Rabu, 29 April 2009

Penjelasan Untuk Masyarakat

بسم الله الرحمن الرحيم


Terorisme adalah bagian dari Islam, dan siapa mengingkarinya maka ia telah kafir
Oleh ;
Syaikh 'Alamah Abdul-Qadir bin Abdul-Aziz Al-Mishri
* * *
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.
أما بعد:
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa terlmpahkan Nabi yang diutus sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, juga bagi keluarga, para shahabat dan umat yang mengikutinya dengan ihsan, sampai hari kiamat nanti.
Wa ba'du :
Dunia, sejak dari Timur sampai Barat, tergoncang dengan tragedi peledakan di AS yang memakan korban ribuan jiwa, Selasa, 11 September 2001 M. AS telah dihinakan, kedigdayaannya telah dicampakkan ke dalam Lumpur. AS ingin menghapus rasa malu dari kuanya. Tak lebh dari satu bulan setelah peristiwa itu, tepatnya Ahad, 7 Oktober 2001 M, AS sudah menumpahkan segenap kemurkaannya kepada Afghanistan, dengan menuduh Afghanistan melindungi pihak-pihak yang bertanggung jawab di balik serangan maut terhadap AS tersebut. Sampai hari ini, AS tidak memberikan bukti apapun atas tuduhannya itu.
Aneka media massa mempublikasikan banyak pernyataan sikap para tokoh politik, agama, media massa dan masyarakat seputar tragedi tersebut. Pernyataan sikap mereka ini banyak memuat kesalahan-kesalahan syar'i, bahkan mengandung kesesatan dan kekufuran nyata. Saya khawatir, kesemuanya menjadi agama yang diterima masyarakat luas, terlebih di zaman merajalelanya kebodohan dan taqlid seperti sekarang ini.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi orang yang dikaruniai sebagian ilmu agama, untuk menerangkan masalah ini. Sebagaimana perintah Allah Ta'ala:
وَإِذْأَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْتُمُونَهُ
(Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab, yaitu :Hendaklah kalian menerangkan isi Kitab itu kepada masyarakat, dan janganlah kalian menyembunyikannya. QS. Ali Imran :187). Juga firman-Nya :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ {159} إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُوْلاَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيم
(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dna seluruh makhluk yang bisa melaknat.{} Kecuali mereka yang telah bertaubat, memperbaiki diri dan menerangkan kebenaran. Aku menerima taubat mereka, dan Aku Maha Menerima taubat lagi Maha Pemurah. QS. Al-Baqarah :159-160). Berdasar kewajiban ini, para shahabat membaiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk mengatakan kebenaran tanpa takut celaan para pencela.
Penggantian dan penyimpangan ajaran agama-agama terdahulu, Yahudi maupun Nasrani, terjadi dengan adanya sebagian pemeluk agama yang mengadakan bid'ah dan kesesatan, tanpa adanya pengingkaran atas kemungkaran tersebut oleh masyarakat. Akhirnya, bid'ah dan kesesatan tersebut sampai hari ini menjadi agama yang ikuti oleh umat Yahudi dan Nasrani. Allah Ta'ala berfirman :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَتَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَآءِ السَّبِيلِ
(Katakanlah : " Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) yang telah sesat, menyesatkan banyak manusia dan tersesat dari jalan yang lurus.").QS. Al-Maidah :77.
Kalangan ahli kitab yang mengetahui kebenaran, melarikan diri dari kekejaman para penguasa lalim ke biara-biara dan pegunungan, dan kebenaranpun tenggelam bersama kematian mereka. Allah berfirman :
وَرَهْبَانِيَةً ابْتَدَعُوهَا مَاكَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَآءَ رِضْوَانِ اللهِ
(Dan mereka mengadadakan rahbaniyah {kependetaan, tidak menikah dan mengurung diri dalam biara}. Kami tidak mewajibkannya atas mereka, namun mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencari ridha Allah ).QS. Al-Hadid :27.
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam diutus, di atas muka bumi tidak tersisa orang yang berada di atas kebenaran, selain segelintir orang. Rasulullah bersabda :
وإن الله نظر إِلى أهل الأرض ، فمقَتَهم ، عَرَبَهُم وعَجَمهم ، إِلا بقايا من أهل الكتاب،
" Sesungguhnya Allah memandang penduduk dunia, maka Allah murka kepada mereka ; baik kalangan Arab maupun Ajam, kecuali sisa-sisa ahli kitab…" HR. Muslim. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits riwayat imam Bukhari tentang Zaid bin Amru bin Nufail yang mengembara mencari kebenaran.
Namun penggantian dan penyelewengan ini selamanya tidak sampai menghancuran Islam. Selama pergantian abad kea bad perjalanan umat Islam, memang muncul berbagai bid'ah dan kesesatan. Namun Allah senantiasa memunculkan orang-orang yang menolaknya, menyingkap kepalsuaannya dan menampakkan kebenaran, sehingga agama yang benar ini tetap tegak dan mudah digapai oleh setiap pencari kebenaran. Dengan demikian hujah Allah senantiasa tegak sampai hari kiamat nanti, mengingat tidak ada lagi nabi setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam. Allah berfirman (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Dzikr (peringatan, Al-Qur'an) dan Kami pulalah yang akan menjaganya). Dalam hadits-hadits mutawatir tentang al-thaifah al-manshurah dijelaskan, akan senantiasa ada sekelompok umat Islam yang tegak di atas kebenaran. Orang yang menyelisihi dan memusuhi mereka, tidak akan membahayakan nereka.
Dalam kesempatan ini saya berdoa kepada Allah, semoga berkenan menjadikan kita di antara mereka yang menerangkan sebuah kebenaran. Sesungguhnya Allah-lah yang mengurus dan Allah Maha Kuasa atas hal itu.
Saya katakan, wa billahi al-taufiq :
Di antara berbagai kekeliruan dan kesesatan yang tersebar luas di masa-masa yang telah lewat adalah :
[1]- Terorisme adalah bagian dari Islam, dan siapa mengingkarinya maka ia telah kafir.
Berdasar firman Allah :
{وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم}
" Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apapun yang kalian sanggupi, juga kudakuda perang yang tertambat. Dengannya kalian meneror musuh Allah dan musuh kalian)." QS. Al-Anfal :60. Meneror musuh-musuh yang kafir merupakan sebuah kewajiban syar'I berdasar ayat ini, dan siapa yang mengingkarinya telah kafir, berdasar firman Allah :
{وما يجحد بآياتنا إلا الكافرون}
" Dan tidak ada yang juhud (mengingkari) ayat-ayat Kami kecuali orang-orang kafir." QS.
Juhud adalah mengingkari dan mendustakan dengan lisan. Allah berfirman :
{ومن أظلم ممن افترى على الله كذباً أو كذّب بالحق لما جاءه أليس في جهنم مثوىً للكافرين}
Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang mengadakan kedustaan atas Allah atau mendustakan kebenaran yang datang kepadanya. Bukankah di neraka Jahanam ada tempat untuk orang-orang kafir ?". QS. Al-Ankabut :68).
Barang siapa menyatakan Islam berlepas diri dari terorisme, atau ingin memisahkan Islam dengan terorisme, maka ia telah kafir, karena terorisme adalah bagian dari Islam.
Dari sini anda mengetahui, orang-orang yang menyatakan akan memerangi terorisme, sejatinya akan memerangi Islam. Memberangus terorisme sejatinya adalah memberangus Islam. Mereka hanya memutar balikkan fakta di hadapan orang-orang yang bodoh.
[2]- AS adalah Negara Kafir, musuh Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Allah berfirman :
إن الذين كفروا من أهل الكتاب و المشركين
" Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik."
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
" Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah Al-Masih putra Maryam." [QS. Al-Maidah :17].
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
" Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan Allah adalah satu dari tiga oknum (trinitas ; Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Roh Kudus)." [QS. Al-Maidah :72].
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
" Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak memeluk agama yang benar. YAitu kalangan ahli kitab, sampai mereka menyerahkan jizyah dalam keadaan hina." [QS. Al-Taubah :29].
Kekafiran Yahudi dan Nasrani ---kalangan ahli kitab--- termasuk hal baku yang sudah sama-sama diketahui (Al-Ma'lum minad Dien bidh-Dharurah). Maka barangsiapa mengingkarinya, berarti telah kafir.
Allah berfirman :
{إن الكافرين كانوا لكم عدواً مبيناً}
" Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian."
Selama AS adalah kafir dan musuh, maka menerornya adalah wajib. Terlebih lagi, selain kafir, AS juga : memerangi, menggangu, mengembargo, merampas kekayaan alam kaum muslimin dan membantu setiap kekuatan yang memerangi kaum muslimin, baik Yahudi, Turki, penguasa-penguasa kafir maupun kelompok lainnya.
Hari ini, AS adalah polisi dunia, Negara yang paling mirip dengan kaum 'Ad yang disebutkan oleh Allah Ta'ala :
{وأما عاد فاستكبروا في الأرض بغير الحق وقالوا من أشد منا أولم يروا أن الله الذي خلقهم هو اشد منهم قوة وكانوا بآياتنا يجحدون}.
" Adapun kaum 'Ad, mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alas an yang benar. Mereka mengatakan : "Siapa yang lebih kuat dari kami?" Apakah mereka tidak melihat, bahwa Allah yang telah menciptakan mereka adalah lebih kuat dari mereka. NAmun mereka mengingkari ayat-ayat Kami."
AS selalu turut campur dalam urusan dalam negeri berbagai Negara di dunia, dengan banyak dalih. Terkadang dengan alasan menjaga perdamaian dunia, terkadang dengan dalih memerangi terorisme, atau terkadang berdalih bantuan kemanusiaan. Secara lahir dalih-dalih ini membawa rahmat, namun sejatinya membawa kesengsaraan.
Kemanusian apakah yang dimiliki Negara Kriminil ini : nenek moyang mereka adalah para perampok dan penjajah Eropa yang datang ke benua baru tersebut, lantas memusnahkan penduduk pribumi bangsa Indian. Mereka lantas menculik penduduk Afrika. Setengah penduduk benua Afrika mereka culik, mereka perbudak dan mereka pekerjakan secara paksa untuk bercocok tanam di benua baru itu. Ketika urusan pertanian telah selesai, mereka mengembalikan para budak itu ke Liberia, sebuah negara baru yang mereka dirikan di Afrika Barat, agar para budak itu tidak ikut menikmati hasil pertanian mereka.
Kemanusian apakah yang dimiliki Negara Kriminil ini : sejak dahulu sampai sekarang menjadi negara yang pertama dan terakhir menggunakan bom atom dalam peperangan, sejak masa "Hirosima" dan "Nagasaki."
Kemanusian apakah yang dimiliki Negara Kriminil ini : mantan presiden terdahulunya, Richard Nixon, berjanji akan mengembalikan Vietnam ke zaman batu, alias zaman prasejarah.
Apakah AS manusiawi manakala menggunakan bom-bom cluster uranium saat menghantam warga Iraq, sehingga anak-anak Iraq terkena cacat fisik yang mengerikan dan jumlah yang terkena penyakit kanker melonjak drastis ? Kini, hal serupa dilakukan AS terhadap warga Afghanistan.
Kemanusian apakah yang dimiliki negara kriminil ini ; negara penyokong terbesar bagi Israel yang menghancurkan Palestina dan warganya serta berbuat kerusakan di muka bumi ? Sampai saat ini, AS tetap melindungi Israel dari tekanan internasional apapun, denggunakan hak vetonya di PBB.
Kemanusian apakah yang dimiliki negara kriminil ini ; negara yang menculik dan menyerahkan kaum muslimin mujahidin di berbagai Negara di dunia, kepada negaranya untuk dipenjara atau dibunuh. Ini terjadi di Kroasia, Albania, Ajerbaizan dan Negara-negara lain.
[3]- Kesalahan pendapat yang menyatakan penduduk sipil adalah ABRIYA' (tidak berdosa, alias wajib dilindungi harta dan nyawanya).
Mengklasifikasikan masyarakat ke dalam kelompok militer dan sipil, merupakan klasifikasi yang bid'ah, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam. Klasifikasi yang disebutkan oleh syariat adalah :
• Kelompok Muqootilah : laki-laki dewasa, 15 tahun ke atas. Menurut syariat, mereka disebut muqatil (prajurit, orang yang bisa berperang) sekalipun tidak terlibat aksi perang.
• Kelompok Ghoiru Muqootilah : anak-anak yang belum baligh, kaum wanita, orang tua renta dan jompo, dan kaum laki-laki dewasa yang sakit kronis (cacat) sehingga tidak ikut terlibat perang, seperti; orang buta, orang pincang, tuli dan lainnya. Jika mereka ini terlibat dalam perang, baik dengan ucapan maupun perbuatan, maka ia termasuk kategori Muqootilah.
Dari sini, anda mengetahui bahwa kaum wanita di AS, Inggris, Israel dan negara-negara serupa termasuk dalam kategori Muqootilah, karena mereka ikut program wajib militer, bersama dengan tentara nasional negara tersebut. Jika mereka tidak bertugas dalam pengabdian militer, mereka menjadi tentara cadangan.
Apa yang saya sebutkan ini (perihal ghairu muqootil juga diperangi bila mereka ikut terlibat perang) tidak diperselisihkan lagi di kalangan ulama. Anda bisa membacanya secara detail dalam Kitab Al-Mughni karya imam Ibnu Qudamah al-Hambali, dan buku-buku fiqih lainnya.
Jadi tidak benar, bila rakyat sipil adalah warga yang tidak berdosa (abriya'). Mayoritas kaum lakilaki dan wanita mereka, menurut syariat adalah Muqootil. Referendum pasca 11 September menunjukkan, mayoritas rakyat AS mendukung program presiden salib George W. Bush untuk menghantam Afghanistan. Bukan hanya rakyat AS semata, bahkan juga rakyat negara salib lainnya, seperti rakyat Inggris, Kanada dan lainnya.
Warga yang tidak berdosa, adalah anak-anak di kalangan mereka, juga umat Islam yang bercampur dengan mereka karena sebuah tujuan syar'I yang mubah (boleh), seperti bisnis dan lainnya. Tidak ada dosa (bagi mujahidin) atas terbunuhnya mereka .
Dalil untuk kasus terbunuhnya anak-anak adalah hadits riwayat imam Bukhari dari shahabat Sha'b bin Jatsamah bahwa para shahabat bertanya kepada Rasulullah perihal keturunan orang-orang kafir (anak-anak dan kaum wanita) yang terbunuh dalam serangan malam, sebuah serangan yang sulit untuk memilah (antara muqaatil dengan ghairu muqatiil). Maka beliau menjawab," (هم منهم) (Keturunan termasuk dari mereka), maksudnya hukum anak-anak yang terbunuh seperti hokum kaum laki-laki kafir tersebut. Jadi, tidak ada dosa dalam membunuh mereka jika sulit untuk memilah-milah mereka (muqatil dan ghairu muqatil).
Dari kaedah ini, muncul masalah Tatarus dan kebolehan membunuh orang kafir yang dijadikan tameng sekalipun ia ghairu muqatil. Masalah ini saat ini dikenal dengan istilah "tameng manusia".
Adapun muslim yang terbunuh di antara kaum kafir sementara ia tidak bersalah (ma'dzur)…Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat nanti berdasar amalnya. Hal ini disebutkan oleh hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim :
(إذا أنزل الله بقوم عذاباً أصاب العذاب من كان فيهم ثم بُعثوا على أعمالهم)،
(Jika Allah menurunkan adzab atas sebuah kaum, adzab akan mengenai semua orang dalam kaum tersebut. Mereka akan dibangkitkan berdasar amal mereka).)
Juga hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah tentang pasukan yang menyerang Ka'bah dan dibenamkan oleh Allah di sebuah tanah lapang, padahal di antara mereka ada orang yang dipaksa dan orang-orang yang bukan anggota pasukan. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda :
(يُخسف بأولهم وآخرهم ثم يُبعثون على نياتهم...
" Seluruh pasukan, sejak depan sampai belakang, akan dibenamkan ke dalam bumi. Lalu akan dibangkitkan berdasar niat masing-masing."
Syaikhul Islam menjelaskan hadits ini dengan panjang lebar dalam Majmu' Fatawa juz 28, dalam fatwa tentang tentara Tartar.
Kesimpulannya, bercampur baurnya pihak yang boleh dibunuh dengan pihak yang tidak boleh dibunuh tidak menghalangi membunuh keseluruhannya, jika memang sulit memilah-milah mereka.
Jadi, tidak benar bila warga sipil tersebut tidak berdosa (abriya'). Kalau mereka tidak berdosa, bagaimana dengan nasib ribuaan abriya' yang dikubur masal di Bosnia ? Bagaimana dengan abriya' di Iraq, Palestina, Chechnya, Afghanistan dan lainnya ? Data survey menunjukkan lebih dari setengah pengungsi di seluruh dunia sekarang ini adalah umat Islam, Ataukah darah muslim murah sementara darah kafir mahal ? Ataukah pembunuhan dan duka nestapa ditakdirkan untuk umat Islam semata ?
[4]-. Haram berduka cita dan berbela sungkawa atas tragedi yang menimpa rakyat AS
Begitu Allah menurunkan azab-Nya kepada rakyat AS lewat tragedi ini, para penguasa negara-negara di dunia, para pemimpin organisasi internasional dan nasional, serta para pemimpin beberapa organisasi Islam seperti Ikhwanul Muslimin dan organisasi-organisasi Islam di AS, Kanadda dan Eropa…segera membuat pernyataan resmi pengingkaran atas tragedi berdarah tersebut, turut berduka dan berbela sungkawa atas musibah yang menimpa warga AS.
Perbuatan ini dalam agama Islam tidak boleh. Dalilnya adalah firman Allah kepada Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa salam :
فَلاَ تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ اْلكَافِرِيْنَ
(Maka janganlah engkau bersedih atas apa yang menimpa kaum yang kafir itu), firman Allah kepada nabi Musa 'alaihi salam
فَلاَ تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
(Maka janganlah engkau atas apa yang menimpa kaum fasik itu). Ketika Allah mengadzab bangsa Madyan dengan gempa dahsyat sehingga mayat-mayat mereka bergelimpangan di tempat tinggal mereka, nabi mereka Syu'aib 'alaihi salam mengatakan
فكيف ءاسى على قوم كافرين
(Maka bagaimana saya akan bersedih hati atass nasib orrangorrang yang kafir). QS. Al-A'raf :93. Inilah agama para nabi, haramnya bersedih dan berbela sungkawwa atas adzab, musibah, bencana, gempa ddan siksaan lain yang menimpa orang-orang kafir.
Demikian juga Allah berfirman :
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ {14} وَيُذْهِبَ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
(Perangilah mereka, niscaya Allah akan mengadzab mereka lewat tangan kalian, menghinakan mereka, memenangkan kalian atas mereka dan melegakan hati kaum beriman {} Juga menghilangkan panas hati kaum beriman) QS. Al-Taubah :14-15. Allah menerangkan bahwa adzab dan kehinaan yang menimpa orang-orang kafir, melegakan hati kaum beriman. Barangsiapa tidak lega hatinya, dan bahkan sedih atas adzab yang menimpa orang-orang kafir, maka ia bukanlah oraang yang beriman. Hal ini tak lain dikarenakan kelemahan iman, ketidak tahuan terhadap ajaran dien dan lenyapnya semangat keagamaan. (Maka janganlah engkau bersedih atas apa yang menimpa kaum yang kafir it).
[5]- Siapa bersekutu dengan AS yang memerangi umat Islam, hukumnya kafir.
Hukum ini bukan khusus bersekutu dengan AS semata, namun juga berlaku bila bersekutu dengan orang-orang kafir ---seperti para penguasa murtaad--- dalam memerangi umat Islam, ia juga kafir.
Dalilnya adalah firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {51} فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ {52} وَيَقُولُ الَّذِينَ ءَامَنُوا هَاؤُلآَءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ {53} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ
( Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali kalian, karena sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka ia termasuk golongan mereka).
(Maka engkau akan melihat orang-orang yang ada penyakit (kemunafikan) dalamm hatinya bersegera mendekati mereka, seraya mengatakan : Kami takut terkena musibah. Allah pasti akan mendatangkan kemenangan untuk Rasul-Nya, aau suatu keputusan dari sisi-Nya.Karena itu, mereka menjaadi menyesal atas apa yang mereka rahasiakan dalam dirinya)
(Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan : Inikah orangorang yang bersumpah sungguhsungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar bersama kalian ? Rusak binsalah seluruh amal mereka, maka mereka menjadi orang--orang yang rugi).
(Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah pasti akan mendatangkan sebuah kaum lain ; Allah mencintai mereka, mereka mencintai-Nya, lemah lembut kepada kaum beriman, keras kepada orangorang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orrang-orang yang suka mencela.) QS. Al-Maidah :51-54.
Allah menerangkan bahwa siapa yang menjadikan orang kafir sebagai wali, maka ia termasuk golongan mereka, maksudnya ia kafir seperti mereka. Allah menegaskan kembali hal ini dengan firman-Nya dalam konteks yang sama (barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya). Membantu mereka (al-nushrah) termasuk dalam kategori menjadikan mereka sebagai wali (al-muwalah), sebagaimana firman Allah :
{وما كان لهم من أولياء ينصرونهم}
(Mereka tidak mempunyai wali-wali yang menolong mereka)
Setiap orang yang membantu orangorang kafir untuk melaksanakan kekafiran mereka, atau untuk memusuhi umat Islam, maka ia telah kafir. Berdasar hal ini, telah kafirlah para penguasa yang mengaku sebagai penguasa Islam, seperti penguasa Pakistan, negara-negara Teluk dan lainnya (yang membantu AS memerangi umat Islam--pent). Sebelum kasus inipun, negara-negara tersebut adalah negara kafir karena berhukum dengan selain hukum Allah Ta'ala. Adapun negara-negara kafir tulen (asli), maka kekafiran merekaa sudah jelas, hanyasaja bertambah berat dengan permusuhan (peperangan) mereka terhadap umat Islam.
Negara-negara kafir telah secara cerdik menarik para penguasa yang mengaku sebagai penguasa Islam, untuk bersekutu dengan mereka dalam memerangi umat Islam dengan mengatas namakan berbagai dalih.
Sejak satu abad lampau, Inggris memimpin bangsa Aarab pimpinan Syaarif Husain dan anak-anaknya (penguasa Makkah) untuk memerangi Turki Utsmani di Syam, dengan slogan "Revolusi Arab Terbesar" ---sejatinya Pengkhianatan Arab Terbesar---, sampai berhasil menduduki negeri-negeri Syam dan mengusir Turki dari Syam pada tahun 1916-1918 M. Panglima Inggris, Lord Alenby-pun sesumbar," Hai Sholahudin, ini kami sudah kembali !!!!". Berdasar perjanjian Saix Piccot, Inggris menyerahkan Palestina kepada bangsa Yahudi, Perancis mendapat jatah Suria dan Lebanon, dan Inggris mendapat jatah Iraq dan Yordania. Mereka lalu mengasingkan Syarif Husain ke Cyprus ---negeri Nashrani---, padahal sebelumnya berjanji akan mengangkatnya sebagai raja bangsa arab. [Korespondensi Syarif Husain- McMohan].
Sekarang ini, yang berkuasa adalah anak cucu Syarif Husain –seperti penguasa Yordania---. Palestina lepas karena pengkhianatan terbesar bangsa arab, yang sejak dulu sampai sekarang masih berlangsung terus. Pada saat yang sama, saat itu Inggris merebut Iraq dari tentara Turki Utsmani dengan menggunakan tentara yang sebagian besar berasal dari kaum muslimin India. Mereka masuk dari arah Teluk. Semula mereka keberatan berperang dengan tentara Turki Utsmani, namun Syaarf Husain dan para ulama Makkah yang menjadi anteknya memfatwakan kebolehan memerangi tentara Turki Utsmani.
Inggris bisa merebut negeri-negeri umat Islam, dengan bantuan umat Islam !!!!
Perancis bisa menduduki Suriah dan Lebanon pada tahun 1920 M berdasar perjanjian Saix Picot---, juga dengan menggunakan tentara dari kalangan kaum muslimin Tunisia dan Aljazzair , dua negara jajahan Perancis.
Perancis memerangi para pejuang kemerdekaan Aljazair selama masa perang kemerdekaan 1954-1962 M, juga dengan menggunakan sepermpat juta antek-anteknya dari bangsa Aljazair, yang menamakan dirinya dengan nama "Al-Harakiyyun". Ketika Perancis meninggalkan Aljazair, pasukan harakiyyun yang masih hidup juga ikut menetap di Perancis. Dalam perang kemerdekaan ini, tak kurang dari satu juta umat Islam gugur sebagai syuhada'.
Tentara salibis AS tidak akan bisa masuk dan menduduki jazirah arab, kecuali melalui perantaraan "Pengkhianat Al-Haramain Al-Syarifain" dan fatwa para anteknya dari kalangan ulama su', yang menamakan tentara kafir salib tersebut dengan nama pasukan negara shahabat. Sebuah penamaan yang menyelisihi penamaan yang benar dari syariat Islam, dengan tujuan untuk mempedaya (talbis) masyarakat umum dan kaum yang bodoh.
AS memerangi dan menghancurkan Iraq, dengan menggunakan tentara Mesir dan Suriah yang mengakuaku tentara Islam. AS juga terus menerus membombardir Iraq dengan pesawat-pesawat tempur yang berangkat dari pangkalan-pangkalan udara negeri-negeri yang menamakan dirinya sebagai negara Islam, seperti Arab Saaudi, Kuwait dan Turki.
Hari ini, AS membombardir Afghanistan dari bumi pakistan yang menamakan drinya sebagai negara Islam !!! AS memerangi Afghanistan ---Thaliban—juga dengan menggunakan orang-orang Afghan " Aliansi Utara" --- Dustum ddan Rabbani---.
Dahulu, tidaklah tentara salib berhasil menguasai wilayah-wilayah pantai bumi Syam kecuali lewat pengkhianatan para amir kota-kota Syam yang beraliansi dengan tentara nasrani. Andalus juga tidak jatuh, kecuali lewat pengkhianatan dan aliansi para raja Thawaif (kerajaan-kerajaan kecil) dengan tentara salib.
Begitulah, orang-orang kafir senantiasa menangguk laba, sementara umat Islam menuai kerugian. Umat Islam kehilangan negara, rakyat dan harta kekayaan. Sebelum seluruh kerugian dunia ini, merea sudah merugi di bidang agama dengan kafir dan murtad karena berwala' kepada orang-orang kafir.
Adapun negara-negara kafir yang menyetujui invasi AS ke Afghanistan, masing-masing akan mendapatkan jatahnya. Kanada, Inggris dan Australia mendukung invasi karena faktor gelora (semangat) perang salib. Perancis dan Jepang membantu AS supaya keduanya juga mempunyai hak untuk menentukan nasib Afghanistan pasca perang. Turki menawarkan bantuan militer supaya AS membantu mengusahakan Turki diterima sebagai anggota Uni Eropa. Uzbekistan membantu AS demi menolong warga Uzbek, si Abdu Rasyid Dostum. Tajikistan membantu AS demi menolong Rabbani. Seluruh negara di Utara Afghanistan mendukung AS, karena khawatir kebangkitan Islam di Afghanistan akan melanda negaranya. Pakistan membantu AS untuk meraih tujuan ganda ; memotong jalan India, mendapat dukungan AS atas wilayah Kasymir, mempunyai hak menentukan nasib Afghanistan dan mencegah monopoli kekuasaan pihak aliansi Utara. Rusia dan China mendukung AS supaya AS tidak mengusik pelanggaran HAM di kedua negara itu, juga supaya AS kalah dan terpukul mundur seperti saat mengalami kekalahan telak di Vietnam. Para penguasa negara-negara Teluk membantu AS dalam posisi budak mengabdi kepada tuannya : AS lah yang menjaga singgasana kekuasaan mereka. Para penguasa negara-negara tersebut memang hidup sebagai pemerintah atas rakyatnya, namun mereka adalah budak di hadapan tuan Inggris ---dulu-- dan AS –hari ini--. Dulu, nasib kekuasaan mereka berada di tangan Gubernur Jendral Inggris di India, sekarang di tangan Washington.
Kesimpulannya, setiap orang yang beraliansi dengan orang-orang kafir --- seperti AS dan lainnya --- dalam memerangi umat Islam, maka ia telah kafir. Allah berfirman :
{ومن يتولهم منكم فإنه منهم}.
(Barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka ia termasuk goloongan mereka).
[6]- Kesalahan menamakan negara-negara Barat sebagai NEGARA-NEGARA MAJU
AS dan negara-negara Barat menamakan dirinya sebagai "NEGARA MAJU", mereka tertipu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil mereka raih. Orang-orang kafir pada setiap masa juga tertipu dengan hal yang sama, sebagaimana firman Allah :
{أفلم يسيروا في الأرض فينظروا كيف كان عاقبة الذين من قبلهم كانوا أكثر منهم وأشد قوة وآثاراً في الأرض فما أغنى عنهم ما كانوا يكسبون * فلما جاءتهم رسلهم بالبيات فرحوا بما عندهم من العلم وحاق بهم ما كانوا به يستهزئون}.
( Maka apakah mereka tdak mengadakan perjalanan di atas muka bumi lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Adalah mereka dahulu lebih banyak jumlahnya, lebih hebat kekuatannya dan lebih banyak bekas-bekas mereka (bangunan, sarana prasarana dll) di muka bumi. Maka segala yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka {} Tatkala datang utusan-utusan Kami kepada mereka dengan penjelasan-penjelasan yang terang, mereka membanggakan ilmu mereka. Maka mereka dikepung oleh adzab Allah yang selalu mereka olok-olokan itu."). QS. Al-Mu'min :82-83.
Yang benar, negara-negara kafir ini adalah orang-orang sesat dan dalam kegelapan. Sebagaimana firman Allah, sebagaimana firman-Nya :
{والذين كفروا أولياؤهم الطاغوت يخرجونهم من النور إلى الظلمات}
Adapun orang-orang kafir, wali-wali mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan). QS. Al-Baqarah :257. Juga firman-Nya :
{إنما المشركون نجس}
(Orang-orang musyrik adalah najis). QS. Al-Taubah :28. Mereka lebih sesat dari binatang ternak dan hewan liar. Dengan mengatas namakan kebebasan, mereka memperbolehkan perzinaan dan homoseksual, suatu perbuatan cabul yang hewan-pun sama sekali tidak bissa menerimanya. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Maimun bin Mihran bahwasanya pada masa jahiliyah, ia melihat kera betina yang berzina, maka kera-kera lainnya mengepung dan merajamnya. Imam Muslim juga meriwayatkan hadits serupa dari Abu Raja' Al-'Utharidi.
Penamaan bangsa mereka dengan sebutan negara-negara maju adalah pemutarbalikkan nama, sebagaimana firman Allah :
{وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه}
Orang-orang Yahudi dan Nasrani menyatakan : "Kami adalah anak-anak dan orang-orang pilihan Allah."
Padahal, Allah menamakan mereka "Al-Maghdhubi 'alaihim" dan "Al-Dhaalin". Jadio, penamaan mereka sebagai negara-negara maju tidak benar, bahkan mereka adalah orangorang sesat, orang-orang dalam kegelapan dan orang-orang najis. Mereka adalah wali-wali setaan dan kerajaan Iblis.
[7]- Konstitusi (Hukum) Internasional adalah Thaghut yang diibadahi selain Allah
Istilah ini populer dan selalu diulang-ulang oleh orang-orang kafir, lantas umat Islam latah mengikutinya. Terutama sejak Invasi Iraq ke Kuwait tahun 1990 M. Pada masa itu, Uni Soviet telah runtuh dan AS muncul sebagai satu-satunya penguasa dunia. Maka, sejatinya konstitusi internasional adalah keinginan dan keputusan AS, hanyasaja tidak diputuskan oleh Gedung Putih di Washington, melainkan oleh PBB di New York, sebuah organisasi yang menyatukan lima negara adidaya najis (AS, Inggris, Perancis, Rusia dan China—pent). Jika AS ingin memperluas ruang lingkup sebuah urusan, Aspun membuat sebuah aliansi yang lebih luas. Seperti aliansi tentara internasional dari 30 negara untuk menyerbu Iraq (perang Teluk 1990 M, pent). Seperti juga sekarang ini, untuk menginvasi Afghanistan, AS membuat aliansi internasioanl, sehingga di mata internasional tidak nampak bahwa invasi ini keinginan AS, melainkan sebuah keputusan yang disepakati oleh seluruh aatau mayoritas negara di dunia. Dari sinilah, disebut dengan "Konstitusi Internasional."
Konstitusi Internasional ini hanya diterapkan kepada bangsa yang lemah saja ; untuk menginvasi Iraq dan Afghanistan, mengembargo Libia dan Sudan. Adapun negara-negara kuat dan sahabat dekat mereka, seperti Israel, sama sekali keputusan Konstitusi Internasional tidak diterapkan.
Tidak boleh bagi umat Islam ---baik individu maupun negara--- mengakui keabsahan, menghormati atau meminta penerapan Konstitusi Internasional, karena semua sikap ini merupakan kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sayangnya, istilah ini selalu disebut-sebut oleh para syaikh, lalu diikuti oleh masyarakat awam karena mengikuti para raja dan pemimpin mereka.
Penjelasannya sebagai berikut : sejatinya, konstitusi internasional adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh orang-orang kafir berdasar hawa nafsu mereka, tanpa terikat sama sekali dengan syariat Islam. Mereka mewajibkannya atas seluruh bangsa di dunia. Dengan demikian, ia adalah thaghut : selain Allah Ta'ala yang dijadikan tempat memutuskan dan mengembalikan seluruh urusan. Allah Ta'ala berfirman :
{ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا أن يكفروا به}
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu." (QS. Al-Nisa' :60).
Ayat ini merupakan nash yang menyatakan bahwa apapun yang dijadikan tempat memutuskan perkara, selama menyelisihi syariat Allah adalah Thaghut. Barangsiapa memutuskan perkara kepadanya, berati telah beribadah dan beriman kepadanya. Tidakkah anda memperhatikan firman Allah (padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu). Ini menunjukkan, meminta keputusan perkara kepada Thaghut berarti beriman kepada Thaghut, bertenntangan dengan kewajiban kafir kepadanya. Begitu juga, setiap orang yang meminta keputusan hukum kepada sesuatu (yang menyelisihi syariat Allah, pent), berarti telah beribadah kepada sesuatu itu. Tidakkah anda memperhatikan firman Allah :
{إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه}،
“ Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” [QS. Yusuf :40].
Allah menerangkan, bahwa mengesakan Allah dengan hak memutuskan perkara dan menjadi tempat pengembalian keputusan, adalah bagian dari ibadah yang diperintahkan. Dengan mengembalikan keputusan hukum kepada selain Allah, berarti ia telah kafir kepada Allah, karena keislaman seseorang tidak akan sah tanpa disertai dengan kafir kepada thaghut. Sebagaimana firman Allah :
{فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى}.
“ Karena itu barangsiapa yang kafir kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” [QS. Al Baqarah :256].
Termasuk dalam kategori Thaghut Hukum, adalah konstitusi internasional, undang-undang dasar positif, hukum-hukum positif, juga setiap orang yang menetapkannya atau memutuskan perkara dengannya. Setiap orang yang meminta keputusan hukum kepadanya, atau ridha dengannya, adalah kafir, berdasar dalil-dalil di atas.
Setiap orang yang berperang demi menerapkannya, juga kafir, berdasar firman Allah :
{والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت}.
" Adapun orang-orang kafir, mereka berperang di jalan Thaghut." (QS. Al-Nisa' :76).
[8]- Undang-Undang Positif adalah dien baru. Siapa menetapkan atau mengamalkannya, berarti telah kafir.
Salah satu makna Dien (agama) adalah hukum dan aturan hidup manusia, baik kebenaran maupun kebatilan. Berdasar firman Allah :
" Katakanlah : " Hai orang-orang kafir{} Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah {} Kalian pun tidak menyembah apa yang aku sembah {} Sekali lagi, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah {} Kalian pun tidak menyembah apa yang aku sembah () Bagi kalian dien kalian, dan bagku dienku." [QS. Al-Kafirun 1-6].
Allah menyebut kekafiran mereka sebagai dien. Juga firman Allah
{ومن يبتغ غير الإسلام ديناً فلن يقبل منه}
" Barang siapa mencari selain Islam sebagai diennya, maka tidak akan diterima darinya." [QS. Ali Imran :85]. Allah Ta'ala menerangkan, selain Islam juga disebut dien, namun dien yang tidak akan diterima oleh Allah Ta'ala.
Undang-undang positif telah menjadi undang-undang dan aturan hidup masyarakat di negeri-negeri yang diterapkan di dalamnya undang-undang postif tersebut. Maka, undang-undang positif menjadi dien mereka, dan mereka-pun kafir karena mengikuti dien selain Islam, sekalipun mereka menganggap diri mereka berpegang teguh dengan sebagian ajaran Islam. Mereka seperti orang-orang kafir zaman jahiliyah, yang masih memegang teguh sebagian ajaran Milah Ibrahim. Mereka masih melaksanakan haji, sampai ketika masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam dengan sabda beliau :
لا يحجن بعد العام مشرك
" Setelah tahun ini, tak seorang musyrik-pun boleh melaksanakan haji !"
Sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah dalam surat Al-Bara-ah (Al-Taubah). Mereka itulah --- orang-orang kafir zaman jahiliyah dan zaman sekarang---yang dimaksud dengan firman Allah :
{وما يؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون}
" Dan tidaklah mayoritas mereka beriman kepada Allah, kecuali pada saat yang sama mereka juga berbuat kesyirikan." Mereka menyembah Allah dengan sholat dan shaum, dan di saat yang sama menyembah Stanen, Napoleon, dan Lampere dengan memutuskan perkara dan menetapkan hukum. Maka kafirlah mereka.
Dalil lainnya adalah firman Allah (Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu." (QS. Al-Nisa' :60)) Maksud ayat ini sudah diterangkan di atas, bahwa memberlakukan undang-undang positif berarti beriman dan beribadah kepada thaghut.
Dalil lainnya adalah firman Allah (“ Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” [QS. Yusuf :40]). Maksud ayat ini sudah diterangkan di atas, bahwa siapa yang mengesakkan Allah dalam memutuskan perkara dan menjadi tempat mengembalikan persoalan, berarti telah beribadah kepada Allah semata. Inilah makna tauhid, Adapun orang yang mengembalikan persoalan kepada selain-Nya, maka ia telah beribadah kepada selain-Nya dan mensekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalil lainnya adalah firman Allah :
{ولا يشرك في حكمه أحداً}
" Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." (QS. Al-Kahfi :26). Dalam ayat ini, Allah melarang mengambil sekutu bagi Allah dalam menetapkan perkara. Barang siapa mengembalikan perkara kepada selain syariat-Nya, berarti telah mengangkatnya menjadi sekutu bagi-Nya. Ini merupakan syirik dan kufur akbar.
Dalil lainnya adalah firman Allah
{ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون}
” Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44]..
Ayat ini merupakan nash yang tegas atas kafirnya orang yang meninggalkan hukum Allah dan memutuskan dengan selain hukum-Nya. Seperti orang-orang yang memerintah dengan undang-undang dasar positif, hukum positif, dan konstitusi internasional. Ayat ini turun berkenaan dengan bangsa Yahudi yang mengaku beriman, namun tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah yang memerintahkan pezina yang telah menikah untuk dirajam. Mereka membuat hukum baru sebagai pengganti dari hukum rajam, maka Allah menyatakan mereka telah kafir dengan perbuatan tersebut. Nash ayat ini termasuk sighah (bentuk) 'Aam, setiap orang yang melakukan hal seperti itu termasuk ke dalam ayat ini.
Realita negeri-negeri kaum muslimin hari ini sama persis dengan bentuk aasbab nuzul ayat ini, yaitu suatu kaum yang mengaku beriman dan beragama Islam, namun meninggalkan hukum-hukum Allah dan memutuskan perkara dengan undang-undang yang ditetapkan sendiri. Sudah disepakati dalam kaedah ushul, bahwa bentuk asbabun nuzul jelas termasuk dalam kandungan nash. Maka, orang-orang yang hari ini memerintah dengan selain hukum Allah, hukumnya tegas mereka telah kafir.
Jangan tertipu dengan orang yang mengatakan : hanya kufur duna kufrin atau kufur asghar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sesungguhnya riwaayat yang dinisbahkan kepada shahabat Ibnu Abbas (bahwa beliau menyatakan kufur duna kufrin), adalah riwayat yuang lemah, karena diriwayatkan oleh Hisyam bin Hujair semata. Kalaupun riwayat dari Ibnu Abbas tersebut shahih, maka tertolak. Riwayat tersebut bertentangan dengan pendapat para shahabat lainnya, seperti shahabat Ibnu Mas'ud yang menyatakan (Itu adalah kekafiran). Pendapat seorang shahabat tidak bisa mentakhsish (mengkhususkan) sebuah nash yang umum. Pendapat seorang shahabat juga tidak bisa dijadikan hujah, manakala bertentangan dengan pendapat shahabat yang lain : untuk itu perlu ditarjih di antara keduanya. Kekafiran dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk ma'rifah dengan alif lam (الكافرون), maka maksudnya adalah kafir akbar al-mustaghriq (yang mencakup seluruh) kekafiran. Ini semua adalah kaedah ushuliyah yang sudah disepakati oleh para ulama.
Juga jangan terpedaya oleh orang yang menyatakan : memang benar, kekafiran yang dimaksud dalam ayat ini adalah kafir akbar, namun itu berlaku bagi orang yang menghalalkan (perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah). Ini merupakan kesalahan yang disebutkan oleh para pengarang dalam buku-buku mereka, tanpa ada dalil dan tabashur (kajian mendalam), hanya berdasar taklid semata. Pendapat seperti ini merupakan pendapat sekte sesat Murjiah ekstim, yang menjalar ke dalam buku-buku fuqaha'. Pendapat ini dibantah oleh ijma' shahabat yang menyatakan bahwa pelaku dzunub mukaffirah otomatis langsung kafir, tanpa perlu melihat ada tidaknya faktor juhud atau istihlal. Contohnya seperti orang yang meninggalkan sholat, demikian disebutkan imam Ibnu Qayyim dalam kitab beliau AL-SHOLATU WA HUKMU TARIKIHA. Adapun dzunub ghairu mukaffirah ---seperti meminum minuman keras---maka pelakunya tidak kafir selama tidak melakukan istihlal, sebagaimana menjadi ijma' shahabat berkenaan dengan kasus shahabat Qudamah bin Mazh'un. Dzunub Mukaffirah adalah dosa-dosa yang pelakunya disebut sebagai orang kafir oleh nash syar'i yang tidak ditentang oleh nash syar'i lainnya. Di antara dzunub mukaffirah adalah memerintah (memutuskan perkara) dengan selain hukum Allah ({فأولئك هم الكافرون}Mereka itu adalah orang-orang yang kafir).
Lebih dari itu, kondisi yang kita hadapi hari ini adalah istihlal secara terang-terangan (tegas), yaitu teks (undang-undang) yang dengan tegas menyebutkan bahwa apa yang dihaaaramkan Allah adalah halal dan boleh. Mereka memperbolehkan memutuskan perkara dengan undang-undang positif, bahkan mewajibkan hal itu, padahal menurut syariat ini merupakan perbuatan haram. Mereka memperbolehkan riba, minuman keras dan zina yang dilakukan suka sama suka, padahal keharaman semua hal ini sudah qath'i. Berdasar undang-undang mereka, tidak adanya larangan terhadap suatu hal menunjukkan hal tersebut boleh dilakukan.
Jika saya di atas telah mengatakan bahwa undang-undang positif adalah dien baru, bukan berarti seluruh penduduk negara yang diterapkan di dalamnya undang-undang positif tersebut telah kafir. Yang kafir adalah : orang-orang yang menetapkan undang-undang tersebut, orangorang yang memerintahkan pemutusan perkara dengannya, orang-orang yang memerintah rakyat dengannya dan orang yang ridha mengembalikan persoalan kepadanya.
Saya tidak mengetahui satu negarapun yang haari ini tidak diterapkan di dalamnya undang-undang positif ---tidak juga Arab Saudi maupun lainnya---. Minimal adalah izin bagi bank-bank ribawi, yang berarti memperbolehkan riba. Lantas, bagaimana lagi dengan undang-undang perdagangan, undang-undang pekerjaan dan tenaga kerja, dan undang-undang pidana ? Semuanya adalah undang-undang yang menyelisihi syariat Islam. Lantas, bagaimana dengan pengguguran seluruh hukum hudud syar'iyah di mayoritas negara yang mengaku sebagai negara Islam ????
Kesimpulan masalah in : hendaknya anda mengetahui bahwa sejak awal, negeri-negeri yang mengaku sebagai negara-negara Islam dan mau diajak AS terlibat dalam aliansi menghantam Afghaanistan, sebenarnya bukanlah negara-negara Islam, karena menerapkan selain hukum Allah. Maka wajib memberontak, menggulingkannya dan mengangkat pemerintahan Islam di dalamnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwaaayatkan imam Bukhari dan Muslim :
(وألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان)
Dan janganlah kalian merebut kekuasaan dari para pemegangnya, kecuali manakala kalian melihat kekafiran yang sangat nyata, berdasar dalil dari Allah Ta'ala.
Wajib bagi setiap muslim untuk berusaha untuk hal ini. Siapa berusaha, baginya pahala. Siapa hanya diam saja tanpa berusaha, baginya dosa ---kecuali orang-orang yang mempunyai udzur syar'i--. Siapa yang ridha dengan para penguasa tersebut, ia termasuk dalam golongan mereka.
[9]- Demokrasi adalah dien baru ; siapa mengikuti atau mengajak kepadanya, berarti telah kafir
Dengan dukungan gereja, para raja Eropa menindas rakyat selam abad-abad pertengahan. Sebagai reaksina, rakyat memusuhi raja, gereja dan Tuhan gereja. Bahkan, salah seorang filosof mereka mengatakan," Gantung raja terakhir dengan usus Paus terakhir." Masyarakat melepaskan diri dari ikatan gereja, dan sebagai gantinya menetapkan aturan-aturan hidup sesuai keinginan mereka. Kapan saja mereka ingin, mereka mengamandemen aturan-aturan tersebut.
Peristiwa ini terjadi di Inggris dan Perancis pada masa terjadinya revolusi Perancis. Para imigran Eropa yang berpindah ke benua baru, Amerika, membawa pemikiran ini dan menjaddikanna sebagai dien mereka. AS pun menobatkan dirinya sebagai pembela terdepan ajaran demokrasi di dunia, Negara-negara di dunia akhirnya diklasifikasikan menjadi Negara demokratis dan non demokratis. AS mulai turut campur dalam urusan dalam negeri negara-negara lain dengan mengatas namakan melindungi sistem demokrasi, mengawasi PEMILU, dan alasan-alasan semisal….
(Maaf : Tulisan Syaikh 'Allamah Abdul-Qadir bin Abdul-Aziz Al-Mishri hanya sampai di sini, belum sempat beliau. Beliau keburu ditangkap oleh rezim taghut Yaman di Shan'a pada tanggal 11 Oktober 2001 M, dipenjara di penjara Militer Shan'a dan diekstradisi ke Mesir 28 Februari 2004 M, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati bersama lima rekannya, qaddarallahu wa ma sya-a fa'ala. Ya Allah, bebaskanlah beliau dan para ulama 'amilin Islam yang ditawan orang-orang kafir, murtad dan munafik. Amien).

Minggu, 26 April 2009

I’DAD (Persiapan Jihad)

Macam, Hukum, dan Urgensinya
Oleh Abu Bashir

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, sholawat dan salam semoga terlimpah kepada penutup para rosul, Nabi Muhammad Saw.
Yang dimaksud dengan I’dad disini adalah membangun kesiapan individu dan masyarakat menuju suatu tingkat yang dituntut oleh syari’at, baik secara khusus maupun umum. I'dad mencakup dua aspek, Material dan Spiritual (maknawi).
* * *
Pesiapan spiritual (maknawi).
Adalah membangun pribadi atau masyarakat dalam dimensi keimanannya, pemahaman (fiqhiyyah) serta pola pikirnya. I'dad ini untuk meningkatkan kualitas individu atau komunitas dalam beragama, berakhlak dan tugasnya, dan juga kemampuan menghadapi tantangan dan syubuhat yang akan muncul melawan Islam dan kaum muslimin. Perisiapan semacam ini akan membantu para peniti jalan agar mampu menghadapi resiko perjalanan, cobaan dan rintangan, meskipun jauh perjalanan tesebut.
Banyak orang yang menganggap enteng sisi persiapan yang teramat penting ini, sehingga dapat anda saksikan mereka yang berjatuhan di awal atau di pertengahan jalan perjuangan. Maka mereka pun terjerumus ke dalam lubang kecil yang menjebak, atau karena terkena fitnah dan ujian kecil saja. Mereka kibarkan bendera putih tanda menyerah, tunduk dan pasrah pada penjahat-penjahat yang zalim…lalu mereka berikan tanda loyal dan ketaatan mereka yang setinggi-tingginya.
Dalam perjuangan Islam, tidak dikenal istilah berkorban separuh waktu, kemudian hidup damai, nyaman dan tentram serta menghibur diri dengan merasa bahwa mereka telah menjalankan tugas dan kewajibannya. Kemudian mereka menyerahkan tugas selanjutnya pada yang lain… Tidak!!! Islam sama sekali tidak mengenal istilah demikian. Islam hanya mengenal kamus pengorbanan dan jihad, sejak dari buaian hingga liang lahat.
Seorang muslim hanya mengenal istirahat yang sesungguhnya kecuali di surga nan abadi, ini adalah konsekwensi dari perjanjian jual beli yang telah Allah bicarakan dalam firmanNya
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah:111)
Akad jual beli telah ditetapkan, akadnya telah dilakukan, tidak dapat dibatalkan atau dikembalikan, dan Allah swt telah benar benar menepati janji-Nya, maka si hamba pun seharusnya demikian pula, menepati janjinya.
Jika telah kita ketahui hal tersebut, maka akan kita pahami makna abda Nabi Saw.
إِنَّمَا النَّاسُ كَالْإِبِلِ الْمِائَةِ لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيهَا رَاحِلَةً (متفق عليه)
“sesungguhnya manusia itu bagaikan seratus onta, hampir-hampir tidak didapati di dalamnya satu ekorpun yang baik untuk tunggangan” (Muttafaq ‘alaih)
Maksud hadis tersebut: tidak ada seekor unta pun yang cocok sebagai tunggangan yang mampu bertahan menghadapi berat dan payah serta resiko perjalanan hingga ke tujuan.
* * *
I'dad Materi
Mencakup segala aspek yang secara material mengandung kekuatan, dimulai dari pembinaan fisik SDM dengan cara berolah raga yang benar sehingga dapat selalu beradaptasi dan siap memenuhi panggilan dalam segala situasi yang akan dilalui untuk berjihad untuk meninggikan kalimat Allah swt di atas muka bumi ini, I'dad ini berujung pada pemilikan dan penggunaan alat-alat perang yang paling mutakhir.
* * *
Hukum I’dad
Hukum melakukan I'dad adalah wajib dikarenakan dua hal:
Pertama, karena adanya dalil-dalil syara’ yang memerintahkannya sehingga perintah ini berarti sebagai suatu kewajiban. Firman Allah
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (al-Anfal:60)
Kata wa a'iddu (dan persiapkanlah) adalah kalimat perintah yang bermakna wajib.
Di dalam sebuah hadits
عن عقبة بن عامر قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على المنبر يقول: ({أعدوا لهم ما استطعتم من قوة}؛ ألا إن القوة الرمي، ألا إن القوة الرمي، إلا إن القوة الرمي) مسلم.
Dari Uqbah bin Amir dia berkata: saya mendengar Rosululloh bersabda diatas mimbar: “Persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi", ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah…3x. (Hr Muslim)
Beliau juga bersabda:
مَن علم الرمي ثم تركه فليس منا أو قد عصى (مسلم)
“Barang siapa yang sudah bisa memanah kemudian ia meninggalkannya, maka ia bukan dari golongan kami atau dia telah berbuat maksiat". (Muslim)
Ancaman yang disebutkan di dalam hadis di atas berfungsi untuk mewajibkan
Di antara hal yang termasuk ke dalam istilah ramyu (memanah) sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas adalah menembak dengan pistol, senapan, meriam, tank dan juga roket. Semua jenis menembah tersebut termasuk ke dalam makna kata ar-ramyu (melempar) yang disebutkan oleh hadis di atas. Dan kewajiban muslim adalah mempersiapkannya sesuai dengan kemampuannya. Nabi bersabda:
المؤمن القوي خير من المؤمن الضعيف وفي كلٍّ خير، واحرص على ما ينفعك) مسلم
“mukmin yang kuat itu lebih baik dari pada mukmin yang lemah dan pada tiap-tiap itu adalah baik, dan berusahalah untuk menggapai apa yang bermanfaat bagimu” (muslim).
Maksud kekuatan di dalam hadis tersebut mencakup kekuatan dua dimensi I'dad, yakni kekuatan fisik materiak dan kekuatan spiritual.
Kedua; Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya I’dad adalah bahwa I'dad wajib lighairihi (wajib karena adanya kewajiban yang lain), sebab jihad tak akan bisa terlaksana tanpa adanya I'dad. Maka sesuai dengan kaidah ushul fiqh
ومالا يتم الواجب إلا به فهو واجب
suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna melainkan karena adanya suatu perkara, maka hukum perkara ini adalah wajib.
Maka bagi yang ingin berjihad dia harus melakukan I’dad, jika ia tidak mau melakukan I'dad untuk berihad maka sama halnya dengan orang yang gembar-gembor untuk melakukan sesuatu namun tidak berusaha untuk merealisasikannya. Dengan demikian sebenarnya ia menvonis dirinya sendiri sebagai pendusta dan penipu. Sebenarnya ia tidak ingin perang dan bertempur…meskipun dia mengaku-ngaku dengan lidahnya seribu kali ingin berjihad, dan mencintai jihad dan mujahidin Allah berfirman
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (at-Taubah:46)
Seperti kondisi pemerintahan negara-negara Arab yang secara praktis berkhianat. Mereka menampakkan kelemahannya di hadapan para thogut dzolim juga dihadapan kaum Zionis di Palestina, mereka tidak mampu menghadapinya juga tidak bisa membebaskan Palestina. Mereka juga tak mampu memberikan pertolongan kepada rakyat Palestina yang tertindas!!!
Maka kita katakan pada mereka: “Kalian dusta. Kalian telah berdusta ribuan kali. Juka kalian benar ingin berjihad dan membebaskan Palestina tentunya kalaian akan mempersiapkan diri untuk terjun ke medan perang. Tetapi setelah puluhan tahun kalian berkuasa, tahun demi tahun kalian semakin lemah dan bahkan semakin tunduk dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kami mengetahui dengan pasti bahwa kalian tidak berkeinginan untuk berjihad dan membebaskan Palestina. Bahkan sebenarnya sama sekali tidak pernah terlintas dalam fikiran kalian, kalian telah berdusta pada diri kalian dan rakyat kalian yang lalai ketika kalian mengangkat slogan tentang pembebasan.
* * *
Jika ada pertanyaan, atas siapa sajakah kewajiban ini berlaku?
Pertanyaan ini kami jawab, I'dad ini diwajibkan bagi mereka yang mendapatkan beban kewajiban berjihad.
* * *
Jika ada pertanyaan lagi, "Sebatas manakah I'dad itu harus dilakukan?"
Pertanyaan ini kami jawab, "Persiapan itu berakhir pada puncak kemampuan dan potensi yang dimiliki manusia; sebab Allah swt tidak membebani hamba-Nya melainkan sebatas kemampuan? Allah Swt.barfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al-Anfal:60)
Maka setiap person dituntut untuk melakukan I'dad sejauh kemampuannya. Sekiranya seseorang mampu melakukan I'dad dengan 100 dinar, jika ia hanya mengeluarkan 50 dinar maka dia mendapatkan dosa sebesar 50 dinar; angka itu adalah selisih antara kemampaunnya sebesar 100 dinar dengan yang dia lakukan 50 dinar. Jika seseorang mampu melakukan I'dad dengan senapan atau senjata otomatis namun hanya melakukannya dengan pistol, dia berdosa sebesar selisih perbedaan diantara senapan otomatis dengan pistol. Jika ia mampu melakukan I'dad dengan harta dan badanya namun hanya mengeluarkan harta saja tanpa melakukan I'dad dengan badannya maka dia berdosa atas kekurangannya untuk I'dad dengan badannya. Demikian seterusnya
Sayyid Qutb berkata dalam fi dzilal al-Qur'an: (III/1543) "Melakukan I'dad dengan segala daya upaya merupakan kewajiban yang mengiringi kewajiban berjihad. Nash Al-Qur’an telah memerintahkan untuk melakukan I'dad dengan berbagai macam upaya dalam semua bentuk dan cara, sebatas kemampuannya. Sehingga jangan sampai sekelompok muslim berdiam diri, tidak melakukan I'dad dengan salah satu hal yang ada dalam kemampuannya.

Urgensi I'dad
Urgensi I'dad ini selain sebagai prasyarat yang tidak mungkin ditinggalkan dalam berjihad juga berfungsi sebagai sarana menggetarkan musuh. I'dad juga mencegah kebrutalan musuh untuk menyakiti kaum muslimin. Ketika musuh mengetahui bahwa kaum muslimin memiliki kekuatan untuk membela diri, membela kerhormatanya dan membela hak-haknya maka mereka tidak akan berani menyerang kaum muslimin. Mereka akan berpikir seribu kali, akan mempertimbangkan segala resikonya sebelum bmemulai langkah permusuhan.
Sebaliknya, jika mereka yakin muslimin tidak memiliki kekuatan yang signifikan untuk membela diri mereka, kehormata dan kesuciannya, niscaya akan banyak yang berani mengganggu kaum muslimin, melecehkan harga diri dan kehormatanya kapan saja mereka mau. Mereka akan melakukan itu semua tanpa berpikir panjang akan munculnya resiko, dan itu betapa banyak fenomena ini terjadi sekarang.
Setiap warga dan negara pasti memiliki persiapan kekuatan yang memadai seperti perbatasan negara yang menjadi perlindungan bagi suatu negara dari serangan musuh, kecuali kaum muslimin. Mereka tidak diperbolehkan memiliki negara, dan tidak diperbolehkan memiliki perbatasan keamanan, bahkan tidak boleh memiliki kekuatan untuk membela diri, hak serta kehormatanya.
Saat ini setiap warga pasti punya rumah yang terjaga, terlindungi dan pintunya dapat dikunci rapat-rapat, kecuali kaum muslimin yang rumah mereka harus terbuka tanpa ada penjagaan, sehingga bila ada orang yang ingin memasukinya dan mengambil sesuatu ia akan mudah melakukannya, dan mudah juga bila ingin mengotorinya.
Semua yang diperbolehkan bagi mereka, adalah larangan bagi kaum muslimin. Segala yang benar menurut mereka adalah salah bagi kaum muslimin. Inilah keadilan versi thoghut kafir, dan seperti inilah aturan perlombaan senjata dizaman ini. Dan inilah yang mereka inginkan dari kaum muslimin.
Akan tetapi mereka tidak dapat melaksankan keinginan tersebut selama firman Allah swt berikut menghiasi akal dan hati kaum muslimin sepanjang waktu, mendorong mereka untuk selalu bangkit dan berdiri, mennyapu debu-debu kehinaan dan kerendahan serta selalu melakukan I'dad (kesiapsiagaan)
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (al-Anfal:60)
Umat Islam bisa tertidur, namun bukan mati. Umat Islam mungkin, tersandung namun akan segera bangkit untuk melanjutkan perjalanan dan memainkan perannya sebagai pionir dalam memimpin serta mengatur bangsa-bangsa di dunia. Inilah takdir Allah swt yang telah digariskan
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (ali Imran:110)
Umat Islam mungkin akan tergelincir pada fase-fase tertentu akan tetapi tidak akan berhenti. Inilah berita gembira tentang kemenangan dan kebaikan ummat Islam yang tampak di mana-mana. Fenomena yang benar-benar nyata, yang menumbuhkan harapan akan segera terbitnya fajar baru bagi ummat ini, dan juga bagi seluruh umat di dunia, Insya Allah.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا (مسلم)
“Sesungguhnya Allah mengerutkan bumi kepadaku, maka aku pun dapat melihat arah timur dan baratnya, dan kerajaan umatku akan memenuhi sejauh apa yang Allah kerutkan kepadaku itu” (HR.Muslim)
Beliau saw juga berkata:
لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلَا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ
“Sungguh perkara ini (Islam) akan mencapai wilayah yang dicapai oleh malam dan siang, hingga Allah tidak meninggalkan rumah baik orang kota maupun badui melainkan Dia memasukkan agama ini kedalamnya, dengan kemulian Dzat yang Maha Mulia dan maupun kehinaan, mulia karena Allah muliakan dengan Islam dan hina karena Allah menghinakan dengan kekafiran... (HR Ahmad)
Ini adalah perkara yang pasti akan terjadi dan akan kalian buktikan, meskipun harus menanti dalam waktu yang cukup lama.

Alhamdulillahi rabbil 'alamin

Abu Bashir, Abdul Mun'im Mushthofa Halimah
14 - 4 - 1423 H

Dinukil dari minbar tawhid dan jihad, www.tawhed.ws/r-i=743.html, atau www.altartosi.com/articles/Artcl035.html

Sabtu, 25 April 2009

(7) PENUTUP

JANGAN HALANGI ORANG-ORANG YANG MENCARI MATI SYAHID

Tidak diragukan lagi bahwa kaum muslimin pada hari ini tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah dan dikuasai musuh. Mereka tidak memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat mereka gunakan untuk memulai peperangan melawan orang-orang kafir dan mewujudkan kemenangan atas mereka. Akan tetapi mereka masih memiliki kekuatan dan persenjataan yang memungkinkan bagi sebagian mereka untuk melanjutkan jihad meskipun hanya bersifat difa'i (defensif). Hal itu sesuai dengan apa yang diterangkan dalam hadits-hadits Thoifah Manshuroh yang telah disebutkan di muka.
Dan di antara senjata yang paling ampuh yang masih dimiliki oleh kaum muslimin adalah senjata mati syahid. Sebuah senjata yang meskipun senjata itu telah kuno akan tetapi masih sangat efektif untuk menghadapi berbagai senjata penghancur modern yang dibuat oleh kekuatan jahat.
Ini adalah senjata yang tidak mungkin bagi para teknisi mereka untuk membuat penangkalnya, dan tidak mungkin bagi semua sarana syetan mereka untuk memungkiri akan dampak dan targetnya.
Sementara itu berbagai nash syar'i yang telah kami sebutkan di depan telah menyatakan atas diperbolehkannya mengorbankan nyawa dengan tujuan mencari syahid dan untuk menimbulkan suatu pukulan terhadap musuh, atau untuk mewujudkan suatu kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sedangkan orang yang melihat bahwa ini hanyalah tindakan mencampakkan diri kepada kebinasaan adalah orang-orang dangkal pemikirannya.
Adapun orang-orang yang memiliki ilmu dan pemahaman, mereka mengetahui bahwa menghancurkan diri sendiri di jalan Alloh itu adalah jalan menuju kehidupan yang hakiki, sebagaimana firman Alloh ta'ala:
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (Ali 'Imron: 169)
Alangkah bagusnya orang yang mengatakan:
تَأَخَّرْتُ أَسْتَبْقِي الْحَيَاةَ فَلَمْ أَجِدْ لِنَفْسِيْ حَيَاةً مِثْلَ أَنْ أَتَقَدَّمَا
Aku mundur supaya aku tetap hidup, namun aku tidak mendapatkan …
… kehidupan bagi diriku melebihi kehidupan yang aku dapatkan ketika aku maju …
Oleh karena itu Alloh 'azza wa jalla ketika menamakan Nabi Yahya dengan nama Yahya (artinya: hidup –penerj.), Alloh hendak memberikan kepadanya kehidupan yang sesuai dengan namanya. Maka tidak ada sesuatu yang lebih dapat menghantarkan kepada kehidupan tersebut selain mati syahid sehingga Alloh menganugerahkan kepadanya mati syahid, supaya Alloh ta'ala dapat memberikan kepadanya kehipan yang sempurna.
Dan oleh karena salaf itu mengetahui, betapa besarnya kedudukan mati syahid dalam Islam, maka mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya, sekalipun mereka termasuk orang yang Alloh berikan udzur. Al Qurthubi berkata: "Para ulama' berkata: Alloh ta'ala memberikan udzur kepada orang-orang yang memiliki udzur, akan tetapi hati mereka tidak sabar. Maka berangkatlah Ibnu Ummi Maktum mengikuti perang Uhud dan ia meminta agar diberi bendera. Kemudian bendera itu diambil oleh Mush'ab bin 'Umar. Kemudian datanglah orang kafir dan menebas tangannya yang memegang bendera hingga putus. Lalu ia memegangnya dengan tangan yang satu lagi. Kemudian orang kafir itu menebas tangan satunya lagi. Lalu ia pegang dengan dadanya, dan ia membaca ayat yang berbunyi:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rosul yang telah berlalu sebemumnya Rosul-Rosul …
Inilah kekuatan tekad mereka. Padahal Alloh ta'ala telah berfirman:
لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ
Tidaklah berdosa bagi orang yang buta (untuk tidak ikut berperang)…
Sementara ia berada di baris depan.
وَلاَ عَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ
… dan orang yang pincang juga tidak berdosa (untuk tidak ikut berperang) …
Sementara 'Amr bin Al Jamuh yang termasuk salah seorang pemuka Anshor, kakinya pincang. Dan dia berada dibarisan terdepan dalam pasukan. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
إِنَّ اللهَ قَدْ عَذَّرَكَ
Sesungguhnya Alloh telah memberikan udzur kepadamu.
Maka 'Amr bin Al Jamuh berkata:
وَاللهِ لَأحفرَنَّ بِعِرْجَتِيْ هَذِهِ فِي الْجَنَّةِ
Demi Alloh aku akan berjalan di syurga dengan kakiku yang pincang ini.
…"
Tentang keutamaan mati syahid dan orang yang mati syahid, Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: "Tatkala telah banyak orang yang mengaku cinta (kepada Alloh), mereka dituntut untuk menunjukkan bukti atas pengakuan mereka. Seandainya semua orang yang membuat pengakuan itu diterima pengakuannya, tentu para penipu akan mengaku berhak atas hasil pekerjaan orang yang malang. Lalu orang-orang yang bersaksi itu memberikan kesaksian yang bermacam-macam, maka dikatakanlah kepada mereka;Pengakuan tidak akan diterima kecuali dengan bukti (yang disebutkan dalam firman Alloh ta'ala):
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Katakanlah jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku niscaya Alloh mencintai kalian…
Kemudian semua orang yang membuat pengakuan mundur dan tinggallah para pengikut Rosul dengan tetap komitmen pada tindakan, ucapan, petunjuk dan akhlaqnya. Lalu mereka dituntut untuk memberikan bukti yang dapat dipercaya, dan dikatakan kepada mereka; Kami tidak menerima kepercayaan kecuali dengan rekomendasi (yang disebutkan dalam firman Alloh ta'ala):
يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela…
Maka mayoritas dari orang-orang yang mengaku cinta pun mundur, dan bangkitlah para mujahid. Lalu dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya jiwa dan harta orang-orang yang mencintai itu bukanlah milik mereka lagi, maka serahkanlah apa yang telah disebutkan dalam transaksi, karena …
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
… sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman, jiwa dan harta mereka dengan syurga …
Dan konsekuensi dari transaksi jual beli itu adalah serah terima dari kedua belah fihak secara kontan sesuai dengan ketetapan yang ditentukan dalam transaksi. Lalu tatkala para pedagang itu melihat betapa agungnya apa yang dibeli, harganya dan keagungan fihak yang melakukan transaksi dengannya, serta nilai kitab yang di dalamnya tertera transaksi ini (yakni Taurot, Injil dan Al Qur'an –penerj.), mereka paham bahwa nilai barang yang diperdagangkan itu memiliki harga dan kualitas yang tidak dimiliki barang dagangan yang lain. Maka mereka melihat kerugian yang nyata jika mereka jual kepada yang lain dengan harga yang murah, dengan beberapa dinar saja, yang kenikmatannya akan segera hilang, sementara yang tersisa hanya kerugiannya. Sesungguhnya orang yang melakukan transaksi semacam ini adalah tergolong orang-orang yang bodoh. Maka merekapun melakukan transaksi dengan fihak pembeli pada Bai'atur Ridlwan secara suka rela tanpa memberikan tenggang waktu untuk berfikir. Dan mereka mengatakan: Demi Alloh kami tidak akan membatalkan transaksi ini dan tidak akan meminta untuk dibatalkan. Maka tatkala transaksi telah selesai dan mereka telah menyerahkan barang dagangannya, dikatakanlah kepada mereka: Jiwa dan harta kalian telah menjadi milik Kami, dan sekarang Kami kembalikan lagi kepada kalian dengan yang lebih banyak lagi dan berlipat ganda.
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (Ali 'Imron: 169)
Kami tidak mencari untung dari jiwa dan harta kalian, akan tetapi supaya kelihatan indikasi dari kedermaan dan ketulusan dalam menerima dan memberikan sesuatu yang hina untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Maka kami jadikan kalian berada antara harga dan yang dihargai … maka maha suci Alloh atas keagungan-Nya dan kemuliaan-Nya yang dengan ilmu-Nya meliputi makhluq-Nya, di mana Alloh telah memberikan barang dagangannya sekaligus harga yang digunakan untuk membayarnya, dan memberi bimbingan untuk meneruskan transaksi sampai selesai, dan menerima barang dagangannya meskipun dalam keadaan hina (tidak berharga), lalu menggantinya dengan harga yang sangat mahal. Dan Ia membeli hamba-Nya dengan jiwa dan hartanya, dan mejadikannya diantara harga dan barang dagangan, dan Ia memujinya lantaran melaksanakan transaksi ini, padahal Dialah yang memberinya petunjuk dan berkehendak agar hamba itu melakukan transaksi tersebut."
Demi Alloh, seandainya mati syahid itu tidak menghasilkan apa-apa selain ridlo Alloh dan syurga, tentu hal itu cukup sebagai motifasi yang mendorong keinginan dan usaha untuk mendapatkannya. Namun demikian sejarah dan realita membuktikan bahwa tindakan yang berupa mengorbankan nyawa itu memiliki dampak yang besar dalam meruntuhkan mental musuh dan menyulut perasaan kalah pada jiwa mereka. Dan baru saja kita saksikan Amerika dengan segala kekuatan dan kesombongannya lari tunggang langgang dari Lebanon setelah terjadi beberapa aksi mengorbankan diri yang dilakukan oleh beberapa orang. Ketika itu negara yang paling perkasapun di dunia ini tidak mampu untuk bertahan dalam menghadapi beberapa orang yang ingin mati dalam perjuangan mereka. Dan seluruh duniapun mendengar tatkala Presiden Amerika, Reagen, mengatakan: "You can not prevent somebody from killing himself." [Engkau tidak dapat mencegah orang yang ingin membunuh dirinya sendiri].
Oleh karena itu wahai orang-orang yang bijaksana dan bersikap hati-hati: Tidak masalah kalian akan tetap dalam kebijaksanaan dan kehati-hatian kalian. Akan tetapi janganlah kalian halangi orang-orang yang hendak mencari mati syahid, yang tengah berusaha membayarkan maharnya untuk hurun 'in (bida dari yang bermata jeli). Jika kalian tidak mau membantu mereka, maka sekurang-kurangnya janganlah kalian mengendorkan dan melemahkan semangat. Namun jika tidak, kalian tidaklah termasuk orang-orang yang tulus dan baik, yang Alloh terima udzur mereka untuk duduk dan tidak berjihad melawan orang-orang kafir.
Dan akhir kata kami ucapkan, al hamdu lillahi robbil 'alamin.

(6) SIKAP YANG ADIL

Sebelumnya telah kami singgung bahwasanya ada sebagian pengikut hawa nafsu pada jaman kita ini yang ingin memanfaatkan pendapat yang mengatakan tidak mansukhnya hukum-hukum perang yang turun sebelum hukum yang terakhir, untuk menarik berbagai kesimpulan batil yang tidak diakui dalam syariat. Sementara itu sikap yang adil menuntut kita untuk memberikan beberapa peringatan bahwasanya dalam masalah ini ada orang yang mengatakan telah terjadi nasakh dan ada yang mengatakan tidak terjadi nasakh namun tanpa disertai dengan pendapat yang batil semacam ini.
1. Di antara mereka yang mengatakan tidak terjadi nasakh adalah Ustadz Sayyid Quthub rohimahulloh. Di mana beliau mengatakan: "Sesungguhnya hukum-hukum yang diturunkan secara bertahap itu tidaklah mansukh dalam arti tidak diperbolehkan beramal dengannya dalam kondisi apapun yang dihadapi umat Islam setelah turunnya hukum yang paling akhir di dalam surat At Taubah. Hal itu disebabkan karena pergerakan dan kenyataan yang berhadapan dengannya di berbagai kondisi, tempat dan waktulah yang menentukan cara berijtihad secara mutlak syariat mana yang paling sesuai untuk dilaksanakan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu dan tempat tertentu, dengan tanpa melupakan bahwasanya syariat yang terakhir turunlah yang wajib untuk direalisasikan ketika umat dalam kondisi yang memungkinkan untuk melaksanakan syariat tersebut sebagaimana ketika diturunkannya surat At Taubah." Beliau juga mengatakan, ketika mengkritisi orang yang ketika mengkaji nash-nash yang memerintahkah perang yang bersifat mempertahankan diri saja, seraya menganggap hukum perang yang semacam ini adalah hukum yang terakhir: "Sesungguhnya nash-nash yang mereka jadikan landasan tersebut adalah nash-nash yang diturunkan secara bertahap untuk suatu kondisi tertentu. Kondisi yang tertentu tersebut bisa saja terulang dalam kehidupan umat Islam saat ini yang cocok dengan nash-nash yang diturunkan secara bertahap tersebut. Karena kondisinya menyatakan bahwa pada tahapan semacam nash-nash tersebut dengan membawa hukum-hukum tersebut untuk kondisi semacam itu. Akan tetapi hal ini bukan berarti hukum-hukum tersebut menjadi akhir dari segalanya dan langkah terakhir dalam ajaran Islam ini. Akan tetapi artinya adalah umat ini harus berjalan maju untuk memperbaiki keadaan dengan menyingkirkan berbagai penghalang yang melintang di jalannya, sehingga pada akhirnya dapat melaksanakan hukum yang terakhir turun, yang disebutkan di dalam surat yang diturunkan paling akhir, pada suatu kondisi yang tidak sama dengan kondisi di mana hukum-hukum sebelumnya diturunkan."
Beliau juga mengatakan: "Apabila kaum muslimin pada hari ini dalam kondisi yang tidak memimiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut, maka mereka --- pada waktu yang sebentar dan sementara --- tidak dibebani kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut --- karena Alloh tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya ---, dan mereka diberi kebebasan untuk mengamalkan hukum-hukum yang turun secara bertahap tersebut, dan melaksanakannya secara bertahap pula sampai mereka dapat melaksanakan hukum-hukum yang turun paling akhir, ketika mereka dalam sudah dalam kondisi dapat melaksanakan hukum-hukum tersebut. Akan tetapi mereka tidak boleh memelintir nash-nash yang turun paling akhir untuk secara dipaksakan agar sesuai dengan nash-nash yang turun secara bertahap. Dan mereka juga tidak boleh mengasumsikan kelemahan mereka pada hari ini dengan agama Alloh yang kuat dan kokoh."
Dari sini kami perhatikan bahwa yang dikasud oleh Sayyid Quthub ketika mengatakan tidak terjadi nasakh adalah bahwasanya kita tidak boleh memaksakan orang-orang yang lemah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban orang-orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan. Dan bahwasanya orang yang lemah itu dibolehkan untuk mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk menahan diri, atau yang memerintahkan untuk mencukupkan diri dengan jihad yang bersifat defensive (mempertahankan diri ketika diserang) saja, sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya. Akan tetapi beliau menganggap hal ini merupakan hukum yang bersifat sementara yang harus dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah kondisinya supaya memiliki kekuatan sehingga mampu untuk melaksanakan hukum jihad yang turun paling akhir.
Seandainya orang-orang jaman sekarang yang mengatakan tidak ada nasakh itu hanya sekedar berpendapat seperti apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthub ini, maka kami tidak perlu menulis buku ini, karena jika keadaannya seperti itu, perselisihan ini hanyalah perselisihan yang sepele dan sedikit bahayanya.
Anehnya, sebagian orang yang memiliki pemahaman salah dalam perkara ini, mereka menjadikan perkataan Sayyid Quthub rohimahulloh mengenai masalah ini sebagai landasan untuk membenarkan pendapat mereka. Al Mustasyar Salim Al Bahansawi menyebutkan pendapat sejumlah orang yang mengklaim sebagai pengikut Sayyid Quthub, mereka mengatakan bahwasanya kita sekarang ini berada pada masa lemah seperti periode Mekah. Ia mengatakan: "Atas dasar ini mereka tidak mengenal amar ma'ruf dan nahi munkar, tidak setuju dengan jihad, dan mereka menganggap bahwa istri-istri mereka telah murtad dari Islam lantaran mereka rela terhadap kondisi masyarakat yang jahiliyah ini. Akan tetapi ikatan pernikahan mereka tidaklah batal karena kita tengah berada pada periode lemah yang mana pada saat seperti itu kita diperbolehkan menikahi wanita-wanita musyrik. Kemudian di antara mereka ada yang menganggap bahwa ini adalah pemikiran Sayyid Quthub." Padahal perkataan Sayyid Quthub mengenai tahapan-tahapan hukum jihad itu tidak memberikan kesimpulan yang bersifat umum yang rusak seperti ini. Padahal Sayyid Quthub sendiri dalam masalah jihad saja tidak mengatakan bahwasanya pada jaman sekarang ini tidak ada jihad. Beliau sendiri yang mulai melakukan aksi jihad itu menunjukkan bahwa beliau tidak seperti itu. Akan tetapi yang beliau maksudkan adalah sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yakni seorang muslim itu tidak dibebani kewajiban yang ia tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
2- Di antara orang yang mengikuti Ustadz Sayyid Quthub dalam masalah ini adalah Dr. 'Abdulloh bin Ahmad Al Qodiri, di dalam bukunya yang berjudul Al Jihad Fi Sabilillah. Di sana ia lebih cenderung kepada pendapat tidak terjadinya nasakh. Akan tetapi pendapat itu tidak menjerumuskannya kepada pemikiran-pemikiran batil yang dianut oleh orang-orang yang berpandangan bahwa jihad itu hanya bersifat defensive, dan orang-orang yang semacam mereka. Akan tetapi beliau di dalam buku tersebut menerangkan tentang hakekat jihad yang sebenarnya dan beliau juga membantah banyak syubhat yang melenceng darinya.
Akan tetapi di dalam buku tersebut menurut kami beliau telah melakukan kesalahan yang harus kami ingatkan, yaitu di sana beliau mengatakan bahwa Ath Thobari, Al Qurthubi dan Ibnu Katsir berpendapat tidak terjadi nasakh. Di dalam buku tersebut beliau mengatakan: "Akan tetapi para muhaqqiq (peneliti) menguatkan pendapat yang mengatakan tidak terjadinya nasakh pada tahapan-tahapan hukum jihad. Dan inilah pendapat yang dhohir." Kemudian di catatan kaki beliau menunjuk kepada Tafsir Ath Thobari X/34, Tafsir Al Qurthubi Al Jami' Li Ahkamil Qur-an VIII/39, XX/37 dan Tafsir Al Qur-anul 'Adhim karangan Ibnu Katsir II/322.
Apa yang dikatakan oleh Dr. Al Qodiri ini tidaklah benar. Karena Ath Thobari, Al Qurthubi Maupun Ibnu Katsir tidak mengatakan tidak terjadi nasakh pada tahapan-tahapan hukum jihad. Sebelumnya telah kami sebutkan di depan perkataan mereka yang menyatakan terjadinya nasakh. Sedangkan pada halaman yang ditunjukkan oleh Dr. Al Qodiri dalam buku-buku tafsir mereka tidak ada perkataan mereka yang menunjukkan bahwa mereka mengatakan tidak terjadi nasakh dalam tahapan-tahapan hukum jihad, bahkan justru sebagiannya menegaskan telah terjadi nasakh.
Berikut ini adalah perkataan mereka yang terpadat pada halaman-halaman yang Dr. Al Qodiri tunjukkan dalam buku-buku tafsir mereka:
1- Halaman yang beliau tunjukkan dalam Tafsir Ath Thobari adalah tafsiran dari firman Alloh ta'ala:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Ath Thobari berkata, setelah beliau menyebutkan perkataan orang-orang yang menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh: "Adapun apa yang dikatakan oleh Qotadah dan orang-orang yang sependapat dengannya bahwa ayat ini telah mansukh, ini adalah pendapat yang tidak ada landasannya baik dari Al Qur'an, Sunnah, fithoh dan akal … sedangkan firman Alloh ta'ala dalam surat At Taubah yang berbunyi:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
… maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kalian jumpai mereka… (At Taubah: 5)
… hukum jihad yang terkandung dalam ayat ini tidaklah menafikan hukum jihad yang terdapat di dalam ayat yang berbunyi:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Karena firman-Nya yang berbunyi:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ
Dan jika mereka condong kepada perdamaian…
… yang dimaksud adalah Bani Quroidloh yang mana mereka itu adalah kaum Yahudi dari Ahlul Kitab, sedangkan Alloh ta'ala telah memberi ijin kepada orang-orang beriman untuk berdamai dengan Ahlul Kitab dan tidak memerangi mereka dan sebagai gantinya adalah memungut jizyah dari mereka. Adapun firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
…maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kalian jumpai mereka…(At Taubah: 5)
… yang dimaksud adalah kaum musyrikin Arab, yakni para penyembah berhala yang tidak diperbolehkan menerima jizyah dari mereka. Dengan demikian hukum jihad yang terdapat dalam ayat ini tidak menafikan hukum jihad yang terdapat pada ayat sebelumnya, akan tetapi ayat tersebut masing-masing muhkam (paten) pada hukum yang terkandung di dalamnya."
Dengan demikian, apa yang beliau bicarakan itu bukan masalah nasakh tahapan-tahapan hukum jihad. Akan tetapi khusus membahas tentang persoalan berdamai dengan orang-orang kafir. Artinya, orang-orang kafir itu --- yang mana perintah untuk menahan diri dari mereka yang kemudian diwajibkan untuk memerangi mereka sejak awal --- apakah diperbolehkan menjalin perjanjian damai dengan mereka sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Atau tidak? Karena jika kita katakan boleh, maka berarti ayat ini muhkam, dan jika kita katakan tidak maka ayat tersebut berarti telah mansukh. Sedangkan Ath Thobari mengatakatan bahwa ayat tersebut tidak mansukh. Lalu apa kaitannya dengan pendapat yang menyatakan mansukhnya hukum jihad yang pada awalnya diharamkan atau hanya wajib dilakukan terhadap orang yang menyerang kita?
2- Adapun penafsiran Al Qurthubi, Dr. Al Qodiri menunjuk kepada dua halaman di dalam buku tafsirnya.
Halaman pertama: Juga dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Di sana Al Qurthubi mengatakan: "Ayat ini diperselisihkan, apakah mansukh ataukah tidak? Qotadah dan 'Ikrimah mengatakan: Ayat tersebut telah mansukh dengan ayat:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
… maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kalian jumpai mereka… (At Taubah: 5)
… dan dengan ayat:
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً
… dan perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan…
Keduannya mengatan: "Surat Al Baroah (At Taubah) telah menasakh semua perdamaian dengan (orang-orang kafir) sampai mereka mengatakan: laa ilaaha illalloh. Menurut Ibnu 'Abbas yang menasakh ayat tersebut adalah ayat:
فَلاَ تَهِنُوْا وَتَدْعُوْا إِلَى السَّلْمِ
Janganlah kalian melemah dan mengajak berdamai…
Ada juga yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak mansukh akan tetapi yang dimaksud adalah diterimanya jizyah dari Ahlul Kitab." Kemudian Al Qurthubi rohimahulloh menerangkan beberapa dalil yang memperkuat pendapat tidak terjadinya nasakh.
Dengan demikian pembicaraan beliau sama dengan sebelumnya, yaitu berkenaan dengan perdamaian, dan pembahasan masalah ini telah berlalu.
Adapun halaman yang kedua adalah khusus mengenai firman Alloh ta'ala:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرْ ،لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ
Berilah peringatan karena sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukan pemaksa atas mereka. (Al Ghosyiyah: 21-22)
Perkataan Al Qurthubi dalam masalah ini sangatlah jauh dari apa yang dikatakan oleh Dr. Al Qodiri. Karena pada halaman tersebut Al Qurthubi mengatakan: "… فَذَكِّرْ [berilah peringatan] maksudnya adalah berilah nasehat dan takut-takutilah mereka …إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرْ [sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan] maksudnya adalah pemberi nasehat … لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ [engkau bukan pemaksa atas mereka] maksudnya adalah bukan berkuasa atas mereka sehingga engkau bunuh mereka. Kemudian ayat ini mansukh dengan ayatus saif." Kemudian Al Qurthubi rohimahulloh berkata: "… إِلاَّ مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ [kecuali orang yang berpaling dan kafir] merupakan pengecualian yang terpisah sehingga maksudnya adalah akan tetapi barangsiapa yang berpaling dari nasehat dan peringatan فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ اْلأَكْبَرَ [Alloh akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat besar]… dengan demikian ayat tersebut tidaklah mansukh."
Itu semua artinya adalah bahwa Al Qurthubi rohimahulloh telah menetapkan adanya nasakh apabila pengecualiannya terpisah. Karena dengan begitu ayat tersebut artinya adalah bahwa sesungguhnya engkau wahai Muhammad, tidak memiliki kewajiban kecuali memberi peringatan. Adapun menyiksa orang yang berpaling dan kafir itu adalah diserahkan kepada Alloh dan bukan tanggungjawabmu. Beliau mengatakan dengan begitu, ayat tersebut harus mansukh karena dalam syariat jihad dinyatakan bahwasanya tugas Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekedar memberi peringatan, akan tetapi juga berjihad. Adapun jika dikatakan bahwa pengecualiannya bersambung, maka kita tidak perlu untuk mengatakan bahwa ayat tersebut mansukh, karena sebenarnya ayat tersebut juga mengandung makna jihad dan perang. Karena dengan begitu ayat tersebut memiliki arti: Engkau tidak berkuasa kecuali kepada orang yang berpaling dan kafir, terhadap orang yang seperti itu engkau berkuasa atas mereka dengan jihad. Dengan pengertian yang seperti ini maka ayat tersebut tidaklah mansukh karena ayat itu sendiri mensyariatkan jihad terhadap orang yang berpaling dan kafir.
Lalu mana perkataan Al Qurthubi yang menyatakan bahwa tidak ada nasakh dalam tahapan-tahapan hukum jihad?
3- Adapun halaman yang beliau tunjukkan dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah penafsiran beliau terhadap firman Alloh ta'ala:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Di sana Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan: "Ibnu 'Abbas, Mujahid, Zaid bin Aslam, 'Atho' Al Khurosani, 'Ikrimah, Al Hasan dan Al Qotadah mengatakan: Sesungguhnya ayat ini mansukh dengan ayatus saif yang terdapat di dalam surat At Taubah:
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir.
Pendapat ini juga masih harus dikaji ulang. Karena ayat yang terdapat di dalam surat At Taubah itu memerintahkan memerangi mereka jika hal itu memungkinkan. Adapun apabila musuh itu banyak jumlahnya maka diperbolehkan untuk berdamai dengan mereka, sebagaimana yang diterangkan ayat yang mulia ini. Dan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam pada peristiwa Al Hudaibiyah, sehingga keduanya tidak saling bertentangan, tidak saling menasakh dan tidak saling mentakhshish. Wallohu a'lam."
Dengan demikian beliau di sini berbicara tentang tidak mansukhnya firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
وَإِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya… (Al Anfal: 61)
Dan sebelumnya telah kita katakan bahwasanya menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh tidak berarti mengatakan tidak ada nasakh dalam tahapan-tahapan hukum jihad. Akan tetapi ini adalah sama dengan para ulama' yang mengatakan: Sesungguhnya larangan perang pada bulan-bulan haram ini bersifat muhkam (paten) dan tidaklah mansukh. Wallohu a'lam.

3- Di antara orang yang mengatakan mansukhnya tahapan-tahapan hukum jihad adalah Dr. 'Ali bin Nafi' Al 'Ulyani di dalam bukunya Ahammiyatul Jihad Fi Nasyrid Da'wah. Di sana beliau membantah berbagai syubhat yang dilontarkan orang-orang yang berpandangan bahwa jihad di dalam Islam itu hanya disyariatkan untuk mempertahankan diri saja. Selain itu buku tersebut mengandung berbagai kajian yang bagus. Cuma, dalam buku tersebut beliau berusaha mengkompromikan antara perkataan Az Zarkasyi dengan perkataan salaf dan para ulama' setelah mereka, dengan cara mengembalikan perselisihan itu hanya pada istilah saja. Beliau mengatakan: "Sebenarnya Az Zarkasyi rohimahulloh itu benar ketika mengatakan bahwa tahapan-tahapan hukum jihad itu dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang serupa dengannya, namun salah ketika melemahkan pendapat salaf yang mengatakan bahwa tahapan-tahapan tersebut mansukh. Karena yang dimaksud mansukh oleh salaf itu tidaklah sama dengan mansukh yang dia maksudkan. Yaitu terhapusnya hukum sehingga tidak diperbolehkan lagi melaksanakan hukum yang telah mansukh tersebut selamanya. Akan tetapi yang dimaksud mansukh oleh salaf adalah lebih luas daripada sekedar dihapusnya hukum, karena sesungguhnya nasakh menurut salaf itu adalah mencakup at taqyid, al bayan, at takh-shish dan lain-lain. Maka seharusnya Az Zarkasyi tidak menilai salaf itu dengan menggunakan istilah yang digunakan oleh muta-akhirin (ulama' generasi belakangan). Ini adalah kelalaian beliau rohimahulloh tentang arti nasakh yang dimaksud oleh salaf." Sampai beliau mengatakan: "Sebenarnya, perselisihan yang terjadi antara Az Zarkasyi dengan para ulama' salaf itu adalah pada apa yang dimaksud dengan nasakh itu sendiri, bukan pada pengamalan tahapan-tahapan hukum jihad. Karena para ulama' salaf dulu tidak membebankan kewajiban perang kepada kaum muslimin yang lemah yang kondisinya sama dengan kondisi Rosul ketika di Mekah. Akan tetapi kewajiban mereka yang dalam keadaan seperti ini adalah bersungguh-sungguh agar sampai kepada kondisi yang kuat di mana mereka dapat berjihad melawan orang-orang kafir."
Saya katakan:
1- Tidak diragukan lagi bahwasanya salaf tidak mewajibkan kepada orang yang lemah untuk berperang, akan tetapi Az Zarkasyi tidak hanya mengatakan tidak wajib berperang, akan tetapi ia juga melarang berperang karena ia mengharuskan orang yang seperti ini kondisinya untuk bersabar dan menahan diri untuk tidak berperang.
Di antara yang menunjukkan bahwa perselisihan yang terjadi itu bukan hanya sekedar dalam istilah semata adalah hendaknya kita ingat bahwa perselisihan itu membuahkan perselisihan dalam menghukumi orang yang berperang ketika dalam kondisi lemah. Sesungguhnya pendapat Az Zarkasyi itu berarti menganggap orang seperti ini berdosa karena dia mewajibkan untuk menahan tangan dan tidak berperang. Lalu apakah salaf mengatakan seperti ini? Apakah ada salah seorang di antara salaf yang menganggap Al Husain rodliyallohu 'anhu itu berdosa. Akan tetapi justeru beliau adalah pemuka para pemuda di syurga. Dan beliau adalah orang yang berada pada fihak yang benar, yang berperang karena marah untuk kepentingan Islam, lantaran kedholiman yang dilakukan oleh para penguasa, dan lantaran mereka tidak mengamalkan Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh di dalam Fat-hul Bari.
2- Kemudian ada riwayat dari beberapa ulama' salaf yang menyebutkan bahwasanya apa yang mereka maksudkan --- khusus dalam masalah ini --- dengan nasakh itu adalah penghapusan suatu hukum. Yaitu yang diriwayatkan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata: "Berkata Musa bin 'Uqbah, ia dari Az Zuhri: Dahulu sikap Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam terhadap musuhnya sebelum turun surat At Taubah, beliau memerangi orang yang memerangi beliau (saja), dan beliau menahan tangan (tidak memerangi) orang yang berdamai dengan beliau dan menahan tangannya (tidak memerangi). Alloh ta'ala berfirman:
فَإِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَأَلْقُوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
… jika mereka menyingkir dari kalian, mereka tidak memerangi kalian dan menyampaikan perdamaian kepada kalian maka Alloh tidak memberikan ijin kepada kalian untuk memerangi mereka.
… dan Al Qur'an itu sebagiannya menasakh sebagian yang lain. Maka apabila turun sebuah ayat yang menasakh ayat yang sebelumnya, beliau beramal berdasarkan ayat yang turun tersebut, sementara ayat yang turun pertama telah sampai pada akhir pengamalan, yang mana sebelumnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melaksanakan ayat tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh sampai turun surat At Taubah."
Perkataan beliau yang berbunyi [… sementara ayat yang turun pertama telah sampai kepada akhir pengamalan …] menunjukkan bahwa yang beliau maksud dengan nasakh di sini adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh para ulama' muta-akhirin (generasi belakangan), yaitu penghapusan hukum yang sebelumnya dan mulai beramal dengan hukum yang datang berikutnya.
3- Kemudian perselisihan ini bukan hanya terjadi antara Az Zarkasyi dengan para ulama' salaf, karena para ulama' muta-akhirin juga mengatakan terjadinya nasakh pada permasalahan ini, sementara nasakh yang mereka maksud adalah penghapusan hukum yang datang sebelumnya berdasarkan dalil yang datang berikutnya. Atas dasar ini, kalaupun kita dapat mengkompromikan antara perkataan salaf dengan perkataan Az Zarkasyi, kita tetap tidak dapat mengkompromikan antara perkataan Az Zarkasyi dengan perkataan para ulama' muta-akhirin yang mengatakan terjadinya nasakh pada persoalan ini, sedangkan yang mereka maksud dengan nasakh adalah dihapusnya dan tidak berlakunya lagi hukum yang turun sebelumnya.
4- Membedakan antara nasakh dengan tidak berlakunya hukum lantaran 'illahnya hilang, dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sama, ini merupakan ketetapan para ulama'. Imam Asy Syafi'i pun membedakan keduanya, ketika beliau berbicara tentang hukum menimbun daging qurban. Beliau mengatakan: "Maka setelah itu, rukhshoh untuk menyimpan atau memakan atau menyedekahkan daging qurban setelah tiga hari itu hanyalah diberikan untuk salah satu dari dua keadaan yang berbeda. Apabila orang-orang miskin datang meminta bagian daging qurban maka dilarang untuk menahan daging qurban lebih dari tiga hari, namun apabila tidak ada orang miskin yang datang memintanya maka diberi rukhshoh untuk memakan, menjadikannya sebagai bekal, menimbun dan menyedekahkannya. Mungkin juga larangan menahan daging qurban lebih dari tiga hari itu telah mansukh pada kondisi apapun, sehingga jika mau, seseorang boleh menahan daging qurbannya semaunya dan jika mau ia boleh menyedekahkannya."
Dan para pensyarah hadits menyebutkan perkataan para ulama' salaf dan ulama' setelah mereka mengenai persoalan daging qurban ini. Lalu para pensyarah hadits tersebut menyatakan bahwasanya diantara para ulama' tersebut ada yang mengatakan bahwa larangan tersebut telah mansukh dan di antara mereka ada yang mengatakan ini adalah larangan yang muncul lantaran suatu 'illah, yang mana larangan tersebut telah hilang lantaran 'illahnya telah hilang dan larangan itu bisa kembali lagi ketika 'illahnya muncul kembali. Sementara itu para pensyarah hadits itu tidak menjadikan dua pendapat yang berbeda ini sebagai satu pendapat yang sama.
Demikian pula Al Qurthubi, ia di dalam tafsirnya membedakan antara dihapusnya suatu hukum karena mansukh dengan dihapusnya hukum lantaran 'illahnya hilang. Beliau mengatakan: "Ketahuilah bahwasanya hukum yang dihapus lantaran mansukh itu hukumnya tidak akan berlaku lagi selama-lamanya. Sedangkan hukum yang dihapus lantaran 'illahnya hilang, ia bisa berlaku kembali dengan kembalinya 'illahnya. Maka seandainya ada sekelompok orang yang sedang membutuhkan (miskin) datang ke suatu daerah pada waktu qurban, sementara penduduk daerah tersebut tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan mereka selain daging qurban, maka janganlah penduduk negeri tersebut menyimpan daging qurban tersebut melebihi tiga hari, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam."
Dengan demikian nasakh itu tidak sama dengan dihapusnya hukum lantaran 'illahnya telah hilang, baik menurut salaf maupun menurut mutaakhirin. Dan yang benar adalah bahwasanya ayat-ayat yang memerintahkan untuk berlapang dada dan memberikan maaf itu telah mansukh. Dan bahwasanya diwajibkannya jihad itu adalah hukum yang terakhir yang akan terus berlaku sampai akhir zaman. Akan tetapi kewajiban itu tergantung dengan adanya kemampuan. Maka barang siapa tidak memiliki kemampuan gugurlah kewajibannya untuk berjihad, akan tetapi ia harus berusaha untuk mewujudkannya sampai ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah jihad.
Demikian. Wallohu ta'ala a'lam bish showab, wallohul hadi ila sawa-is sabil.

Jumat, 24 April 2009

(5)BEBERAPA CATATAN UNTUK PERKATAAN AZ ZARKASYI

Oleh karena perkataan Az Zarkasyi ini adalah dasar yang digunakan oleh orang-orang setelahnya, termasuk As Suyuthi, maka di sini saya ingin memberikan beberapa peringatan dan catatan penting yang berkaitan dengan apa yang ia katakan dalam masalah ini dan metode dia dalam menarik kesimpulan seperti itu. Catatan-catatan itu adalah sebagai berikut:

Pertama: Perbedaan Antara Al 'Illah dengan Hikmatun Nasakh.

Az Zarkasyi menjelaskan bahwasanya definisi an nasa' itu adalah suatu perintah yang muncul lantaran suatu sebab kemudian apabila sebabnya hilang, datanglah perintah yang lain lagi. Dan ia mengisyaratkan bahwa perubahan hukum dalam kasus seperti ini tidak termasuk katagori nasakh, akan tetapi ini termasuk kategori hilangnya hukum lantaran 'illah (sebab) nya hilang.
Yang perlu diperhatikan adalah sesungguhnya berbeda antara 'illatul hukmi dengan hikmatun nasakh atau sababut tadarruj (hal yang menyebabkan suatu hukum itu diturunkan secara bertahap).
Karena 'illah itu adalah suatu kondisi yang dhohir (nyata) dan mundlobith (ada patokannya) yang dijadikan landasan hukum, dan ia menjadi patokan ada atau tidaknya suatu hukum. Sementara hikmatun nasakh dan tadarruj adalah suatu hikmah dan suatu sebab yang lantarannya disyariatkan sesuatu dalam waktu tertentu. Karena tidak ada satu hukumpun yang mansukh kecuali di sana ada sebab yang menjadi alasan kenapa dahulu disyariatkan. Kemudian tatkala sebab tersebut hilang hukum tersebut menjadi mansukh. Karena sesungguhnya Alloh tidak mensyariatkan sesuatu secara main-main, akan tetapi semua perintah itu ada hikmahnya yang terkadang kita mengetahuinya dan terkadang kita tidak mengetahuinya.
Demikian pula ditangguhkannya turunnya beberapa hukum, pasti di balik itu ada berbagai sebab dan hikmah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ia berbicara tentang perselisihan salaf mengenai apa yang dimaksud dengan an nasa' yang terdapat di dalam ayat Al Qur'an tersebut. Setelah itu beliau berkata: "Yang benar adalah yang mengatakan bahwa tafsir dari
أَوْ نُنْسِأهَا
… atau Kami akhirkan ..
… artinya adalah atau Kami akhirkan dan Kami simpan di sisi Kami sehingga Kami tidak menurunkannya. Dengan demikian ayat tersebut artinya adalah: Sesungguhnya ayat-ayat yang telah Kami turunkan yang Kami nasakh atau ayat-ayat yang belum Kami turunkan yang Kami akhirkan penurunannya,
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
… niscaya Kami akan mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang semisal dengannya.
Dengan demikian, sebagaimana Alloh menggantikan hukum mereka yang dihapus, Alloh juga menggantikan hukum mereka yang masih dalam penantian yang belum diturunkan sampai hukum itu diturunkan. Karena tuntutan hikmah, maka hukumnyapun diakhirkan lalu Alloh menggantikannya dengan hukum yang serupa dengannya atau yang lebih baik darinya untuk waktu itu sampai datang masanya untuk diturunkan, lalu Allohpun menurunkannya juga selain apa yang sebelumnya telah diturunkan."
Dengan demikian, di sana pasti ada berbagai hikmah yang besar yang menuntut untuk disyariatkannya beberapa hukum dan kemudian mansukh, atau diakhirkan waktu turunnya sampai tiba waktu turunnya yang tepat.
Akan tetapi adanya hikmah semacam ini tidak berarti kita harus mengatakan bahwa kita harus kembali kepada hukum-hukum yang turun sebelumnya tatkala sudah ada hukum yang baru sebagaimana yang kita lakukan dengan 'illah.
Mungkin akan lebih baik di sini saya memberikan beberapa contoh untuk menerangkan perbedaan antara 'illah dengan hikmatun nasakh.
Contoh 'illah: Larangan membunuh wanita sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tatkala beliau melihat seorang wanita yang terbunuh:
مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُقَاتِلَ
… tidak sepantasnya wanita ini untuk berperang.
… sementara yang menjadi pemimpin pasukan adalah Kholid bin Al Walid. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang dan bersabda:
قُلْ لِخَالِدٍ :لاَ يَقْتُلَنَّ امْرَأَةًً وَلاَ عَسِيْفاً
Katakan kepada Kholid, Jangan sekali-kali membunuh wanita dan buruh.
Selain itu ada juga hadits shohih yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam membunuh seorang wanita dari Bani Quroidloh lantaran wanita itu membunuh seseorang dari kaum muslimin.
Namun demikian, kedua hadits tersebut tidaklah saling menasakh, karena larangan membunuh wanita yang disebutkan dalam hadits di atas muncul karena sebuah 'illah, yaitu karena wanita tersebut tidak termasuk ahlul qital (orang yang layak perang). Oleh karena itu terjadilah ijma' atas diperbolehkannya memerangi dan membunuh wanita jika ia ikut berperang baik secara hakiki maupun secara hukum. Inilah contoh suatu hukum yang memiliki suatu 'illah yang kemudian hukum itu tidak berlaku ketika 'illahnya hilang. Contoh yang lain adalah yang disebutkan oleh Az Zarkasyi, yakni larangan menimbun daging qurban, meski masalah ini masih diperselisihkan, sebagaimana yang akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Alloh.
Adapun contoh hikmatun nasakh adalah: Bertahapnya pengharaman khomer. Kita ketahui bahwasanya pada awalnya khomer itu tidak diharamkan, kemudian diharamkan hanya pada waktu sholat saja, kemudian diharamkan secara total. Dan hukum yang terakhir ini menasakh hukum-hukum yang sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa tidak diharamkannya khomer pada saat pertama kali itu ada sebabnya, yang diantaranya diterangkan oleh 'Aisyah rodliyallohu 'anha:
... إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلُ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُوْرَةٌ مِنَ الْمُفَصَّلِ فِيْهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى اْلإِسْلاَمِ نَزَلَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلُ شَيْءٍ لاَ تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوْا لاَ نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَداً ،وَلَوْ نَزَلَ لاَ تَزْنُوْا لَقَالُوْا لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَداً ...
… sesungguhnya yang awal-awal diturunkan adalah surat mufashol, yang di dalamnya disebutkan tentang syurga dan neraka. Lalu tatkala manusia pada memeluk Islam diturunkanlah hukum halal dan haram. Seandainya pada awal-awal sudah diturunkan; Janganlah kalian minum khomer, tentu mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkan khomer selamanya, dan seandainya ketika itu diturunkan; Janganlah berzina, tentu mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.
Di sini 'Aisyah rodliyallohu 'anha menjelaskan sebab diakhirkannya penurunan hukum, yang diantaranya adalah diharamkannya khomer. Sebabnya adalah karena pada awal Islam manusia belum siap untuk menerima hukum tersebut, dan hal itu merupakan hikmah ilahiyah yang menuntut diakhirkannya penurunan hukum sampai jiwa mereka mantap terhadap tauhid dan mengerti syurga dan neraka. Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan: "Maka tatkala jiwa mereka telah mantap di atas itu, barulah turun hukum-hukum. Oleh karena itu 'Aisyah mengatakan: [… dan seandainya pada awal kali sudah diturunkan; janganlah kalian minum khomer tentu mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkannya.] Hal itu karena tabiat jiwa manusia itu adalah tidak mau meninggalkan sesuatu yang sudah biasa dilakukan."
Akan tetapi, sebab diakhirkannya penurunan hukum yang disebutkan oleh Ummul Mukminin tersebut, tidak dapat dijadikan alasan kembalinya hukum kepada hukum awal jika sebab tersebut kembali. Oleh karena itu, apabila pada hari ini adalah orang Barat, yang pada masa jahiliyahnya terbiasa dengan minum khomer, masuk Islam, yang mana kebiasaannya minum khomer itu sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah dalam minum khomer, atau lebih dari itu, tidak diperbolehkan hukum khomer diberlakukan kepadanya secara bertahap seperti dahulu. Akan tetapi sejak pertama kali ia masuk Islam ia dituntut untuk melaksanakan apa yang terakhir kali menjadi perintah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. Meskipun pada orang tersebut terdapat sebab yang sama dengan sebab yang karenanya khomer diharamkan secara bertahap.
Contoh lain dari hikmatun nasakh adalah: Larangan berziarah kubur yang kemudian setelah itu diperbolehkan. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا ...
Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, namun sekarang berziarahlah kalian …
Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang berziarah kubur lantaran suatu sebab. Lalu tatkala penyebabnya hilang, disyariatkanlah berziarah kubur. Dalam hal ini Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: "Dahulu pada awal Islam berziarah kubur dilarang, untuk menjaga kemurnian tauhid, dan untuk memutus ketergantungan dengan orang mati, serta untuk menutup celah kesyirikan yang pangkalnya adalah pengagungan dan penyembahan terhadap kuburan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu 'Abbas. Kemudian tatkala tauhid telah menancap di dalam hati mereka dan kesyirikan telah sirna, serta Islam telah kokoh, maka diijinkanlah berziarah kubur dengan tujuan untuk menambah iman dan mengingatkan manusia kepada alam baka yang dipersiapkan untuknya. Dengan demikian, larangan berziarah kubur ketika itu adalah untuk sebuah kemaslahatan dan diijinkannya berziarah itu juga untuk suatu kemaslahatan."
Akan tetapi perlu diketahui bahwa apa yang diterangkan oleh Ibnul Qoyyim di sini bukanlah bertujuan untuk menunjukkan 'illah nya yang akan menjadi landasan berlaku atau tidaknya suatu hukum. Namun yang beliau katakan di sini adalah bertujuan untuk menjelaskan hikmah yang menjadi alasan terjadinya nasakh pada hukum tersebut. Oleh karena itu apabila ada sekelompok orang masuk Islam, yang mana sebelumnya mereka telah terbiasa mengkultuskan kuburan, kita tidak diperbolehkan mengharamkan mereka berziarah kubur lantaran kita melihat banyaknya orang bodoh yang mengagungkan kuburan, dan memohon dicukupi kebutuhan mereka dan dihindarkan dari kesusahan.
Kita juga telah tahu bahwasanya dakwah Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rohimahulloh dibangun di atas pemurnian aqidah dan menyingkirkan berbagai fenomena kesyirikan. Di antara yang paling diperangi dalam dakwah beliau adalah syirik kuburan yang ketika itu tengah merajalela di bumi Jazirah Arab. Namun demikian kita tidak pernah mendengar beliau atau murid beliau mengharamkan ziarah kubur, padahal sesuatu yang menyebabkan ziarah kubur dilarang pada awal Islam, pada waktu itu ada.
Jika seperti ini keadaannya, lalu apakah lemahnya kaum muslimin itu merupakan sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekah. Apakah sebab ini termasuk katagori 'illah yang mana disyariatkan jihad atau tidaknya itu tergantung dengannya? Ataukah ini termasuk katagori hikmatun nasakh dan tahapan dalam menurunkan hukum?
Sesungguhnya yang benar adalah --- wallohu a'lam --- ini adalah termasuk katagori hikmatun nasakh dan bukan 'illah. Karena 'illah dari syariat jihad itu adalah untuk meninggikan kalimatulloh. Sementara itu nash-nash syar'i menunjukkan bahwa yang menjadi 'illah diperanginya orang kafir itu adalah kekafiran mereka. Sebagaimana firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
Apabila bulan-bulan Haram itu telah berlalu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka… (At Taubah: 5)
Dan Alloh ta'ala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ
Dan perangilah mereka, sampai tidak ada lagi fitnah (kekafiran, kemusyrikan) dan supaya agama itu semata-mata untuk Alloh. (Al Anfal: 39)
Dan Alloh ta'ala berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Alloh dan Rosul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Alloh), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan hina. (At Taubah: 39)
Nash-nash tersebut dan juga yang lainnya, menerangkan bahwasanya orang-orang kafir itu diperangi lantaran kekafiran mereka, berbagai ayat dan hadits menyebutkan bahwasanya mereka itu diperangi lantaran mereka adalah orang-orang kafir. Al Qurofi rohimahulloh mengatakan: "Secara dhohir nash-nash menyebutkan bahwasanya adanya peperangan itu adalah lantaran adanya kekafiran dan kesyirikan … dan adanya sesuatu yang mengakibatkan munculnya suatu hukum itu menunjukkan bahwa sesuatu tersebut merupakan 'illah dari hukum tersebut, sedangkan yang lain darinya bukanlah 'illah dari hukum tersebut."
Dengan demikian, 'illah yang menjadi landasan ada atau tidaknya kewajiban jihad bukanlah lemah atau kuatnya kaum muslimin, yang mana atas dasar itu dapat kita katakan kita wajib menahan diri dan memaafkan tatkala kita lemah. Akan tetapi 'illah kewajiban jihad adalah adanya kekafiran dan adanya sebagian agama itu diberikan kepada selain Alloh. Ketika itulah perang itu wajib dilakukan sampai tidak ada lagi fitnah (kekafiran dan kemusyrikan) dan semua agama itu hanya milik Alloh.
Namun demikian, terkadang ada suatu 'illah disyariatkannya hukum tertentu, kemudian syariat tersebut tetap berlaku meskipun 'illahnya telah hilang. Contohnya adalah disyariatkannya jalan cepat pada tiga putaran pertama pada waktu thowaf. Sesungguhnya dahulu sebab disyariatkannya hal itu adalah untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin tatkala orang-orang musyrik pada waktu 'umrotul qodlo' mengatakan tentang kaum muslimin:
إِنَّهُ يَقْدِمُ عَلَيْكُمْ غَداً قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمُ الْحُمَى وَلَقَوْا مِنْهَا شِدَّةً
Sesungguhnya besok akan datang kepada kalian sekelompok orang yang lemah dan susah lantaran sakit panas.
Lalu mereka duduk di samping hijir, dan Nabi memerintahkan mereka untuk jalan cepat tiga kali putaran antara dua rukun supaya orang-orang musyrik melihat kegagahan mereka.
Namun demikian, dengan berlalunya kondisi yang menyebabkan disyariatkannya jalan cepat, syariat ini tetap menjadi sunnah yang diabadikan, sampai-sampai 'Umar rodliyallohu 'anhu mengatakan:
مَا لَنَا وَلِلرَّمْلِ ؟ إِنَّمَا كُنَّا رَاءَيْنَا بِهِ الْمُشْرِكِيْنَ وَقَدْ أَهْلَكَهُمُ اللهُ
Kenapa kita berjalan cepat? Sesungguhnya kita dahulu memperlihatkan jalan cepat itu kepada orang-orang musyrik sedangkan sekarang Alloh telah membinasakan mereka.
Kemudian ia mengatakan:
شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَلاَ نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ
Ini adalah amalan yang dikerjakan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, maka kami tidak suka untuk meninggalkannya.
Imam Al Khothobi mengatakan: "Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah mensunnahkan sesuatu lantaran suatu kondisi yang kemudian kondisi tersebut telah hilang namun sesuatu tersebut tetap disunnahkan."
Hal itu alasannya adalah karena bertahapnya dalam menurunkan hukum, atau dalam mensyariatkan beberapa hukum lantaran adanya suatu sebab, itu terkait dengan 'ash-rut tasyri' (periode penetapan syariat). Adapun mengamalkan semua hukum tersebut, hukum asalnya adalah sesungguhnya kita ini dituntut untuk melaksanakan ajaran Islam yang ada tatkala Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam wafat, meskipun kita mengetahui bahwasanya disyariatkannya suatu hukum tersebut lantaran suatu sebab yang kini telah tidak ada. Namun dari kaidah 'illah yang diterangkan oleh para pakar ushul fikih dapat kita pahami bahwasanya di sana ada suatu 'illah tertentu yang terdapat pada pensyariatan hukum tertentu. Dalam kasus seperti ini ada tidaknya hukum itu tergantung dengan ada tidaknya 'illah.
Syaikh Muhammad Abu Zahroh rohimahulloh mengatakan, setelah beliau menyebutkan beberapa contoh hukum yang diturunkan secara bertahap: "Dari sini dapat kita pahami bagaimana bertahapnya hukum itu ditetapkan secara bertahap, yang mana hal itu mengharuskan untuk menerima hukum-hukum yang berjalan kemudian setelah itu mengharamkannya, dan juga beberapa hukum yang ditetapkan untuk menjadi solusi bagi suatu keadaan yang bersifat sementara, kemudian setelah itu mansukh, sampai akhirnya syariat itu turun secara sempurna dan akan tetap muhkam (tidak dapat diganggugugat) sampai hari qiyamat. Dan syariat itu telah sempurna dengan turunnya firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridloi Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al Maidah: 3)

Kedua: Perbedaan Antara Persoalan Jihad dan Persoalan Daging Qurban.

Az Zarkasyi menyamakan antara persoalan jihad dengan persoalan daging qurban. Dimana Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang menimbun daging qurban lebih dari tiga hari kemudian setelah itu beliau memperbolehkannya, namun Asy Syafi'i tidak memasukkannya dalam katagori nasakh, akan tetapi beliau memasukkannya dalam katagori hilangnya suatu hukum lantaran 'illahnya hilang.
Pertama kita harus tahu bahwa pendapat Imam Asy Syafi'i dalam masalah ini bukanlah pendapat yang disepakati, bahkan justru mayoritas ulama' mengatakan bahwa larangan menimbun daging qurban itu adalah hukum yang mansukh. Karena ijin itu diturunkan setelah larangan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi rohimahulloh.
Bahkan di antara ulama' ada yang sepakat jika ad dafah itu merupakan 'illah dari diharamkannya menimbun daging qurban, sehingga tatkala 'illahnya tidak ada maka hukumnyapun menjadi tidak berlaku. Akan tetapi orang yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa kembalinya 'illah itu tidak mesti mengembalikan hukum. Pendapat semacam ini disampaikan oleh Ar Rofi'i dari sejumlah kalangan madzhab Syafi'i, sebagaimana yang disebutkan di dalam Fat-hul Bari . Al Hafidh mengatakan: "Mereka mengatakan bahwa pendapat ini jauh dari kebenaran padahal tidak. Karena orang yang berpendapat seperti ini melihat pada waktu itu kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi dengan apa yang ia sebutkan itu (yakni daging qurban –penerj.). Adapun sekarang, kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan selain daging qurban, sehingga hukum menimbun daging qurban itu tidak kembali diharamkan. Kecuali jika kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi selain dengan daging qurban, dan ini sangat jarang sekali terjadi."
Namun sebagian ulama' zaman sekarang lebih menguatkan bahwa larangan menimbun daging qurban itu adalah keputusan Nabi shollallohu 'alahi wa sallam selaku seorang imam (pemimpin) dan bukan selaku musyarri' (pembuat syariat). Dengan demikian ini adalah bagian dari kebijaksanaan imam (pemimpin) dalam menentukan apa yang menurut pandangannya paling bermanfaat bagi rakyatnya, dan bukan bagian dari penetapan syariat yang bersifat umum.
Asy Syafi'i sendiri ragu-ragu dalam masalah ini. Satu kali beliau mengatakan seperti apa yang dinukil oleh Az Zarkasyi dari Ar Risalah tersebut , namun dalam buku dan halaman yang sama beliau mengatakan lain. Yaitu beliau mengatakan bahwa larangan tersebut adalah mansukh dalam keadaan apapun. Artinya, di sini ia mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh mayoritas ulama'. Pendapat beliau yang kedua inilah yang kemudian diikuti oleh generasi belakangan dari kalangan Syafi'iyah, sebagaimana yang disebutkan Al Hafidh di dalam Fat-hul Bari . Bahkan dalam masalah ini Asy Syafi'i memiliki perkataan ketiga yang lain lagi, yaitu sesungguhnya larangan ini masuk dalam katagori larangan yang masih memberikan peluang untuk memilih dan bukan suatu keharusan.
Intinya, kasus yang dijadikan oleh Az Zarkasyi sebagai landasan kajian, bukanlah kasus yang telah diterima sebagai suatu hukum yang tidak lagi berlaku lantaran 'illah nya telah tidak ada. Karena ternyata mayoritas ulama' berpegangan dengan hukum yang paling terakhir datang dengan tanpa melihat kepada 'illah yang menjadi penyebab munculnya larangan pada saat itu.
Kemudian, meskipun kita pakai pendapat Asy Syafi'i yang pertamapun, sesungguhnya di sana ada perbedaan nyata antara kasus jihad dengan kasus larangan menimbun daging qurban. Karena di dalam kasus qurban itu Asy Syafi'i berpedoman dengan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دفَّتْ
Sesungguhnya aku melarang kalian itu hanya lantaran adanya ad daffah yang diutus.
Hadits ini menyebutkan 'illah yang menjadi penyebab munculnya larangan, yaitu adanya orang-orang yang kesusahan (ad daffah). Dan atas dasar inilah ada atau tidaknya hukum larangan tersebut digantungkan. Maka penimbunan itu diperbolehkan tatkala tidak ada lagi orang-orang yang membutuhkan (miskin), dan tidak diperbolehkan ketika mereka ada.
Adapun dalam kasus jihad, sesungguhnya persoalannya lain ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa lemahnya kaum muslimin itu adalah sebab tidak disyariatkannya jihad pada periode Mekah adalah ijtihad dari sejumlah ulama'. Dan ijtihad ini kalau toh benar, ia bukanlah pernyataan Nabi sebagaimana pada kasus daging qurban. Oleh karena itu, sebab dan hikmah yang semacam ini masih membuka peluang untuk ditambah sesuai dengan pemahaman yang Alloh ta'ala berikan kepada sebagian ulama'. Dalam hal ini Ibnu Katsir rohimahulloh mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin itu bukanlah satu-satunya sebab tidak disyariatkannya jihad pada periode Mekah, di mana beliau mengatakan: "Dahulu pada periode awal Islam, yakni di Mekah, orang-orang beriman diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat meskipun belum sampai nishob. Dan dahulu mereka juga diperintahkan untuk membantu orang-orang fakir di antara mereka. Dahulu mereka juga diperintahkan untuk bersikap berlapang dada, bersabar dan memaafkan terhadap orang-orang musyrik sampai waktu tertentu. Sedangkan pada waktu itu mereka sangatlah emosi dan berharap untuk diperintahkan perang, supaya mereka dapat merasa lega terhadap musuh-musuh mereka, namun mereka tidak diperintahkan perang karena ketika itu kondisinya tidaklah sesuai disebabkan banyak hal; Di antaranya adalah karena sedikitnya jumlah mereka jika dibandingkan dengan jumlah musuh mereka. Sebab yang lain lagi adalah karena mereka berada di dalam negeri mereka yang mana negeri mereka adalah negeri haram (tanah suci) dan wilayah yang paling mulia di muka bumi ini, sehingga pada periode awal mereka tidak diperintahkan perang sebagaimana yang dikatakan. Oleh karena itu tidak ada perintah jihad kecuali setelah di Madinah, tatkala kaum muslimin telah memiliki negara yang memiliki kekuatan dan pendukung."
Selain itu beliau rohimahulloh menyebutkan sebab yang lain lagi dalam penafsiran beliau terhadap firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Alloh (hari-hari di mana Alloh menimpakan siksaan-Nya kepada mereka). (Al Jatsiyah: 14)
Di sana beliau mengatakan: "Maksudnya adalah; Hendaknya mereka berlapang dada terhadap mereka dan bersabar dalam menghadapi gangguan mereka. Dan ini terjadi pada awal Islam, mereka diperintahkan untuk bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), supaya hal itu menjadi sebuah upaya melunakkan hati mereka terhadap kaum muslimin. Kemudian tatkala mereka bersikukuh untuk berkeras kepala, Allohpun mensyariatkan perang dan jihad kepada orang-orang beriman. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodliyallohu 'anhuma dan Qotadah."
Beliau juga mengatakan: "Sesungguhnya Alloh ta'ala mensyariatkan jihad hanya pada waktu yang paling sesuai, karena tatkala mereka masih di Mekah jumlah orang-orang musyrik lebih banyak dari pada jumlah kaum muslimin. Sehingga seandainya Alloh ta'ala memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi orang-orang selain mereka sedangkan mereka minoritas, tentu hal itu akan berat bagi mereka … lalu tatkala mereka telah menetap di Madinah, lalu Rosululloh menyusul mereka dan mereka bersatu dan membela beliau, dan mereka telah memiliki negara Islam dan wilayah tempat berlindung, Allohpun mensyariatkan jihad melawan musuh."
Ustadz Sayyid Quthub rohimahulloh dalam kitabnya Fi dhilalil Qur-an juga berbicara dalam masalah ini dan beliau memberikan tambahan enam hikmah lain selain lemahnya kaum muslimin. Yang mana secara ringkas beliau mengatakan:
Yang demikian itu mungkin karena periode Mekah adalah periode tarbiyah dan persiapan. Sementara di antara target dari tarbiyah tersebut adalah mendidik jiwa orang Arab untuk bersabar menghadapi apa yang biasanya mereka tidak sabar dalam menghadapinya, yakni berupa penganiayaan terhadap dirinya atau terhadap para kerabatnya, supaya ia terbebas dari dirinya atau kebiasaan dirinya, atau para kerabatnya yang merupakan tumpuan hidup dalam pandangannya.
Atau mungkin juga hal itu karena dakwah yang dilakukan secara damai itu lebih berkesan dan lebih efektif di lingkungan bangsa Quraisy yang memiliki jiwa yang sombong dan tinggi, yang mana pada periode ini perang bisa jadi malah justru menjadikan mereka semakin keras kepala.
Atau mungkin juga karena untuk menghindari peperangan dan pembunuhan di dalam setiap rumah, karena pada waktu itu tidak ada kekuasaan yang terorganisir secara luas yang dapat menyiksa orang-orang beriman akan tetapi penyiksaan ketika itu diserahkan kepada para wali dari setiap orang yang beriman.
Atau mungkin juga karena hal itu karena Alloh tahu bahwa banyak dari para pembangkang yang menyiksa orang-orang yang awal-awal masuk Islam itu kelak akan menjadi tentara Alloh yang tulus.
Atau mungkin hal itu karena tabiat orang Arab itu biasanya akan membela orang teraniaya yang menanggung penderitaan namun ia tidak berubah sikap, apalagi gangguan itu terjadi pada orang yang mulia di antara mereka. Sebagai contoh adalah Ibnu Ad Daghnah, ia tidak rela membiarkan Abu Bakar hijroh dan keluar dari Mekah, dan ia memandang hal itu merupakan aib bagi orang Arab, maka ia menawarkan perlindungan dan penjagaan.
Atau mungkin juga hal itu karena ketika itu jumlah kaum muslimin masih sedikit dan mereka masih terbatas di Mekah. Dalam kondisi semacam ini peperangan akan selesai dalam waktu yang singkat dengan terbunuhnya kelompok Islam sehingga kesyirikan akan tetap eksis.
Dalam waktu yang sama pada waktu itu tidak ada keperluan yang mendesak untuk melanggar semua kemungkinan ini, karena pada waktu itu inti dari dakwah ini telah terlaksana dan terrealisir, yaitu eksisnya ajaran dakwah pada diri seorang da'i shollallohu 'alaihi wa sallam, dan dirinya berada di dalam perlindungan pedang-pedang Bani Hasyim, sehingga tidak ada satu tanganpun yang mencoba mengusiknya kecuali ia terancam akan dipotong.
Sebelum itu Ustadz Sayyid Quthub memberikan sebuah pendahuluan yang mana di sana beliau menyebutkan bahwasanya apa yang akan beliau katakan tentang masalah ini hanyalah sebuah ijtihad yang bisa salah dan bisa benar, dan bahwasanya bisa jadi di balik itu masih ada hikmah-hikmah lain yang hanya Alloh saja yang tahu, dan juga bahwasanya sikap seorang mukmin dalam menghadapi taklif apapun atau hukum syar'i apapun yang sebabnya tidak Alloh terangkan secara spesifik dan tegas: "… meskipun terlintas pada benaknya berbagai sebab dan 'illah bagi hukum syar'i tersebut atau bagi taklif tersebut … hendaknya ia menganggap semua itu hanyalah suatu kemungkinan dan tidak memastikannya --- meski ia mendapatkan kepercayaan sebesar apapun lantaran ilmu, pemahaman dan perenungannya terhadap hukum Alloh --- bahwa apa yang ia ketahui itu adalah hikmah yang Alloh inginkan secara nash, lalu tidak ada hikmah lain di balik itu atau selain itu. Keberatannya untuk memiliki anggapan seperti ini merupakan tuntutan adab yang wajib dilakukan terhadap Alloh …"
Maka semua ini hanyalah ijtihad yang tidak mungkin dapat dipastikan bahwa kelemahan kaum muslimin itu adalah satu-satunya sebab tidak disyariatkannya jihad pada periode Mekah.
Artinya, di sana masih ada beberapa hal yang memungkinkan untuk diperhitungkan ketika kita mencari apa saja yang menjadi penyebab dilarangnya perang pada periode Mekah. Lalu kenapa hanya kelemahan saja yang dianggap sebagai 'illah dari ada tidaknya perintah untuk menahan diri dan bersabar?
Inilah sisi pertama yang membedakan antara persoalan jihad dan persoalan daging qurban.
Kedua: Yaitu apa yang telah saya isyaratkan di depan bahwa pendapat yang mengatakan lemahnya kaum muslimin itu merupakan sebab tidak disyariatkannya jihad pada periode Mekah adalah masuk dalam katagori hikmatut tadarruj fit tasyri' (hikmah dari penetapan syariat secara bertahap), dan tidak masuk dalam katagori 'illatul hukmi. Ini sama dengan perkataan 'Aisyah rodiyallohu 'anha dalam menerangkan sebab diakhirkannya penurunan berbagai hukum. Di sana 'Aisyah rodiyallohu 'anha tidak berbicara tentang 'illah diharamkannya khomer, zina dan hukum-hukum yang lain, juga tidak berbicara tentang hikmah disyariatkannya hukum-hukum tersebut, akan tetapi beliau berbicara tentang hikmah diakhirkannya penurunan hukum-hukum tersebut. Dan kami telah terangkan sebelumnya bahwa apa yang disebutkan oleh 'Aisyah rodiyallohu 'anha tersebut tidak mungkin untuk dimasukkan dalam katagori 'illah yang menjadi landasan berlaku atau tidaknya suatu hukum. Demikian pula dapat kita katakan dalam kasus jihad, bahwa lemahnya kaum muslimin pada periode Mekah itu adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad pada periode itu. Akan tetapi ia bukanlah 'illah yang dijadikan landasan ada atau tidaknya kewajiban jihad.

Ketiga: Kemampuan Sebagai Syarat Jihad.

Az Zarkasyi membuat pernyataan yang bersifat umum bahwa dalam keadaan lemah hukum yang berlaku adalah kembali diwajibkannya bersabar sebagaimana yang berlaku pada periode Mekah. Dan kita tahu bahwa kemampuan itu adalah syarat untuk diwajibkannya jihad. Akan tetapi jika kita katakan bahwa ketika dalam keadaan lemah kita wajib kembali kepada wajibnya memberi maaf dan berlapang dada, ini berarti kita tidak hanya menjadikan kemampuan itu sebagai syarat diwajibkannya jihad, tapi kita juga menjadikan kemampuan sebagai syarat shahnya jihad. Sehingga dalam kondisi lemah kita diharamkan berperang. Pendapat semacam ini perlu dikaji lagi karena beberapa alasan.
1- Pertama adalah sesungguhnya nash-nash syar'i menunjukkan bahwa jika orang yang tidak mempunyai kemampuan itu memaksakan diri untuk berjihad, hal itu tidak mengapa meskipun tindakannya itu akan mengakibatkan dirinya terbunuh dan tidak mewujudkan kemenangan atas musuh, selama di sana ada kemaslahatan syar'i seperti memberikan pukulan pada musuh, atau menebarkan rasa takut dalam hati mereka, atau membangkitkan keberanian orang-orang beriman, atau yang lainnya.
Banyak dalil-dalil yang menunjukkan hal ini:
A. Di antaranya adalah yang terdapat dalam kisah 'Ashim bin Tsabit, ketika ia ditugaskan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memimpin beberapa sahabat yang diutus ke kabilah 'Adlol dan Al Qoroh. Lalu tiba-tiba ada sekitar 100 orang pemanah yang keluar untuk menyerang mereka. Lalu mereka mengepung 'Ashim dan para sahabatnya. Maka 'Ashim berkata: "Adapun saya, saya tidak akan mau menyerah dalam kekuasaan orang kafir …" Maka ia pun berperang sampai akhirnya mereka membunuh 'Ashim, bertujuh dengan sahabatnya yang lain dengan tombak .."
Tidak diragukan lagi bahwasanya kemampuan yang dimiliki 'Ashim dan orang-orang yang bersamanya tidak cukup untuk berperang melawan 100 orang pemanah. Dan mereka telah mendapatkan udzur untuk tidak berperang. Namun demikian 'Ashim menolak selain perang melawan mereka, maka iapun memerangi mereka sampai ia terbunuh.
B. Di antaranya lagi adalah yang terdapat dalam kisah 'Amr bin Al Jamuh rodliyallohu 'anhu. Ia seorang yang pincang dengan kepincangan yang parah. Sementara itu ia memiliki empat orang anak laksana singa, yang ikut berperang bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya anak-anakku hendak melarangku berperang bersamamu. Demi Alloh, sesungguhnya aku sangat berharap akan menginjak syurga dengan kakiku yang pincang ini." Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Adapun engkau, Alloh telah menerima udzurmu sehingga engkau tidak wajib jihad." Dan beliau bersabda kepada anak-anaknya: "Kenapa kalian tidak membiarkannya. Semoga Alloh menganugerahinya mati syahid." Maka iapun ikut berperang bersama beliau sampai ia terbunuh pada perang Uhud.
Dan diriwayatkan bahwa Abu Qotadah berkata: "'Amr bin Al Jamuh datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam lalu berkata: "Apa pendapatmu jika aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan berjalan di syurga dengan kaki yang sehat di syurga?" --- sementara pada waktu itu kakinya pincang --- Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ya." Maka ia bersama keponakannya dan seorang budaknya terbunuh oleh musuh pada perang Uhud. Lalu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melewatinya dan bersabda: "Seolah-olah aku melihatnya sedang berjalan di syurga dengan kaki yang sehat." Lalu Rosululloh shollallohu 'alahi wa sallam memerintahkan agar dia, keponakannya dan budak mereka berdua dikubur dalam satu kuburan.
Yang dijadikan landasan di dalam kisah 'Amr bin Al Jamuh ini adalah bahwasanya Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam mengijinkannya berperang meskipun ia pincang, padahal orang yang pincang itu mendapat udzur untuk tidak berperang berdasarkan nash Al Qur'an, sehingga ia tidak wajib berjihad.
C. Dalil yang lainnya adalah hadits tentang Salamah bin Al Akwa' tatkala ia menyerang 'Abdur Rohman Al Fazari dan orang-orang yang bersamanya lantaran mereka merampas unta-unta Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Salamah bin Al Akwa' mengejar mereka sendirian dan terus melempari mereka dengan mata tombaknya sampai dapat merebut kembali apa yang mereka ambil. Ia terus mengejar mereka sementara mereka terus lari dan membuang apa yang mereka bawa supaya ringan. Maka Salamahpun berhasil mengambil salab (rampasan) dari mereka lebih dari 30 burdah dan 30 tombak. Di dalam hadits tersebut Salamah mengatakan:
"… Belum lagi saya meninggalkan tempat dudukku, tiba-tiba saya melihat kuda-kuda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berlarian di sela-sela pepohonan. Dan ternyata yang berada di paling depan adalah Al Akhrom dan disusul oleh Abu Qotadah Al Anshori … Lalu ia mengambil kekang kuda Al Akhrom, lalu mereka pun lari tunggang langgang. Saya katakan: Wahai Al Akhrom, hati-hatilah terhadap mereka, sungguh saya khawatir mereka akan memotong-motongmu, sabarlah sampai Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang. Dia mengatakan: Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan engkau mengetahui bahwasanya jannah (syurga) itu benar, dan naar (neraka) itu benar, maka janganlah engkau halangi aku untuk mati syahid. Ia mengatakan: Maka aku biarkan sampai ia berhadapan dengan ‘Abdur Rohman bin ‘Uyainah … dan iapun ditusuk oleh ‘Abdur Rohman hingga mati. Kemudian ‘Abdur Rohman berpindah ke kuda Al Akhrom. Kemudian Abu Qotadah, seorang prajurit Rosul yang pemberani, menyusul ‘Abdur Rohman, lalu ia tusuk dan ia bunuh. Maka demi (Alloh) yang telah memuliakan wajah Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam, aku benar-benar mengejar mereka dengan kakiku sampai aku tidak melihat lagi di belakangku seorangpun dari sahabat Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam ataupun debu mereka sedikitpun. Sampai mereka singgah di sebuah lembah yang di sana terdapat air, tempat itu dinamakan Dzu Qorod, untuk minum di sana, karena mereka kehausan. Lalu mereka melihatku mengejar mereka dari belakang lalu aku usir mereka dari mata air tersebut sehingga mereka belum sempat meminum satu tetes airpun …" dan di dalam hadits itu disebutkan bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ خَيْرَ فُرْسَانِنَا الْيَوْمَ أَبُوْ قَتَادَةَ وَخَيْرَ رَجَّالَتِنَا سَلَمَة
Sebaik-baik pasukan berkuda kita pada hari ini adalah Abu Qotadah dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah Salamah.
Hadits ini dicantumkan oleh Imam Ibnun Nuhas Ad Dimyathi di dalam kitabnya yang berjudul Masyari'ul Asywaq Ila Mashori'ul 'Usyaq Fi Fadloilil Jihad, pada sebuah bab yang beliau kasih judul Fadl-lu In-ghimasir Rojulisy Syaji' Awil Jama'atil Qolilah Fil 'Adadil Katsir Roghbatan Fisy Syahadah Wa Nikayatan Fil 'Aduwwi (Keutamaan seorang pemberani atau sekelompok kecil yang menceburkan diri ke dalam musuh yang berjumlah besar karena ingin untuk mati syahid dan untuk memberikan pukulan kepada musuh). Kemudian beliau mengatakan: "Hadits yang shohih ini merupakan dalil yang paling jelas atas diperbolehkannya seseorang menyerang sekelompok musuh yang berjumlah besar secara sendirian, meskipun ia memiliki perkiraan kuat bahwa dirinya akan terbunuh, apabila ia lakukan hal itu secara ikhlas untuk mencari mati syahid sebagaimana yang dilakukan oleh Al Akhrom Al Asadi rodliyallohu 'anhu sementara Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak mencela ia berbuat seperti itu, dan para sahabatpun juga tidak melarangnya berbuat yang demikian itu. Bahkan hadits tersebut merupakan dalil atas keutamaan dan disunnahkannya perbuatan tersebut. Karena Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah yang berbuat seperti itu, sebagaimana yang disebutkan di depan, padahal keduanya masing-masing menyerang musuh secara sendirian dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang kepadanya."
D. Dalil lainnya lagi adalah keluarnya Al Husain rodliyallohu 'anhu untuk memerangi orang yang berbuat dholim dan aniaya pada masanya. Sesungguhnya ketika itu ia tidak memiliki kekuatan yang secara perkiraan dapat menang. Sampai-sampai tatkala ia mendengar terbunuhnya para utusannya yang ia utus kepada penduduk Kufah, dan ia telah mengetahui bahwasanya penduduk Kufah tidak akan menolongnya, ia mengatakan kepada orang-orang yang bersamanya, sebagaimana yang dikisahkan di dalam Al Bidayah Wan Nihayah: "Kita telah diterlantarkan oleh bangsa kita, maka barangsiapa di antara kalian yang ingin memisahkan diri silahkah memisahkan diri dengan tanpa ada celaan baginya, dan ia tidak memiliki tanggungan apa-apa kepada kami." Lalu orang-orangpun meninggalkannya dari arah kiri dan dari arah kanan, sehingga hanya tersisa para sahabatnya yang datang bersamanya dari Mekah. Ia berbuat seperti itu karena ia tahu bahwa orang-orang Arab Badui yang ikut dengannya itu, mereka tidak ikut dengannya kecuali karena setahu mereka ia akan pergi ke sebuah negeri yang mana penduduknya telah taat kepadanya. Maka ia tidak ingin mereka ikut bersamanya kecuali mereka tahu apa yang akan mereka tuju. Dan ia tahu bahwa apabila ia terangkan permasalahannya kepada mereka, tidak akan ada yang menyertainya kecuali orang yang ingin mati bersamanya."
Lalu Al Husain pun melanjutkan perjalanan bersama beberapa orang yang berjumlah kecil yang tetap bersamanya, sampai-sampai tatkala dua pasukan saling bertemu, orang yang bersamanya hanya berjumlah 72 orang sementara pasukan musuh mencapai 4000 (empat ribu) orang . Namun demikian Al Husain rodliyallohu 'anhu tetap berperang sampai ia terbunuh sebagai syahid dan terdholimi.
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan juga yang lainnya, kita dapatkan para ulama' menjadikan kamampuan itu sebagai syarat untuk diwajibkannya jihad. Akan tetapi mereka tidak menjadikannya sebagai syarat untuk shahnya jihad. Ibnu 'Abdil Barr berkata: "… Al 'Umari, seorang ahli ibadah --- namanya adalah 'Abdulloh bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdulloh [bin 'Abdulloh] bin 'Umar bin Al Akhothob --- bertanya kepada Malik bin Anas: Wahai Abu 'Abdillah, bolehkan kita tidak ikut serta dalam memerangi orang yang keluar dari hukum Alloh dan menjalankan hukum dengan selainnya? Malik menjawab: Permasalahannya dikembalikan kepada banyak atau sedikitnya jumlah. Abu 'Umar berkata: Jawaban Malik ini, meskipun bukan berkenaan dengan orang-orang musyrik namun ini berlaku juga untuk perang melawan orang-orang musyrik, dan juga amar makruf dan nahi munkar. Seakan beliau mengatakan; Barangsiapa tahu bahwa apabila ia melawan musuh, mereka akan membunuhnya dan ia tidak dapat menyakiti musuh sedikitpun maka ia boleh menghindar dari mereka dan bergabung kepada kelompok kaum msulimin dengan usahanya untuk itu …"
Al 'Umari adalah seorang ahli ibadah. Namanya adalah 'Abdulloh bin 'Abdul 'Aziz Al 'Umari, seorang ulama', zuhud, tsiqqoh (terpercaya), biasa beramar ma'ruf dan nahi munkar. Di sini dia tidak menanyakan tentang disyariatkannya memerangi orang yang keluar dari syariat Alloh dan berhukum dengan selainnya, akan tetapi dia menanyakan tentang rukhshoh yang memperbolehkan untuk tidak ikut serta dalam perang yang semacam ini? Sementara itu jawaban Imam Malik rohimahulloh adalah terperinci. Yaitu dikembalikan kepada sedikit banyaknya jumlah, yang artinya adalah kemampuan. Artinya, barang siapa memiliki kemampuan, ia tidak boleh absen darinya, dan barang siapa tidak memiliki kemampuan maka tidak mengapa baginya untuk tidak ikut perang.
Maka pada penjelasan Ibnu 'Abdil Barr terhadap perkataan Imam Darul Hijroh (Imam Malik) tersebut terdapat ungkapan yang baik, yaitu perkataannya yang berbunyi "… ia diperbolehkan menghindar .." dan beliau tidak mengatakan "… ia wajib menghindar …", hal ini menunjukkan bahwasanya kemampuan itu bukanlah syarat untuk shahnya perang akan tetapi ia adalah syarat untuk diwajibkannya perang. Wallohu a'lam.
Sementara itu Ibnu Qudamah mengatakan: "Jika jumlah musuh melebihi dua kalilipat dari jumlah kaum muslimin, namun kaum muslimin memiliki perkiraan yang kuat akan menang, maka sebaiknya mereka bertahan, karena hal itu merupakan kemaslahatan. Namun jika mereka mau mundur juga diperbolehkan, karena mereka itu tetap dikhawatirkan akan binasa … namun jika mereka memiliki perkiraan kuat akan binasa jika mereka bertahan dan akan selamat jika mereka mundur, maka sebaiknya mereka mundur. Namun jika mereka tetap bertahan juga diperbolehkan dengan tujuan untuk mencari mati syahid dan juga karena bisa saja mereka akan menang …"
Seandainya kemampuan itu adalah syarat untuk shahnya jihad, tentu Ibnu Qudamah tidak akan memperbolehkan mereka bertahan ketika mereka memiliki perkiraan kuat akan binasa jika mereka bertahan dan akan selamat jika mereka mundur.
Sementara itu Al Qurthubi di dalam tafsirnya mengatakan: "Muhammad bin Al Hasan berkata: Seandainya ada satu orang menyerang seribu orang musyrik secara sendirian, hal itu tidak mengapa apabila ia optimis akan selamat atau dapat memberikan pukulan kepada musuh. Namun jika tidak, hal itu makruh karena tindakannya itu mengancam keselamatan jiwanya tanpa ada manfaatnya bagi kaum muslimin. Namun jika tujuannya adalah menambah keberanian kaum muslimin untuk menyerang musuh supaya mereka berbuat seperti apa yang ia perbuat, maka hal itu tidak mustahil untuk diperbolehkan. Karena di sana terdapat manfaat bagi kaum muslimin ditinjau dari beberapa sisi. Dan jika tujuannya adalah untuk menteror musuh, supaya mereka tahu bahwa kaum muslimin itu kuat dalam memegang agamanya, maka ini juga tidak mustahil untuk diperbolehkan. Dan apabila di sana terdapat manfaat bagi kaum muslimin, maka hilangnya nyawa dalam rangka memuliakan agama kaum muslimin dan melemahkan kekafiran, adalah sebuah tindakan mulia yang dipuji oleh Alloh ta'ala bagi siapa saja orang beriman yang melakukannya dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ اْشْتَرَى مِنَ المُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ
Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa-jiwa mereka…
… dan ayat-ayat lain yang di sana Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya. Dan atas dasar ini pulalah hendaknya hukum melaksanakan amar makruf nahi munkar itu ditinjau."
Sementara As Sarkhosi berkata: "Tidak mengapa kaum muslimin itu mundur jika mereka didatangi musuh yang tidak mampu mereka hadapi. Namun mereka juga diperbolehkan untuk bertahan, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang bahwasanya tindakan semacam ini termasuk tindakan membinasakan diri. Bahkan tindakan semacam ini adalah bukti nyata dalam mengorbankan nyawa untuk mencari ridlo Alloh ta'ala. Tindakan semacam ini telah dilakukan oleh lebih dari seorang sahabat rodliyallohu 'anhum, yang di antaranya adalah 'Ashim bin Ats Tsabit yang jasadnya dilindungi oleh lebah, dan dipuji oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Dari situ kita pahami bahwasanya tindakan itu tidak mengapa dilakukan. Wallohul muwaffiq."
2- Adapun yang kedua adalah harus dibedakannya antara perang yang bersifat tholab (menyerang) dengan yang bersifat difa' (mempertahankan diri). Karena kemampuan itu adalah syarat untuk diwajibkannya jihad yang bersifat menyerang saja. Adapun ketika dalam keadaan mempertahankan diri, seperti ketika musuh menyerang bumi kaum muslimin, maka wajib hukumnya untuk mempertahankan diri dengan segala apa yang dimiliki. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Adapun perang dalam rangka mempertahankan diri, adalah perang yang paling berat dalam melawan musuh yang menyerang kehormatan dan agama, maka hukumnya adalah wajib secara ijma'. Maka jika ada musuh menyerang yang merusak agama dan dunia, tidak ada lagi yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya, dan tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi dilawan dengan segenap kemampuan. Hal itu telah dinyatakan oleh para ulama'; dari kalangan sahabat-sahabat kami dan lainnya. Maka haruslah dibedakan antara melawan musuh yang menyerang, yang dholim lagi kafir, dengan menyerang musuh di negeri mereka."
Beliau juga mengatakan: "Adapun jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka wajib hukumnya bagi seluruh orang yang akan menjadi target serangan untuk melawannya, dan wajib bagi orang yang tidak menjadi target serangan untuk memberikan bantuan … ini wajib dilakukan dengan segenap kemampuan bagi setiap orang, baik dengan fisiknya maupun dengan hartanya, dengan jumlah yang sedikit maupun dengan jumlah yang banyak, baik dengan jalan kaki maupun dengan naik kendaraan, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin tatkala mereka hendak diserang musuh pada peristiwa perang khondaq. Alloh tidak mengijinkan seorangpun untuk absen sebagaimana Alloh memberikan ijin untuk tidak ikut jihad pada perang yang bersifat ofensif (menyerang) terhadap musuh, yang mana dalam kondisi semacam itu Alloh membagi kaum muslimin itu ada yang qo'id (duduk, tidak berangkat perang) dengan yang khorij (yang ikut berangkat perang)…"
Beliau juga mengatakan: "Dan perang yang bersifat membela diri, seperti musuh yang berjumlah banyak yang mana kaum muslimin tidak memiliki kemampuan untuk melawannya, akan tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan membinasakan kaum muslimin yang tertinggal, maka dalam kondisi semacam ini sahabat-sahabat kita menegaskan bahwasanya wajib hukumnya untuk mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang-orang yang dikhawatirkan akan menjadi mangsa musuh, dalam rangka melawan musuh sampai mereka semua selamat. Hal ini sama dengan ketika musuh menyerang negeri kaum muslimin sementara jumlah orang yang berperang kurang dari setengah jumlah musuh. Namun jika mereka mundur musuh akan menguasai kaum wanita. Jihad dalam kondisi semacam ini adalah jihad difa' (mempertahankan diri), dan bukan jihad tholab di mana dalam kondisi semacam itu tidak diperbolehkan mundur bagaimanapun keadaannya. Dan perang Uhud itu masuk dalam katagori ini."
3- Ketiga: Dengan mengatakan bahwa kita kembali kepada syariat yang berlaku ketika dalam kondisi lemah sebagamana kondisi kaum muslimin pada periode Mekah, berarti kita tidak akan melaksankan i'dad (persiapan perang). Karena ketika di Mekah kaum muslimin belum diperintahkan untuk i'dad. Perintah i'dad itu diturukan setelah di Madinah, setelah disyariatkan perang. Ini adalah pendapat yang tidak benar karena menurut ketetapan sesungguhnya ketika jihad itu tidak dilaksanakan lantaran tidak memiliki kemampuan, wajib hukumnya untuk melakukan i'dad, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
4- Keempat: Kami tidak memungkiri bahwasanya di sana ada suatu kondisi di mana pada waktu itu bisa dikatakan jihad itu dilarang. Akan tetapi hal ini khusus ketika orang-orang yang hendak berjihad itu dalam kondisi lemah sampai pada tingkatan lemah yang tidak dapat mewujudkan bentuk pukulan apapun pada musuh, bahkan usaha jihadnya justru menimbulkan kerugian besar yang sangat membahayakan kaum muslimin yang tidak dapat diganti dengan kemaslahatan apapun. Ketika itulah dapat dikatakan bahwa jihad itu dilarang sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hamid Al Ghozali: "… akan tetapi jika ia tahu bahwa serangannya itu tidak akan membuahkan pukulan apapun ada orang-orang kafir, seperti orang buta atau orang tua renta yang mencampakkan dirinya ke dalam barisan musuh, maka ini haram dan masuk dalam keumuman ayat yang melarang membinasakan diri. Diperbolehkannya ia menyerang (musuh yang berjumlah banyak) itu adalah hanya ketika ia tahu akan berperang sampai terbunuh atau ia tahu akan menggentarkan hati orang-orang kafir ketika mereka melihat keberaniannya, lantaran mereka memiliki keyakinan bahwasanya seluruh kaum muslimin itu sedikit perhitungannya dan senang mati syahid di jalan Alloh sehingga kekuatan mereka kendur."
Sementara Asy Syaukani dalam menafsirkan firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Janganlah kalian campakkan diri kalian ke dalam kebinasaan.
Beliau mengatakan: "Segala sesuatu yang bisa dikatakan sebagai kebinasaan dalam urusan agama dan dunia, maka ia masuk kedalam larangan ini. Dan inilah yang dikatakan oleh Ath Thobari. Dan di antara yang masuk ke dalam kandungan ayat ini adalah seseorang yang terjun dalam peperangan, lalu ia menyerang pasukan musuh padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk meloloskan diri dan tidak dapat menimbulkan dampak yang bermanfaat untuk mujahidin."
Sedangkan Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan: "Adapun masalah seseorang yang menyerang musuh yang berjumlah banyak, maka mayoritas ulama' menyatakan bahwa jika hal itu ia lakukan lantaran ia memiliki keberanian yang luar biasa dan ia memiliki perkiraan dapat menteror musuh dengan perbuatannya itu, atau menimbulkan keberanian kaum muslimin untuk mengahadapi musuh, atau tujuan lainnya yang benar, maka tindakan tersebut baik. Namun jika hal itu dilakukan hanya semata-mata tanpa perhitungan, maka perbuatan tersebut dilarang, apalagi jika hal itu menimbulkan kelemahan pada kaum muslimin. Wallohu a'lam."
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwasanya dilarangnya jihad itu bukan semata-mata karena kondisi yang lemah, akan tetapi hal itu ditinjau dari dampak yang ditimnulkan oleh peperangan yang dilakukan ketika dalam kondisi lemah itu sendiri, yaitu kerugian yang tidak digantikan dengan bentuk pukulan apapun pada musuh atau manfaat apapun bagi kaum muslimin.
Di antara yang memperkuat hal ini adalah, bahwasanya kaum muslimin itu dituntut untuk memperhatikan masholih (kemaslahatan) dan mafasid (kerugian), meskipun dalam keadaan kuat dan berkuasa sekalipun. Karena sesungguhnya mengqiyaskan berdasarkan masholih dan mafasid itu merupakan satu pintu yang besar dalam ajaran Islam yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin dalam setiap kesempatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya amar ma'ruf dan nahi munkar itu, meskipun di dalamnya terdapat tujuan untuk meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan, namun harus tetap diperhitungkan dampak yang sebaliknya. Jika kemaslahatan yang hilang atau kerusakan yang ditimbulkan itu lebih banyak, maka ia tidak diperintahkan untuk melakukannya. Justru hukumnya menjadi haram jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar daripada kemaslahatannya … termasuk dalam katagori ini adalah diamnya Nabi terhadap para dedengkot kemunafikan dan kejahatan seperti 'Abdulloh bin Ubay dan orang-orang yang seperti dia, lantaran mereka memiliki para pendukung. Karena menghilangkan kemungkaran 'Abdulloh bin Ubay ini, dengan cara memberinya suatu hukuman, akan mengakibatkan hilangkan kebaikan yang lebih banyak, lantaran kemarahan dan fanatisme kaumnya, serta manusia akan menjauhi beliau jika mereka mendengar bahwa Muhammad telah membunuh para sahabatnya."
Dari situ dapat kita pahami bahwasanya untuk shahnya jihad itu tidak disyaratkan suatu kelompok yang berjihad itu harus memiliki perkiraan yang kuat telah memiliki kemampuan yang mana dengan kemampuan tersebut mereka dapat meraih kemenangan atas musuh. Akan tetapi cukup bagi mereka dengan memiliki kekuatan yang memungkinkan untuk membuat pukulan pada musuh, meskipun hanya sekedar menebar rasa takut dalam hati mereka, atau untuk menimbulkan suatu kemaslahatan, meskipun hanya sekedar menimbulkan rasa keberanian pada hati orang-orang beriman.
Dan pukulan atau kemaslahatan semacam ini dapat diwujudkan dalam banyak kondisi yang memungkinkan dilakukan oleh kelompok jihad yang lemah. Contohnya adalah mujahidin Palestina. Mereka tidak memiliki kekuatan yang memungkinkan bagi mereka untuk meraih kemenangan atas Yahudi, akan tetapi justru mereka itu sebenarnya adalah kaum tertindas dan lemah yang berada di antara palu kaum Yahudi dan paron (landasan tukang besi) pemerintahan Yasir Arafat. Namun demikian mereka dengan sedikit sarana yang mereka miliki mereka dapat melakukan pukulan pada musuh, yang dapat menggoncang singgasana Yahudi dan kaki tangan mereka.
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya pendapat dalam menimbang sejauh mana pukulan atau kemaslahatan yang ditimbulkan oleh suatu aksi jihad itu berbeda-beda. Ketika itulah harus dilakukan ijtihad dalam menimbang permasalahan ini. Yang wajib dilakukan oleh kelopok jihad adalah, hendaknya mereka bertaqwa kepada Alloh, sehingga mereka tidak membuat pertimbangan secara ngawur ataupun pengecut. Akan tetapi hendaknya mereka menyerahkan urusannya kepada orang-orang yang lurus yang dapat menimbang segala urusan dengan baik. Dan hendaknya mereka selalu berkonsultasi kepada para ulama' 'amilin.
Berdasarkan ini, maka kapan saja sebuah kelompok kebenaran itu memiliki perkiraan kuat, setelah mereka mengerahkan segenap upaya mereka dan meminta pertimbangan kepada ulama' yang berpengalaman, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat pukulan terhadap musuh, atau mewujudkan suatu kemaslahatan bagi kaum muslimin, maka mereka diperbolehkan untuk melaksanakan perang ketika itu. Dan orang lain yang memilih rukhshoh (untuk tidak berjihad lantaran tidak memiliki kemampuan untuk menang –penerj.) tidak berhak untuk melarang mereka dengan alasan tidak memiliki kemampuan. Akan tetapi seharusnya ia merasa senang dengan apa yang mereka lakukan, dan seharusnya ia juga berharap semoga dia juga termasuk orang-orang yang melaksanakan perintah jihad.
Ibnu Abil 'Izz berkata: "Jika seorang hamba itu tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui atau mengamalkan sebagian dari itu (ajaran Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam), maka hendaknya ia tidak melarang orang lain untuk melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan. Akan tetapi cukup baginya untuk tidak menjadi orang yang tercela lantaran ia tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Akan tetapi hendaknya ia merasa senang dan ridlo dengan adanya orang lain yang dapat melaksanakannya, dan hendaknya ia berharap seandainya ia dapat melaksanakannya."
Hal itu karena Alloh 'azza wa jalla telah menerima udzur orang-orang yang tidak memiliki kemampuan berjihad. Akan tetapi Alloh mensyaratkan kepadanya agar ia termasuk orang-orang yang memberi kesetiaannya secara tulus kepada Alloh dan Rosul-Nya, bukan justru melemahkan semangat para mujahidin. Karena Alloh ta'ala berfirman:
لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ وَلاَعَلَى الْمَرْضَى وَلاَعَلَى الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ مَايُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا للهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) bagi orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan bagi orang-orang yang tidak memiliki harta untuk mereka belanjakan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Alloh dan Rosul-Nya. (At Taubah: 91)
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: "Bagi mereka-mereka ini tidaklah berdosa apabila mereka tidak ikut berjihad dan mereka ketika tidak berjihad itu berlaku tulus, dan tidak menyebarkan isu yang melemahkan semangat orang-orang yang berjihad, dan mereka berbuat baik ketika dalam keadaan seperti itu. Oleh karena itu Alloh berfirman:
مَاعَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At Taubah: 91)
…"