini “. Dan disebutkan dalam riwayat yang lain “Karena sesungguhnya ia telah kafir. Sesungguhnya ia telah munafiq, karena ia telah melanggar janji dan membantu musuh-musuh anda melawan anda “.
Pada saat itu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mendengarkan perkataan Umar. Beliau tidak mengingkari bahwa yang telah diperbuat oleh Hatib bin Abi Balta’ah adalah termasuk bentuk al-muwalah (loyalitas kepada orang-orang musyrik), kekafiran dan kemunafikan, yang harus dipenggal batang lehernya.
Yang diingkari oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam adalah sikap Umar yang memvonis Hatib sebagai orang munafik dan kafir, karena adanya beberapa pertimbangan (faktor-faktor penghalang) yang menghalangi jatuhnya vonis tersebut atas diri sahabat Hatib.

Adapun sebab Hatib tidak kafir dan tidak terjatuh dalam kemunafakan, adalah karena beberapa pertimbangan berikut :
1. Sesungguhnya ia melakukan perbuatan itu karena ta'wil (salah memahami dalil). Dia tidak tahu –atau menyangka--- bahwa yang dikerjakan itu dapat membawa kepada tingkatan kafir dan keluar dari Islam, atau itu dapat membahayakan keimanannya. Dia tidak bermaksud menipu dan mengkhianati Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu kita dapatkan dia langsung menjawab ketika ditanya oleh Nabi Shollallahu ‘alihi wasallam tentang sebab ia mengirin surat kepada orang kafir Quraiys. – Dia berkata : “ Wahai Rosulullah ! Jangan tergesa-gesa memfonis bahwasanya aku adalah orang yang bersekongkol dengan orang Quraiys, dan aku juga bukan dari klompok mereka. Sebagian muhajirin yang bersama anda mempunyai kerabat di Makkah, sehingga bisa menjaga keluarga dan harta benda mereka. Karena saya tidak mempunyai nasab (kerabat di Makah yang bisa melindungi harta dan keluarga saya di Makah), saya ingin mengambil bantuan mereka untuk menjaga kerabatku disana. Sungguh ! Aku lakukan ini bukan karena kafir dan murtad, dan juga tidak karena rela dengan kekafiran setelah Islam “. Dan dalam riwayat lain dia mengatakan “ Sungguh ! Aku tidak merubah dan mengganti agamaku. Aku pun tidak melakukan penipuan dan kemunafikan wahai Rosulullah. Aku tidak berubah kafir dan tidak bertambah dalam diriku untuk Islam kecuali semakin cinta “.
Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Ia telah berbicara jujur kepada kalian. Janganlah kalian mengatakan kepada Hatib kecuali kebaikan. Sesungguhnya ia telah ikut serta dalam perang Badar, tahukah kalian bahwa Allah telah menjamin orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar “. Allah berfirman :

اِعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

“ Berbuatlah sekehendak kalian karena Aku telah mengampuni dosa kalian “. Maka pada saat itu juga melelehlah air mata Umar, dan beliau berkata : “ Allah dan Rosulnya lebih mengetahui “.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari 8/503 : “ Adapun udzur Hatib adalah karena beliau salah memahami dalil (salah persepsi, ta'wil) bahwa perbuatannya itu disangka tidak membahayakan “.
Aku – pengarang – katakan : “ Ta'wil merupakan salah satu penghalang (mawani') penjatuhan vonis kafir atas diri seseorang. Maka perhatikanlah ! “.

2. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mengerti kebenaran maksud dan batin Hatib melalui wahyu. Oleh karena itu beliau bersabda : “Ia telah berbicara jujur kepada kalian “. Hal ini ---pemberitahuan lewat wahyu--- tidak akan pernah terjadi pada selain Rosul shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh itu kita dapati Umar mesikapi Hatib dengan berdasarkan dhohirnya, yang dhohirnya menunjukkan pengkhianatan, loyalitas, kekafiran dan nifaq. Maka Umar mengatakan kalimat-kalimat di atas.

Jika ditanyakan : Hukum itu dibangun atas dasar hal yang dhohir. Lalu atas dasar apa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan Hatib menurut batin dan maksud Hatib ?
Aku – pengarang – katakan : Dalam masalah penegakkan hudud, penjatuhan ta'zir dan pemberian hukuman terhadap orang-orang yang berbuat salah, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam hanya melakukannya manakala kondisi dhahir mewajibkan penjatuhan vonis had atau hukuman…sekalipun beliau mengetahui bahwa batin dan hal yang tersembunyi dari hal-hal tersebut berbeda dengan dhohirnya. Sebagaimana hubungan beliau bersama orang-orang munafik, beliau mensikapi mereka sesuai dhohir mereka (sebagai kaum muslimin), sekalipun beliau shollallahu ‘alaihi wasallam mengetahui kenifakan dan kekufuran dalam batin mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab As Shorim Al Maslul : 354 : “ Nabi ‘alaihis sholatu wassalam tidak menegakkan hudud hanya berdasarkan pengetahuannya saja, tidak juga berdasar khabar wahid – kesaksian seorang – saja, bukan juga hanya dengan berdasar wahyu saja, dan tidak juga dengan indikasi dan fakta penunjuk semata, sampai alasan yang mewajibkan jatuhnya vonis had itu mantap dengan adanya bukti atau pengakuan…".
Adapun dalam masalah yang berkaitan dengan memaafkan kesalahan (ketergelinciran) sebagian shahabat radiyallahu 'anhum, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjaga keselamatan batin dan tujuan (si pelaku), yang diberitahukan kepada beliau oleh wahyu, selama hal itu memungkinkan. Ini karena beliau suka menerima udzur dan memaafkan ketergelinciran (kesalahan), terkhusus bila kesalahan ini dilakukan oleh para sahabat mulia yang mereka telah merasakan ujian dan jihad fie sabilillah !
Karena sesunguhnya menjaga keselamatan batian dalam permasalahan ini adalah untuk kemaslahatan manusia yang melakukan kesalahan. Ini berbeda dengan masalah penghukuman dan koreksian, karena tujuannya untuk menegur dan menyiksa si pelanggar, oleh karenanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam tidak menjatuhkannya kecuali dengan adanya bukti nyata (kuat).
DaIil kami dalam masalah ini adalah sikap Nabi shollallahu ‘akaihi wasallam kepada Hatib. Dalil yang semisal dengan ini adalah kasus seorang lelaki dari anshor yang telah berkata kepada nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. ----dalam Shahih Bukhari--- : “ Saya melihat anda lebih mencintai anak lelaki bibimu (nepotisme)“. Ini terjadi ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memutuskan agar Zubair bin Awam mengairi kebunnya, baru kemudian mengalirkan air ke kebun tetangganya, si lelaki Anshar tersebut.
Aku – perngarang – katakan : Perkataan seorang sahabat anshor kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam,“ Saya melihat anda lebih mencintai anak lelaki bibimu (nepotisme)“. Ucapan ini adalah ucapan kufur akbar, dan celaan terhadap hukum nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Alasan yang menjadikan Nabi mentolerir kesalahan orang Anshor tadi adalah beliau mengetahui maksud dan batin orang tersebut adalah baik, hanya saja ia keseleo lidah dan keceplosan. Setelah Rosulullah sholllallahu ‘alaihi wasallam wafat, tidak seorangpun mengetahui maksud batin dan hati seseorang.
Imam Ibnu Al-‘Arobi berkata dalam tafsir Ahkam Al-Qur'an 5/267 : “ Setiap orang yang menuduh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam salah (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka ia telah kafir. Akan tetapi sahabat anshor ini tergelincir dalam sebuah kesalahan. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berpaling (tidak mempermasalahkan) dari ketergelinciran tersebut, dan bahkan memaafkan kesalahannya, karena beliau mengetahui kebenaran akidah sahabat orang Anshor tersebut, bahwa orang itu alpa. Dan tidak ada yang dapat mengerti urusan hati seseorang setelah nabi shollallahu ‘alaihi wasallam wafat “.
Penjelasan sikap Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mensikapi kesalahan yang dilakukan sahabat Anshor ini, berlaku juga atas sikap beliau dalam mensikapi kesalahan Hatib bin Abi Balta’ah. Wallahu a’lam.
Lalu jika ditanyakan : “ Apakah setelah nabi shollallahu ‘alaihi wasalllam wafat, adakah seseorang yang boleh mentolerir kesalahan yang mencapai derajat kekafiran, dengan dasar benarnya maksud dan batin pelaku kesalahan itu ?
Aku – pengarang – katakan : Tidak bisa….. karena wahyu sudah terputus. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Umar rhofhiyallahu ‘anhu dalam perkataannya : “Pada masa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, manusia dihukum (disikapi) berdasar wahyu. Adapun sekarang, wahyu telah terputus, maka kami akan memutuskan perkara kalian berdasarkan amalan dhohir kalian yang tampak pada kami. Barangsiapa menampakkan perilaku yang baik kepada kami, kami akan mempercayai dan mendekatkannya kepada kami. Kami tidak bertanggung jawab dengan yang dirahasiakan olehnya, Allahlah yang akan menghisab amal yang disembunyikannya. Dan barangsiapa menampakkan perilaku yang buruk kepada kami, kami tidak akan mempercayai dan membenarkan (ucapannya), sekalipun ia mengatakan kebaikan batinnya yang tersembunyi “.
Oleh karena itu kami – pengarang – katakan : Barangsiapa menampakkan kekafiran yang nyata kepada kita --– dan paa dirinya tidak terdapat penghalang jatuhnya kekafiran yang diakui oleh syar'i --- maka jatuhkan vonis kafir atas dirinya.
Perkataan Umar : “Pada masa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, manusia dihukum (disikapi) berdasar wahyu, maksudnya adalah dalam pemaafan kesalahan, bukan dalam penerapan hukum hudud dan penjatuhan hukuman. Maka hati-hatilah !

3. Termasuk tanda-tanda kejujuran Hatib rhodhiyallahu ‘anhu adalah, bahwa beliau menjawab pertanyaan nabi shollalllahu ‘alaihi wasallam dengan jujur, ia tidak menutup-nutupi perbuatannya. Ini menunjukkan kebenaran batin dan maksud Hatibnya, menunjukkan ia berlepas diri dari kenifakan…Berbeda dengan kasus seorang perempuan pengantar surat Hatib. Perempuan itu telah ingkar dan bohong ketika ditanya tentang isi surat yang dibawanya. Perempuan itu berkata : “ Aku tidak membawa surat apa pun “. Maka ini menambah dosa dan kekufurannya.
Kalaulah memang Hatib itu munafik, ia pasti akan berbohong, karena dari ciri-ciri orang munafik adalah berkata bohong. Namun karena ia berkata jujur, maka itu menunjukkan benarnya iman dan batinnya, dan ia bukanlah orang munafik. Sikap ini mempunyai dampak yang riil dalam menyelamatkan dan pemaafan kesalahannya.. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shohih yang dikeluarkan oleh Turmudzi : “Sesungguhnya jujur itu ketenangan dan bohong itu keraguan “.
Dalam hadits Ka’ab bin Malik, dalam kisahnya tidak mengikuti perang Tabuk bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Dia berkata : “ Wahai Rosulullah ! Sesungguhnya yang akan menyelamatkan aku dari – siksa – Allah adalah kejujuran-ku. Dan bukti dari taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur, kecuali perkataanku yang telah lampau. Demi Allah ! Sungguh tidak ada kenikmatan yang diberikan Allah kepadaku setelah memberi hidayah islam kecuali sikap jujurku kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak akan berbohong kepadanya, maka jika aku berbohong kepadanya hancurlah aku seperti hancurnya orang-orang yang bebohong kepada beliau “. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berbohong ketika diturunkan wahyu yang menjelekkan pekataan salah seorang – dari shahabat -. Allah berfirman :

سَيَحْلِفُونَ باِللهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ {95} يَحْلِفُونَ لَكُمْ لَتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فِإِنَّ اللهَ لاَيَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ {96

“ Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada oang-orang yang fasik itu “. (QS. At Taubah : 95 - 96)
Berbeda dengan kasus tiga orang yang jujur perkataannya – salah satu dari tiga orang itu adalah Ka’ab bin Malik -. Allah berfirman :

لَّقَد تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ
“ Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan “. Sampai firman Allah :

وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لاَّمَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلآَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ {118}
“ ….. dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar “. (QS. At Taubah : 117 -:119).
Coba bayangkan ! bagaimana kejujuran mereka dapat menyelamatkan mereka, dan meringankan kesalahan mereka. Dan bagaimana kebohongan itu dapat menjadikan alasan-alasan mereka tidak diterima dan merusak akhirat mereka ???!.
Hal ini harus diperhitungkan ketika membicarakan kasus Hatib bin Abi Balta'ah dan sebab-sebab yang dapat memaafkan kesalahannya.

4. Hal yang dapat membantu pemaafan kesalahan Hatib adalah bahwasanya beliau termasuk orang yang ikut perang Badar. Perang Badar adalah kebaikan agung yang dapat menghilangkan berbagai perbuatan buruk, melepaskan kesalahan, mengundang sangkaan baik kepada pelakunya (veteran Badar), dan dapat memperluas ruang takwil (persangkaan baik kaum muslimin) kepada mereka, saat mereka berbuat salah !.

Oleh karena itu kita dapatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kebaikan ahli Badar. Tahukah kalian apakah kebaikan ahli badar ? Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah memperlihatkan – kebaikan- kepada pelaku perang Badar “. Maka Allah berfirman : “ Berbuatlah sekendak kalian, karena Aku telah mengampuni dosa kalian “.
Dalam hadits shohih muslim, Rosulullah bersabda :

إِنِّي َلأَرْجُو أَنْ لاَ يُدْخِلَ النَّارَ أَحَدٌ ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْراً وَالْحُدَيْبِيَةَ
“ Sesungguhnya aku mengharap – kepada Allah – tidak memasukkan neraka – insya Allah – bagi pelaku Perang Badar dan Hudaibiyyah “.
Adapun Hatib telah mengumpulkan dua kebaikan, yaitu beliau telah mengikuti perang Badar dan Hudaibiyyah.
Kita dapat menyimpulkan bahwa ketika seseorang banyak dan besar kebaikannya, maka ia telah terlebih dahulu merasakan ujian dari Allah. Maka ketika hendak melapangkan haknya dalam ruang takwil dan pelepasan kesalahan, maka pada saat itu terjadilah syubhat. Wallahu a’lam.

5. Pembocoran rahasia yang diperbuat oleh Hatib itu tidak dikerjakannya terus menerus. Beliau hanya sekali itu saja melakukan kesalahan tersebut semasa hidupnya, dan sebab-sebab lainnya telah kami sebutkan diatas. Ini berbeda dengan kondisi intel. Bagi seorang intel, tajassus – menginteli – itu adalah pekerjaan yang terus menerus ia lakukan sepanjang waktu. Tidak ada yang ia pikirkan selain selalu berusaha bagaimana dapat menghasilkan informasi, sehingga ia bisa mengirimkan informasi itu kepada tuan yang mengirimnya atau orang yang ia bekerja dengannya – seperti dengan thoghut -.

Jelas ada perbedaan antara orang yang baru melakukan kesalahan sekali saja…dengan orang yang melakukan kesalahan terus-menerus, dari segi bukti-bukti atas karakter dan hakikat pelakunya. Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan yang fatal jika kasus kesalahan Hatib dihukumi dengan hukum dan sifat para jasus – intel – tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Waba’du.
Oleh karena keseluruhan sebab-sebab ini, maka telah kami sampaikan pada awal pembicaan bahwasanya perbuatan Hatib itu disebut kekufuran, dan termasuk bentuk loyalitas yang besar, hanya Hatib tidak dikafirkan secara personil, dan vonis kafir tidak boleh dijatuhkan kepadanya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Kalimat terakhir :

Kepada orang-orang yang menganggap remeh persoalan agamanya, dan ringan melakukan tajassus kepada kaum muslimin untuk kepentingan para thoghut dengan mengatas namakan kepentingan agama, yang telah beralasan dengan menggunakan fatwa-fatwa sebagian orang yang lahiriahnya ulama namun sejatinya para penyesat,…demi sedikit imbalan yang diberikan kepada mereka atas setiap laporan yang mereka berikan kepada badan intelijen thoghut.
Janganlah mereka menyangka berada di atas kebaikan, atau di atas kebenaran !!!
Hendaklah mereka selalu mengingat, akan ada suatu hari di mana mereka akan dimintai ertanggung jawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Hari itu, Allah akan mengadili mereka untuk mengembalikan hak hamba-hamba-Nya yang dizalimi.
Disebutkan dalam hadits shohih bahwa nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ أَعَانَ ظَالِماً بِبَاطِلٍ لِيُدْحِضَ بِبَاطِلِهِ حَقاً فَقَدْ بَرِئَ مِنْ ذِمَّةِ اللهِ  وَذِمَّةِ رَسُولِهِ

“ Baransiapa yang membantu orang dzolim dengan sebuah kebatilan untuk membantah kebenaran dengan kebatilannya, maka ia telah berlepas diri dari tanggungan Allah Ta’ala dan tanggungan rosulul-Nya “. ( HR. Thobroni. Dalam Silsilah Hadits Shohih no. 1020 ).
Lalu bagaimana dengan orang yang membantu para Thoghut dzolim untuk memenjarakan, membunuh dan mengkoyak-koyak kehormatan kaum muslimin ?.
Betapa banyak laporan zalim yang dtulis oleh seorang intel hina telah menyebabkan pemenjaraan puluhan pemuda bertauhid ---selama belasan tahun---di penjara para Thaghut, bahkan menjadi sebab pembunuhan dan penggantungan mereka ?
Disebutkan dalam hadits shohih riwayat Muslim dan selainnya :
اَلْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ .. وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“ Orang mukmin adalah orang yang bisa dipercaya oleh kaum muslimin atas keamanan jiwa dan harta benda mereka (dari gangguannya). Dan orang muslim adalah orang yang kaum musimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya “.

Orang yang kaum muslimin tidak bisa percaya atas keselamatan jiwa mereka dari gangguannya, dan kaum muslimin tidak selamat dari kejahatan tangan dan lisannya, menurut nash hadits ini tidak disebut orang yang beriman, juga tidak disebut orang Islam.
Maka takutlah kepada Allah wahai hamba Allah … berhati-hatilah kalian ! Jangan sampai kalian menjadi intel yang memata-matai kaum muslimin untuk kepentingan para thoghut dzolim, berdebat untuk membela mereka, atau berperang membela mereka. Jika hal itu kau lakukan, kau akan binasa dan merugi di dunia dan akhirat.